LGBT story - FLAITHRI - Cinta...

Por Shireishou

29K 4.4K 2.1K

⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang n... Más

PRAKATA
PROLOG
BAB 1 - Perjumpaan yang Heboh
Bab 2 - Kepanikan yang Melanda
Bab 3 - Antara Dua Hati
Bab 4 - Sahabat dari Sahabat
Bab 5 - Taktik yang Efisien
Bab 6 - Sudah Cukup!
Bab 6 - The Past that Haunt Us
Bab 8 - Jantung yang Lagi Bungee Jumping
Bab 9 - Antara Baper dan Nggak Boleh Baper
Bab 10 - Kejutan yang Mengejutkan Banget (eh)
Bab 11 - Kejujuran yang Dinanti
Bab 12 - Masalah yang Dicari Sendiri
Bab 13 - Malaikat Pelindung Putra
Bab 14 - Teman Sejati
Bab 15 - Dia yang Menghilang
Bab 16 - Kejutan Mendebarkan
Bab 17 - Jawaban Pertanyaan
Bab 19 - Obat Tidur dalam Gelas
Bab 20 - Pembicaraan Berdua
Bab 21 - Kejujuran yang Mengejutkan
Bab 22 - Proses yang Mendebarkan
Bab 23 - Kejujuran yang Berbahaya
Bab 24 - Kekacauan yang Memuncak
Bab 25 - Pengakuan Sesungguhnya
Bab 26 - Pesan-Pesan Mengerikan
Bab 27 - Hasil Rapat Dosen
Bab 28 - Keputusan Putra
Bab 29 - Perempuan yang Terluka
Bab 30 - TAMAT

Bab 18 - Serangan Balasan Aziz!

750 118 38
Por Shireishou

"Kenapa?" Kali ini suara Putra terdengar lirih ketika mendengar Aziz justru melarangnya menikah. Sempat terpikir oleh Putra bahwa Aziz bersikap posesif padanya. Namun, lebih masuk akal bila Aziz berkata begitu karena merasa dirinya belum siap.

Ditanya seperti itu, Aziz mengulum senyum penuh arti. Bila dia mengakui soal perasaannya pada Putra sekarang, akankah pemuda itu menunda niatnya untuk menikah? Atau jangan-jangan malah sebaliknya? Aziz tidak boleh gegabah. Untuk kali ini, dia harus memberi jawaban aman.

"Ternyata lo di sini, Put!" Sebelum Aziz menjawab, seorang pemuda tiba-tiba muncul.

Putra heran melihat sobatnya, Raja, muncul secara tiba-tiba. Terlebih lagi saat cowok itu merangkul pundak Putra dengan santai.

Refleks Putra mengedik memberi tanda agar Raja tidak merangkulnya. Dia ingin menjaga jarak sekaligus berharap Aziz tidak salah paham.

"Skripsi gue ada masalah nih. Bisa tolongin bentar, nggak? Setengah jam aja? Besok kudu ketemu dosbing, nih." Raja mengatupkan tangan di depan dada.

"Oke." Putra mengangguk.

"Yaaaay!! Cus lah!!" Raja menyeret tangan Putra menjauh tanpa memedulikan keberadaan Aziz yang menatap geram.

"Maaf, Bang. Saya pamit dulu. Assalamualaikum."

Maka secepat meteor meluncur di langit malam, Raja dan Putra memelesat menghilang di tikungan jalan.

Siang yang terang di hari Sabtu. Namun, suasana hati Aziz tak secerah mentari hari itu. Aziz mengacak-acak rambutnya kasar memikirkan Putra. Pemuda itu sudah berpikir untuk menikah, Aziz harus melakukan sesuatu!

Tapi apa? Belum lagi dia memikirkan pemuda yang merangkul Putra tempo hari. Putra bilang itu sahabatnya, tapi Aziz tetap saja cemburu.

Aziz tahu Putra masih 'bersih'. Bahkan Aziz tidak yakin pemuda itu pernah menonton atau membaca konten dewasa, apalagi yang berkaitan dengan sesama jenis.

Justru karena masih 'bersih' makanya pemuda itu begitu serius memikirkan soal pernikahan. Pemuda itu masih berharap menjadi 'normal'.

Bagaimana kalau Aziz 'mengotori' pemuda itu? Sepertinya itu satu-satunya pilihan baginya jika tidak ingin melepaskan Putra. Syukur-syukur jika pemuda itu bisa lepas dari fase denial-nya, lalu sepenuhnya menjadi miliknya.

Namun, kalaupun setelahnya Putra membenci dirinya, paling tidak, besar kemungkinan pemuda itu akan kehilangan pikiran untuk menikah. Dan bila itu terjadi, dia akan mencari cara lain untuk kembali mendekati Putra.

Sekarang, bagaimana caranya? Rencana sempurnanya kemarin sudah gagal total.

"Ma! Kok makanannya cuma telur ceplok, sih? Mana garemnya banyak banget! Kamu kebelet kawin?" Aziz mendorong piringnya kasar.

Selintas Dita menatap suaminya dingin sebelum pandangannya melembut dan bibirnya beristighfar tanpa suara berusaha memendam kesal. "Memang kalau aku pengin kawin, Mas mau kawin? Udah nggak capai? Enggak lagi badmood? Lagi puyeng kerjaan?"

Meski Dita terlihat tersenyum, tapi Aziz tampak tidak senang. "Aku lagi pusing sama kerjaan kantor. Bos marah-marah mulu! Apa mau kamu gantiin, hah?"

Lagi-lagi Aziz melihat Dita menarik napas dan kali ini menarik piring yang tadi dijauhkannya untuk dibawa ke dapur. "Rahman sakit. Aku nggak sempet masak macem-macem. Memang Mas mau makan apa? Nanti aku coba belikan."

Aziz mencebik diam-diam saat istrinya sudah membalikkan tubuh. Dita memang istri yang taat. Dia tidak pernah protes kalau dirinya selalu punya 1001 alasan untuk tidak bercumbu apalagi melakukan hubungan badan. Jijik!

Namun, sesekali Aziz pun terpaksa menurut dan diam-diam menonton adegan panas sebelum akhirnya dia bisa melakukannya. Tentu saja harus buru-buru karena sejujurnya dirinya merasa hal itu adalah hal yang menyiksa dan menyebalkan. Sesekali saja, sekadar menutup kecurigaan wanita itu.

"Rahman sakit." Dita mengulangi kalimatnya ketika kembali ke meja makan. "Makanya aku buru-buru. Ini dia baru bisa tidur lagi."

"Sakit apa?" Aziz merasakan dadanya berdebar. Meski dirinya tidak mencintai Dita sedikitpun, tapi Rahman lain urusan. Darah dagingnya itu begitu mirip dengannya. Begitu dicintainya. Begitu menggemaskan. "Kamu apain sampe bisa sakit, hah?!" Pria itu berseru kesal.

"Tolong jangan berisik, nanti Rahman bangun."

Sesaat kemudian terdengarlah suara Rahman menangis keras. Dita mengusap wajahnya kesal sementara Aziz bergerak cepat ke kamar.

"Anak saleh, anak kesayangan Papa. Sini gendong!" Aziz dengan cekatan menggendong Rahmat dan memeriksa keningnya. "Ya ampun, panas banget!"

"Padahal tadi sudah kuberi paracetamol! Mana nggak mau makan sama sekali." Wajah Dita terlihat kalut.

"Beresin barang-barang. Kita ke rumah sakit sekarang!"

Dita tak bicara kecuali berbalik dan mengambil tas sementara Aziz langsung menuju mobil.

Sedang pusing perihal Putra, ditambah lagi Rahman sakit. Mood Aziz makin berantakan saja.

Yang lebih penting sekarang adalah Rahman. Dia harus memastikan anak kesayangannya ini ditangani dengan baik. Kalau perlu, dirawat inap supaya benar-benar sehat kembali!

Tiba-tiba didengarnya suara Rahmat merintih.

"Ma-mau ma-in..."

Saat itu juga sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala. Begitu bisa menstarter mobil, menyalakan AC, lalu kembali ke kursi belakang untuk mendudukkan Rahman ke carseat, Aziz mengeluarkan ponselnya.

"Rahman mau main sama Bang Putra nggak?" Aziz membelai kepala Rahman dengan semangat.

"Mau!" balasnya cepat meski suaranya tidak begitu jelas.

"Coba sekarang kamu ngomong mau main sama Bang Putra."

Aziz bergegas menekan tombol merekam ketika mulut Rahman mulai terbuka.

"Bang Putla. Main..."

Yak! Sempurna! Tepat ketika Dita datang membawa satu tas perlengkapan bayi. "Langsung berangkat?"

"Bentar, bos ngirim pesen. Aku kirim file dulu," dusta Aziz sambil bergerak menjauh.

Aziz:

Put, Rahman lagi demam tinggi. Dia nggak mau makan juga. Mungkin kalau disuapin kamu, dia jadi mau. Nih, suara dia pengin ketemu kamu."

(kirim suara)

Aziz menatap ponselnya kesal. Kenapa malah centang satu? Last seen udah dua jam lalu pula. Apa tidur lagi dia?

Padahal, dia bisa mengajak Putra berdua saja di rumah sementara biar Dita dan Rahman di rumah sakit.

Berkali-kali Aziz keluar masuk Whatsapp berharap kalau tiba-tiba ada keajaiban pesan baru masuk. Tingkah konyol yang seharusnya tak menghasilkan apa-apa.

"Mas, masih lama? Rahman mulai nggak anteng, nih!"

Sekali lagi Aziz melihat ponselnya dan masih tidak ada tanda-tanda terkirim. Ya sudahlah, mengurus Rahmat lebih penting saat ini.

"Iya, kita berangkat!"

Aziz pun berusaha menyimpan kekesalannya dan fokus pada kesehatan Rahman.

Benar saja, di mobil, kondisi Rahman memburuk. Dia sempat muntah dua kali hingga Aziz terpaksa mempercepat laju mobilnya sambil menekan klakson beberapa kali.

Rahman langsung dibawa ke IGD dan ditangani dokter jaga dengan baik. Suhunya ternyata sudah 39.8 celcius. Maka dokter pun memberi obat penurun panas melalui dubur.

Rahman direbahkan di kasur. Matanya terpejam erat dengan kulit yang terlihat pucat. Dada Rahman diberi botol kompres pipih berwarna merah.

Agaknya dia tidak tidur karena sesekali dekapannya pada kompres di dadanya menguat.

"Untuk sementara tinggal dulu di sini sampai dokter spesialis anaknya datang ya, Bu. Saya beri kompres hangat juga. Dipelukkan saja ke dadanya." Dokter berjilbab itu berujar penuh empati lalu pamit untuk pergi.

Gorden yang membatasi antara pasien di IGD pun tertutup. Salah satu perawat meminta Aziz untuk pergi.

Dua jam rasanya lama sekali. Aziz mondar-mandir tak karuan di ruang tunggu karena Rahman lebih memilih Dita untuk menemaninya. Rumah sakit di akhir minggu ramai sekali. Orang-orang sibuk berbicara atau berekspresi kalut seperti dirinya.

"Kenapa hanya boleh satu penjaga, sih?!" gerutunya.

Dia pun kembali melihat chat untuk Putra. Masih tidak juga terkirim. Ke mana sih dia?

Rasanya semua mengesalkan!

Tepat ketika Aziz hendak memindahkan tampilan chat Putra ke istrinya untuk menanyakan apa dokter spesialis sudah datang, mendadak tanda centang satu berubah dua dan langsung biru.

Putra is typing....

Jantung Aziz melompat-lompat tak karuan. Apa yang akan Putra jawab?

Putra :

Astagfirullah, Maaf Bang, ini saya habis ngajar privat di daerah Bekasi. Lupa ganti ke mobile data. Masih perlu ke sana?

Bagus! Ide yang tadi didapatnya masih bisa dia jalankan. Bahkan, Aziz baru saja mendapatkan ide lain untuk mempermudah rencananya.

Aziz :

Iya, Put. Sekarang malah nggak mau ngomong, nih. Lemes banget.

Putra :

Baik, Bang. Saya ke sana secepatnya. Mungkin agak lama karena macet. Syafahullah buat Dek Rahman.

Aziz :

Jazzakallah khairan katsira, Put.

Putra :

Wa jazakallah khairan katsira

Senyum kemenangan tersemat jelas di wajah pria itu. Dengan cepat dia mengetik pesan untuk istrinya

Aziz :

Sorry, aku dipanggil Bos. Harus pulang kerja di laptop. Tolong urus Rahman, ya. Minta rawat inap aja. Pakai tabunganmu dulu. Kalau gajian kuganti.

Setelah itu, Aziz mematikan ponselnya.

Tiba-tiba matanya tertuju pada antrean pengambulan obat. Senyum merekah kembali bertahta. Maka Aziz pun bergerak cepat menuju apotek.

Kali ini, kamu akan jadi milikku!


Suara klakson terdengar berturutan ketika Aziz memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apotek tempatnya membeli obat cukup lama mengantre. Padahal hatinya sungguh tidak sabar.

Dengan segera, Aziz memarkirkan mobilnya. Merapikan kasur double bed-nya, menyemprotkan pengharum ruangan, mandi sebersihnya, juga membeli camilan di warung dekat rumah.

Aziz tampak puas dengan penampilannya. Kaus oblong berkerah rendah yang memperlihatkan tulang selangkanya. Rambutnya dibuat sedikit acak-acakan agar terasa lebih seksi. Tentu saja kausnya dipilih yang sedikit ketat agar bentuk otot tubuhnya bisa dinikmati mata Putra dengan bebas.

Lalu di dapur, Aziz menyiapkan dua gelas sirup yang ditaruh di kulkas. Dan yang paling penting adalah obat yang baru saja dibelinya dari apotek.

Obat tidur.

Membeli obat perangsang bukan hal bijaksana. Bisa-bisa dengan kegigihannya, Putra malah kabur dan berlari sampai capai untuk mengusir efek obatnya.

Namun, obat tidur akan lebih mudah baginya untuk melakukan apa yang sejak lama diinginkannya.

Membawa Putra, dan tentu saja dirinya, menikmati surga dunia.

Saat itulah, suara salam terdengar dari balik pintu. Aziz pun berdeham sebelum membalas salam sambil memasang mimik berduka.

231222
RUN PUTRA RUUUUUN!!!!

Shirei lagi nulis bab 20 nih. Tebak ada apa di bab 20? Hehehheh

Btw, makasih untul 1k+ view di FIZZO. Enggak nyangkaaa. Semoga bisa makin banyak yang bacaa.

Mohon doanyaa

Seguir leyendo

También te gustarán

167 81 11
Nyaris semua tentang Niro adalah misteri tak terpecahkan. Terlalu banyak kemungkinan; terlalu sedikit kepastian. Bisa jadi cowok itu adalah anak mafi...
2.7K 91 5
Toshiya!!! Jerit Kaoru tertahan dalam hati. Dan coba lihat! Toshiya CUMA pake tubedress yang hanya menutupi dada (?) hingga bawah bokongnya. Dari pah...
2.4M 209K 67
Ini cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.
895 104 38
"How it feels being God's favorite child?" Abe terdiam, pertanyaan yang tidak pernah disangkanya akan keluar dari mulut orang itu. Lama dia menunduk...