utopia (segera terbit)

By tinvthinks

5.7M 966K 181K

"Tunggu, jadi gue satu-satunya cewek di kelas ini?" Singkatnya, Dara si anak emas sekolah akan menduduki kela... More

START
01 || Perkenalan
02 || Bu Puspa
03 || Ketua Kelas
04 || Tanggung Jawab
05 || Kasus Alfa
06 || Alasan Dara
07 || Kasus Alfa (2)
08 || Kebiasaan
09 || Pembenci Topeng
10 || Tiny Cafe
11 || Kelas Unggulan
12 || Fake Friend
13 || Pak Rizky (Fucek)
14 || Hukuman (1)
15 || Hukuman (2)
16 || Hukuman (3)
17 || Kekesalan Kio
18 || Mabar, Kuy!
19 || Pasangan Kelima?
20 || Foto Polaroid
21 || Ikutan Bolos
22 || Good Day
23 || Haje Demen Sempak Kakak?
24 || Pengurus Kelas
25 || Asep dan Alerginya
26 || Tawuran
27 || Penyelesaian Masalah
28 || Percobaan Mengontrol Diri
29 || Petasan Bom Farzan
30 || Ketahuan, deh
31 || Diskriminasi Nilai
32 || Alfa, Cowok dengan Luka
33 || Perihal Plester
34 || Confess
35 || Si Tengil
36 || Kata Kio
37 || Kemeja Dio
38 || Jadi ini Mahardika
39 || Asep Anak Polos Rupanya
40 || Misi Dara
41 || FesGa
42 || Perkelahian yang Terulang Kembali
43 || Lagi-lagi IPA 2
44 || Di Luar Ekspektasi
45 || Kenyataan yang Menyakitkan
46 || Cerita di TPU
47 || Akhirnya Jalan Keluar
48 || Lega dan Bebas
49 || Ada Apa Sebenarnya?
50 || Konsep IPS 5
51 || Penampilan IPS 5
52 || Sebenarnya, Ini Ersya
53 || Siapa itu Kevin?
54 || Family Problem
55 || Tolong, ya?
56 || "Secepatnya."
57 || Kejutan Tak Terduga
59 || Obrolan dengan Kevin
60 || Akhirnya
61 || Terungkap Sudah

58 || Keputusan Akhir Pak Tegar

64K 12.8K 3.7K
By tinvthinks

"Gak ada. Pak Tegar gak ada di sekolah."

Dara memejamkan kedua mata seraya menghela napas berat mendengar Dio yang baru saja datang setelah menelusuri isi sekolah untuk mencari Pak Tegar.

"Yang lain mana?"

"Belom balik," jawab Dara pelan.

Setelah mendengar kabar yang tak pernah disangka itu, mereka memutuskan untuk segera menemui Pak Tegar. Mereka semua berpencar mencari wali kelas IPS 5 tersebut ke seluruh penjuru sekolah, kecuali Dara yang mencari via telepon.

"Lo tau sesuatu?"

"Tau apa?"

"Yang tadi lo bicarain sama Repan. Pak Tegar kenapa?" Dio kembali menanyakan kejadian di kantin.

"Fesga kemarin Pak Tegar sebenernya bukan mau nyebat atau nongki," Dara berhenti sejenak. Agak takut mengungkapkan faktanya. Ini termasuk privasi Pak Tegar. Beliau belum tentu tidak merasa keberatan ketika seseorang mengumbar hal tentang keluarganya.

"Jadi?"

"Itu...."

"Gak usah takut. Kalo Pak Tegar marah gue yang tanggung jawab."

"Ibunya kritis. Pak Tegar nyusulin ibunya ke rumah sakit."

Pada akhirnya Dara mengatakannya. Memang ada perasaan tak enak setelahnya, tapi ia juga merasa yang lain perlu tahu hal ini. Siapa tahu tindakan Pak Tegar ada sangkut-pautnya dengan keadaan ibunya.

Dio berjalan mendekat dan duduk di meja guru saat terdengar suara langkah kaki ramai dari koridor. Yang lain sudah balik, semua wajah lesu itu cukup menunjukkan bahwa pencarian mereka nihil.

"Pak Tegar kayaknya emang gak di sini lagi," papar Asep sembari duduk. "Kita udah keliling ke setiap ruangan sampe kantin belakang, Pak Tegar gak ada."

"Udah semuanya? Kalian gak ada yang tau tempat-tempat nongkrong yang masih di kawasan sekolah gitu?" tanya Dara memastikan.

"Gue kayaknya tau," Dio menyahut setelah tak sengaja terpikirkan satu tempat. Perkataannya membuat si ketua kelas kembali berharap. "Gue ke sana dulu," tanpa menunggu jawaban apa-apa cowok jangkung tersebut langsung berlari ke luar kelas.

Dara menarik napas panjang. Kepalanya pusing seketika. Kenapa kejadian buruk selalu menghampiri belakangan ini? Bukan, ia bukannya bermaksud untuk mengeluh. Hanya saja ini berbeda dengan pengalamannya sebelum masuk ke IPS 5. Dulu kehidupannya datar, tak ada yang menarik selain mengejar nilai sempurna. Tapi sekarang, setiap saat ada saja kejutan.

"Pantes tadi Pak Tegar gak ada angin, gak ada hujan tiba-tiba pidato panjang kali lebar," ucap Ardi.

"Makanya daritadi perasaan gue udah gak enak. Ternyata begini akhirnya," sahut Dara lemas.

"Susulin ke rumahnya aja gimana?" usul Asep tiba-tiba.

"Emangnya kalian tau di mana?"

Alfa berdecak dan menyahut, "Aelah, Ra. Pak Tegar bukannya baru jadi wali kelas kita."

"Ya udah, deh. Kalo Dio gak berhasil, pulsek kita coba cek ke sana."

"Kenapa gak sekarang aja?"

"Heh!" Dara spontan memukul lengan Alfa dengan kesal. "Sekarang masih jam sekolah. Gak inget apa Bu Puspa nyuruh kita nunggu."

"Lah, tapi kan dia nyuruhnya gak di kelas?"

Untuk beberapa menit mereka terdiam, saling melempar pandang satu sama lain. Suara yang terdengar hanyalah kebisingan dari luar. Sampai sesaat kemudian terdengar bantingan pintu yang nyaris membuat Farzan terjungkal lagi. Terima kasih pada Ersya yang tanpa sengaja menahan bobot tubuhnya.

"KOK DI SINI KELEN, KURANG AJAR."

"Eh, Ibu. Samlekom."

"SAMLEKOM MATA KAU ITU. AKU SURUH TUNGGU DI DEPAN, KAN? TAK ADA AKU SURUH KELEN BERLEHA-LEHA DI SINI, KAN? ADA AKU SURUH KELEN BERGOSIP DI SINI? ADA?"

"Kagak, Bu."

"MENJAWAB LAGI GIGI KAU. KELUAR CEPAT, ATAU AKU TUMBUK KEPALA KELEN SATU-SATU."

"Asiyap santuy, Bu."

***

SMA PB sebenarnya punya rooftop. Hanya orang-orang tertentu yang tahu karena banyak desas-desus di sanalah tempat para siswa merokok dan mabuk-mabukkan. Dan karena hal itu jugalah rooftop akhirnya ditutup oleh Pak Jeno sehingga hanya angkatan lama, para guru, serta beberapa orang di angkatan baru saja yang tahu.

Tapi yang namanya anak nakal mana mau ikut aturan. Anak nakal seperti IPS 5 malah sering bolos ke sana jika warung Bude Irma tutup di hari-hari tertentu. Mereka tidak melakukan hal yang aneh, hanya bercengkrama sembari berbagi tawa dengan sesekali sebatang rokok tersemat di sela jari tangan saja. Bagaimanapun mereka masih tahu diri, ini sekolah bukan tempat untuk berbuat hal yang aneh-aneh. Lagipula, buat apa juga. Mereka punya satu sama lain agar bisa saling menghibur.

Dio memasuki pintu rooftop yang awalnya dikunci itu. Ia mengernyit, melihat gembok yang harusnya tergantung di knop pintu malah terletak sembarang di lantai. Dio jadi semakin yakin bahwa dugaannya benar.

Memasuki area rooftop yang terbilang luas tersebut, Dio menatap sekitar. Lantas menghela napas lega ketika menangkap presensi Pak Tegar berdiri membelakanginya. Dengan langkah tenang ia menghampiri wali kelasnya tersebut.

"Bapak kira siapa, eh ternyata kamu."

Dio berdiri di samping Pak Tegar yang ternyata mengapit sebatang rokok di sela-sela jari tangan kanannya. Ia menghela napas pelan, ikut menatap ke arah hamparan lapangan belakang yang hijau dan luas, tempat mereka pernah dihukum oleh Pak Rizky. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah. Memang tempat yang bagus untuk menenangkan pikiran.

"Emangnya Bapak ngira siapa?"

"Biasalah, Bu Ema atau gak Pak Jeno. Kalo kepergok bisa repot urusannya," katanya kemudian menghirup sebatang nikotin tersebut.

"Bapak resign?"

"Loh?" Pak Tegar menoleh dengan wajah agak kaget, "Tau darimana?"

"Rival sejati Bapak."

Mendengar itu Pak Tegar hanya tersenyum dan kembali menghadap depan. "Bapak gak punya rival, Yo. Mereka aja yang gak suka sama Bapak. Padahal Bapak diam."

"Mereka iri kali, Pak."

"Mungkin aja. Iri tanda tak mampu. Mereka gak mampu bertahan sama kalian, makanya iri sama Bapak yang bisa tahan sama kalian selama dua tahun lebih." Kemudian, Pak Tegar tertawa miris. "Sombong dikit boleh lah. Toh juga, Bapak besok udah gak di sini lagi."

"Kenapa?"

"Bapak bosen aja di sini. Sumpek juga lama-lama liat wajah kalian satu-satu. Mata Bapak sepet."

"Cabut, Pak."

"Dio, Bapak tau kamu kadang suka kumat. Tapi agak dikondisikan, ya."

Dio terkekeh pelan. Tidak heran lagi dengan sifat Pak Tegar yang satu ini. Selalu santai dan lawak di setiap keadaan. Bahkan keadaan paling tegang sekalipun Pak Tegar mungkin masih sempat mengeluarkan candaannya.

"Kalo kita larang Bapak bakal nurut?"

Tanpa aba-aba Pak Tegar memukul kepala Dio. "Nurut-nurut, dikira Bapak peliharaan kalian."

"Pak."

"Becanda, Yo. Ya enggaklah, keputusan Bapak udah bulat."

Dio kembali menarik napas. Merasa harapannya putus perlahan. "Saya serius, Pak. Alasannya apa?"

Pak Tegar tidak langsung menjawab. Wali kelas IPS 5 tersebut hanya kembali menghisap batang nikotin tersebut dan mengembuskan asap yang keluar dengan perlahan. "Kamu gak perlu tau."

"Karna ibu-nya Bapak?" Sebelum Pak Tegar menyahut Dio langsung menimpali, "Maaf, Pak."

Pak Tegar menarik napas panjang sembari memejamkan kedua mata. Kemudian lantas tersenyum tipis seraya perlahan membuka kembali kedua mata. "Itu urusan Bapak. Yang perlu kalian lakuin sekarang itu dengar dan lakuin perkataan Bapak. Biar Bapak makin bangga udah pernah didik kalian."

Beliau kemudian menolehkan kepala, kemudian merangkul bahu Dio dengan erat. "Kamu juga, Yo. Pepet terus, ya. Bapak liat pesaing kamu banyak juga."

Dio berdecak. Tak tahu harus mengumpat atau justru kembali menghela napas berat karena sepertinya keputusan Pak Tegar tidak bisa diganggu gugat.

***

Dara harusnya tidak lagi terkejut dengan tingkah laku para cowok ini. Seharusnya ia sudah terbiasa dan bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya ketika Asep mengusulkan untuk berkunjung ke rumah Pak Tegar. Tetapi nyatanya tidak bisa. Ia selalu terkejut, bahkan tidak bisa berkata-kata kala mereka sampai tepat di depan kafe tempat mereka mengerjakan proyek yang diberikan oleh Bu Puspa.

"Ngapain ke sini?"

"Lah ini kan rumah Pak Tegar, Ra."

Dara tidak tahu harus bereaksi apa selain terdiam mematung seraya menatap yang lain dengan tak percaya. Bisa-bisanya.

"Kalian bo'ongin gue?"

"Siapa yang ngibul sih. Kan bener rumah Pak Tegar," sahut Alfa ikut sewot menunjuk kafe tersebut.

"Tapi kemaren katanya---"

"Masuk aja dulu. Soal itu belakangan," potong Dio sembari berlalu masuk.

Dara menghela napas pelan. Memang harusnya ia sudah paham dan terbiasa dengan hal ini.

"Nanti kita jelasin kok, Ra. Masuk, ayo," ajak Andra kemudian sembari merangkul Dara masuk ke dalam kafe.

Meskipun Dio telah mengatakan bahwa ia sudah bertemu dengan Pak Tegar, mereka memutuskan untuk tetap pergi. Bukan hanya Dio, yang lain juga ingin menyapa, atau mungkin mengucapkan selamat tinggal.

Kafe ini masih terlihat sangat sepi, sama seperti terakhir kali. Dara lantas melirik ke sebelah kanan pintu, terdapat papan bertuliskan 'close' di sana. Pantas saja.

Eh, kemaren 'open' tapi kok tetep sepi?

"ASSALAMUALAIKUM, PAK TEGAR SUKAESIH."

"Waalaikumsalam, anak-anak Bapak yang kasat mata. Masuk aja ya, Bapak di belakang!"

Selepas menerima sambutan yang harusnya sudah tidak mengherankan lagi keluar dari mulut Pak Tegar itu, mereka langsung masuk dan duduk di meja yang sama dengan tempo lalu.

"Tadi Pak Tegar bilang apa, Yo?"

"Pak Tegar emang resign. Soal alasan, gak tau."

"Tiba-tiba banget anjir. Ngode dulu kek," kata Ardi sembari mencomot keripik kentang entah milik siapa. Terletak begitu saja di meja.

"Pak Tegar pidato tadi tuh ngode bego," balas Ersya.

Dara terkekeh. "Makanya peka-an, Di."

"Bilang itu sama diri lo sendiri coba, Ra."

"Hah?"

"Gak," balas Alfa cepat kemudian tertawa kecil.

"Yee lo pada juga kagak ada yang notis kan," elak Ardi tidak setuju hanya dirinya yang kena.

"Kan tadi gue udah bilang ada yang gak beres," balas Dara nyaris kesal. "Oh, iya. Terus juga, kenapa kalian gak bilang sama gue?"

"Gak bilang apa?"

"Kalo ini tuh rumahnya Pak Tegar."

"Lo-nya gak nanya."

Dara menoleh, melempar tatapan tajam ke arah Farzan. Tatapan yang seakan berkata lo-mau-gue-pukul-ya yang langsung membuat cowok tersebut membatu seketika.

"Kan bener, Ra. Itu matanya astagfirullah."

"Iya," sahut Dio mengambil atensi. "Ini rumah Pak Tegar, sekaligus kafe-nya."

"Kalo gitu, kenapa kemaren kalian bilangnya...?"

"Anjir, Ra. Lo jadi cewek ngapa polos bener dah. Perkataan setan lo percaya."

Ersya sontak menampar bagian belakang leher Ardi dengan wajah datarnya. "Maksud lo setan apaan."

"Ampun, Ca."

"Loh, kok...?"

Tiba-tiba saja mereka saling melempar pandang. Seakan melempar tanggung jawab untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Anehnya, setelah beberapa saat saling mengode, akhirnya secara bersamaan semua mata tertuju pada Revan yang asik ikut mencomot keripik---yang entah sejak kapan menjadi milik Ardi.

"Apa? Butuh jasa colok mata?"

"Yaelah si Repan sensi bener kayak Caca."

"Gue mulu anjir," untuk kedua kalinya tangan Ersya mendarat halus di belakang leher Ardi.

"Jelasin, Pan," pinta Asep santai.

"Males."

"Lo pada juga bego banget anjir, Repan napas aja ogah-ogahan lo suruh ngejelasin."

"Ya udah, lo aja, Jan."

"Ajege," Farzan mengumpat dengan kata khasnya. Namun, meskipun demikian ia tetap menurut, "Emang iya ini rumahnya Pak Tegar. Kemaren itu kita ngeles doang biar lo gak curiga. Sebenernya kemaren kafe-nya tutup."

"Tapi tulisannya open."

"Ya itu sengaja tadi kita bikin biar lo gak curiga juga. Ntar kalo kita biarin lo malah marah-marah trus ujung-ujungnya interogasi lagi."

"Nah iya, lo kalo marah serem, Ra. Nge-interogasinya lama lagi. Pegel, Ra," rengek Andra membuat Revan menampilkan wajah julidnya.

"Lo ngungkit yang soal Ersya?" Dara lantas memukul lengan cowok tersebut. "Siapa yang gak bakal marah coba?" Kemudian ia lanjut meminta keterangan, "Terus kalo dibikin buka, kok gak ada pengunjung yang dateng?"

"Karna pas balik dari toilet gue langsung balik papannya jadi close."

Tanpa ditahan mulut Dara terbuka sedikit, merasa tidak habis pikir dengan kelakuan mereka. Memang harusnya ia sudah terbiasa. "Bisa-bisanya. Terus soal makanan yang gak enak itu gimana?"

"Makanan siapa, Ra?

"Buset," Ardi spontan menoleh ke arah kirinya, kaget Pak Tegar tanpa aba-aba sudah berdiri tepat di sebelah kirinya. "Pak kalo dateng tuh samlekom dulu kek."

"Au, kasian Pak, Tarjan tadi udah mau kejungkal untung ditahan sama Asep," timpal Andra sembari menunjuk Farzan di sebelah Asep.

"Menghina banget, ajege," balas Farzan kesal.

"Aduh, Zan. Minum susu makanya."

"Susu apa, Pak?"

"Prenagen."

"Ajege," memang seharusnya Farzan tidak mengharapkan apa-apa dari Pak Tegar.

"Tadi kalian bilang makanan siapa yang gak enak?"

"Itu Pak---mpph!"

Dengan kurang ajar dan tidak sopannya Ersya segera membekap mulut Dara dengan sebelah tangannya dan menyengir tak bersalah, mengabaikan si ketua kelas yang melirik tajam ke arahnya sembari memukul-mukul telapak tangannya. "Enggak, Pak. Gak ada."

"Bo'ong, Pak. Kemaren Caca bilang makanan kafe Bapak kagak enak."

Lagi-lagi Ardi menjadi korban geplakan panas Ersya.

"Maksud kamu apa, Caca Marica---"

"Hey, hey!"

"Andra, kamu jangan terlalu hiperaktif, Nak. Kasian Bapak liatnya."

"Ya daripada lemah, letih, lesu, lunglai macam Repan sama Dio, Pak. Mending saya happy-happy."

"Ya jangan sampe bertingkah seperti orang gila dong," balas Pak Tegar langsung membuat yang lain tertawa keras. Beliau mengelus bahu anak muridnya tersebut dengan prihatin. "Bapak paham, Dra. Kamu gak sendiri."

"Apaan, Pak. Bapak mau pergi gitu ya saya sendirian, lah."

Suasana yang tadinya ramai kini senyap. Dara menatap Pak Tegar penuh harap. Meskipun ia sempat pesimis mendengar Dio bercerita bagaimana teguhnya keputusan Pak Tegar, tapi ia tidak mau menyerah. Sejauh ini Pak Tegar adalah wali kelas favoritnya. Beliau wali kelas, guru, teman, dan orang tua.

"Kalo bisa juga Bapak gak perlu resign, Dra," papar Pak Tegar dengan senyum sendunya. "Kalian masih perlu diiring ke jalan yang benar soalnya. Kasian kalian diam di jalan sesat terus-terusan."

"Pak, sekedar info, kita sejalan."

"Oke, Sya. Bapak paham."

"Gak usah resign lah, Pak. Di mana lagi kita dapetin wali kelas kayak Bapak?" bujuk Andra. "Walaupun kadang Bapak minta dihujat, tapi tetep aja spesies guru kayak Bapak udah mulai punah."

"Iya, Pak. Stay aja lah bareng kita-kita," timpal Alfa kemudian.

"Kalian ngebujuk Bapak gak tau mau terharu atau geplak kalian satu-satu."

"Geplak aja, Pak, gapapa. Asal Bapak gak jadi resign," Asep menyahut.

"Gak bisa. Bapak juga ngasih surat resign itu mikirnya tiga hari tiga malem. Bapak udah pertimbangkan segala hal."

"Pasti kita gak termasuk."

"Au nih, jahat bener."

"Broken heart."

"Saya jadi ikutan potek, Pak," sahut Dara mendramatisir protes Ardi, Andra, dan Ersya.

"Ya termasuklah, kalian ini. Sejak kapan jadi kayak Farzan suka nganbekan?"

"PAK, SAYA DIEM LOH."

"Yang bilang kamu nyanyi siapa, Zan."

"Ya Allah."

"Emangnya kenapa Bapak gak bisa balik?"

Pak Tegar diam sejenak kemudian tersenyum tipis. "Kafe ini gak ada yang jagain. Kalian kan tau siapa awalnya yang megang usaha ini."

"Mbak Tiri emang ke mana, Pak?"

Dari sini Dara bisa menangkap bahwa Mbak Tiri merupakan kakak perempuan Pak Tegar dan juga merupakan pendiri sekaligus pengelola kafe ini. Sepertinya ia juga sedikit bisa memahami alasan wali kelas mereka itu mengundurkan diri dengan sangat terpaksa.

"Loh, ternyata gak semuanya yang tau."

"Iya, Pak, maaf. Saya takutnya itu ganggu privasi Bapak. Gimana pun ini kan masalah pribadi Bapak sebenernya...," ungkap Dara merasa tidak enak hati.

Dan di tempatnya, Dio tersenyum tipis, terlihat bangga akan sesuatu.

"Ada apaan? Gue perasaan gak bego-bego amat tapi kenapa dibikin bego mulu, dah?" Ardi mendadak mengeluhkan nasibnya.

"Itu karna emang pada dasarnya lo bego, anjir," balas Andra kemudian ber-tos dengan Ersya yang ternyata setuju dengan pendapatnya.

"Enggak apa-apa, Ra. Bapak gak keberatan kalau sama kalian doang mah," sahut Pak Tegar seraya tertawa kecil. "Ibunya Bapak lagi kritis, Nak. Mbak Tiri gak sempat ngurus kafe ini. Jadi Bapak penggantinya."

"Ditutup bentar gak bisa, Pak?" Revan yang sedari tadi diam akhirnya bertanya.

"Enggak bisa, Van. Pemasukan dari kafe ini sama kerjaan Bapak jadi guru lebih gede yang dari kafe sebenarnya. Bapak bukannya gak peduli sama kalian, Bapak pilih yang lebih berpeluang," akhirnya Pak Tegar mengungkapkan alasan sebenarnya. Alasan kenapa beliau harus mengundurkan diri dari pekerjaan yang sudah lama ia impikan.

"Kenapa gak cuti aja, Pak?"

"Gak semudah itu dapetin cuti, Yo. Terutama Bapak lagi masa pengawasan."

"Masa pengawasan, Pak? Kok bisa?" Dara bertanya dengan kedua alis nyaris menyatu. Yang lain pun ikut menampilkan raut wajah bingung. Wajar saja, mereka merasa Pak Tegar damai-damai saja. Lantas kenapa tiba-tiba ada dalam masa percobaan?

"Biasalah, kalian juga tau siapa dalangnya. Jadi Bapak memutuskan buat resign. Lagipula itu tadi, Bapak lagi nyari peluang yang lebih besar."

"Jadi..., gak ada kemungkinan buat Bapak balik?" tanya Dara perlahan meminta kepastian. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Apapun keputusan wali kelas tersebut, mereka harus tetap bisa menerimanya.

"Iya, Ra."

"Untuk sekarang?"

Pak Tegar tersenyum tulus. Senyuman yang jauh dari kata jenaka, seperti layaknya kepribadian beliau.

"Untuk sekarang, iya. Maafin, Bapak."

***

agak garing ya?
udah cukup main-mainnya, sekarang fokus ke awal. tapi pasti ada beberapa poin jenaka nya kok.
ga lucu ga utopia AHAHAHA.
btw udah nabung sampe berapa??

Continue Reading

You'll Also Like

290K 26.7K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 334K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
320K 19K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...