Zahin to Robin

By fsna_17

62.7K 5.4K 6.3K

Bagaimana jika cowok berumur 17 tahun memiliki baby sitter? Dan baby sitter itu ternyata seusia majikannya? A... More

PROLOG
ROBIN BRATABARA
ZAHIN
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41

BAGIAN 26

636 47 32
By fsna_17

÷÷÷

Robin duduk seenaknya. Padahal mejanya ada di depan, tapi ia sudah tidak ada niatan untuk berpindah tempat duduk. Jika berada di belakang, ia bisa mengawasi Zahin.

Kedua mata Robin hanya bisa fokus menatap Zahin, walaupun Zina dan Hazel mengajaknya berbicara. Robin tetap menjawab, hanya saja penglihatannya tidak tertuju pada orang yang bertanya.

"Robin, kalo ada yang tanya--"

Robin menatap Mamanya. "Tatap wajahnya," potong Robin yang sudah sangat hafal dengan kalimat itu.

Hazel tersenyum, lalu ia meninggalkan mereka berdua. Dia akan ke kamar mandi.

"Maaf," tutur Zina pelan. Bahkan Robin tak bisa mendengarnya karena seluruh atensinya hanya mengarah pada Zahin.

Sesekali ia akan berdiri saat Zahin hampir terjatuh. Seharusnya memang jangan membelikannya high heels. Mending pake sepatu boot sampai lutut. Jadi kalo jatuh nggak akan berbenturan langsung dengan lantai.

Zina tak sengaja menjatuhkan makanannya saat sedang bermain ponsel. "Pelayan," panggilnya sambil mengangkat tangan.

Zahin menatap sekelilingnya, yang paling dekat dengan meja Robin hanyalah dirinya. Dia menghampiri mereka dan langsung membersihkan makanan yang terjatuh bahkan sampai di bawah meja.

"Yang Tante maksud tuh kaya gini. Lo duduk di atas, sedangkan wanita yang lo suka membungkuk di bawah. Mama lo nggak suka kalo nantinya lo ikut ngebungkuk juga. Mama lo mau anak semata wayangnya berada di puncak Piramida," kata Zina sambil bermain ponsel dan sesekali memakan cemilan. Berbicara santai padahal efeknya nggak sesantai itu.

Robin sudah menggenggam erat tangannya, urat-uratnya terlihat dengan jelas. Padi saja saat semakin tinggi dan semakin berisi akan semakin menunduk. Tidak seperti alang-alang yang hanya fokus meninggi tanpa isi.

"Maaf, nggak sengaja."

Dina--teman Zina, tak sengaja menjatuhkan air di atas pakaian Zahin. Setelah itu, Dina berjalan kembali ke mejanya. Nggak sengaja dari mananya, nuang airnya aja dari rambut sampai ke baju.

Robin melepas jasnya lalu di dipakaikan ke punggung Zahin, pakaian putih yang dipakainya tembus pandang saat terkena air.

"Anak saya emang paling baik," kata Hazel yang sudah kembali ke mejanya. Dia melebarkan senyumnya pada orang-orang yang melihat kejadian itu.

Posisi Robin dan Zahin masih membungkuk di bawah meja. "Biar gue aja," sergah Robin. Namun Zahin menjawab dengan senyuman. Seharusnya Robin tak membawa Zahin jika tak bisa menjaganya.

Hazel memegang kedua pundak Robin, membuatnya kembali berdiri. Hazel kembali tersenyum. "Biarin Zahin kerja, hm?" Hazel memegang salah satu sisi wajah anaknya. Masih berusaha untuk membuat Robin berdiri tegak.

Robin langsung duduk di tempatnya disertai helaan nafas dan kembali melonggarkan dasinya. Bahkan kancing atas bajunya sudah terbuka.

Hazel sedang sibuk menatap ke depan, melihat orang yang menjadi pembicara. Sedangkan Zina masih sibuk dengan ponselnya.

Robin pura-pura menjatuhkan sendok, dia memasukkan kepalanya ke dalam kain. Melihat Zahin terkejut dan yang hampir membenturkan kepalanya ke meja, untung saja tangan Robin sudah berada di atas kepala Zahin.

"Mau pake sepatu gue aja?"

Sepertinya sepatu kebesaran lebih nyaman daripada alas kaki yang tinggi separuh. Lagipula Zahin pernah memakai sepatu yang kebesaran, dan tidak ada masalah walaupun di kejar-kejar anjing transparan.

"Makasih."

Robin menjawab dengan senyuman. Dia kembali duduk di bangkunya, senyumnya terangkat.

Zahin susah mengganti high heels dengan sepatu Robin. Dia juga sudah selesai membersihkan makanan yang berceceran kemana-mana. Bahkan sampai ke bawah meja.

Zahin berdiri dan akan kembali ke dapur namun Robin menghentikan langkahnya.

"Mau kemana? bersihin ini, itu juga. Terus yang di sebelah sini jangan lupa di sebelah situ," perintah Robin sambil menunjuk makanan yang sengaja di berantakin. Bahkan ada yang dicampur-campur seperti makanan yang keluar dari mulut berbentuk cair sedikit bertekstur.

Hazel menatap anaknya yang akhirnya berbicara. Dia tersenyum karena Robin mau merepoti Zahin. Sebenarnya Hazel tau, banyak yang terjadi antara anak dan perempuan itu. Ia menyewa orang untuk mengikuti Robin, jadi ia tau apa yang dilakukan dan kemana saja anak laki-lakinya pergi. Dan sekarang adalah waktunya mereka sadar tempat, sadar posisi.

Tapi Robin berpikiran berbeda, ia sengaja membuat Zahin sibuk di mejanya agar mudah mengawasinya. Namun Robin tak tau jika ia diikuti seseorang atas perintah Mamanya.

"Mama ke depan," pamit Hazel kepada Robin, sedangkan anaknya membalas dengan anggukan disertai senyuman.

Tepuk tangan terdengar riuh saat Hazel berjalan ke depan. Mama Robin menggunakan gaun panjang berwarna putih, ia memang menyukai warna putih.

Robin sedang sibuk mengerecoki pekerjaan Zahin. Sengaja menumpahkan air supaya Zahin mengelapnya, bahkan membuat Piramida dengan gelas saking gabutnya.

"Hari ini adalah hari yang spesial karena tepat di tempat ini. Pertunangan anak saya dengan Zina resmi dilakukan."

Robin langsung tersedak mendengar pengumuman Mamanya. Zina hanya berdecak pelan, ia sudah tau ini akan terjadi. Sedangkan Zahin tak tau harus bereaksi seperti apa, ia lebih memilih pergi daripada nanti Robin melakukan hal aneh yang membuatnya tetap di sana.

"Robin, Zina," panggil Hazel.

"Lo udah tau?" tanya Robin pada Zina.

"Belum, tapi kagetnya nggak sampai tersedak," sindir Zina.

"Lo nggak keberatan?"

Sebelumnya Zina selalu menolak jika bertunangan dengan dirinya. Jangankan tunangan, pacaran aja menolak keras. Katanya ia bukanlah tipenya. Padahal kalo jodoh mah nggak akan pandang mau se-tipe apa nggak.

"Ck, cuma tunangan doang. Lagian lo juga mau kan?"

"Ngobrolnya nanti lagi, Robin ayo bawa Zina ke sini," perkataan Hazel membuat Robin tak menjawab pertanyaan Zina.

"Ayo maju anak yang selalu nurut sama Mamanya, lo nggak mau buat Tante nunggu lama kan?" tutur Zina membuat Robin terdesak.

"Robin, Zina."

Robin memejamkan matanya, menghela nafas perlahan. Dia berdiri, mengulurkan tangannya di depan Zina.

Gadis itu terkekeh kecil, lalu menerima uluran tangan Robin. Zina mendekatkan wajahnya hingga berada tepat di atas pundak Robin. Tangannya sudah menutupi bibirnya supaya tak ada yang bisa menebak apa yang ia katakan. "Pengecut," bisik Zina yang dilanjutkan dengan mencium pipi Robin.

Orang yang melihatnya berseru heboh, sedangkan Robin tak tau harus bagaimana. Perlakuan dan perkataan Zina terlalu bertolak belakang. Kenapa dia mengatainya pengecut? lalu jika pengecut kenapa dia menciumnya?

Robin berjalan berdampingan dengan Zina, di setiap langkah ia memikirkan apa yang Zina lakukan walaupun masih belum menemukan titik ujungnya.

Dia tak bisa mendengar ada beberapa orang yang salfok karena ia tak memakai sepatu, hanya pakai kaos kaki hitam. Hazel juga tak memperhatikan bagian bawah.

"Kenapa Mama nggak bilang dulu?" tanya Robin pelan supaya orang lain tak dengar.

"Keputusan Mama keputusan kamu juga kan?"

Robin terdiam, ia selalu lemah jika sudah seperti ini. Robin tidak bisa mengungkapkan apa yang dia inginkan jika bersama Hazel, ia hanya bisa menurutinya. Selalu.

"Iya kan?"

"Iya Ma."

Hazel tersenyum senang. "Kalo gitu tangannya."

Robin menyodorkan tangannya di depan Zina, gadis itu langsung memasangkan cincin tanpa beban. Membuat Robin mendelik tak percaya. Keanehan Zahin sepertinya sudah menular ke Zina.

"Gantian taruh cincinnya di jari manis Zina dong, kasian tangannya pegel kelamaan nunggu."

Robin menatap cincin di tangannya, ia juga menatap tangan Zina bahkan wajahnya sedang tersenyum. Dia meng-kode Robin dengan matanya supaya melihat ke bawah.

Laki-laki bermarga Bratabara menuruti perintah Zina, dia menunjukkan jempolnya lalu membaliknya ke bawah. Di saat otaknya bertanya-tanya, ibu jari Zina sudah berganti arah ke sisi timur.

Sekarang ia paham apa maksudnya.

Robin mendekat ke arah Zina, terus mendekat hingga berada di sampingnya lalu melewatinya. Matanya tertuju pada satu gadis yang sedang pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Ia sedang menunduk sambil memindahkan piring ke nampan. Lalu melihat kaki laki-laki tanpa menggunakan sepatu, Zahin mendongakkan kepalanya ke atas. Tepat saat itu, air matanya menetes.

"Kenapa nangis?" tanya Robin.

Zahin tidak menjawab, ia masih menatap Robin sendu. Tak lama kembali menundukkan kepalanya, melihat cincin yang sudah melingkar di jari Robin. Dia kembali memindahkan gelas ke kotak persegi panjang.

Robin memegang lengan Zahin, membuat sang empu menoleh. "Kenapa nangis?"

Zahin memegang dadanya. "Dada aku sakit, sesak," cicit Zahin parau.

"Sama."

Robin menggenggam tangan Zahin, berjalan bersama melewati banyak orang yang berdiam diri.

"Berhenti, tetap di situ!"

"Mama bilang berhenti!"

"ROBIN!"

Teriakan Mamanya sudah tidak mempan lagi. Robin justru semakin memanjakan langkah kakinya.

"Berhenti! atau kamu saya pecat!"

Robin menghentikan langkahnya, melihat Zahin yang ada di sampingnya. Ia teringat perkataan gadis itu di mobil. Dia ingin mengumpulkan uang banyak sampai uang tak menjadi beban.

Ia melepaskan genggaman tangannya. Membuat Hazel tersenyum lega, namun selang beberapa lama Zahin berganti menggenggam tangan Robin.

"Ayo lari! kalo kabur jangan nanggung-nagggung."

Zahin berlari terlebih dahulu, sedangkan Robin berada di belakangnya. Gadis itu lebih berani dari apa yang ia pikirkan. Robin tersenyum sambil menatap tangan mereka Zahin yang menariknya.

Sekarang ia tau kenapa Ibunya berhenti berkerja. Gaji besar tidak selalu membahagiakan, lebih baik gaji kecil dengan bos yang berjiwa besar.

Merea terlihat seperti pengantin yang kabur bersama.

***

Bentar lagi romance
Abis itu konflik(?)
Terus tamat>.<

!!!! SEMANGAT PAS !!!!
bagi yang menjalankan

Continue Reading

You'll Also Like

158K 4.2K 30
Orion berada di perjalanan, berjuang demi mengharumkan nama jurusan Bahasa yang dianggap sebelah mata di SMA Nusa Cendekia. Namun, di tengah itu semu...