utopia (segera terbit)

By tinvthinks

5.8M 969K 181K

"Tunggu, jadi gue satu-satunya cewek di kelas ini?" Singkatnya, Dara si anak emas sekolah akan menduduki kela... More

START
01 || Perkenalan
02 || Bu Puspa
03 || Ketua Kelas
04 || Tanggung Jawab
05 || Kasus Alfa
06 || Alasan Dara
07 || Kasus Alfa (2)
08 || Kebiasaan
09 || Pembenci Topeng
10 || Tiny Cafe
11 || Kelas Unggulan
12 || Fake Friend
13 || Pak Rizky (Fucek)
14 || Hukuman (1)
15 || Hukuman (2)
16 || Hukuman (3)
17 || Kekesalan Kio
18 || Mabar, Kuy!
19 || Pasangan Kelima?
20 || Foto Polaroid
21 || Ikutan Bolos
22 || Good Day
23 || Haje Demen Sempak Kakak?
24 || Pengurus Kelas
25 || Asep dan Alerginya
26 || Tawuran
27 || Penyelesaian Masalah
28 || Percobaan Mengontrol Diri
29 || Petasan Bom Farzan
30 || Ketahuan, deh
31 || Diskriminasi Nilai
32 || Alfa, Cowok dengan Luka
33 || Perihal Plester
34 || Confess
35 || Si Tengil
36 || Kata Kio
37 || Kemeja Dio
38 || Jadi ini Mahardika
39 || Asep Anak Polos Rupanya
40 || Misi Dara
41 || FesGa
42 || Perkelahian yang Terulang Kembali
43 || Lagi-lagi IPA 2
44 || Di Luar Ekspektasi
45 || Kenyataan yang Menyakitkan
46 || Cerita di TPU
47 || Akhirnya Jalan Keluar
48 || Lega dan Bebas
49 || Ada Apa Sebenarnya?
50 || Konsep IPS 5
51 || Penampilan IPS 5
52 || Sebenarnya, Ini Ersya
53 || Siapa itu Kevin?
54 || Family Problem
55 || Tolong, ya?
56 || "Secepatnya."
57 || Kejutan Tak Terduga
58 || Keputusan Akhir Pak Tegar
59 || Obrolan dengan Kevin
61 || Terungkap Sudah

60 || Akhirnya

68.9K 12.1K 3.6K
By tinvthinks

Seperti biasa, saat urusan Kevin sudah selesai, Dara memutuskan untuk mengumpulkan para temannya di Tiny Cafe. Bagaimanapun ia masih tidak rela jika Pak Tegar pergi begitu saja. Memang benar kata Andra tempo lalu, wali kelas seperti Pak Tegar sangat jarang ada.

"Jadi, gimana?"

"Apanya, Ra?"

"Di, gak mau udahan?"

"Belom satu jam pas, Ra," sahut Ersya setelah melihat timer di ponselnya.

Dara menghela napas pelan sembari menyentuh kepalanya yang mendadak pening. Ada saja tingkah mereka. Seperti saat ini, Dara sangat menyesal datang terlambat. Karena ketika sampai di sana, ia sudah melihat Ardi dan Revan berdiri dengan kedua tangan sembari bersandar pada dinding. Mereka kalah dalam permainan suit, kata Asep ketika Dara mengerjap bingung di ambang pintu.

Masa hukuman Revan sudah habis, tinggallah Ardi di sana menahan beban tubuhnya dengan kedua tangan. Ah, jangan lupakan manusia jahil seperti Andra, Farzan, Alfa, dan juga Ersya masih ada di sana. Mana mau mereka menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Terutama Ersya yang sejak dahulu selalu menjadi bahan jahil Ardi.

"CELANA GUE JANGAN DIBUKA, ANJIR. TOLONGLAH MANUSIAWI DIKIT, YA ALLAH ARDI GAK SANGGUP LAGI."

"BAJU GUE, BAJU GUE, BAJU GUE. ANJIR JANGAN DIBUKA BEGO, CACA ASU."

"GUE KAYAK DISIKSA PEDOPILIA, ANJING."

"Berisik," ucap Dio ikut menyiksa secara tidak langsung.

"GUE DILECEHKAN BEGINI GIMANA KAGAK BERISIK ANJIR."

"Lecehkan pala lo," sahut Alfa sewot.

Dara memejamkan kedua mata sembari kembali menghela napas. Kenapa dirinya masih tidak bisa terbiasa? Karena lelah mendengarnya, Dara kembali bertanya pada Ersya, "Berapa menit lagi emang, Sya?"

"30 detik, Ra," jawab Ersya. "Eh, 25, 24, 23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14, 14, 14---"

"YANG BENER ANJIR CACA."

"Bentar ulang."

"ASU."

"9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 2 setengah, 2 lagi, 2 terus—"

"Bodo amat goblok."

Yang lain lantas tergelak kala Ardi menyelesaikan hukumannya. Sembari melakukan peregangan kecil ia kembali duduk di kursinya. Gangguan-gangguan tadi membuat tangannya semakin pegal.

"Jadi, gimana?"

"Stuck kita, Ra. Gak ada ide," balas Asep memulai diskusi. "Kita juga gak bisa maksa Pak Tegar. Kalo udah nyangkut soal ibu beliau, kita gak bisa apa-apa."

"Tujuan kita biar Pak Tegar gak jadi resign atau biar ibu beliau bisa operasi?"

"Kalo ibu beliau udah bisa operasi, otomatis Pak Tegar gak jadi resign," jawab Dara. "Itu juga kalo emang alasan Pak Tegar resign karena fokus sama pengobatan ibunya beliau."

"Gue kagak paham dah. Katanya Pak Tegar lagi masa pengawasan. Emang salah Pak Tegar apaan?" tanya Ardi heran sembari kesal karena merasa tahu siapa pelakunya.

Dara menggeleng lesu. "Pak Tegar sebaik itu padahal..., tapi kenapa ada yang jahatin...."

Mereka semua turut bersedih. Mungkin merasa miris. Di saat seperti ini mereka lebih sering menyalahkan diri sendiri. Pak Tegar mungkin tidak akan dibenci kalau saja beliau bukan wali kelas dari IPS 5. Akar masalahnya di mereka. Lagi-lagi.

"Sya, Jena mana?"

"Sibuk sama tugas dia."

"Jadi kafe tutup lagi hari ini?"

"Iya, Ra," jawab Ersya selaku sepupu dari pemilik kafe. "Kalo sibuk emang bakal tutup. Doi sendirian ngurus ni kafe, gak ada pegawai, makanya yang bantu paling gue. Kalo ada mungkin ni kafe bakal aktif walau dia sibuk."

"Ooh...," Dara mengangguk kecil, tetapi kemudian ia membelalak kala secercah ide muncul di kepala. "Eh. BENTAR!"

Mereka lantas tersentak mendengar suara Dara yang tiba-tiba berubah antusias. Farzan yang mungkin sudah terbiasa dengan kebiasaan si ketua kelas tersebut tidak terlalu kaget lagi, sehingga bokongnya tidak mencium ubin lantai lagi seperti kemarin-kemarin.

"Kenapa, Ra?"

"GUE ADA IDE."

***

"Mau kerja di sini?"

Dara mengangguk antusias, tetapi tersadar dan menggelengkan kepala. "Bukan kerja, Pak. Bisa dibilang, mau bantu-bantu aja."

Mereka semua mengangguk setuju. Selepas Dara mengutarakan idenya—yang serempak disetujui bersama—mereka langsung berangkat ke kafe Pak Tegar, lebih tepatnya rumah Pak Tegar yang berada di tepat belakang kafe tersebut.

Awalnya Dara menyarankan untuk mengumpulkan uang guna membantu biaya pengobatan ibu-nya beliau. Tetapi mereka sadar, Pak Tegar tidak akan mau menerimanya. Beliau bukan tipe orang yang dengan mudahnya menerima belas kasihan dari orang lain. Jadilah mereka memutuskan untuk melakukan ide yang kedua, yaitu membantu Pak Tegar di kafe.

"Tapi 'kan kalian sekolah. Kenapa mau bantu?"

"Ya biar beban Bapak berkurang. Seenggaknya cuman ini yang bisa kita lakuin buat bantu Bapak," sahut Dio menjelaskan niat mereka.

Pak Tegar berdecak sembari berkacak pinggang. "Kalian sekolah. Gak ada, Bapak gak izinin."

"Kan kafe Bapak bukanya sampe jam 9 malem, Pak. Ya bisalah, abis pulsek langsung ke sini kita," balas Farzan membujuk.

"Janganlah. Kalian ini masih lemah, badan pada kurus mau bantu Bapak. Kerjaan di kafe gak seringan yang kalian pikirin."

"Badan kurus gini tapi bisa bikin IPA 2 babak belur semua ye, Pak. Jangan macem-macem," Ardi menyahut sembari memukul dadanya dengan bangga. Andra dan Farzan sebagai pendukung lantas memijat bahu cowok itu. Dara tertawa, adegan ini sering ditampilkan di olahraga tinju yang kadang ditonton oleh ayahnya.

"Yoi, Pak. Kalo kata Parjan si bocah ep-ep, dont pley-pley bosque."

"Kapan gue bilang gitu, ajege," Farzan lantas menampar leher belakang Andra yang asal menjeplak saja.

"Iya, Pak. Kita gak bakal lalai kok. Kita juga gak bakal ninggalin pelajaran. Kita janji nilai kita bakal naik, jadi mau ya, Pak?" bujuk Dara menjamin semuanya. Meskipun mereka akan sibuk membantu Pak Tegar ini-itu, ia juga tidak akan lupa tujuan utama dirinya masuk ke kelas ini apa. Ia akan berusaha semaksimal mungkin membantu mereka semua, termasuk Pak Tegar.

Pak Tegar diam sejenak. Ia menghela napas berat kemudian dengan perlahan menganggukkan kepala, membuat mereka tersenyum bahagia. "Kalo nilai kalian turun, kepala kalian Bapak geplak satu-satu."

"SIAP, PAK."

***

"MEJA 8 BELOM DI ANTER MAKANANNYA GOBLOK."

"Sabar, Ca, Ya Allah. Hidup emang keras, kalo kenyal namanya yupi."

"YUPI APAAN DONGO, SONO ANTER PESENANNYA."

"OTW."

Memang benar apa yang dikatakan oleh Pak Tegar tadi. Pekerjaan di kafe tidak se-ringan yang mereka pikirkan. Mungkin mereka terlalu meremehkan pekerjaan ini. Mereka tidak membayangkan kafe akan seramai dan sesibuk ini. Terima kasih kepada para cowok yang aktif promosi di media sosial yang awalnya jarang mereka buka. Rata-rata pengunjung datang dari sekolah mereka tentunya. Mereka bersyukur kafe Pak Tegar bisa ramai seperti ini, tapi lelah juga lama-lama.

Ersya yang notabene sering mengurus hal-hal seperti ini bersama Jena menjadi ketua mereka untuk sementara. Ia bebas menyuruh ini-itu dan mengomeli apapun yang menurutnya tidak beres. Tapi ia juga sadar, para temannya bukan manusia biasa. Untung bagian dapur kedap suara.

"PARJAN TADI MEJA 4 MINTA MINUMAN APA?"

"Hah? Lah gak tau guenya, lupa."

"GOBLOK, TANYA ULANG SONO ANJIR."

"Sya, ada lumayan banyak bahan yang abis loh. Stoknya juga tinggal beberapa. Gue beli aja, ya?" tanya Dara yang baru kembali dari tempat penyimpanan bahan.

"Udah dicatet, kan, Ra? Kalo udah, beli aja. Di depan kafe ada supermarket 24 jam. Ke situ aja, buahnya seger," jawab Ersya menyetujui kemudian bergegas menyusul yang lain mencatat pesanan.

Dara mengangguk dan mengambil catatan kecil yang tadi sudah ia siapkan. Setelah memastikan bahwa perhitungannya tidak salah, ia juga memeriksa budget yang tersedia. Saat tengah sibuk menghitung, ia merasa ada yang menyentuhnya, membuatnya menoleh sebentar. "Kenapa, Yo?"

"Ngapain?"

"Ngitung ini. Eh, lo ikut gue, ya? Ini lumayan banyak, takutnya gue gak bisa angkut semua."

Dio mengangguk dan memerhatikan Dara yang masih sibuk menghitung dengan posisi berdiri. Kedua alis yang nyaris menyatu, mulut berkomat-kamit lucu melafalkan angka dan rumus, serta kedua mata yang kadang mengerjap beberapa kali karena salah menulis angka. Dio terkekeh pelan. Gestur yang biasa saja padahal.

"Yo, lo—lah lo berdua ngapain?"

"Eh, Alfa. Cuci piringnya udah kelar? Bisa bantu gue gak?"

"Bantu apaan?" tanya Alfa berjalan mendekat sembari melepas sarung tangan cuci.

"Tadi lo mau bilang apa?"

"Enggak. Semua piring udah beres, gue kira lo gak nganter lagi."

"Suruh Revan sama Asep ambil alih cucian. Kalian ikut gue."

Dio lantas mengambil ponselnya dan memberitahu Asep dan Revan yang bertugas di depan. Setelahnya ia mengangguk dan mereka bergegas pergi ke luar kafe melalui pintu belakang.

Supermarket 24 jam yang dikatakan oleh Ersya lumayan ramai hari ini. Mereka bergegas ke area buah untuk membeli beberapa jenis. Dara memberitahu kedua cowok tersebut untuk berpencar membeli bahan yang lain. Sedangkan dirinya sendiri memilih-milih buah. Sebenarnya ia agak khawatir apa kedua cowok tersebut pandai dalam hal tawar-menawar. Tapi ya, sudahlah. Mereka tidak bisa lama. Kafe masih sibuk.

Saat berjalan ke daerah buah kiwi, Dara mengernyit kala melihat sosok tak asing di mata. Ia menyipitkan kedua mata, berusaha memastikan apa yang ia lihat tidak salah. Dan akhirnya mata mereka bertemu. Ia terlihat terkejut dan menunduk sembari berlalu pergi. Dara tidak salah lihat. Itu Eja.

Meninggalkan kiwi yang sempat ia ambil, Dara bergegas menyusul Eja yang entah kenapa malah langsung pergi setelah melihatnya. Ia masih penasaran, kenapa cowok itu masih belum meminta maaf kepada teman-temannya.

"EJA!"

Eja berhenti melangkah. Dara menghela napas lega dan berlari mendekati ketua kelas IPA 2 tersebut. Saat berada di depannya, ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan. Sepertinya ia harus sering berolahraga.

"Kenapa?"

"Lo kenapa lari pas liat gue?" tanya Dara langsung.

"Emangnya salah?"

"Iya, salah. Lo masih ada utang permintaan maaf buat temen-temen gue," balas Dara kemudian. Beberapa hari Eja dan teman-temannya tidak terlihat menampakkan diri di hadapan mereka membuatnya marah. Mereka melakukan kesalahan, harusnya dirinya dan para temannya menerima permintaan maaf.

Sebenarnya Dara bukannya haus keadilan atau apa, tapi karena ulah Eja para temannya mungkin mengalami masa sulit lagi. Karena ulah IPA 2 jugalah ia dan ibunya dalam masa sensitif seperti saat ini. Dara merasa tak apa dengan dirinya, tapi untuk para temannya ia tidak bisa menerimanya.

Eja mendecih sinis. "Gue gak punya utang apapun buat temen-temen lo."

"Apa susahnya sih ngakuin kesalahan? Emangnya harga diri lo bakal jatuh-sejatuhnya cuman karena kata 'maaf'?" Dara tidak habis pikir.

"Lo gak paham, Ra."

"Apanya yang gak gue paham, Ja? Lo salah, udah seharusnya lo bilang maaf. Terus juga, kenapa lo keliatan benci banget sama anakan gue?" tanya Dara ingin menuntaskan rasa penasarannya sejak masuk ke IPS 5. Sejujurnya ia masih belum bisa menangkap. Apa api dari semua asap ini.

Eja berdecak pelan. Ia menatap Dara sinis, terlihat jelas rasa tidak suka di sana. "Karna kelas lo pantes gue benci."

"Maksudnya?"

"Gue capek, Ra. Apa-apa kelas lo, apa-apa kelas lo. Bahas ini-itu, ujung-ujungnya IPS 5. Gue sebagai ketua kelas ngerasa kelas gue gak ada harga dirinya di mata Pak Pon, wali kelas gue sendiri."

Dara diam, tak langsung membalas. Ia mulai paham maksud Eja. Di kedua matanya samar-samar terlihat rasa frustasi. Ia juga memang terlihat lelah dan ingin menyudahi semuanya.

"Anggaplah gue cupu, cemen, bego, bodoh, semuanya. Itu semua juga semata-mata gue lakuin buat dapetin nama di mata Pak Pon," ungkap Eja frustasi. "To be honest, gue iri sama kelas lo, Ra. Gue juga pengen punya wali kelas yang support anak kelasnya, bukan malah ditekan buat jadi kayak kelas lain," pada akhirnya, cowok tersebut mengaku dengan jujur.

Dara tercengang dalam diam. Ia tidak menyangka alasan Eja dan teman-temannya membenci kelasnya karena Pak Pon yang terus menekan mereka. Ia juga tidak menyangka kelas yang selalu dianggap sebelah mata malah sanggup membuat iri salah satu kelas unggulan. Kelas yang selalu diinjak-injak, malah menjadi contoh salah satu kelas unggulan.

"Iya, bener kata lo. Gue salah, tapi gue gak bisa minta maaf di depan kalian. Rasanya harga diri gue jatuh. Gue gagal jadi ketua."

Dara mengembuskan napas pelan. Ia juga tahu perasaan itu. Perasaan saat gagal melaksanakan sebuah tanggung jawab. Beberapa kali ia merasakan hal tersebut. Dalam hal ini, dirinya bisa memahami Eja.

"Ja, gue tau rasanya, kok. Gue bisa tolerir alesan lo. Tapi, itu semua gak membenarkan perbuatan lo. Emang yang lo lakuin sepele, tapi imbasnya di temen-temen gue cukup gede. Nama kelas gue udah jelek di kalangan guru, tambah lagi masalah yang lo buat. Ja, lo tau 'kan PB diam-diam ngambil nilai sikap dari pendapat setiap guru?" terang Dara baik-baik berusaha menyadarkan Eja. "Gue gak akan minta apapun dari lo. Tapi, tolong banget, jangan gara-gara itu lo jadi benci mereka yang gak bersalah. Semuanya punya porsi masing-masing, kok. Setiap kelas ada kelebihan dan kekurangannya. Karena alasan ditekan sama Pak Pon, bukan berarti lo bisa lakuin apa yang lo mau. Berambisi besar boleh, tapi use your brain, ya. Kelas lo punya apa yang kelas gue gak punya, begitu juga sebaliknya. Jadi tolong deh, ayo main sehat."

Dara tersenyum mengakhiri perkataannya. Untuk sekarang ia hanya berharap Eja bisa menerima dan sadar akan tingkahnya. "Ya, udah. Gue duluan, ya!"

Perlahan berjalan mundur, Dara lantas berbalik setelah melambaikan tangan. Namun, langkahnya kembali berhenti saat ia mendapati Dio yang berlari ke arahnya dengan wajah cemas. Kedua alisnya lantas mengernyit kala cowok tersebut semakin dekat.

Dio memegang kedua bahu Dara lumayan kencang. Dengan napas masih tersengal-sengal dan wajah cemas yang belum luntur, cowok tersebut bertanya dengan nada yang lumayan tinggi,

"Lo kemana aja?!"

***


Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 210K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
338K 9.8K 41
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...
1.7M 237K 38
Tidak ada yang bisa menebak sifat Drystan sebenarnya. Cowok itu ... terlalu hebat berkamuflase. Drystan bisa bijaksana, galak, manja dalam satu waktu...
124K 13.8K 18
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...