Father For Addo -g.c (Addo Se...

By frantastickris

139K 14.7K 1.3K

# Book 1 in Addo Chance Series # Addo Grey Chance adalah anak yatim. Dia sudah tidak memiliki ayah sedari k... More

Prolog
Satu: 10 tahun kemudian
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
[A/N] Lil Explanation
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Author Note-DONT IGNORE THIS
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
PS
Sembilan Belas
[A/N - break chapter] "This Is My Letter (-Addo)"
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
[A/N] Soundtrack? OFC!
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
[A/N] Real Sekuel VS FFA versi lain? VOTE [CLOSED]
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga: FLASHBACK
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Tujuh
Epilog
BONUS CHAPTER : " Backward 1"
BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"
BACKWARD CHAPTER PT. 3
Hola! ● Father For Addo ↔ Home Sweet Home
Welcome! Home Sweet Home

Lima Puluh Enam

1.4K 184 15
By frantastickris

Author's POV

Beberapa bulan lagi setelah itu, Addo ada di sebuah ruangan ganti. Dia berdiri didepan cermin, memakai tuxedo warna hitam. Setelah selesai berpakaian, dia menyisir rambutnya. Untuk kali ini dia menyisir rambutnya dengan rapi, bahkan menambahkan gel rambut.

Addo menatap bayangan dirinya agak takjub. Sekarang ada kacamata yang membingkai matanya—membuat penampilannya sama sekali persis dengan almarhum ayahnya sewaktu muda. Sejujurnya dia tidak ada maksud untuk menyamakan penampilan dengan Greyson. Dia memang baru-baru ini mengidap minus pada mata, akibat kebanyakan berkutat di laptop.

Terakhir, Addo memasang dasi yang berwarna senada dengan tuxedonya: hitam. Ketika itulah tiba-tiba Matt dan Alice datang menghampirinya dari luar.

"Wow, tuan pelayan, eh? Kau benar-benar cocok menjadi pelayan kami untuk seharian ini." Gurau Matt, yang dibalas dengan tonjokan pelan Addo pada sikunya.

"Enak saja pelayan"—pun mereka sama-sama terbahak.

"Selamat ya untukmu." Alice memberikan sebuah kado berukuran sedang ke Addo.

"Untukku? Thanks, babe!" Dia menerimanya dengan tingkah selayaknya anak kecil. Kado itu dia timbang-timbang dan diguncangkan pelan didekat telinganya. Addo berusaha keras menebak apa isinya.

"Um...sebenarnya itu untuk ibumu." lanjut Alice.

Matt menempeleng kepala Addo sambil tertawa terbahak-bahak. Addo meng-oh singkat lalu cengar-cengir.

"Yeah alright—akan kuberikan pada Mama nanti. Oh ya, ngomong-ngomong aku mau bicara denganmu." Bola matanya menunjuk Matt lalu arah pintu keluar dibelakangnya secara bergantian. Addo yang sekarang terkekeh melihat sahabatnya itu menggerutu, "Oke, oke lovebirds," lalu keluar ruangan dengan pura-pura kesal lantaran diusir.

Begitu Matt pergi, Addo mendekati Alice dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang gadis itu.

"Kau tidak merindukanku, hm?" bisik Addo disamping telinga Alice. Sejurus berikutnya ia membenamkan muka di tengkuk Alice. Gadis itu wangi lemon.

"Buat apa aku merindukan laki-laki sepertimu?" ejek Alice sambil mencubit daun telinga Addo.

"Oh begitu? Hm..." Addo menarik diri, memasang wajah malas menanggapi. Alice tertawa singkat lalu mencium pipi pacarnya itu. Ya, mereka telah pacaran sejak beberapa bulan yang lalu. Pun Addo lantas membalasnya dengan melakukan hal serupa.

"Selamat untuk pernikahan ibumu." lanjut Alice setelah mengalungkan kedua tangannya di leher Addo.

"Aku juga masih tidak menyangka mereka akan sungguhan menikah." aku Addo, mimik wajahnya serius. "Lagipula hubungan mereka berdua masih begitu singkat. Kau tahu babe, rasanya semua berjalan begitu cepat dan aku merasa—"

"Menurutku itu hal yang bagus." potong Alice, wajahnya tak kalah serius dengan Addo. "Bahkan kau dan Mr. Leclercq sudah ada kedekatan sebelum dia dan ibumu terlibat perasaan apapun."

"Aku geli mendengarmu memanggilnya Mr. Leclercq." setelah itu dia diam memperhatikan Alice yang kini sedang memperbaiki posisi dasinya. Senyum kembali terulas di wajahnya begitu mendengar gadis itu mengomel betapa payah dirinya karena tidak bisa memakai dasi dengan rapi.

"Dan namamu akan berganti menjadi Addo Grey Leclercq."

"Why, he's just my neighbor."

"No! You should call him daddy from now on." Secara tiba-tiba gadis itu menatap mata Addo penuh tanda tanya. "Memangnya kau sungguh-sungguh tidak menginginkan dia sebagai ayahmu?"

Addo mencium bibir Alice lalu mencubit pipinya gemas. "Aku hanya bercanda. Kau ini serius sekali."

"Ugh, kau ini!" Alice membalas dengan memukul lengan atas kanan Addo menggunakan telapak tangannya. Addo tertawa lalu teringat mengecek jam tangannya. Jarum jam menunjukkan angka sembilan tepat.

"Ayo keluar sekarang. Upacaranya mulai jam sepuluh."

Alice setuju dan mereka pun pergi.

Hari ini, batin Addo nyaris sekejap setelah ia berada diluar. Pemandangan kamar yang sempit berubah menjadi lalu-lalang orang berpakaian formal. Mereka semua tampak begitu sibuk—mengurus persiapan terakhir sebelum upacara dimulai.

Mungkin hanya Addo yang masih belum bisa mempercayai penglihatannya. Orang-orang itu, dekorasi dan yang lainnya. Termasuk, ia tidak bisa mempercayai orang yang mengenakan gaun pengantin putih dalam salah satu kamar di lantai satu sebagai ibunya sendiri.

Pernikahan Pat-Hugo akan benar-benar terlaksana. Jam sepuluh adalah upacara di gereja, sedangkan nanti sore akan diadakan pesta di rumah lama keluarga Gilbson—rumah asli ibu dan ayah Pat. Beruntung juga jarak antara kedua tempat tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit dengan menggunakan mobil.

Addo dan yang lainnya masih ada di rumah keluarga Gilbson sendiri. Mereka baru akan berangkat menjelang pukul setengah sepuluh. Dia dan Alice keluar dari kamar di lantai dua, lalu turun mencari Matt di halaman. Addo sengaja membiarkan Alice pergi lebih dulu. Dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya masih memikirkan pernikahan ini—dan ada sekeping kecil dalam batinnya yang masih menolak. Hal itu mengusiknya sejak hari pertama persiapan pernikahan. Sebisa mungkin Addo mencoba melupakannya, bahkan ia telah membuat dirinya jadi sesibuk mungkin. Namun pada akhirnya dia selalu tidak bisa. Dia selalu memikirkannya kembali.

Pada akhirnya dia selalu menanyakan pertanyaan yang sama; menerima orang baru sebagai pengganti orang yang paling berharga dalam hidupnya, memangnya dia bisa melakukannya?

Dia sendiri ragu.

Ruangan itu tidak seharusnya dimasuki oleh siapapun, namun Addo melanggarnya. Dia mendekati Pat yang sedang duduk didepan meja rias lalu memeluknya dari belakang. Wajahnya terbenam di lekukan leher dengan bahu ibunya.

Pat terkejut, namun langsung kembali biasa—malah kemudian agak khawatir—begitu mendapati itu hanya Addo-nya.

"Kenapa, sayang?" tanyanya lembut sembari mengusap bagian samping kepala putranya. Addo mengangkat wajah, ganti meletakkan dagunya di pundak Pat. Raut wajahnya tampak tidak begitu senang. Hal itu makin membuat Pat cemas.

"Ada masalah?"

Addo justru mempererat pelukannya.

"Kau kenapa, hm?"

"Hanya...gugup?"

Pat tersenyum. "Kau pasti memikirkan sesuatu."

"Yah... mungkin." manik mata Addo tertuju ke bawah, ke arah salah satu tangannya yang digenggam oleh Pat.

"Ayahmu masih menunjukkan dirinya padamu?"

"Masih."

"Tadi kalian ada sempat bicara?"

"Tidak. Dia tidak ada muncul."

"Oke," gumam Pat. "Lalu apa yang mengganggumu, Sayang?"

Selang beberapa menit, Addo masih juga tidak memulai. Begitupun Pat yang hanya memutuskan untuk sabar menunggu. Addo tetap menatap ke arah tautan jemari tangannya dengan jari ibunya. Tiba-tiba dia ingin bermanja-manja dengan ibunya. Tapi keinginan itu segera ditepis karena jelas hari itu bukanlah saat yang tepat untuk menuruti hal tersebut.

Addo pun menatap Pat, tidak sanggup lagi untuk menahan perasaannya. Kedua matanya menyiratkan perasaan bersalah yang teramat dalam. "Apa menurut Mama aku ini... egois? Aku...uh, maksudku, ada sebagian kecil dari diriku yang masih menolak pernikahan kalian. Aku...um...maafkan—"

"Tidak perlu, Sayang. Tidak perlu minta maaf." tanggapan Pat mengejutkan Addo. "Mama sudah sempat berpikir kau mungkin akan menolak pernikahan ini. Menurutku itu wajar."

"Wajar?"

"Memang rasanya tidak akan sama antara memiliki orangtua kandung dengan orangtua tiri. Memang itu hal yang wajar. Tapi Mama dan Hugo akan selalu menyayangimu lebih dari apapun."

Tinggal satu lagi pertanyaan yang masih mengganjal dadanya. Untuk yang pertama sekaligus terakhir kalinya, Addo memutuskan menyuarakan pertanyaan itu. "Apa... apa tidak ada cara untuk membiarkan Papa tinggal?"

Hening. Oke, ini dia... dugaannya terbukti. Baru sekarang Addo menyesal telah menanyakannya. Tapi sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya.

Addo masih menundukkan kepala saat Pat menariknya ke dalam pelukan. "Kita tidak sedang menggantikan siapa-siapa, Sayang," jawab ibunya, salah satu tangannya mengelus ubun-ubunnya lembut. "Ayahmu akan selalu tinggal bersamamu dalam hatimu. Dia tidak kemana-mana. Percayalah pada Mamamu." Pat melepaskan pelukan untuk mencium kening Addo.

Dan akhirny senyum itu terulas juga di wajahnya. "Thanks, Mom! I love you really, really much!" Mereka berpelukan lagi.

Sepertinya memang harus begini, batin Addo. Aku tidak boleh egois.

Pintu terbuka lagi, lalu masuklah ibunya Pat, alias nenek Addo. "Kita berangkat sekarang—kau." Dia menatap Addo tajam. "Apa yang kau lakukan disini? Teman-temanmu mencarimu diluar sana. Kau tidak tahu betapa pusingnya aku mengecek semua ruangan hanya untuk mencarimu?"

Perkataan itu terdengar begitu mengejutkan di telinga Addo. Dia melirik Pat lalu mereka berdua sama-sama tersenyum; sama-sama mengerti 'keganjilan' yang baru saja terjadi.

"See ya again." Addo mencium pipi ibunya untuk yang terakhir kali, berjalan menuju ambang pintu, dan memeluk neneknya singkat sebelum benar-benar berlalu.

***

Tepat pukul sepuluh pagi, upacara pernikahan di gereja berlangsung. Secara bergiliran pengantin pria dan wanita masuk. Pengantin pria didampingi oleh ibunya sementara Pat, si pengantin wanita, yang seharusnya didampingi oleh ayahnya digantikan oleh Addo.

Banyak orang memenuhi bangku dan menyaksikan berlangsungnya upacara pernikahan. Begitupun prosesi berlanjut; membaca janji suci, memasangkan cincin, mendengarkan kotbah, dan seterusnya hingga prosesi terakhir sebelum menuju pesta resepsi—yakni melepas merpati serta melempar bunga.

Pesta resepsi dilangsungkan di halaman rumah keluarga Gilbson yang berkonsep pesta kebun. Semua hadirin menikmati berlangsungnya acara, menikmati musik serta makanannya. Addo sedang duduk dengan Matt dan Alice sambil menikmati beberapa kue-kue kecil. Pandangannya mengedar ke sekeliling pusat keramaian, yakni di tengah halaman. Diantara semua hadirin, dia melihat beberapa orang dari keluarga Chance yang hadir.

Malah, Tanner menghampirinya sambil mengajak seorang anak perempuan kecil dalam gendongannya. Usianya kira-kira tiga tahun, mengenakan gaun bunga-bunga dan bando bercorak sama di antara helaian-helaian rambut ikalnya.

"Paman Tanner!" sapa Addo gembira.

"Hey dude! Lama tidak bertemu denganmu! Boleh kuambil?" dia langsung mencomot sebuah kue krim coklat dari piring Addo dan memakannya. Addo, Matt dan Alice tertawa pelan melihat tingkahnya.

"Mau lagi? Mungkin untuk si kecil ini." Addo mencubit pipi anak itu pelan, membuatnya makin mendekap ke pelukan Tanner.

"Haha, maafkan aku. Dia benar-benar pemalu. Berbeda dengan kakaknya."

"Eh... tunggu sebentar. Dia anak Paman?"

"Kau pikir?" Tanner tersenyum miring. Rahang bawah Addo serta merta jatuh, terbuka. "B-bagaimana mungkin..." Ia terperangah heran sekaligus luar biasa kaget sampai-sampai kehilangan kata-kata! Sedangkan Tanner tetap hanya senyam-senyum. Kemudian Alexa, bibi Addo, datang dan memukul kepala Tanner dengan sebuah gulungan kertas di tangannya.

"Kau ini! Aku sudah pangling mencari Lizzy! Ternyata dia ada bersamamu!"

"Dia bukan anaknya Paman Tanner?" tanya Addo setelah berpikir sejenak. Alexa tertawa.

"Mana mungkin! Orang ini—" Alexa sengaja mengacak-acak rambut Tanner keras-keras "—baru saja punya pacar. Mana mungkin dia sudah punya anak."

"Haaaahh! Aku kira!" Addo menghela napas panjang, merasa gemas sendiri. Tanner hanya tertawa terbahak-bahak. Matt dan Alice tidak merespon banyak karena tidak terlalu mengerti jalannya percakapan mereka. Tapi berdua juga sempat percaya kalau anak itu, yang bernama Liz, adalah anak Tanner.

Tanpa sengaja mata Addo melihat perut Alexa yang membuncit. Dia mengerti, dan tersenyum lagi. "Wah, selamat ya, Bibi!"

"Hah, ketahuan?" Alexa kaget, tapi tak bisa menahan senyum sendiri.

"Jelaslah. Kelihatan sekali." Addo menaik turunkan alisnya, kemudian berpaling ke Lizzy yang baru diberikan kue oleh Tanner, diambilkan langsung dari piring Addo sendiri. "Wow Lizzy, selamat juga ya! Kau akan punya adik!"

"Dia juga bukan anakku," Alexa mengoreksi. Addo kembali kaget.

"Lalu?"

"Dia anaknya Tiara."

Nama itu membuat perasaan Addo mencelus. Pikirannya langsung melayang ke beberapa waktu lalu, saat Tiara melemparkan pisau ke arah Pat namun berhasil ia halangi.

"Dia datang ke sini?"

"Ayolah, tidak perlu berwajah pucat begitu." Tanner menepuk pundak Addo, menenangkannya. "Dia tidak sejahat yang terakhir kali kelihatannya. Memang dia sempat depresi, tapi lihat anak ini—apa kau lihat ada luka-luka pada dirinya?"

Addo mengamati Lizzy si gadis kecil yang lucu dan imut. "Em... tidak."

"Nah, jadi dia juga tidak akan menyakiti siapapun lagi." Tanner menyimpulkan.

"Bisa jadi sih..." tapi bagaimanapun, Addo masih kelihatan ragu untuk memercayai ucapan pamannya. Dia trauma.

Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara ribut-ribut dari tengah lapangan. Addo mendengar suara pria berteriak, lalu bunyi meja dibanting. Lalu muncul jeritan tertahan dari para wanita, entah siapa persisnya. Addo masih bertanya-tanya apa yang terjadi ketika melihat Tanner sudah menyerahkan Lizzy ke Alexa lalu berlari ke arah keramaian.

Pun Addo tanpa berpikir panjang langsung mengikuti Tanner. Dia mendengar suara Alexa memanggilnya dari belakang, tapi dia tidak peduli.

Sejenak Addo yakin ia akan mendebat pamannya bahwa ucapannya yang sebelumnya soal Tiara adalah salah besar.

Tapi pemandangan berikutnya adalah pemandangan paling mengejutkan yang pernah dilihat olehnya seumur hidup; ada seorang pria brewok yang tak dia kenal, sedang saling baku hantam dengan Hugo. Orang-orang disekitar mereka berusaha melerai, namun pria brewokan itu tampak benar-benar marah. Lalu, secara tiba-tiba orang itu berusaha menarik Pat ikut pergi dengannya. Addo jelas panik, namun Hugo sudah lebih dulu kembali melayangkan pukulan ke orang itu hingga roboh.

"Heck! Apa dia mabuk?" gumam Addo pada dirinya sendiri.

"Dia Ernest." jawab suara Greyson secara tiba-tiba. Addo menoleh ke sampingnya, sempat terkejut menemukan ayahnya tahu-tahu sudah berada disana. Akan tetapi, keterkejutannya langsung menguap begitu mendengar nama yang disebutkan oleh Greyson.

"Tunggu dulu. Berarti dia..."

"Yep. Orang yang membunuhku."

Kedua bola mata Addo melotot. "Kenapa dia bisa disini?!"

"Dia mencintai ibumu, tentu saja." Jawab Greyson. "Kurasa dulu dia frustasi karena tidak berhasil mendapatkan Pat. Lalu dia tahu aku pacaran dengannya. Dia menjadi sangat emosi dan membunuhku." Greyson masih menatap ke tengah lapangan—dimana Ernest masih mengamuk—dengan ekspresi dingin. Addo baru melihat sekali itu bagaimana cara ayahnya menatap dan langsung yakin mungkin Greyson akan membunuh Ernest hari itu juga jika ada kesempatan.

Ernest masih berusaha mencapai Pat ditempatnya berdiri, namun selalu berhasil digagalkan oleh Hugo ataupun orang lain yang menahannya. Pria itu mendengus kesal, meneriakkan sumpah serapah, dan menepis semua orang yang menahannya. Ia berbalik pergi dengan segala rasa malu dan marah yang membumbung tinggi melewati ubun-ubunnya. Tapi disaat berbalik itulah pandangannya malah bertemu dengan Addo. Raut wajah Ernest yang sudah marah menjadi bertambah dua kali lipat.

"Kau!"

Dan sebelum siapapun bisa mencegahnya, Ernest menarik Addo. Tak tanggung-tanggung, Ernest mengambil pisau disalah satu meja dan mengarahkan mata pisaunya ke leher anak itu.

"Siapapun yang mencoba mendekat selain Pat akan melihat bagaimana pisau ini menggorok lehernya!" ancamnya disertai ulasan seringai yang dalam di wajahnya. []

Continue Reading

You'll Also Like

DEWASA II [21+] By Didi

General Fiction

113K 246 49
[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞
140K 16.2K 113
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
STRANGER By yanjah

General Fiction

620K 70.5K 51
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
170K 14.4K 56
Prolog... "Kedatangan saya kemari, berniat untuk melamar anak bapak dan ibu..." Sepasang suami istri itu saling pandang, "Kenapa Mas Rakta tiba-tiba...