The Daddy's Affair (Tersedia...

By revelrebel

1M 94.2K 3.2K

(Content dewasa. Pastikan sudah cukup umur kalau ingin membaca) Aria Daniel, vokalis Storm. Digilai cewek-cew... More

Prolog
Chapter 1: Daddy's Little Secret
Chapter 2: The One That Got Away
Chapter 4: My Dad is a Pop Star
Chapter 5: Pieces by Pieces
News Flash: Aria's Woman
Chapter 6: She's Gone
Chapter 7: A Daughter's Heart
Chapter 8: Parental Guidance
Ch. 9: Could You Give Me a Simple Dinner?
Chapter 10: I Don't Need a Car
News Flash: Shaloom Talitha Aria
Chapter 11: The Muse
Chapter 12: Almost Kisses
Chapter 13: Perempuanku
Chapter 14: Come Together
Chapter 15: A Daughter's Game
News Flash: Aria Tirta Daniel
Chapter 16: Two Faces
Chapter 17: Sayang, Aku Cemburu
Chapter 18: Mimpi-Mimpi Shaloom
Chapter 19: When We Were Young
Chapter 20: Post Concert Effect

Chapter 3: Falling in Love with Mr. Superstar

26.3K 4.6K 119
By revelrebel

Shania

Aria Daniel.

Dia ada di mana-mana. Di televisi, di radio, di media cetak, bahkan billboard yang ada di jalanan pun memajang wajahnya.

Storm langsung meledak begitu merilis album pertama, November. Single pertamanya, Kekasih atau Sahabat, merajai chart. Lagu itu diputar di mana-mana, enggak cuma di televisi dan radio, juga diputar di semua tempat umum. Bahkan menjadi lagu wajib para pengamen di bis kota. Aria, Satria, Tito, Janu, dan Elkie. Mereka jadi idola. Semua cewek-cewek mengidolakan mereka. Cowok-cowok mengagumi mereka. Di antara mereka, Aria yang paling menonjol. Sebagai frontman, dia memang karismatik. Wajah tampan, suara merdu, dan piawai bermusik. Cukup menjadi modal untuk digilai.

Aku bertemu Aria saat dia berada di puncak popularitas setelah album keduanya, Bandung 2002, meledak di pasaran. Aku ikut tergila-gila kepada Storm dan menjadi seorang Stormy--sebutan untuk fans Storm. Tentu saja, aku juga menjadi seorang Arian, sebutan untuk penggemar Aria. Sebagai seorang penggemar, aku sering menonton aksi mereka.

Bersama dua orang temanku, Celia dan Dinda, kami jadi Stormy garis keras. Kami selalu menonton di barisan paling depan. Menikmati Storm secara live jauh lebih mengasyikkan ketimbang mendengarkan di radio atau menonton di televisi. Suara Aria terdengar lebih rough, tidak sesempurna saat rekaman, tapi justru lebih tulus. Dia enggak punya aksi panggung yang heboh. Gayanya juga simple. Tapi karismanya di atas panggung jelas enggak bisa dibantah. Dia begitu menghipnotis. Meski enggak banyak gerak, Aria mampu membuat siapa pun terpukau dan enggak bisa mengalihkan tatapan ke arah lain.

Dan menjeritkan namanya sampai suara habis.

Aku memang mengidolakannya, tapi enggak pernah berharap bisa berkenalan dengannya. Apalagi menjadi pacarnya. Meskipun aku menuliskan namanya sebagai cowok idaman dan berkhayal menjadi pacarnya, itu cuma ada dalam khayalan. Aria si Superstar tentu enggak akan pernah melirik cewek biasa sepertiku.

Namun takdir berkata lain.

Aria menyadari kehadiranku. Mungkin karena selama ini aku selalu menonton di baris paling depan. Sesekali dia tersenyum ke arahku, tapi aku enggak mau geer. Ada banyak cewek di sekitarku yang juga mengidolakannya. Bisa saja Aria tersenyum kepada salah satu di antara mereka.

Suatu hari, seorang sekuriti menahanku. Katanya, aku diminta ke backstage. Ditemani oleh Dinda dan Celia, kami ke backstage dan mendapati kalau yang ingin bertemu denganku adalah Aria.

Aku cuma bisa bengong.

Dia mengajakku berkenalan dan meminta nomor teleponku.

Semuanya begitu mendadak. Aku merasa berada dalam mimpi. Aku baru sadar kalau ini bukan mimpi ketika keesokan harinya ada yang meneleponku dan memperkenalkan diri sebagai Aria. Aku baru benar-benar sadar ini semua nyata ketika Aria menjemputku ke kampus dan mengajakku makan malam.

Later that I knew I fell in love with him.

Itu tujuh belas tahun yang lalu.

Sekarang, saat melihat dia tersenyum kepadaku, seakan melemparkanku ke momen ketika dia tersenyum untuk pertama kalinya dari atas panggung.

Meski wajahnya mulai dimakan gurat usia, pesona yang dimilikinya masih tetap sama. Meski kini dia bukan lagi pria muda di awal dua puluhan ketika aku berkenalan dengannya dulu, Aria tumbuh menjadi pria dewasa yang makin menghipnotis. Menginjak usia empat puluh tahun, Aria semakin memukau. Ada banyak musisi bermunculan, tapi Aria berhasil mempertahankan spotlight yang dimilikinya.

"Shan."

Aku terkesiap ketika merasakan sentuhan lembut di lengan. Aku terlalu larut dalam lamunan sampai tidak menyadari kalau Aria tengah berbicara kepadaku.

"Kenapa?"

Aria tersenyum ragu. "Aku boleh mengajak Shaloom ke studio?"

Tubuhku sontak menegang. Tatapanku tertuju kepada Shaloom yang balas menatapku dengan penuh harap.

Ini alasan di balik kemarahan Shaloom yang membuatnya kabur dari rumah.

Shaloom ingin menjadi penyanyi. Cita-cita itu sudah ada sejak dia kecil, tepatnya semenjak Shaloom melihat Aria di televisi. Dia ingin menjadi seperti ayahnya.

Shaloom punya bakat, dan jika dibimbing dengan tepat, dia bisa menjadi penyanyi hebat. Aria jelas bisa membimbingnya.

Bukannya aku ingin membungkam bakat Shaloom. Aku ingin mendukungnya, tapi mengizinkannya menjadi penyanyi bukan hal yang mudah. Aku merasakan langsung popularitas Aria menghancurkan hidupku, dan aku tidak mau Shaloom merasakan hal yang sama.

Aku sudah membuka mulut untuk menolak, tapi Shaloom yang menatap penuh harap membuatku mengurungkan niat.

"Nanti. Sekarang lebih baik kamu selesaiin masalah ini."

Shaloom kembali memasang wajah cemberut, membuatku merasa jadi ibu yang jahat.

"Tapi aku tetap dikasih mobil, kan?"

Keningku berkerut. "Mobil apa?"

Saat melihat cengiran penuh rasa bersalah di wajah Aria, aku tidak bisa menahan emosi.

Aria

"Harusnya kamu memberitahu aku dulu sebelum janjiin apa-apa sama Shaloom." Shania berkacak pinggang di depanku. Matanya menatapku nyalang, siap menelanku hidup-hidup.

"Sorry. Aku kelepasan."

"Kelepasan?" Hardiknya.

"Shaloom lagi ngambek, jadi aku panik. Baru kali ini aku enggak tahu cara nenangin dia. Berhubung sebentar lagi dia ulang tahun, aku mau kasih kado mobil," jelasku.

Penjelasan itu tidak bisa meredam emosi Shania.

"Kamu enggak bisa sembarangan memberi hadiah buat anakku," semburnya.

Ucapan Shania membuatku terpaku.

"Shaloom itu juga anakku, Shania," geramku pelan.

Shania terdiam, tapi tidak menampakkan rasa bersalah.

Ini bukan pertama kalinya dia menganggap Shaloom bukan anakku. Ketika Shaloom lahir, Shania sudah berusaha menyingkirkanku. Bahkan jauh sebelum itu, ketika dia merahasiakan kehamilannya.

Kalau saja Mbok Sri enggak keceplosan, aku enggak akan tahu Shania hamil.

Butuh waktu sampai Shania akhirnya mau menikah denganku. Pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga dekat. Shania tidak ingin pernikahan itu diketahui publik. Entah bagaimana wartawan berhasil mengendusnya dan kabar pernikahan kami tersebar. Beruntung identitas Shania masih terjaga.

Aku bukan suami yang baik. Kesibukan membuatku sering meninggalkan Shania. Aku tidak pernah ada untuknya setiap kali dia membutuhkan. Aku juga tidak ada di sampingnya ketika dia berjuang melahirkan Shaloom.

Bagi Shania, pernikahan itu adalah kesalahan. Dia tidak percaya kalau saat itu aku mencintainya. Aku tidak pernah menyesali pernikahan itu, apalagi Shaloom. I fell in love with her since I laid my eyes on her face. Dia baru berumur dua hari dan sudah mencuri hatiku.

Keadaan memang tidak berpihak kepadaku. Manggung dari satu kota ke kota lain membuatku sering berada jauh dari Shania dan Shaloom. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menanggung perasaan bersalah.

Kalau saja aku berjuang lebih keras dan tidak menyerah begitu saja, tentu aku tidak perlu berjauhan dengan Shaloom.

Sekarang, ketika mendapati Shania dan Shaloom berada di dekatku, aku teringat akan waktu yang terbuang.

Aku ingin memperbaikinya. Terlebih soal Shaloom.

Ketika Shaloom memberitahu ingin menjadi penyanyi, aku siap membantunya. Namun aku tahu, Shania menjadi hambatan. Dia tidak akan mengizinkan Shaloom mengambil langkah yang sama denganku. Shania merasakan langsung ketika popularitas menghancurkan hidupnya. Dia hanya ingin melindungi Shaloom, setelah aku gagal melindungi mereka belasan tahun lalu.

Aku tidak hanya berutang banyak kepada Shaloom, tapi juga kepada Shania.

"Yeah, she's your daughter." Shania berkata pelan. "Tapi aku ibunya. Apa pun yang mau kamu lakukan, aku harus tahu."

"Now I'm asking you."

Shania menggeleng pelan, sebelum membungkamku dengan tatapannya yang tajam.

"I just want the best for my daughter. Sekalipun itu harus menyakitinya."

Aku bergerak pelan, memupus jarak di antara kami, sehingga hanya Shania yang bisa mendengar apa pun yang ingin kusampaikan.

"Aku juga ingin yang terbaik buat Shaloom. Dulu ataupun sekarang. Tapi kamu selalu membuat keputusan sendiri. Kali ini, mungkin kamu bisa mencoba dengerin aku dan Shaloom, sebelum memutuskan," bisikku.

Shania menatapku tajam, tapi aku bisa melihat ada luka di sana.

Luka yang kutorehkan lima belas tahun lalu.

Continue Reading

You'll Also Like

592K 58.9K 53
Hiraeth: A longing for a home you can't return to, or one that was never yours. Menceritakan sebuah perjalanan menemukan kembali titik balik yang sud...
18K 1.6K 32
Ada dua tipe manusia yang bekerja di LBH Optimus. Pertama, orang yang berdedikasi tinggi pada kemanusiaan. Kedua, jenis manusia frustrasi yang tak ku...
3.2M 230K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
1.6M 29.1K 7
Kehidupan sebagai banker membuat Jia merasa hidupnya hampa. Sebuah keputusan nekat membuatnya berhenti bekerja dan membuka sebuah toko buku, The Book...