The Daddy's Affair (Tersedia...

By revelrebel

1M 94.2K 3.2K

(Content dewasa. Pastikan sudah cukup umur kalau ingin membaca) Aria Daniel, vokalis Storm. Digilai cewek-cew... More

Prolog
Chapter 1: Daddy's Little Secret
Chapter 3: Falling in Love with Mr. Superstar
Chapter 4: My Dad is a Pop Star
Chapter 5: Pieces by Pieces
News Flash: Aria's Woman
Chapter 6: She's Gone
Chapter 7: A Daughter's Heart
Chapter 8: Parental Guidance
Ch. 9: Could You Give Me a Simple Dinner?
Chapter 10: I Don't Need a Car
News Flash: Shaloom Talitha Aria
Chapter 11: The Muse
Chapter 12: Almost Kisses
Chapter 13: Perempuanku
Chapter 14: Come Together
Chapter 15: A Daughter's Game
News Flash: Aria Tirta Daniel
Chapter 16: Two Faces
Chapter 17: Sayang, Aku Cemburu
Chapter 18: Mimpi-Mimpi Shaloom
Chapter 19: When We Were Young
Chapter 20: Post Concert Effect

Chapter 2: The One That Got Away

27.8K 4.8K 146
By revelrebel

Shaloom

"Kamu pulang sekarang." Itu chat dari Mama yang enggak kubalas.

Ugh, sejak kapan Mama jadi menyebalkan begitu? Well, kalau dipikir-pikir Mama memang otoriter. Mama punya banyak larangan yang membuatku merasa dikekang. Mama juga sering mengambil keputusan sendiri dan aku enggak punya kesempatan buat ngasih masukan.

Misalnya, keputusan pindah ke Jakarta. Tiba-tiba banget. Mama memberitahu kalau kami akan pindah ke Jakarta, dan tahu-tahu saja aku saja aku sudah didaftarin di sekolah baru. Padahal aku suka di Yogya. Aku punya teman-teman yang asyik. Aku bahkan sudah punya rencana buat ngerayain sweet seventeen, tapi semuanya buyar karena keputusan sepihak Mama.

Belum lagi soal larangan Mama yang enggak ada habisnya. Larangan pulang malam, larangan liburan bareng teman, dan terakhir, Mama melarangku ikutan audisi ajang pencarian bakat di TV. Padahal Mama tahu aku suka banget nyanyi, tapi Mama enggak mendukung cita-citaku jadi penyanyi.

Satu-satunya yang membuatku sedikit senang saat pindah ke Jakarta, kesempatan buat mewujudkan cita-cita jadi makin terbuka. Aku pikir Mama akan melunak. Ternyata sama aja, Mama sama sekali enggak mau mendengarkan alasanku.

Mama memang enggak bilang, tapi penolakan itu pasti ada hubungannya sama Papa.

Ayahku musisi ternama. Aku memang cuma bertemu dua kali setahun sama Papa, tapi aku kenal banget siapa ayahku itu. Semua orang di Indonesia mengenalnya. Papa sudah ngeband sejak SMA dan album pertamanya meledak waktu Papa berumur dua puluh tahun. Papa langsung jadi idola. Cewek-cewek menyukainya, cowok-cowok mengaguminya. Bahkan sampai sekarang, teman-temanku aja ngefans sama Papa. Ada banyak band lain bermunculan, tapi Papa dan Storm masih eksis.

Harusnya Mama enggak heran kalau aku suka nyanyi dan punya suara bagus. Aku, kan, anaknya Aria Daniel.

Tapi, Mama enggak mau peduli.

Makanya aku kesal banget sama Mama. Aku sudah merekam video sedang menyanyi buat kebutuhan audisi, tapi ketahuan. Mama menghapus video itu dan aku enggak punya back up. Menurutku Mama udah kelewatan, makanya aku kabur dari rumah.

Ada untungnya sekarang kami di Jakarta, jadi aku punya tempat tujuan buat kabur.

Ke rumah Papa.

Papa beda banget sama Mama. He's a cool dad. Pantas banyak yang mengidolakan Papa. Dan, yang paling penting, Papa mengerti soal keinginanku. Papa malah menawarkan diri buat membantu, jadi aku enggak perlu ikut audisi itu. Papa bisa jadi produserku.

Segampang itu. Tapi, yang bikin ribet ya Mama.

"Jadi, kamu Shaloom?"

Tanganku yang sedang memetik gitar mendadak berhenti. Aku mendongak dan bersitatap dengan seorang perempuan bertubuh mungil tapi punya wajah galak. Dia menatapku dengan ekspresi datar, tapi tatapannya menilaiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Aku enggak tahu siapa dia. Jangan-jangan dia pacarnya Papa?

Ayahku itu dikenal playboy. Aku aja sampai enggak hafal siapa aja yang pernah jadi pacarnya. Kalau dipikir-pikir, Papa beda banget sama Mama. Makanya aku enggak habis pikir, kenapa mereka sampai menikah? Mereka kayak langit dan bumi. Air dan api. Papa cool, Mama nyebelin.

"Saya Dre. Manajernya Aria." Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Kamu jago juga main gitarnya."

Papa yang mengajariku main gitar, waktu aku berusia tujuh tahun. Di ulang tahun kedelapan, Papa memberi kado gitar. Sejak saat itu, aku bercita-cita mau jadi penyanyi.

"Hi, Mbak Dre. Sorry ya jadi ribet karena gosipnya."

Dre tertawa, membuat wajahnya enggak lagi kelihatan galak. Kayaknya dia asyik juga.

"Gitulah. Makin heboh aja."

Aku menyengir lebar. "Lucu, sih. Dibilangnya Papa itu Sugar Daddy-nya aku. Ya dia kan Daddy-nya aku. Tanpa Sugar."

Dre memijat keningnya, membuatku jadi enggak enak hati karena sudah merepotkannya.

"Papa mana, Mbak?"

Dre menunjuk asal ke arah ruang tamu. "Lagi ngobrol sama ibumu, nyari jalan keluar masalah ini."

Mataku membola. "Mama di sini?"

Dre mengangguk. "Katanya mau jemput kamu pulang."

No. Aku enggak mau pulang. Aku mau di sini karena Papa berjanji membantuku jadi penyanyi.

Sebelum Mama menarikku pulang, aku kabur ke kamar, meninggalkan Dre yang tampak makin pusing.

Aria

When was the last time I saw her?

Setelah kami resmi bercerai, dia pindah ke Yogya. Kami tidak pernah bertemu lagi. Setiap kali ke Yogya untuk bertemu Shaloom, aku cuma bertemu Mbok Sri.

Sosok yang berdiri di hadapanku ini sangat berbeda dengan Shania yang dulu kukenal. Dia sangat banyak berubah. Shania tampak lebih tenang dan dewasa, bukan lagi Shania yang melompat heboh di baris terdepan setiap kali menonton konserku.

Baik dulu maupun sekarang, Shania selalu berhasil mencuri perhatian. Dia punya wajah cantik, meski si pemilik wajah sering enggak sadar kalau dia bisa membuat setiap laki-laki meneteskan air liur saat melihatnya. Dari semua penggemarku yang mayoritas berjenis kelamin perempuan, cuma Shania yang berhasil mencuri perhatianku.

Aku bertemu dengan Shania ketika Storm mengisi acara di kampusnya. Dia berdiri paling depan, jadi yang paling heboh meneriakkan namaku. Dia ikut bernyanyi--meski belakangan aku sadar kalau dia sama sekali enggak bisa bernyanyi alias buta nada. Sejak pertama melihatnya, aku sudah terkesima.

Ada banyak perempuan cantik di sekitarku, tapi Shania berbeda. Dia mungkin bukan perempuan paling cantik yang pernah kulihat, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menarik perhatianku. Dia sering datang ke konser, juga aktif di grup penggemar yang kumiliki, dan membuat Mas Sony, manajer Storm waktu itu, mewanti-wanti agar aku enggak mencari perkara dengan mengajaknya berkenalan. Apalagi memacarinya. Menjalin hubungan dengan penggemar cuma menimbulkan masalah, itu pesan Mas Sony.

Sulit untuk melenyapkan Shania dari ingatanku. Setiap kali manggung, aku selalu menyisir baris pertama dan mencari sosoknya. Dia selalu di situ, dengan senyum manisnya yang membuatku seperti mendapat suntikan semangat. Melihatnya dari atas panggung enggak lagi terasa cukup, sampai suatu hari, setelah selesai manggung, aku meminta bantuan sekuriti untuk mengajaknya ke backstage. Tujuannya tentu saja untuk mengajaknya berkenalan. Kalau enggak mengerti situasi saat itu, aku pasti menemuinya langsung. Itu kali pertama dan satu-satunya aku mengajak penggemar berkenalan.

Dugaanku benar. Dia enggak cuma punya wajah cantik, tapi juga menyenangkan. Cukup satu malam saja, aku sudah jatuh cinta kepadanya.

Sekarang, setelah lima belas tahun berlalu, aku menyadari enggak ada seorang pun perempuan di dunia yang memberikan dampak sebesar ini kepadaku, selain Shania. Semua perempuan yang pernah singgah di hidupku, tidak pernah sama seperti Shania.

"Apa kabar, Shan?"

Di hadapanku, Shania bergerak gelisah. Dia menolak ketika dipersilahkan duduk, jadi kami masih berdiri di dekat pintu.

Shania mengajak bertemu di luar, tapi aku menolaknya. Kondisi sedang panas, kalau ada yang memergoki kami, akan timbul berita baru. Setelah membujuk, dan membawa nama Shaloom, Shania setuju untuk datang ke rumahku.

"Aku ke sini untuk menjemput Shaloom," ujarnya datar.

"Dia ada di atas. Kamu enggak mau duduk dulu, ada yang harus kita omongin," balasku.

Shania masih bergerak gelisah. Dia sama sekali tidak menutupi perasaan kurang nyaman yang dialaminya.

"Soal berita itu?"

Aku mengangguk. "Setelah aku pikir-pikir, sebaiknya kita memberitahu siapa Shaloom."

Shania menatapku sambil mengernyit. Sesuai dugaan, Shania tidak akan langsung setuju dengan saranku.

"Demi Shaloom," lanjutku.

"Kamu yang butuh klarifikasi, bukan Shaloom," tukasnya.

Aku menghela napas panjang. Satu hal yang tidak berubah, Shania masih saja keras kepala.

"Shan, kamu mau Shaloom dapat cap negatif karena jalan sama Om-Om? Kecuali kamu punya ide lain," balasku.

Shania terdiam, kerutan di keningnya menyadarkan kalau dia tengah memikirkan ucapanku.

"Enggak bisa. Kamu cari alasan lain," tegasnya.

"Kenapa kamu keberatan orang lain tahu soal Shaloom?" Tanyaku. Dulu, ketika Shaloom masih kecil, aku bisa mengerti dengan alasannya. Sekarang alasan itu terdengar mengada-ada.

"Kamu tahu alasanku. Aku enggak mau hidupnya terganggu karena wartawan pasti enggak akan ninggalin dia sendirian," jelasnya.

"I know, tapi sekarang enggak ada cara lain buat menyelesaikannya. Kita diam aja, Shaloom bakalan terus diomongin. Sekarang mereka bahkan sudah tahu namanya, sekolahnya di mana, yang pasti wartawan akan mengejarnya karena butuh klarifikasi," cecarku.

Shania kembali bergerak gelisah. "Sama aja, kan? Harusnya kamu lebih berhati-hati."

"What's done is done. Lagipula, suatu hari nanti juga fakta ini bakal keungkap. Caranya aja yang beda. Kamu enggak mungkin selamanya nyembunyiin Shaloom, kan?"

Shania tidak menjawab, tapi dari raut keras di wajahnya cukup untuk memberitahu bahwa dia akan membawa rahasia ini sampai mati.

"Lebih baik kebenarannya keluar dari mulutku langsung," tegasku.

Raut wajah Shania mulai melunak. "Pastiin kamu lindungin Shaloom. Aku enggak mau ada wartawan yang mengikutinya. She's still a child."

Aku mengangguk. "I promise."

"Kamu panggilin Shaloom. Sudah malam, dia harus pulang."

"Kamu enggak mau makan malam di sini? Sudah lama kita enggak ketemu," tawarku, yang disambut Shania dengan mata mendelik.

Shania

Setidaknya Shaloom sudah mulai melunak. Dia tidak lagi menatapku dengan ekspresi bermusuhan. Dua hari menginap di sini cukup membawa perubahan untuknya.

"Okay, to make it clear, Aria bakalan post foto berdua Shaloom. Cukup kasih caption singkat, enggak usah klarifikasi yang gimana banget. Sisanya, gue yang handle."

Perempuan bertubuh mungil bernama Dre itu berkata tegas. Dia memperkenalkan diri sebagai manajer Aria. Dari pertama bertemu, dia terlihat dingin dan mengintimidasi.

"Kamu yang pilih fotonya." Aria menyodorkan ponselnya kepada Shaloom.

Shaloom menyambut tawaran itu dengan senang hati. Dia menggeser duduknya mendekati Aria. Kepala mereka menunduk saat mengecek foto itu satu per satu. Sesekali Aria berkomentar, lalu ditanggapi Shaloom, dan mereka akan tertawa bersama.

Shaloom sangat mengagumi Aria. Waktu kecil, dia sering bertanya kenapa ayahnya cuma datang dua kali setahun. Tidak seperti teman-temannya yang tinggal bersama ayahnya. Sejak awal, aku tidak pernah berbohong soal Aria meski saat itu Shaloom belum mengerti.

Setiap kali melihat Aria di televisi, dia akan bersorak kegirangan. Menjelang libur sekolah, dan itu artinya dia bisa bertemu Aria, Shaloom jadi makin bersemangat. Sampai Shaloom berusia delapan tahun, mereka selalu bertemu di Yogya. Di usia kesembilan, Aria meminta izin untuk membawa Shaloom liburan. Sulit bagiku untuk mengizinkannya, tapi aku juga tidak tega melihat kekecewaan Shaloom. Dia cuma bisa bertemu ayahnya dua kali setahun, jadi aku mengalah.

Mereka sangat mirip. Saat melihat Shaloom, aku bisa melihat wajah Aria di sana. Mereka sama-sama punya rambut hitam yang tebal. Juga mata bulat yang selalu terlihat bersemangat, hidung bangir yang sangat pas di wajah bulat, juga lesung pipi di sisi kiri yang selalu muncul setiap kali tersenyum. Dengan kemiripan itu, bagaimana mungkin orang-orang mengira mereka menjalin affair?

"Foto ini aja, yang lain akunya jelek."

"Tapi Papa yang jelek di sini."

Mereka kembali tertawa. Kali ini aku tidak bisa menahan diri dan ikut tersenyum bersama mereka.

Saat itulah, Aria mengangkat wajahnya dan bersitatap denganku. Dia tersenyum, memberikan kesan hangat di wajahnya.

Senyum itu tidak pernah berubah. Senyum yang membuatku jatuh cinta, di detik pertama mataku menangkap senyum itu.

Tujuh belas tahun yang lalu.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.6K 14
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...
3.4M 85.7K 17
FINISHED - unpublish sebagian - . Jere, 30 tahun, senior associate di sebuah firma hukum ternama; tampan, mapan, dan harusnya sudah bertunangan, kal...
228K 21.3K 50
[spin off 'menikah dengan CEO?' cerita sahabatnya Aya!] .... "Will you marry me?" Terdiam kaku dengan mulut menganga, ungkapan tadi membuat dirinya t...
250K 23K 50
Kehidupan Alexandra Hewitt yang sederhana berubah rumit ketika sebuah buku meneror teman-teman masa lalunya dengan kutukan yang tertulis di dalamnya...