Langit Sebastian Bratadirkasa

De Nillaksm

7.5K 2.1K 4K

"Aku tidak pernah menyesal kita saling bertemu, yang ku sesali hanya rasa yang sangat besar di waktu sesingka... Mais

PROLOG
LANGIT SEBASTIAN BRATADIRKASA
ARETTA QUEENSHA KESYAWARI
1. KANTIN SMA METEOR
2. WDPB
3. BROKEN HOME
4. PENAWARAN
5. VOKALIS BARU
6. ANCAMAN
7. HUKUMAN DAN PERTEMUAN PERTAMA
8. CAFE
9. AWAL SEBUAH CERITA
10. PEMBALASAN
11. SHAY AWAY (1)
12. SOMEDAY YOU WILL LOVE ME (2)
13. RAHASIA, HARAPAN DAN RASA BERSALAH (3)
14. MENOLAK GARIS HIDUP
15. LIONERZ : Comma or Period! (1)
16. TITIK AWAL LIONERZ (2)
17. SEMAKIN DEKAT ?
18. LIONERZ VS WOLFIN : TANTANGAN (1)
19. LIONERZ VS WOLFIN : THE WAR (2)
20. TENTANG SEBUAH LUKA
21. KONVOI, SMA METEOR DAN PERASAAN BARU.
22. BAZAR SMA METEOR DAN ADU PERASAAN

23. PERINGATAN MISTERIUS

112 24 120
De Nillaksm

Hai Semua!

Langit comeback!!!!

Spam komen yang banyak ya!

Love you all💖💖

Maaf ya aku updatenya lama, belakangan ini ada hal yang bikin aku males buat hidup.

Jam berapa kalian baca part ini?

Happy Reading ❤️

"Sekali gagal, dua kali gagal, tiga kali gagal, bahkan empat kali gagal bukan berarti di kesempatan berikutnya akan gagal kembali. Jika iya, tak apa. Orang hebat perlu jatuh ratusan kali agar mampu berdiri kokoh di masa depan." — Dirga Prasetya Sanugraha.

"Sukses tidak harus selalu sama, ataupun terjadi di waktu yang sama. Jalanmu dan jalanya, takdirmu dan takdirnya berbeda. Tenang, jalan dan takdirmu ditulis penulis skenario terbaik di dunia." — Aldan Wiraga Alexon.

"Kita hidup di dunia bukan untuk pamer kesuksesan. Tujuan utama hidup adalah untuk bahagia." — LIONERZ

Tidak ada yang bisa mengetahui
tentang isi hati seseorang secara tepat. Dia yang terlihat tak perduli belum tentu benar-benar tak perduli, mungkin saja dia terlalu gengsi mengakuinya. Begitu pula dengan Langit, ia yang dingin bukan berarti tak bisa bersikap lembut, mungkin memang enggan untuk menunjukkan.

Langit, Aldan, Dirga, Ravin, Adeni, dan Bayu berada di dalam kelas, menunggu Bu Ista masuk ke kelas mereka setelah pelajaran Pak Wono. Langit memainkan bolpoint yang ada ditangannya, diputar berulang kali hingga terjatuh tepat di depan meja Aldan.

Aldan mengambil bolpoint  itu, mengembalikannya pada Langit. "Lo ngerasa aneh sama sikap Adeni belakangan ini nggak?" tanya Aldan tiba-tiba membuat Langit menatap serius.

Ravin yang mendengar perkataan Aldan berbalik badan dan ikut buka suara. "Baru juga gue mau bahas ini. Udah tiga hari dia nggak ke Basecamp, jarang ngomong juga. Gue tanya ada masalah atau nggak, dia cuma diem," beber Ravin.

"Masalah Rara? Harsa? Atau si kembar?" tanya Langit. Adeni ini lima bersaudara, adik laki-lakinya bernama Harsa dan si kembar Andra dan Andre, terakhir peri kecil, Rara.

"Entah. Dia mana mau bilang kalau ada masalah, dibantu juga nolak. Binggung sendiri gue." Ravin memijat dahinya yang sedikit terasa pusing.

"Lihat! Ngelamun tu bocah," Aldan melihat Adeni yang sedang melamun, entah apa yang dipikirkan.

"Bayu kemarin cerita sama gue, dia nggak tahan didiemin Adeni kaya gitu," ungkap Ravin. Bayu cerita apa yang ia  rasakan ketika teman sebangkunya itu sudah diam hampir tiga hari setelah acara Bazar.

"Apa gue kemarin kelewatan?" pikir Aldan, seketika ia merasa bersalah karena ucapannya saat itu.

"Makanya kalau punya mulut dikontrol," kilah Langit. Langit memperhatikan Dirga yang sibuk membaca buku ditangannya, "Menurut lo gimana, Dir?" tanya Langit, membuat Dirga meletakkan bukunya dan menoleh.

"Ajak ngobrol, tanya. Kalau nggak dijawab ya cari tau," jawab Dirga santai.

"Semua orang akan ngelakuin itu kali Dir!" geram Aldan.

"Gak semua, orang yang benar-benar perduli aja," balas Dirga.

Langit kembali menatap Adeni yang masih melamun, Bayu yang didiamkan memilih bermain game di ponselnya.

Bel istirahat berbunyi, anak-anak kelas XI IPA 4 berhamburan keluar kelas, menyisakan enam cowok yang setia duduk di bangkunya.

"Den, Bay, geser kursi kalian ke sini. Diskusi bentar," pinta Aldan.

Adeni dan Bayu mengangkat kursi mereka, bergabung di meja Langit dan Aldan. Tak ada yang membuka suara, hening, sunyi, menguasai ruangan itu.

"Den!" panggil Langit. Adeni masih diam tak bersuara.

"Gue kelewatan ya Den kemarin? Sorry Den, ngeri lihat lo puasa ngomong," ujar Aldan.

Adeni tau diskusi kali ini bukan membahas tentang Lionerz ataupun yang lain, tetapi membahas dirinya.

"Adeni!" panggil Langit lagi berharap mendapatkan respon dari orang tersebut.

Adeni menghela nafas berat, "Kenapa Lang?"

Langit tersenyum kecut mendengar balasan Adeni, "Lo yang kenapa?"

"Gue? Gue baik-baik aja," elak Adeni.

"Yakin lo baik-baik aja? Tiga hari kaga ke markas, tiga hari lo diemin Bayu, tiga hari lo jaga jarak sama kita, tiga hari lo diem kaya orang asing! Itu lo bilang baik-baik aja?" papar  Ravin meledak-ledak, Ravin kerap main ke rumah Adeni untuk bermain bersama Rara, jadi Ravin tahu jika Adeni sedang tidak baik-baik saja.

"Gue baik Vin," kekeh Adeni.

"Cerita Den!" cetus Dirga.

"Masalah gak akan selesai kalau cuma diem, kita gak bisa baca isi pikiran lo apalagi hati lo. Jadi ngomong Den!" Aldan mencoba meyakinkan Adeni agar bersedia bercerita masalahnya.

"Lo kaya bukan Adeni yang gue kenal. Sakit hati gue lo diemin tiga hari," ucap jujur Bayu.

"Den! Lo tau 'kan? Gue paling gak suka kalau tau masalah sahabat-sahabat gue dari orang lain?" tekan Langit.

Adeni menarik nafas dalam-dalam, "Harsa, dia udah dua hari kaga balik rumah."

"Kenapa?" tanya Ravin.

"Ribut sama gue. Dia kasar sama Rara, Harsa nyalahin Rara yang bikin nyokap gue sakit," terang Adeni.

"Lo udah cari Harsa dirumah teman-temannya?" tanya Aldan.

"Dia nginep di rumah Nathan," jawab Adeni. Saat itu dia diberi tau Abimanyu jika Harsa menginap di rumah Nathan. Harsa satu angkatan dengan Lingga, Nathan, Abimanyu, Zaldi, dan Alvino.

"Harsa masih sebenci itu sama Rara?" Dirga tau penyebab mengapa Harsa membenci adik perempuan satu-satunya di keluarga Aderlard.

"Dia marah karena uang yang dia dapatkan dari kerja kerasnya, digunakan nyokap buat beli baju sekolah Rara. Harsa maunya uang itu untuk kebutuhan nyokap," jelas Adeni.

Harsa adalah penguji kesabaran Adeni paling besar. Harsa sangat tidak suka dengan kelahiran Rara di dunia, dia yang paling menentang saat Rara dibawa pulang ke rumah. Sedangkan Andra dan Andre mereka sangat menyayangi Rara.

"Jawaban Harsa soal Lionerz gimana?" tanya Langit.

"Belum ada konfirmasi lanjut dari Lingga, Lang," jawab Aldan.

"Harsa bakal balik malam ini, gue jaminannya!" tegas Langit pada Aldan.

"Lo masih kerja di distro Bang Hasan?" tanya Dirga. Bang Hasan adalah sepupu Langit, sengaja Langit merekomendasikan Adeni agar Langit dapat membantu sahabatnya itu.

"Masih. Kenapa akhir-akhir ini lo sering lembur?" tanya Langit. "Udah berapa kali gue bilang Den, kalau—" belum selesai mengatakan, Adeni memotong ucapan Langit.

"Gue nggak mau ngrepotin lo Lang! Lo pikir gue nggak tau? Bonus-bonus itu bukan dari Bang Hasan 'kan? Tapi dari lo! Gue diem karena gue menghargai lo. Mereka tanggung jawab gue! Gue nggak mau libatkan kalian dalam masalah keluarga gue," gerutu Adeni berusaha menahan emosi dalam dirinya.

"Sampai kapan lo mau bilang kaya gitu, Den? Kita tahu lo pekerja keras, lo Abang yang bertanggung jawab, lo idaman semua cewek diluar sana, cuma cewek buta yang gak suka sama lo. Tolong Den, jangan anggap kita orang lain," ledak Ravin. Ravin kamu serius dikit bisa gak sih? Bisa-bisanya menyindir tentang Sindi!

"Lo pikir gue bakal perduli Den, dengan ucapan lo itu? Gak! Masalah lo akan jadi masalah gue juga, siapapun yang berani ganggu kalian akan berurusan sama gue!" Inilah cara Langit melindungi teman-temannya, terkesan jahat namun sangat berarti bagi mereka.

"Sorry kalau sikap gue nyakitin kalian. Sorry Bay, gue nggak  ada maksud diemin lo. Dan, sorry gue gak bantu lo jaga markas," ucap tulus Adeni.

"Jadi kita udah baikan 'kan? Gak
diem-dieman lagi 'kan?" ujar manja Bayu, sambil merangkul hendak memeluk Adeni, namun secepat mungkin Adeni bangkit.

"Normalan dikit aja Bay, gue lebih seneng lihat lo di diemin Adeni kemarin ketimbang gini," terang Ravin.

"Perlu gue diemin lagi?" tanya Adeni bergurau.

"Bangsatt lo pada," balas Bayu. "Ini udah clear kan? Ke kantin lah! Laper gue, bentar lagi jam Bu Renata."

"Ya udah ayo, WDPB aja lah, kantin antri lama," ujar Aldan. Mereka bangun dari kursi lalu berjalan menuju WDPB. Langit berjalan di belakang Aldan dan Ravin, disampingnya ada Adeni.

"Biaya ujian dan masuk SMA Andra dan Andre gue yang tanggung," cetus Langit. Hal itu sontak membuat mata Adeni membulat sempurna.

"Gak perlu Lang! Gue bisa kerja," tolak Adeni.

"Sayangnya gue gak suka ditolak Den," jawab Langit sambil menampilkan senyum mematikannya, ia berjalan menuju bergabung dengan Aldan dan Ravin.

*****

Aretta, Selena, Karessa, Zajua, Deya, dan Kayla memilih untuk tidak makan makanan kantin. Mereka memesan makanan dari luar, katanya sedang mode tidak mood makan makanan kantin. Mereka memesan berbagai makanan cepat saji, ada pizza, burger, spaghetti, nasi bowl dan masih banyak lagi.

"Bay the way lo kemarin jadi Ta, ikut Langit ke rumah sakit?" tanya Kayla.

"Jadi. Cuma gue gak boleh masuk ke dalam. Dilarang Langit," balas Aretta, sambil mengigit burger ditangannya.

"Lo kenapa jadi sedeket itu sama Langit Ta? Lo gak punya rencana aneh-aneh 'kan?" curiga Deya, setahunya Aretta awal sangat menjauh dari sosok Langit, entah kenapa akhir-akhir ini mereka terlihat sering bersama?

"Gak ada. Serius gue gak ngerencanain apa-apa," sahut Aretta cepat sebelum kelima temannya salah sangka.

"Kalau engga terus kenapa sikap lo ke Langit berubah?" heran Zajua.

"Sejak tau kejadian sebenarnya saat itu, gue sadar. Kalau gak semua yang terlihat sempurna itu memang sempurna, bisa aja dia memang pandai menyembunyikan segalanya," ujar Aretta membuat mereka diam tak mampu merespon.

"Oke kita paham Ta. Sorry kalau ini terkesan gue kaya ngelarang lo dekat sama Langit. Lo tau 'kan siapa Langit? Gimana pengaruhnya di sekolah maupun di luar sekolah? Lo bisa aja dalam bahaya karena dia. Kita gak mau lo jadi korban, Ta," terang Karessa dengan rasa khawatirnya.

"Gue denger dari Aldan, kemarin lo berduaan di taman sama dia? Bener?" tanya Selena kepo.

"Sejak kapan juga lo mau ngrespon cowok modelan kaya Aldan?" tanya balik Zajua, Selena hanya cengengesan. Zajua tau dari awal Selena sangat membatasi dirinya berinteraksi dengan cowok spesies spesial seperti Aldan.

"Sialan! Diem aja deh lo Jua! Bikin kesel aja," gerutu Selena langsung memasukkan pizza di mulutnya.

"Gue bisa jaga diri, kalian jangan khawatir. Makasih juga udah di ingetin," ucap Aretta.

Deya meletakkan pizza dari tangannya, "Udah sedeket apa kalian? Dan yah, emangnya Langit udah maafin lo?"

"Gue udah minta maaf, dia jawab tergantung." Aretta sebenarnya mengharapkan jawaban 'iya' bukan tergantung.

"Gak akan bisa lepas semudah itu lo Ta," celetuk Kayla.

Zajua menggeser posisi duduknya mendekat dengan Aretta, ada sesuatu yang mengganjal, ia menarik dan menemukan sebuah jaket, "Anjir ini jaket Lionerz?! Punya siapa Ta? Jangan bilang—"

"Iya itu punya Langit," sahut Aretta, membuat Selena, Karessa, Deya, dan Kayla yang sedang mengunyah makanan terdesak mendengar jawaban Aretta.

"SEJAK KAPAN LANGIT RELA JAKETNYA DI PINJAM ORANG LAIN? SEJAK KAPAN WOY?!!!" teriak Selena, ia bahkan sampai berdiri saking kagetnya.

"Sel jangan teriak bisa gak?! Nanti orang lewat bisa denger," protes Deya.

"Emang kenapa?" tanya Aretta polos.

"Jaket ini nih," Zajua mengangkat jaket Lionerz milik Langit. "Jangankan dipinjam, disentuh orang lain patah tuh tangan yang nyentuh." Zajua melempar jaket itu di meja tepat depan mereka.

"Jaket ini adalah simbol anggota Lionerz. Gue pernah tanya sama Dirga dulu, kenapa mereka selalu bawa jaket ini ke mana-mana? Entah sekedar dibawa atau di pakai, jaket ini selalu ada. Dirga jawab, kalau jaket ini ibarat nyawa dan juga harga diri Lionerz yang harus mereka jaga meskipun harus mengorbankan nyawa mereka sendiri. Dan buat Langit, jaket ini adalah satu hal yang gak boleh jauh darinya apapun alasannya," terang Karessa panjang lebar.

"Kalau jaket ini ada di lo berarti ada sesuatu yang gak beres di otak Langit," cetus Selena.

"Udah berapa hari ditangan lo?" tanya Kayla.

"Sejak pulang dari rumah sakit sampai sekarang, tiga hari," jawab Aretta santai.

"TIGA HARI?!" teriak mereka bersamaan.

"Apa sih kalian? Lagian juga perlu gue cuci dulu, gak enak gue kembaliin bau keringat gue," jelas Aretta.

"Fiks lo bakal susah lepas dari seorang Langit Sebastian Bratadirkasa!" Selena semakin penasaran bagaimana kisah ini akan dimulai dan siapa yang akan memenangkan pertaruhan sengit antara Primadona SMA Meteor dan Queen SMA Meteor.

"Burunan balikin Ta, sebelum banyak orang tau. Apalagi cewek yang teramat terobsesi dengan pemilik jaket ini," pinta Karessa.

Aretta mengangguk mengambil jaket itu dan melipatnya, "Habis makan temenin gue ya Sa?" Karessa mengangguk, Aretta tak akan mengajak Selena ia takut mulut temannya itu keterlaluan lancar saat bertemu teman-teman Langit.

Sedangkan Zajua, Kayla sepertinya tidak tertarik untuk bertemu dengan anggota inti Lionerz itu. Berbeda dengan Deya.

"Nanti gue ikut ya Ta, boleh kan?" Deya terlihat ingin melihat wajah seorang yang menjadi semangat bagi dirinya. Dibalas anggukan Aretta.

*****

Aretta, Karessa, dan Deya baru saja ke kelas XI IPA 4, mereka tidak menemukan Langit dan kelima temannya. Mita bilang mereka sedang makan siang di WDPB. Mau tidak mau mereka bertiga keluar sekolah dan menuju WDPB.

"Panas-panas gini ngapain coba milih makan di WDPB?" heran Aretta sambil mengibaskan tangannya.

"Istirahat kedua panjang banget waktunya, Ta. Mereka sering gunakan itu buat kumpul bareng anggota yang lain, dari sekolah lain juga," terang Deya.

Aretta melotot menatap Deya, "What? Sekolah lain juga? Kenapa gak bilang dari tadi! Balik aja lah. Ntar pulang sekolah gue balikin sendiri." Aretta mendadak jadi malu jika ternyata bukan teman-teman Langit saja yang datang ke tempat itu melainkan juga anggota Lionerz dari lain sekolah.

Karessa menarik tangan Aretta, "Gak ada nanti-nanti! Nanggung juga tuh dah keliatan warungnya," paksa Karessa.

Dari sisi lain Langit, Aldan, Dirga, Ravin, Adeni, dan Bayu berbincang-bincang dengan anggota Lionerz dari sekolah lain membahas mulai dari perenggutan anggota baru, masalah-masalah yang muncul, dan banyak lagi.

"Tumben Bang gak lihat jaket Lionerz lo," tanya salah satu anggota yang diketahui dari SMA Garuda Putih.

Langit binggung harus menjawab apa, tidak mungkin jika dia berkata bahwa jaket milik ketuanya ini sedang dipinjamkan pada seorang perempuan. Ya perempuan!

"Paling juga lupa dicuci," celetuk Ravin. "Kebiasaan biasalah."

"Anggota cewek perlu ditambah kaga?" tanya Bayu yang sedang membereskan berkas-berkas calon anggota baru.

"Biar dari angkatan Lingga aja, kita udah cukup," jawab Langit.

Aldan menengguk minumannya, "Bener setuju gue. Dah cukup banget, cewek ngeselin, gila, bikin naik darah mulu modelan kaya Sindi cukup satu aja jangan nambah bisa ikutan gila gue."

"Bisa dikeluarin gak sih Bang? Caper ke lo mulu perasaan kalau kumpul," risih anggota lain.

"Kalau bisa semudah itu, dari dulu udah kita lakuin, bro!" sahut Ravin lalu menghisap rokoknya. Setiap anggota yang dikeluarkan harus memiliki alasan yang jelas, kecuali jika ia ingin mengundurkan diri.

"Bagi satu Vin," pinta Langit. Ravin melempar rokok serta korek apik pada Langit, ditangkap dengan sempurna. Langit menjepit batang rokok itu dengan bibirnya dan membakar dengan api dari korek itu.

Aldan berdiri merenggangkan badannya yang terasa pegal, menoleh ke kiri, kanan. Betapa terkejutnya dia saat melihat ada tiga perempuan yang berjalan mendekati perkumpulan cowok-cowok di warung.

"Nyari siapa kalian?" tanya Aldan. Langit, Dirga, Ravin, Adeni, dan Bayu serta anak-anak lain menoleh ke arah Aretta, Karessa, dan Deya.

Mereka bertiga mendekat ke meja tempat dimana Langit duduk bersama temannya.

Aretta memberikan paper bag berisi jaket pada Langit. "Ini gue kembaliin, thanks."

"Apaan tuh?" teriak heboh Bayu.
Langit membuka paper bag, mengeluarkan isinya. Damn it!

Shit, kenapa harus disini?! batin Langit.

"Muke gileee jaket Lionerz boss!!!" heboh Bayu.

"Jadi kita salah dugaan? Jadi kalian, hahhahahhahhahahah," tawa Ravin memecah keheningan yang ada
menimbulkan gelak tawa dari semua orang yang berada di WDPB.

"Anjir lo Lang! Main lo gini ternyata," Aldan menggoda Langit.

Mata Deya tak henti-hentinya memandang laki-laki yang sibuk mengadu makanan, entah kenapa Deya merasakan ada yang berbeda dari Adeni tiga hari ini.

"Pantes Bang, gue tanya lo diem aja tadi. Ini ternyata jawabannya," ujar laki-laki tadi.

"Ehh kalian udah makan belum? Sini-sini gabung kita, gue yang bayar pilih aja mau makan apa," tawar Ravin membuat muka Langit dan Dirga dilanda kegelisahan.

"Makasih Vin, kita udah makan tadi di kelas. Cuma mau nganter Aretta aja," tolak Karessa halus, dia tau ada yang tidak nyaman dengan kehadirannya.

"Makan dua kali gak bikin kalian gendut kok, sini gabung," Aldan menarik mereka bertiga secara paksa. Aretta duduk tepat didepan Langit, Karessa duduk di sebelah Aretta, didepannya ada Dirga, lalu Deya yabg duduk di hampit Aldan dan juga Ravin. Didepan Deya ada Adeni.

"Aldan kita udah makan, kita balik dulu ya," ujar Deya.

"Engga segampang itu! Minum dulu lah minimal, mampir ke WDPB balik gak boleh tangan kosong," terang Aldan. "Iya gak Pak Ketua?" Langit mengepal tangannya kuat, tatapannya seperti ingin menerkam Aldan sekarang juga.

"Aretta cantik, Karessa manis, Deya imut mau minum apa? Biar abang yang pesenin," tawar Bayu dengan nada manjanya. Adeni spontan melempar tutup gelas ke arah Bayu.

"Jaga image dikit lah Bay. Bisa ilfeel cewek-cewek ini," ujar Adeni.

Ravin memperhatikan Deya yang menunduk karena malu, "Tenang aja Deya, Adeni gak papa, ada sedikit problem tapi udah kita atasi." Deya menghela nafasnya, sedikit lega karena tau Adeni sudah dibantu teman-temannya.

"Jadi mau minum apa?" tanya Aldan.

"Es jeruk tiga aja deh," balas Aretta.

"Btw nih Ta, udah diapain aja sama Langit?" pertanyaan Aldan terdengar sangat ambigu bagi siapapun yang mendengarnya.

"Maksud lo apa bangsat?!" Langit memberi tatapan mautnya.

"Astaga Lang, mata lo copot bukan salah gue ya! Maksud gue tuh udah diajak jalan kemana aja sampai Langit rela jaketnya lo bawa, gitu." Aldan mendadak salah tingkah sendiri karena Langit menatapnya tak biasa.

"Kalian kalau udah gak ada urusan bisa pergi?!" usir Langit terang-terangan.

"Kita juga mau pergi. Lo pikir gue mau duduk disini? Engga! Temen lo yang nahan kita, inget!" entah kenapa Karessa jadi sedikit emosi.

"Ayo Ta, Dey, balik kelas!" Karessa berdiri menarik Deya, namun tangannya ditahan Aldan.

"Biar habis dulu kali Sa, minumnya," sahut Aldan.

"Lo gak lihat temen lo udah ngusir kita?! Lepas tangan Deya, Dan!" pinta Karessa.

Dirga tak nyaman dengan ini, "Lepas Dan!" Aldan langsung melepas tangan Deya. Mereka bertiga pergi dari WDPB dengan rasa kecewanya.

"Lo kenapa lagi sih Lang? Mereka cuma mau kita ajak ngobrol kaga mau kita embat, santai dong. Cemburu kok sama gue," terang Aldan.

"Siapa yang cemburu?" tanya Langit.

"Setan Lang! Setan yang cemburu!" Ravin berkata sambil menatap Adeni yang seperti ingin meminta penjelasan.

"Mereka itu gak nyaman duduk bareng kita, nggak lihat lo tadi semua anak-anak lihat mereka? Gimana kalau mereka dalam bahaya gara-gara kalian?" tanya Langit mencoba menjelaskan maksudnya.

"Takut mereka bahaya atau takut lo gak bisa ngendaliin detak jantung lo?" skak Aldan. Aldan tau Langit gelisah karena kehadiran Aretta.

"Bacot!" Langit kembali fokus pada rokoknya.

"Aretta lalang kah indahmu. Manis di bibirmu, merah dipipimu. Siapa tak suka itu hanya lalang. Lalang lang lang lang sungguh kau peang!" Bayu bernyanyi dengan mengubah lirik lagu sesuai nadanya diakhiri dengan melempar buah apel yang ngenai kepala Langit, namun dengan sigap Langit berhasil menangkapnya.

"Cari mati gak gini Bay," canda Langit menampilkan senyum smirk andalannya.

*****

Lingga, Nathan, Abimanyu, Zaldi, dan Alvino berjalan ditengah lapangan, mereka hendak ke kelas XI IPA 4 menemui kakak kelasnya.
Diperjalanan mereka melihat Sindi, Syakila, Maurin, Ranti, dan Riri menghadang tiga perempuan yang diketahui kakak kelasnya dari XI IPA 2.

"Lo caper banget tau nggak? Kalau mau cari perhatian jangan sama cowok orang!" Sindi sepertinya sedang dilanda amarah yang begitu besar.

"Cowok lo? Siapa Sin? Langit? Perasaan matahari masih diatas kepala gue deh sampai keringetan gini, masih aja ada yang mimpi disiang bolong," ujar Deya.

"Kenapa lo jadi ikutan gak suka sama gue? Apa?! Karena Adeni? Ambil kalau lo mau! Gue gak butuh dia," kata Sindi, dengan cara yang menyakitkan seolah Adeni tidak pernah ada nilai dimana seorang Sindi.

"Mulut lo sampah juga lama-lama! Sindi, dari awal gue gak mau cari masalah sama lo, makin ke sini kenapa lo sering cari masalah sama gue? Nge-fans lo sama gue? Atau takut kalah saing?" datang dari mana keberanian itu, entahlah! Aretta sudah tidak tahan diam jika berurusan dengan Sindi. Teramat mengganggu, pikirannya.

"Gue takut kalah saing sama lo?" Sindi tertawa sinis, "Lo, dan temen-temen lo itu bukan lawan sepadan buat gue, buat apa takut kalah saing sama kalian?"

"Kenapa? Mau gunain gelar lo yang mana? Gelar primadona SMA Meteor atau Lionerz Girls?" sindir Karessa.

"Karessa, lo pikir dengan kaya gini bisa bikin lo balikan sama Dirga? Dirga punya gue sekarang," terang Syakila.

"Ambil, mau aja sama bekas gue," Karessa tersenyum kecut.

"Ngapain lo nemuin Langit? Mau ujuk diri? Atau sekalian jual diri?" tanya Sindi membuat rahang Aretta terangkat sempurna.

PLAK!!!

Tamparan itu mendarat tepat di pipi kanan Sindi.

"Beraninya lo—" Sindi mengangkat tangannya namun tiba-tiba ditahan oleh seseorang.

"Kendalikan diri lo!" ujarnya.

"Lo gak usah ikut campur urusan gue, Lingga! Ini sama sekali bukan urusan lo," balas Sindi. Yah orang itu adalah Lingga. Lingga yang melihat Sindi hendak menampar Aretta segera menghampirinya.

"Sekarang gue paham kenapa Bang Aldan segitu kaga sukanya sama lo. Kelakuan dan mulut lo lebih buruk dari sampah," tutur Nathan.

"Makin penasaran gue, orang kaya lo gimana ceritanya bisa jadi bagian dari Lionerz?" tanya heran Zaldi.

"Gue bukan lo Sin! Lo pikir cewek cuma modal cantik doang? Percuma cantik kalau gak bisa menghargai orang lain. Lo terlalu terobsesi sama Langit," tekan Aretta.

"Lo belum tau siapa gue, Aretta. Lihat aja gue pastikan lo menyesal karena udah nampar gue!" Dapat terlihat sangat jelas api kemarahan di mata Sindi.

Setelah mengatakan itu Sindi pergi bersama keempat temannya. Menyisakan Aretta, Karessa, Deya serta Lingga dan teman-temannya.

"Sorry kalau gue ikut campur," ucap Lingga.

"Makasih atas bantuannya," balas Aretta.

"Kalian anak kelas X IPA 5 'kan? Lionerz angkatan 33?" tanya Deya.

"Belum juga setahun udah terkenal aja kita," kata Alvino.

Karessa sudah terlebih dahulu mengenal mereka, sebelum mereka diresmikan menjadi angkatan 33. Dirga pernah bercerita tentang mereka, tentu Karessa tidak terheran-heran seperti Deya.

"Bentar, lo yang namanya Karessa bukan sih? Mantannya Bang Dirga?" tanya Zaldi, dibalas tatapan tajam dari Lingga.

"Kenapa?" Karessa tak menyangka jika adik kelasnya ini akan mempertanyakan hal itu.

"Gak papa, cuma binggung aja cantik gini kok diputusin," sahut Zaldi,
Karessa membulatkan matanya, apa Dirga cerita ke mereka kejadian sebenarnya?

"Kita cabut dulu, kalian lebih baik kembali ke kelas," pinta Lingga.

"Kalian mau ketemu Langit dan teman-temannya?" tanya Aretta dibalas anggukan Lingga.

"Mereka ada di WDPB," jawab Deya.
Lingga, Nathan, Abimanyu, Zaldi, dan Alvino pergi menuju WDPB. Entah pikiran apa yang menganggu Lingga hingga dia tak fokus berjalan.

"Lo kenapa?" tanya Abimanyu. Lingga hanya menggeleng.

Kenapa muka cewek itu mirip banget sama lo, batin Lingga.

*****

Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi, semua berhamburan keluar menuju gerbang utama SMA Meteor. Langit, Aldan, Dirga, Ravin, Adeni, dan Bayu menunggu Lingga dan teman-temannya di parkiran. Mereka ada kumpul di WDPB kali ini ada Sindi, Syakila, Maurin, Ranti, dan Riri bergabung dalam diskusi, mungkin mereka sudah lebih dulu di sana.

"Gue balik, cape banget hari ini," cetus Aldan. Ia naik ke motornya menancapkan kunci namun ditarik oleh Langit.

"Yang kasih izin lo balik siapa?" tanya Langit dengan wajah datar.

"Ayolah Lang! Sehari aja! Gue kaga ada tenaga buat ketemu tuh anak." Bukan tak ingin ikut ambil adil dalam diskusi kali ini, masalahnya Aldan benar-benar tidak ingin berdebat yang berakhir menyakiti hati sahabatnya lagi. Sungguh Aldan mengakui kali ini dia lelah.

"Diem. Lo bisa diem," masukan dari Dirga.

"Aldan diem? Kaga mungkin lah, mulut dia itu licin kalau udah menyangkut Sindi," tutur Bayu.

"Kunci lo sama gue, kalau mau ambil di WDPB," Langit menatap Aldan serius. Ia melihat ada adik kelasnya yang termasuk anggota Lionerz, "Lo anggota Lionerz 'kan? Bawa motor ini ke WDPB," perintah Langit sambil melempar kunci motor Aldan.

"Apa-apaan lo?!" teriak tak terima Aldan.

"Bareng gue," ujar Dirga.

Adeni tak ikut berkomentar dalam hal ini. Ia menghargai apa yang Aldan inginkan, tapi mengapa terasa menyakitkan saat temannya bertindak seperti ini?

"Dia cuma gak mau bikin suasana hati lo makin sakit, bukan mau menjauh dari lo," cetus Ravin berbisik tepat di telinga Adeni.

Lingga, Nathan, Abimanyu, Zaldi, dan Alvino menghampiri mereka di parkiran.

"Sorry kalau kelamaan Bang," ujar Nathan.

"Lama tau kaga! Lumutan kaki gue. Pelajaran siapa sampai selama ini?" tanya Bayu.

"Biasa Bang, Bu Renata," balas Lingga.

"Emang satu guru itu paling demen bikin muridnya menderita," tutur Ravin.

"Langsung ke WDPB," pinta Langit.

Suasana WDPB terlihat ramai, banyak anggota dari sekolah ini yang berkumpul. Ada yang bermain bola di lapangan depan warung, ada pula yang bermain catur, dan ada juga yang sibuk bikin video untuk upload di sosmed.

"Rapat apa Lang kali ini? Tumben kaga bahas di basecamp?" tanya Maurin.

"Kalian mana boleh datang ke basecamp kalau bukan acara penting," sahut cepat Ravin.

"Jangan nerobos kaya waktu itu, bahaya," sambung Adeni.

Saat itu Sindi, Syakila, Maurin, Ranti, dan aku nekat datang ke markas utama tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Langit. Hal itu membuat mereka di goda oleh beberapa penjaga di Basecamp.

"Gue mau bahas tentang baksos tahunan Lionerz. Gue minta dasar kerangka dulu, selebihnya nanti malam bahas di basecamp," ujar Langit.

Setiap tahun, selalu ada kegitan bakti sosial yang di adakan Lionerz untuk masyarakat sekitar, banyak yang mereka lakukan. Mulai dari membantu perbaikan jalan, jembatan, pembersihan sungai, membagikan makanan, dan masih banyak lagi. Kalau kalian mengira menjadi bagian dari Lionerz  akan membuat kalian menjadi anak nakal, urakan, kalian salah.

Lionerz bukan sekedar nama bukan pula sekedar geng, Lionerz adalah rumah bagi mereka yang mau saling mengasihi, memahami, serta menyayangi. Lionerz bahkan lebih berarti daripada nyawa mereka sendiri.

"Hasil Bazar kemarin, barang titipan kita di stand kelas dapat berapa, Dir?" tanya Langit pada Dirga.

"Penjualan baju Lionerz dan juga topi dapat 15 juta. Uang kas masih utuh 50 juta," jelas Dirga selaku bendahara.

"Dirga megang uang segitu banyaknya pusing kaga sih? Kalau pusing gue bantu bawa sabi kali," canda Bayu.

"Yang ada lo korup buat beli keperluan lo pribadi!" sanggah Ravin.

"Total semua 65 juta. Buat baju untuk acara baksos biasanya habis berapa untuk semua anggota?" Langit terlihat cemas karena uang yang mereka miliki ternyata jauh dari ekspetasinya.

"Per baju biasanya 90-150 tergantung size," jawab Aldan.

"Masalah baju biar gue yang tanggung. Nanti biar distro Bang Hasan yang ngurus. Ravin gue percayakan desain sama lo, nanti malam tunjukin ke gue," ujar Langit.

"Itu biasa diatur—bentar nanti malam? Lo gila Lang? Kasih waktu gue semingu dong! Lo tau gue selalu mau yang terbaik buat Lionerz," protes Ravin.

"Gak perduli," cuek Langit. "Untuk angkatan lo Lingga, gue minta daftar semua anggota anak kelas X dan juga XII yang masih jadi bagian dari Lionerz. Untuk angkatan gue biar Adeni dan Bayu yang urus."

"Oke Bang, habis ini gue cari datanya," balas Lingga.

"Masalah Harsa. Nathan, nanti malam bawa dia ke markas, pastikan dia ikut dan gak kabur," terdengar seperti perintah yang tidak bisa dijawab dengan alasan apapun.

"Gue usahain Bang," jawab Nathan.

"Lang, nanti malam boleh 'kan datang ke markas? Kita juga mau ikut andil," pinta Sindi.

"Astagfirullah! Ampuni dosa-dosa ku Tuhan. Beri saya kesabaran dengan kecepatan 5G untuk nanti malam." Aldan mengangkat kedua tangannya mengadah memanjatkan doa agar dia dapat mengendalikan dirinya.

"Serah lo, tapi inget itu markas bukan diskotik! Pakaian lo jangan kurang bahan," tekan Langit lalu ia pergi mengambil kunci motor dan pergi dari tempat itu.

"Anjir! Kurang bahan, hahhahahhahhahahah," tawa Bayu memecahkan suasana di WDPB.

"Percuma bokap tajir kalau baju aja kurang bahkan, hahhahha," celetuk Ravin.

"Woy lo mana kunci motor gue?" Aldan menerima lemparan kunci motornya. "Inget Quuen drama, pakai pakaian jangan yang kurang bahan kalau perlu yang kelebihan bahan, hahhaha."

Sindi kesal bukan main. Ia berulangkali mengepalkan kedua tangannya, seperti Sindi tidak ada pilihan lain selain mengikuti ucapan Langit. Padahal setiap kali diizinkan datang ke basecamp Sindi selalu berpenampilan menggoda. Tentu untuk menggoda Langit, sayangnya Langit tidak tertarik.

*****

Malam in adalah malam yang istimewa untuk Askar. Tentu saja! Sesuai kesepakatannya dengan Aretta, malam ini mereka berdua akan menikmati indahnya suasana malam. Terlebih ini hari Sabtu tentu saja akan banyak pasangan yang keluar untuk menikmati waktu bersama. Sebelumnya Aretta sudah berpesan pada Askar agar tidak membawanya makan di restoran layaknya dinner romantis, sungguh Aretta tidak mau.

Oleh karena itu Askar berencana mengajak Aretta menikmati indahnya suasana Jakarta pada malam hari.
Aretta membuka gerbang rumahnya, ia menemukan Askar yang duduk diatas motor sport tengah asik bermain game di ponselnya.

"Gue kelamaan ya? Sampai bisa main game gitu," tegur Aretta sontak membuat Askar memasukkan handphone di saku jaket.

"Engga, udah siap? Ini helm lo," Askar menyerahkan helm pada Aretta.

"Askar, bener ya nggak ke tempat aneh-aneh?!" Aretta memastikan untuk kesekian kalinya, jujur ada sedikit rasa takut dalam diri Aretta. Terlebih setelah apa yang dikatakan Selena kemarin.

Askar menyeritkan alisnya, "Lo takut sama gue?"

"Engga ngapain takut? Cuma memastikan aja, gue sama lo 'kan baru kenal. Siapa tau lo mau macem-macem," ujar Aretta.

Askar menyalakan motornya, melaju dengan kecepatan normal. Di sela-sela perjalanan Askar melirik ke spion, terlihat Aretta yang diam dengan sedikit rasa takut di matanya.

"Pegangan! Biar gak dingin," ujar Askar.

"Modus ihh! Udah gini aja nanti kalau di peluk nyaman lagi," balas Aretta.

Askar tak menyerah begitu saja, ia sengaja melewati jalan yang terlihat rusak. Aretta spontan memeluk pinggang Askar karena takut jatuh.

"Jangan di lepas. Jangan takut juga, gue nggak mungkin nyakitin orang yang gue suka," tutur Askar berhasil membungkam mulut Aretta.

Apa secepat itu rasa suka bisa tumbuh? Askar lupa 'kah kamu siapa yang sedang kamu sukai? Atau kamu hanya mengalihkan saja?

Ingat ini, saat kamu jatuh cinta, kamu tidak akan bisa berhenti karena tidak ada tombol off dalam jatuh cinta.


*****

Tempat yang pernah ditandatangi dengan seseorang tersayang kini masih sama rasanya seperti dahulu. Askar mengajak Aretta ke tempat dimana dulu Askar sering kemari bersama seseorang yang dia cintai. Kali ini juga meskipun baru di tahap suka.

"Tempatnya bagus banget, Kar," jujur Aretta. Taman ini penuh dengan lampu hias, banyak bunga yang ditanam rapi di setiap sudut. Ada bangku juga di sana, dan yang paling menarik perhatian Aretta adalah tempat dengan tulisan taman harapan.

"Tempat ini gak pernah berubah," ujar Askar.

"Lo pernah ke sini sebelumnya?' tanya Aretta.

"Sering," balas Askar. "Terakhir kali datang ke sini setahun yang lalu."
Aretta merasakan ada kesedihan saat Askar menyebut kata 'setahun yang lalu'. Apa tahun lalu itu memang semisterius itu?

"Askar ke tempat itu ayo! Taman harapan," baca Aretta ketika melihat papan yang ada di sana.

Askar mengandeng tangan Aretta berjalan menuju taman itu. Ada banyak lampu dengan bentuk bulan, bintang, abjad, dan banyak lagi. Ada pula kuncir angin di tengah taman.

Taman ini seperti sebuah harapan dari seseorang di dalam hidupnya.
Aretta mendekati pohon yang tampak di samping bangku, "Bulan itu akan selalu ku tunggu meskipun enggan untuk kembali— Askar," Aretta membaca tulisan yang terukir di pohon.

Askar mendekati Aretta, "Kalau ada yang mau lo tanyain, tanya aja. Gue jawab," cetus Askar.

"Serius boleh?" tanya Aretta. Jujur saja banyak pertanyaan yang ingin sekali Aretta tanyakan pada Askar. Namun ia urungkan karena tidak mau dikira terlalu penasaran padanya. Askar mengangguk-angguk, tanda bahwa boleh.

"Ini lo yang nulis? Buat siapa?" tanya Aretta.

Askar sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan ini, "Buat perempuan yang pernah jadi alasan untuk gue tetap hidup."

"Bulan? Adiknya Langit?" tebakan Aretta tak pernah salah. Rasa penasaran dalam dirinya tentang kejadian satu tahun yang lalu semakin membara.

"Gue lihat lo mau tau banyak tentang ini. Kenapa Ta? Biar apa?" bukannya menjawab Askar justru memberi pertanyaan balik pada Aretta.

"Lo gak seru Kar! Tadi bilangnya kalau gue tanya bakal dijawab ini kenapa jadi nanya balik?' Aretta pura-pura marah.

"Makin ngambek makin lucu lo," jujur Askar. Lalu mendapat pukulan dari Aretta.

"Iya Bulan adiknya Langit. Kalau lo mau curiga sama gue silahkan.
Dengan senang hati gue akan bantu lo cari jawaban dari semua pertanyaan lo. Tapi inget Ta, sebelum lo tau kebenarannya gue pastikan saat itu lo udah jatuh sejauh-jauhnya sama gue. Biar saat lo tau kebenarannya lo gak pergi ninggalin gue kaya dia," ujar Askar sambil memegang kedua bahu Aretta, matanya berkata jujur. Aretta sama sekali tidak mengerti apa yang sedang Askar bicarakan, yang Aretta tau Askar jujur padanya.

*****

Suasana Basecamp malam ini sangat ramai. Hampir semua anggota berkumpul di sini. Tak lupa juga ada Sindi, Syakila, Maurin, Ranti, dan Riri di sini, malam yang sangat langka bagi semua anggota Lionerz karena bisa melihat secara jelas anggota Lionerz girls.

Langit belum tiba di basecamp, mungkin telat. Aldan, Dirga, Ravin, dan Bayu duduk di kursi biasanya, di sana juga ada Lingga, Abimanyu, Zaldi, dan Alvino. Nathan belum terlihat batang hidungnya, atau mungkin sedang berusaha keras membujuk seseorang agar mau datang bersamanya.

Di sana juga ada Sindi, Syakila, dan Maurin yang memilih bermain ponsel. Adeni menghampiri Ranti dan Riri yang duduk di meja bar.

Ranti mengengguk gelas yang berisi alkohol untuk kelima kalinya, "Tuang lagi."

Adeni segera menahan tangan perempuan itu agar tak meminumnya lagi, "Lo kesini buat bantu persiapan baksos, bukan buat mabuk!"

Ranti menoleh ke sumber suara, "Gue gak mabuk Den, baru juga tiga gelas bukan lima botol."

"Udah gue larang Den, kayanya dia lagi ada masalah di rumah," ujar Riri.

"Cerita sama gue! Lo cewek Ran, nggak baik terlalu banyak minum alkohol," tutur Adeni.

"Gue gak papa," sahut Ranti bohong.

"Lo udah dewasa, belajar buat jujur. Setidaknya sama diri lo sendiri, kalau ada masalah bilang ada, jangan terus-terusan lo tutupin sama kata gak papa itu. Gue tau Ran, lo nggak baik-baik aja," marah Riri. Dari sore saat kumpul di WDPB Ranti hanya diam, ditambah lagi dengan dia yang minum-minum malam ini menambah keyakinan Riri bahwa temannya ini sedang dalam masalah.

"Riri, bawa Ranti ke ruang atas. Biar dia istirahat dulu, sebelum Langit sampe," pinta Adeni. Ruang atas— ruang yang berisi tempat tidur, kulkas, sofa, dan perlengkapan istirahat lainnya. Ruangan ini dibuat agar semua anggota dapat beristirahat setelah bertarung. Adeni balik ke tempat dimana teman-teman berada.

"Kenapa Ranti, Den?" tanya Maurin.

"Temen sendiri kaga tau temennya kenapa," cetus Ravin.

"Bukan gitu Vin, Ranti jarang banget mau cerita apalagi tentang keluarganya," sahut Syakila.

"Cuma sedikit mabuk, biar istirahat dulu," terang Adeni.

Aldan menoleh pada Sindi yang sibuk scroll layar ponselnya. "Obsesi lo sama Langit bisa bikin rasa perduli lo hilang Sin?" tanya Aldan sedikit sinis.

Sindi menoleh pada orang yang mengajak bicara, "Maksud lo?"

Sudut bibir Aldan tertawa hambar, "Setahu gue lo dulu paling gak bisa lihat temen-temen lo dalam masalah, apalagi melampiaskan semua itu lewat alkohol. Lihat sekarang! Lo bahkan sama sekali gak tanya keadaan Ranti gimana. Jangankan tanya, nengok aja engga," sungut Aldan.

"Dulu Sindi yang gue kenal nggak sekejam ini. Masih inget banget gue, saat pertama kali lo gabung sama kita. Gue tau Sin, lo dulu gabung bukan karena Langit, emang lo mau dan lo nyaman di sini. Tapi semua berubah sejak Langit memutuskan gabung," beber Ravin.

"Kalau dulu lo masih ada harga dirinya di mata gue, sekarang beda," cemooh Bayu.

Adeni menelan ludahnya berkali-kali. Marah, kesal, emosi, semua bercampur menjadi satu. Semua Adeni tahan karena secara tidak langsung apa yang dikatakan teman-temannya itu benar.

"Tapi ini semua bukan salah Langit, Sin. Salah diri lo yang terlalu memaksakan perasaan orang," tukas Bayu.

"Denger gue baik-baik Sin. Bukan sebagai Aldan yang lo kenal, tapi sebagai wakil ketua Lionerz. Lo harus bisa bedaain mana urusan pribadi dan mana urusan bersama. Jangan sampai masalah cinta lo yang ditolak Langit bikin rasa simpati dalam diri lo hilang. Kalau lo udah nggak sanggup buat berada di sini, pintu terbuka lebar buat lo keluar," tuntut Aldan.

"Lo sendiri tau, aturan masuk dan keluar dari Lionerz. Kalau lo gak bisa misahin masalah pribadi dengan masalah bersama, gue persilahkan untuk lo pergi dengan terhormat," tambah Aldan.

Sindi bukan tak bisa menyanggah semua perkataan yang keluar dari mulut mereka, hanya saja ucapan mereka terlalu benar baginya. Dalam lubuk Sindi ia mengakui bahwa dirinya telah berubah teramat jauh setelah mengenal Langit. Jika ia berhenti sekarang terasa sangat sia-sia. "Sorry, gue masih mau disini." Sindi berdiri berjalan ke arah tangga, ia menyusul Ranti dan Riri yang ada di ruang atas. Syakila dan Maurin ikut menyusul temannya itu.

Aldan menghela nafasnya, ia menoleh ke arah Adeni, "Den, kalau lo gak terima, kasih tau gue. Jangan kaya kemarin," peringatnya.

"Apa yang lo lakuin udah bener, cara lo aja yang gue nggak suka," cela Adeni.

"Move on Den! Lo pantas buat dapat yang lebih baik dari dia," cakap Ravin.

"Tuh anak IPA 2, siapa namanya—Deya! Iya Deya, cantik uhuyyy, rugi kalau lo lewatin," canda Bayu.

"Ngomong-ngomong soal XI IPA 2, tadi siang di lapangan mereka dihadang Sindi," ungkap Nathan.

"Itu cewek yang nyanyi pas Bazar, dia nampar Sindi di tengah lapangan," tambah Zaldi.

"Serius? Setau gue cuma Selena yang berani nampar Sindi, itu pun pas kejadian di toilet," imbuh Ravin.

"Iya Bang, serius kita. Pas Sindi mau balik nampar tuh cewek di halangi Lingga," balas Alvino.

"Kalian kenapa nggak manggil Sindi dengan sebutan 'kak' lagi?" tanya Dirga keluar dari topik yang sedang dibahas.

"Pengalihan topik!" gerutu Aldan.

"Gak cocok setelah gue lihat-lihat Bang," sahut Zaldi.

"Cewek yang nampar Sindi, Aretta 'kan?" tanya Aldan memastikan.

"Nah iya Aretta, gila cakep banget dah!" puji Nathan.

*****

Askar mengajak Aretta ke sebuah tempat yang serasa tak asing bagi Aretta. Tempat pertama kali saat Aretta melihat orang nyaris jatuh dari atas gedung. Tempat yang sudah masuk dalam list tempat yang harus ia jauhi, Askar justru mengajaknya pergi ke tempat itu.

"Bentar Kar, ini bukannya markas—" ucap Aretta terpotong mengingat kejadian dimana ia, Selena dan Karessa berhenti untuk istirahat sejenak.

"Markas Lionerz, iya tapi kita gak masuk ke sana. Di samping markas itu ada tempat favorit gue," terang Askar.

"Bahaya gak?" tanya Aretta. Melihat banyak motor terparkir dan juga anggota yang berjaga di depan membuat bulu kuduk Aretta berdiri.

"Bahaya, lo tau gue Ketua Wolfin yang jelas-jelas musuh mereka. Tapi tenang aja selama ada gue, gak akan gue biarin lo terluka," lontar Askar.

Aretta mengeratkan pegangannya di lengan Askar, sedikit mencubit, "Udah tau bahaya ngapin ke sini sih!!!"

"Diem jangan teriak. Lo pakai ini masker, dan gue titip jaket, jangan dipakai bawa biasa aja," pintanya.

Mereka berjalan perlahan-lahan melewati anggota Lionerz yang berjaga di luar. Setelah berhasil melewati penjagaan sampailah Askar dan Aretta di sebuah lapangan basket dengan pencahayaan lampu yang sempurna, terlebih bulan di langit sedang bersinar terang.

"Tempat ini sangat istimewa buat gue, dan mungkin juga buat Langit. Sejak saat itu semua berubah, susah buat datang ke sini. Ini kali pertama gue ke sini lagi dan bareng lo," tutur Askar.

"Kenapa ngajak gue ke sini?" tanya Aretta, melihat Askar mengambil sesuatu dari balik lemari bekas di dekat lapangan.

"Main basket, gue denger-denger dari anak sekolah lo dulu, lo pinter basket ya? Coba sini lawan gue!" tantang Askar pada Aretta.

Aretta tersenyum sumringah, "Ayo siapa takut!"

Mereka bermain basket, padahal sudah malam. Askar merasa semakin nyaman dengan perempuan yang menemaninya bermain basket kali ini. Seolah rasa rindu pada gadisnya itu terobati.

Kamu lihat 'kan Lan, aku bahagia dan kamu udah gak sakit lagi, batin Askar.

*****

Langit baru saja sampai di basecamp, ia berjalan masuk ke dalam.
Pemandangan yang tak pernah Langit lihat sebelumnya, semua teman-temannya diam tanpa obrolan, dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Langit sangat membenci itu! Ada apa ini?

Langit meletakkan kunci motor, rokok, dan ponselnya di depan meja, tak ada yang menyadari bahwa Langit sudah datang.

"Ekhemmm!" kode Langit.

"Minum Ga, kaga usah kode-kode! Lagi males peka nih gue," cetus Bayu yang masih sibuk bermain game, tanpa melihat siapa yang berbicara tadi.

"Bukan gue Bang," sahut Lingga, ia sudah menyadari kehadiran Langit di tengah-tengah mereka.

"EKHEMMM!" kode Langit dengan nada lebih keras.

"Buset dah Ga! Ambil nih, minum!" Bayu menyodorkan botol aqua tepat mengenai dada bidang Langit, tanpa mengalihkan matanya dari layar ponsel. Semua masih sibuk dengan ponsel masing-masing. Dirga, Lingga, dan Abimanyu yang sudah meletakkan ponsel di meja.

"Badan lo kenapa kaya badan Langit, Ga? Oplas lo?" tanya Bayu. Ia masih terus menekan-nekan layarnya.

"Ngawur lo Bang," balas Lingga.

Langit yang sudah tidak tahan melihat keadaan seperti ini, langsung saja ia merebut botol dari Bayu dan membantingnya ke lantai.

Brukk!!

Semua langsung mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang melakukan itu.

"La-ng-it," ujar Bayu gagap, ia gemetar tubuhnya serasa ingin menghilang detik itu juga.

"Sejak kapan suasana kumpul jadi kaya orang asing gini?!" tanya Langit.

"Bisa gue jelasin Lang," sanggah Aldan.

"Kenapa?! Lo Bay, gue gak masalah lo mau main game berkali-kali, tapi kalau udah duduk disini semua alat komunikasi matiin!" marah Langit. "Kenapa diem-dieman?" tanya Langit.


"Habis tegang," jawab Dirga.
Terdengar sedikit ambigu di telinga.
Langit menyeritkan alisnya, tak paham ucapan Dirga.

"Habis kasih pencerahan ke Sindi. Ranti mabuk, kelihatannya ada masalah," terang Aldan.

"Dimana sekarang mereka?" tanya Langit.

"Ruang atas," balas Adeni.

Ravin meletakkan ponsel di meja, menghela nafas kasar, "Lang, lo gak mau cari pengganti buat ambil posisi Sindi?" tanya Ravin membuat semua orang menoleh padanya.

"Maksud gue gini Lang, kita nggak bisa mantau semua anggota cewek. Dari dulu sampai sekarang Bang Baron percaya sama Sindi karena dulu dia baik, bukan berarti sekarang gak. Cuma Bang Baron gak tau kelakuan Sindi sekarang ini," terang Ravin.

"Bang Baron tau," sahut Langit mengambil kotak rokok, menjepit di bibirnya dan membakar, dihisapnya lalu asap rokok itu menyebar luas di ke ruangan. Dia duduk di singgasananya.

"Terus, Bang Baron nggak masalah?" tanya Bayu.

"Bang Baron nggak akan ngasih kepercayaan sama seseorang kalau orang itu nggak mampu," cetus Dirga.

"Lo tau Lang, kita semua bukan benci sama Sindi tapi—" ujar Ravin terpotong.

"Dia masih mampu," sahut cepat Langit.

Langit sangat paham mengapa mereka berfikir demikian. Perubahan sikap, sifat, tingkah laku, dan juga perbuatan Sindi belakangan ini membuat beberapa anggota meragukan kemampuannya dalam mengatur anggota perempuan di Lionerz. Sindi dulu selalu di perlakukan layaknya seorang ratu di sana, namun semua berubah setelah Langit memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari Lionerz.

"Nathan mana?" tanya Langit memecah keheningan.

"Masih di perjalanan Bang," jawab Zaldi.

Abimanyu membenarkan duduknya, "Soal Harsa Bang, dia—"

"Biar dia sendiri yang jawab didepan gue," potong Langit.

"Gue mau tanya Bang," Langit menoleh pada Lingga yang hendak menanyakan sesuatu, "Emang bener angkatan gue harus ada anggota ceweknya?"

"Harus sih engga, Ga. Cuma perlu aja ada," jelas Aldan.

"Gue kasih lo waktu buat nyari anggota yang pas, dua cewek, dua cowok," putus Langit.

"Tinggal cari satu cowok, karena yang satu udah ada," celetuk seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu bersama Nathan.

Langit berdiri, diikuti yang lainnya. "Welcome home, Harsa."

Adeni langsung menghampiri adiknya itu, memukul pelan perutnya lalu memeluk penuh kasih sayang. "Gak tau diri lo jadi adik!"

"Maaf Bang, gue harusnya gak ngelakuin itu," sesal laki-laki yang bernama Harsa itu.

"Den," Langit menepuk pelan pundak Adeni. "Waktu itu lo tanya kenapa gue bersikeras agar Harsa bisa masuk di angkatan Lingga, lo mau tahu alasannya kan? Alasannya karena dia pantas ada di sini, bukan karena lo tapi karena kemampuannya. Dia marah karena uang yang dia dapatkan itu memang murni dari kerja kerasnya, dia mau gaji pertama buat orang yang sudah melahirkan dia ke dunia. Gue gak bisa bilang kemarahan dia ke Rara itu wajar tapi tanggung jawab yang dia berikan patut lo apresiasi."

Mendengar ucapan Langit membuat Adeni merasa bersalah karena sudah bertengkar habis-habisan dengan Harsa tempo hari. "Gue minta maaf, harusnya gue juga ngerti apa yang lo mau. Satu hal yang harus lo tau. Seorang ibu rela gak makan agar anak-anaknya bisa makan, apa yang ibu kita lakukan ke Rara itu benar. Mau gimanapun Rara adik lo Har, lo boleh gak suka sama dia tapi jangan tunjukan ketidaksukaan lo secara langsung kaya kemarin." Harsa hanya diam tak mampu membalas apapun, egonya terlalu tinggi untuk mengakui bahwa dirinya juga menyayangi adik kecilnya.

Dirga menyerahkan jaket Lionerz pada Langit untuk diberikan pada Harsa. "Jaket ini milik lo, jaga baik-baik sama seperti lo jaga nyawa lo," ujar Langit.

"Inget Harsa, jangan sampai ilang apalagi dipinjemin ke orang lama-lama, cewek pula! Jangan sampai," sindir Bayu membuat yang lain tertawa karena tau maksud ucapan Bayu.

"Mana ngaku dicuci, gak banget deh!" ledek Ravin. Padahal Langit tidak pernah mengatakan jika sedang dicuci, Ravin sendiri yang berspekulasi demikian.

"Mana mau ngaku dia kalau udah main lebih dari itu," ejek Aldan.

"Mana tadi mukanya langsung merah pas ngambil jaket di peper bag, hahahhaha," ledek Ravin.

"Aromanya Aretta sampai sini ya?! Iya lah orang jaketnya Langit dicuci khusus tiga hari tiga malam gak tuhhh," gelak tawa Aldan semakin membuat suara tawa terdengar saling bersautan.

CRAANG!!!

"Siapa?" teriak Aldan.

"Ada surat Bang," ujar Harsa mengambil batu yang dilemparkan ke arah mereka dengan berbalut surat.

"Kalau ini kelakuan Askar lagi emang cari mati dia!" tangkas Ravin.

Langit membaca surat itu, "Gue kembali Langit! Tunggu balas dendam gue atas apa yang sudah lo lakuin ke gue! Dengan tangan gue sendiri lo akan lihat kehancuran Lionerz di masa kepemimpinan lo." Langit menatap kosong, ia merasa bukan Askar dalang dari semua ini.

"Bangsattt Askar!" ledak Aldan.

"Bukan Askar," cetus Langit.

"Gimana bukan Askar?! Ini Askar siapa lagi yang mau lihat Lionerz hancur kalau bukan Wolfin?!" tanya Bayu dengan nada emosi.

"Lo bener Bay, tapi ini bukan Askar. Lionerz punya musuh baru," terang Adeni.

"Pertahanan kita belum pulih sepenuhnya. Bahkan lo juga baru mulai nata ulang Lang, kenapa masalah muncul terus?" gerutu Ravin.

"Ini bukti bahwa memulai kembali setelah sembunyi jauh lebih sulit daripada memulai tanpa bersembunyi terlebih dahulu," papar Dirga.

"Aish kebiasaan jiwa puitis lo keluar gak lihat keadaan, Dir," decit Bayu.

*****

"Masuk! Ayo masuk!! Kalian berdua harus bertemu dengan ketua kami!" ucap orang itu sambil menyeret paksa dua orang yang tertangkap saat melarikan diri.

"Ihh lepas sakit!"

"Lepas cewek ini atau lo mau mati ditangan gue hari ini!?" Ancamnya.

Langit dan yang lain langsung berbalik badan. Mereka dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang sangat tidak asing, Askar dan Aretta.

"Wow! Lihat Lang! Apa gue bilang! Askar dalangnya," ujar Ravin.

Askar dan Aretta tertangkap oleh anggota Lionerz yang tiba-tiba berkeliling di samping lapangan, mereka tidak bisa lari. Dan apa ini? Askar dituduh?

"Pengecut! Dua kali lo nghancurin kaca markas kita, mau lo apa bangsat?!" tanpa aba-aba, Aldan memukul Askar tepat mengenai perutnya.

"Askar!" teriak Aretta memberontak agar dilepaskan, ia berlari ke arah Askar membantunya berdiri, "Kar, lo gak papa?"

Langit yang melihat itu mengepal kuat tangannya. Ia berjalan mendekati dua orang yang kini jadi tersangka, "Maksud dari peringatan ini apa, Askar?!" Langit lempar surat itu pada Askar, lalu membacanya.

"Lo nuduh gue?" keluh Askar.

"Surat ini ada dan lo juga ada masih mau ngelak?" tanya Ravin.

"Bukan gue! Gue cuma sekali ngirim pesan lewat surat kaya gini," kekeh Askar.

"Maling mana ada yang mau ngaku, kalau ada penuh penjara," sindir Bayu.

"Kalau bukan lo, ngapin lo ke sini?" tanya Langit. Askar diam, ia kesulitan menjelaskan pada semua orang di dalam ruangan ini. Karena dia tau tak akan ada yang mempercayainya.

"Aretta, lo gimana ceritanya bisa ketangkep sama Askar?" tanya Adeni.

"Itu-a-nnu," sial Aretta terbata-bata, Aretta terlihat ketakutan. Bagaimana tidak ia ditatap seperti penjahat oleh semua orang yang berada di dalam ruangan ini, apalagi Langit—menatap dengan tatapan tajam, dalam seperti jurang.

Askar meraih tangan Aretta, menyatukannya dengan jari tangannya. Memberikan kekuatan pada gadis ini agar berkata sejujurnya. Lagi-lagi Langit mengepal tangannya. Semakin tidak tahan dengan kedekatan dua orang dihadapannya itu.

"Jawab!" perintah Langit.

"Gue sama Askar main basket di lapangan samping markas kalian. Kita cuma main suwer!" Aretta
mengangkat dua jarinya membentuk huruf v. "Bukan Askar yang lempar batu itu, dari tadi dia sama gue."

Ravin tersenyum kecut, "Iya Askar emang sama lo, anak buahnya keliaran dimana-mana, Ta."

"Terserah kalian mau percaya atau nggak. Intinya bukan gue yang lempar dan bikin surat peringatan ini," tekan Askar.

"Kalau bukan lo siapa? Wolfin yang paling gak suka lihat Lionerz kembali, camkan itu!" kelit Adeni.

"Lo pikir musuh Lionerz cuma Wolfin? Gue rasa gak! Orang kaya kalian apalagi ketua lo itu adalah biang masalah!" cibir Askar.

"Berani banget lo hina bos gue di markas ini," Zaldi hendak maju melawan Askar namun ditahan Abimanyu.

"Belum jadi urusan kita Zal, tenang," tenangnya.

"Keluar dari markas ini sekarang juga!" usir Langit.

"Tanpa lo suruh gue udah dari tadi pingin keluar," Askar menoleh pada Aretta yang menatap Langit tak percaya, "Ayo Ta."

"Satu lagi, jangan pernah berani injakan kaki di wilayah gue termasuk lapangan basket," peringat Langit.
Askar hanya mampu tertawa dengan luka di dalamnya. Dia sudah menduga akan berakhir seperti ini jika ketawan oleh Langit.

"Askar, lo ga papa?" pertanyaan dari Aretta entah kenapa membuat suasana hatinya menjadi sedikit lebih tenang. Askar menggeleng, tanda bahwa ia tidak papa.

*****

Langit duduk di meja bar sambil memijat dahinya yang terasa pusing, sudah satu botol lebih ia habiskan. Masalah terus berdatangan tanpa henti, satu selesai muncul seribu. Baru saja Langit ingin merakit kembali potongan-potongan yang hilang dalam Lionerz, namun lagi-lagi banyak rintangan yang harus ia lewati. Dirga datang, duduk di samping laki-laki yang menundukkan kepalanya.

"Tuang satu gelas," pintanya pada pelayan.

Langit yang mendengar suara orang langsung menoleh ke sumber suara, ia melihat Dirga hendak meminum alkohol, "Lo gak minum ini anjing!" Langit merebut gelas Dirga secara paksa. Dirga adalah satu-satunya teman Langit yang tidak merokok apalagi minum alkohol, baginya jika dirinya rusak teman-temannya tidak boleh sepertinya. Mereka berhak bertahan dengan prinsip diri mereka sendiri.

"Dikit doang, gak akan bikin gue semabuk lo," Dirga merebut kembali gelasnya.

"Ngeyel lo, bangsat!" Langit kembali merebut gelas itu dan meneguk dengan sekali tegukan.

"Mikir masalah yang mana lo?" tanya Dirga.

"Hah?" Langit mencoba mengumpulkan nyawa yang tersisa dalam dirinya.

"Nyokap? Surat tadi? Atau masalah hati?" tebak Dirga.

"Nyokap balik besok," sahut Langit.

"Bukan cuma lo yang mikir kalau peringatan itu bukan dari Askar, meskipun Askar berada di lokasi kejadian tepat setelah peringatan itu terjadi," papar Dirga.

"Lo juga punya pemikiran itu?" tanya Langit.

Dirga hanya bergumam. "Coba lo pikir siapa musuh Lionerz selain Wolfin," pinta Dirga.

"Setahu gue dari Bang Baron ada satu tapi geng itu berhasil ditaklukkan saat kepemimpinan Bang Danang, selebihnya semua damai kecuali Wolfin," tutur Langit.

"Berarti ada orang baru yang akan menentang Lionerz. Ada kemungkinan juga dia akan mengadu domba antara Lionerz dengan Wolfin atau bahkan dengan semua geng motor lainnya," lontar Dirga.

"Apa mungkin dia, Dir?" Langit teringat seseorang yang tiba-tiba terlintas otaknya.

"Siapa?"

Hayo siapa ya orang yang di maksud Langit? Ada yang tau?

Jangan lupa tekan tombol 🌟

Siapa couple favorit kalian?

Pukul berapa kalian selesai baca part ini?

Media-media LSB

Foto sebelah kanan itu anggota cewek. Limanya pasti kalian udah tau siapa yang dua masih dicari sama Lingga. Kita tunggu aja kabar baik dari Lingga. Suruh Lingga buruan publikasi anggota cewek angkatan 33!

Solidaritas mereka tinggi, nggak kenal apa itu perbedaan semua jadi satu. Bahkan Sindi, Syakila, Maurin, Ranti, dan Riri pun juga pakai motor, diajari juga cara bela diri meskipun nggak sehebat anggota lainnya.

Spam next!!!

           Nillaksm

Continue lendo

Você também vai gostar

Kak Elang: ELAZEL De Ejl_Jk

Ficção Adolescente

5M 376K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
3.2M 265K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
ARSYAD DAYYAN De aLa

Ficção Adolescente

2.3M 122K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
KANAYA (REVISI) De liaa0415

Ficção Adolescente

2.4M 140K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...