HISYAM

By diaryalna

1M 130K 4.3K

Tisha Atifa cukup terpaksa menerima Hisyam Al-Ghifari sebagai masa depannya. Tak pernah sekalipun terpikirkan... More

Bab 1 : Keliatan Tua
Bab 2 : Perempuan Istimewa
Bab 3 : Bertemu Lagi
Bab 4 : Fakta Tentang Syam
Bab 6 : Mampir Lagi
Bab 7 : Calon yang Baik
Bab 8 : Dilamar Duda
Bab 9 : Tidak Terasa
Bab 10 : Menuju Halal
Bab 11 : My Queen
Bab 12 : Doa Alif
Bab 13 : Tahajud Bersama
Bab 14 : Pagi yang Berbeda
Bab 15 : Syarat
Bab 16 : Tanggal Merah
Bab 17 : Syam Menyebalkan
Bab 18 : Pacaran yang Halal
Bab 19 : Nafkah Batin
Bab 20 : Tisha Khawatir
Bab 21 : Tangisan Alif
Bab 22 : Misterius
Bab 23 : Papa yang Sigap
Bab 24 : Vanya Kenapa?
Bab 25 : Kebahagiaan Syam
Bab 26 : Rajanya Modus
Bab 27 : Bermuka Dua
Bab 28 : Dresscode
Bab 29 : Alma Bercerita
Bab 30 : Pantai
Bab 31 : Undangan Vanya
Bab 32 : Permintaan Tisha
Bab 33 : Jatuh dari Motor
Bab 34 : Seperti Dongeng
Bab 35 : Rencananya Meleset
Bab 36 : Luka Syam
Bab 37 : Double Date
Bab 38 : Pembahasan Alma
Bab 39 : Tapi Caranya Salah
Bab 40 : Kabar Baik
Bab 41 : Selamanya Hanya Kamu
Bab 42 : Berbaikan dengan Masa Lalu

Bab 5 : Memilih Cincin

28.5K 3.8K 52
By diaryalna

15 Januari 2022.

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Kalau berkenan, alangkah baiknya follow akun ini sebelum membaca, ya. Thank you✨

Silakan kalau ada kritik dan saran untuk cerita ini bisa disampaikan. Koreksi juga kalau ada salah :)

Ambil baiknya, buang buruknya.

5. Memilih Cincin

***

Aroma sambal balado yang sedang Tisha tumis di atas wajan itu menguar ke segala penjuru dapur. Kiran yang menemaninya memasak hari ini nampak tergugah selera makannya.

Kiran menghirup dalam aroma masakan sang putri ketika Tisha menuangkan terong yang sudah terpotong ke wajan.

"Anak Bunda pinter banget masak," puji Kiran mengacak gemas bagian atas kerudung Tisha.

Tisha langsung mengukir senyum bangga, tangannya sibuk mengaduk terong agar tercampur merata.

"Alhamdullilah, Bunda. Apapun itu harus disyukuri. Anaknya siapa dulu, dong?" balas gadis itu menaik-turunkan alisnya jahil.

Kiran terkekeh, mencubit pinggang putrinya pelan. Namun Tisha berteriak keras seakan cubitan dari Kiran membuat kulitnya membiru sampai tangannya melepas spatula.

"Buruan nikah, biar ada yang muji masakan kamu."

"Kan, ada Ayah yang tiap hari muji masakan aku. Jadi, kenapa harus nunggu nikah dulu, Bun?" Tisha berucap sembari melanjutkan aktivitas memasaknya.

"Kamu sama Tara, kok, gak bedanya. Sukanya ngulur waktuuu terus buat nikah!" Kiran menggerutu memindahkan wadah sup ke meja makan.

"Namanya juga kakak-adik, Bunda."

"Gimana kalau kamu nikah aja sama Hisyam? Ayah suka sama kepribadiannya."

Hasan Muzzaki tiba-tiba muncul menimbrung pembicaraan dua perempuan yang sangat disayanginya. Pria paruh baya yang memakai seragam guru itu menarik kursi dari meja makan.

"Ayah suka, tapi aku enggak," balas Tisha merengutkan wajahnya. Gadis itu dengan terampil memindahkan terong balado ke dalam wadah.

"Kenapa enggak? Karena baru kenal?"

Tisha mengangguk pelan. "Iya, Yah. Soalnya aku juga baru ketemu dia kemarin. Denger tentang dia juga dari Bu Bos aja."

"Emang masalah kalau baru kenal?"

"Aku gak suka sama dia, Bunda," sangkal Tisha memutar tubuhnya berjalan menghampiri meja makan.

"Kenapa gak suka?"

"Gak suka aja, Yah. Lagian suka-gak suka harus dikasih alasan?"

Hasan dan Kiran saling berpandangan dan mengembuskan napas lelah. Tisha menyengir dan ikut duduk bersama keluarga kecilnya itu. Tisha tersenyum melihat Kiran mengambilkan makanan untuk Hasan.

"Bukan begitu, Tis." Pria itu mendongak dari piring yang penuh makanan. "Ayah merasa kalau Hisyam itu suka sama kamu dan kelihatan serius," jelas Hasan menatap Tisha yang duduk tak jauh darinya.

Tisha tersenyum kecil sambil menyibukkan diri. Ia melahap makanannya karena sedang malas menanggapi.

"Apa karena Hisyam itu duda jadinya kamu gak mau?" tanya Kiran tepat sasaran sesuai apa yang Tisha pikirkan.

Gadis itu mengangguk-angguk antusias dengan mulut yang penuh makanan. Ia juga mengacungkan kedua ibu jarinya.

Hasan dan Kiran kompak geleng-geleng kepala melihat bagaimana tingkah nyleneh putri bungsu mereka.

"Semoga aja hati kamu terketuk kalau Hisyam beneran serius sama kamu," ujar Hasan penuh harap.

***

Pagi ini sekitar pukul sembilan, toko Fathir Bakery terpantau masih sepi pengunjung. Kebanyakan dari mereka memesan via online. Itupun sudah sejak tadi selesai diatasi.

Kini Tisha sedang sibuk mengelap meja, kemudian lanjut membersihkan bagian atas etalase menyimpan roti, supaya makin kinclong.

Daripada dilanda bosan, mulut gadis berpakaian serba warna hitam itu tak berhenti bergerak merapalkan dzikir. Tidak lama setelah itu, terdengar suara derap langkah seseorang.

Tisha yang tanggap segera membalikkan badan, menatap datar perempuan yang mulai menyengir karena tak jadi mengagetkannya.

"Gak asik kamu, Tis. Baru aja Mbak mau kagetin!" omel Rein, mengendurkan senyuman lalu memberengut kesal.

Tisha menarik ujung bibirnya geli, seraya menggeleng pelan. Perempuan sebaya dengan kakaknya itu memang orangnya suka bercanda.

"Itu artinya Mbak Rein kurang profesional."

Rein terkekeh mendengar balasan Tisha. Perempuan itu lalu menumpukan dagunya di tangan yang berada di atas etalase seraya menatap Tisha yang sedang serius.

"Ngomong-ngomong, nih, ya. Cowok idaman kamu yang kayak apa, sih?"

Tisha berhenti sejenak dari aktivitasnya. Ia tersenyum melihat Rein. "Yang langka ditemuin di akhir zaman kayak sekarang."

Rein mengerutkan dahi tak mengerti.

"Cowok idaman saya itu yang taat sama Allah, akhlaknya baik, agamanya bagus, bisa menjaga hawa nafsunya, tahu yang mana auratnya, dan tahu batasan ketika berinteraksi sama lawan jenis yang bukan mahramnya."

"Menurut saya, yang terakhir itu jarang banget ditemuin. Bahkan ada yang ngerasa biasa-biasa aja dekat sama perempuan, padahal gak punya ikatan apa-apa."

Rein melongo di tempat ketika Tisha menjabarkan bagaimana kriteria lelaki idaman gadis itu. Rein mengerjap setelah Tisha menyelesaikan kalimatnya dengan mudah.

"Bentar ...." Rein menyela saat ingat akan sesuatu. "Maksudnya yang aurat tadi apa?"

Tisha menghela napas. "Batas aurat laki-laki itu, kan, dari pusar sampai lutut. Tapi kebanyakan cowok suka lupa kalau paha itu masuk aurat. Jadi kalau keliatan ya dosa, sama kayak perempuan yang keliatan rambutnya."

Rein mengangguk-angguk paham. Meski di hatinya menyimpan rasa minder karena Tisha jauh lebih mengerti agama ketimbang dirinya, ia tetap tersenyum dan berterima kasih.

"Mumpung belum mati, eh, maksudnya mumpung masih ada kesempatan, saya pengen tobat terus bareng sama suami saya." Rein cengar-cengir sementara Tisha menanggapinya dengan gelengan kepala.

"Kalau misalnya kriteria yang kamu sebutin tadi ada di Pak Hisyam ...." Ragu-ragu Rein mengatakannya sambil mengigit bibir bawah. Selanjutnya ia berbisik, "Kamu mau nikah sama dia?"

Tisha melotot dan langsung mencubit lengan Rein sekali. "Kalau itu, saya tetep gak mau!"

Rein berdecak tak suka sambil mengusap lengannya. Ia hendak menyandarkan badannya lagi ke etalase kaca, namun Tisha dengan cepat mendorongnya supaya menjauh.

Sebenarnya Rein ingin memprotes, tapi niatnya urung karena siluet Almaira Mahika nampak akan mendekat ke arah mereka berdua. Rein dan Tisha spontan tersenyum dengan ramah dan bersikap sopan. 

"Assalamualaikum," ucap Alma memberi salam disertai raut wajah ceria.

"Wa'alaikumussalam." Dua pegawai perempuan itu membalas tak kalah ramah.

Alma mengamati keduanya bergantian. Lalu melemparkan kode lewat tatapan kepada Rein. Rein yang peka lantas mengangguk dan pamit pergi.

"Saya permisi dulu, ya, Bu, Tis. Mau ngecek stok dulu yang kurang."

Setelahnya Rein memberi salam dan mulai mengayunkan langkah menjauh dari posisi Tisha serta atasannya. Tak lupa, Alma berterima kasih karena Rein tanggap membaca kode darinya.

Di sisi lain, Tisha mulai resah. Entah kenapa seolah ada sesuatu yang tak kasat mata membuatnya tak tenang seperti sebelumnya. Alma seperti membawa aura mencekam pagi ini.

"Ibu boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa ya, Bu Bos?" Tisha tak mungkin menolak Alma ketika wanita berkerudung itu meminta bantuannya.

Alma terlihat lega saat Tisha mau menolongnya. Secepatnya wanita itu mengambil ponsel, menggesernya beberapa kali, kemudian mendekat ke arah Tisha sambil menunjukkan sesuatu.

"Kamu suka model cincin yang mana?" tanya Alma menunjukkan dua model cincin yang berbeda kepada Tisha.

Tisha terdiam sebentar, mulai bergulat dengan pikirannya serta meneguhkan diri agar tidak berpikir yang aneh-aneh. Perempuan itu mengusap dagunya sembari mengamati seksama gambar di layar ponsel milik Alma.

"Eumm ... saya, sih, lebih suka yang simpel kayak ini." Tisha angkat bicara menunjuk gambar di sebelah kanan layar. "Menurut saya itu yang bagus, Bu Bos."

Alma mengangguk-angguk seraya menyunggingkan senyum tipis. "Ternyata pilihannya sama," gumamnya.

Tisha seperti mendengar suara Alma berbicara, sehingga refleks mengerutkan dahi.

"Maaf, bagaimana, Bu?" tanyanya memastikan.

Alma yang tersadar langsung terperangah dan menarik kedua sudut bibirnya lebar. Ia menggeleng menanggapi pertanyaan Tisha.

"Enggak, kok."

Tisha menganggukkan kepala meski hatinya masih diganjal rasa penasaran. Setelah satu pertanyaan tadi diajukan, Alma segera undur diri meninggalkan Tisha.

Gadis itu melihat punggung bosnya hingga menghilang di balik tembok. Rein yang sejak tadi mengamati diam-diam bergegas menghampiri Tisha sambil mengikuti arah pandang rekan kerjanya.

"Bu Bos kasih tunjuk apaan?" tanya Rein tiba-tiba membuat Tisha berjingat kaget saat membalikkan badannya dan menemukan kehadiran Rein.

Tisha mengelus dadanya menatap Rein kesal. "Mbak Rein bisa gak jangan muncul tiba-tiba kayak tukang parkir?"

Rein sontak tertawa ngakak mendengar lawakan Tisha. Ia sampai menepuk-nepuk lengan gadis dua puluh satu tahun itu sebagai pelampiasan.

Tisha yang mulai kesakitan segera menangkis tangan Rein. Menatap perempuan itu tajam hingga mereka akhirnya kembali ke topik awal.

"Bu Bos minta pendapat saya buat milih model cincin."

Rein nampak terkejut dengan mulutnya yang menganga. "Jangan-jangan ...."

"Apa?" sungut Tisha tak sabaran.

"Jangan-jangan habis ini kamu dilamar sama Pak Hisyam?"

Tisha yang terlanjur emosi melempar serbet kotor yang digunakannya tadi ke arah Rein. Kain itu mengenai tepat wajahnya.

"Kurang ajar kamu, Tis!" Kobaran amarah terlihat jelas di kedua mata Rein. Alarm siaga milik Tisha langsung berbunyi, menggiring kedua kakinya berlari menjauh.

Tisha menyempatkan diri menjulurkan lidah mengejek Rein yang sudah emosi. Selepas itu, Tisha tertawa puas tanpa suara.

"Saya doain kamu nikah sama duda!"

"Rein Kusuma!" tegur Alma dingin dari kejauhan, berdiri di depan Tisha yang sedang menghadap rak roti berpura-pura sibuk karena tak mau ikut campur.

Rein seketika panas dingin. Ia lantas meminta maaf dengan sopan. Diam-diam di belakang tubuh Alma, Tisha menahan senyumnya.

Tak mau ambil resiko, Rein izin melanjutkan pekerjaannya karena tersadar jika telah menggali kuburannya sendiri. Jangan sampai ia berani menganggu pegawai kesayangan Almaira Mahika itu.

***

Bersambung...

Follow Instagram: @wp.diaryalna

Lanjut?😋

Continue Reading

You'll Also Like

525K 35.8K 39
⚠️ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA ⚠️ Romansa - Spiritual - Militer Halunya Komandan pleton eh dapetnya Komandan Kompi Niat baik Yara untuk menolong seo...
31.3K 2.6K 41
Ini adalah kisah cinta tentang dua insan yang memiliki latar belakang yang sangat bertolak belakang. Bukan hanya sekedar kisah cinta. Ini juga tenta...
1M 47.7K 69
Apa jadinya perasaan kamu ketika menerima undangan pernikahan atas nama kekasihmu dengan perempuan lain. Yah inilah kenyataannya mas Zain akan meni...
24.7K 1.3K 22
Pengarang: Bunga dalam Hujan Jenis: Kelahiran kembali melalui waktu Status: Selesai Pembaruan terakhir: 04 Agustus 2022 Bab Terbaru: Bab 102 penganta...