utopia (segera terbit)

By tinvthinks

5.8M 969K 181K

"Tunggu, jadi gue satu-satunya cewek di kelas ini?" Singkatnya, Dara si anak emas sekolah akan menduduki kela... More

START
01 || Perkenalan
02 || Bu Puspa
03 || Ketua Kelas
04 || Tanggung Jawab
05 || Kasus Alfa
06 || Alasan Dara
07 || Kasus Alfa (2)
08 || Kebiasaan
09 || Pembenci Topeng
10 || Tiny Cafe
11 || Kelas Unggulan
12 || Fake Friend
13 || Pak Rizky (Fucek)
14 || Hukuman (1)
15 || Hukuman (2)
16 || Hukuman (3)
17 || Kekesalan Kio
18 || Mabar, Kuy!
19 || Pasangan Kelima?
20 || Foto Polaroid
21 || Ikutan Bolos
22 || Good Day
23 || Haje Demen Sempak Kakak?
24 || Pengurus Kelas
25 || Asep dan Alerginya
26 || Tawuran
27 || Penyelesaian Masalah
28 || Percobaan Mengontrol Diri
29 || Petasan Bom Farzan
30 || Ketahuan, deh
31 || Diskriminasi Nilai
32 || Alfa, Cowok dengan Luka
33 || Perihal Plester
34 || Confess
35 || Si Tengil
36 || Kata Kio
37 || Kemeja Dio
38 || Jadi ini Mahardika
39 || Asep Anak Polos Rupanya
40 || Misi Dara
41 || FesGa
42 || Perkelahian yang Terulang Kembali
43 || Lagi-lagi IPA 2
44 || Di Luar Ekspektasi
45 || Kenyataan yang Menyakitkan
46 || Cerita di TPU
47 || Akhirnya Jalan Keluar
48 || Lega dan Bebas
49 || Ada Apa Sebenarnya?
50 || Konsep IPS 5
51 || Penampilan IPS 5
52 || Sebenarnya, Ini Ersya
53 || Siapa itu Kevin?
54 || Family Problem
55 || Tolong, ya?
56 || "Secepatnya."
58 || Keputusan Akhir Pak Tegar
59 || Obrolan dengan Kevin
60 || Akhirnya
61 || Terungkap Sudah

57 || Kejutan Tak Terduga

68K 13.8K 4.3K
By tinvthinks

tuhkan anjir readers gue emang nyeremin.

sepi banget, ga nahan nungguin ceritanya ya? sorry sorry wkwk.


















"Dara!"

Yang dipanggil lantas menghentikan langkahnya. Membalikkan badan, senyum Dara mengembang kemudian kala mendapati Farzan yang menyapanya sembari menghampiri.

"Tumben pagi-pagi udah di sekolah, Zan. Biasanya juga ngaret kalo sendirian," kata Dara memulai percakapan menuju kelas.

Mendengar itu Farzan menyengir. Dara ternyata sadar dengan kebiasaannya---yang sebenarnya sedang diubah. "Lo mah, Ra. Puji dong, jarang-jarang nih gue."

Dara tertawa kecil dan mengangguk. "Iya-iya. Bagus, Zan. Kalo bisa kayak gini terus, ya?"

"Siap!"

Tersenyum puas, Dara memutuskan untuk terus percaya dengan Farzan. Ia bukannya tidak menyadari usaha cowok tersebut. Ia tahu, Farzan dari dulu suka telat berangkat ke sekolah. Pernah iseng bertanya, cowok itu hanya menjawab dengan alasan telat bangun. Dan Dara memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Biarlah itu menjadi privasi cowok Gunandhya itu. Ia percaya Farzan mau berubah. Dara melebarkan senyumnya. Setidaknya ini salah satu kemajuan.

"Eh, Ra. Itu si anak Olim bukan?"

Pertanyaan Farzan membuyarkan lamunannya. Dara menolehkan kepala dan melempar tatapan bertanya pada cowok di sampingnya. "Kenapa, Zan?"

Farzan menunjuk ke arah depan dengan dagunya, membuat Dara mengikuti arah yang ditunjuk. Ternyata ada Kevin, seperti sedang menunggu seseorang di depan kelas IPS 5. Dengan segera Dara melangkah menghampirinya.

"Vin, ada keperluan apa?"

Kevin lantas tersenyum menyapa. "Akhirnya lo dateng, Ra. Gak ada keperluan apa-apa. Gue cuman mau nanya, ntar pulsek mau mulai bahas materinya gak? Soalnya kemarin gue udah riset, soalnya gak sedikit dan itu lumayan susah. Yang gampang menurut gue beberapa doang."

"Iya, sih. Gue juga tadi udah nyari-nyari referensi, tingkatannya HOTS semua."

"Nah. Takutnya gak sempet, kita juga beberapa bulan lagi ujian. Biar kitanya juga aman," lanjut Kevin mengeluarkan sarannya.

Dara diam sejenak, memikirkan saran Kevin. Beberapa detik hening, kepalanya perlahan mengangguk seiring dengan bibir yang membentuk senyum tipis. "Oke, deh. Pulsek, ya?"

Kevin menganggukkan kepala dengan antusias. "Gue tunggu di gerbang. Kalo gitu, gue cabut, ya, Ra."

"Beneran gak, tuh?" celetuk Farzan dengan kedua mata mengikuti punggung Kevin yang bergerak menjauh.

"Hah? Kenapa, Zan?"

"Beneran mau bahas materi apa ngemodus?"

"Apaan, sih," Dara memukul pelan lengan Farzan. "Jangan suka nethink, Zan. Gak baik."

"Jangan gampang percaya sama cowok, Ra. Apalagi sama yang demen modus."

"Trus lo gimana?"

"Ya gue kan murni, Ra, semurni kain sutra. Beda lagi sama dia noh, ada aura jahat."

Dara menggelengkan kepalanya, memilih masuk ke kelas daripada mendengar ocehan Farzan yang semakin melantur. Pagi-pagi begini tidak baik diawali dengan berprasangka buruk. Harusnya Farzan mengetahui hal tersebut.

"Hmm..., mencurigakan."

"Mencurigakan apanya, astaga. Daripada lo cuman berdiri doang, mending sekalian ambil sapu, Zan. Samping kiri lo banyak sampah dedaunan tuh," suruh Dara yang sudah anteng duduk di kursinya sembari menatap ke luar kelas. Lebih tepatnya melihat Farzan yang masih diam di ambang pintu sembari mengetik sesuatu di ponselnya.

"Farzaaan! Denger gue gak?"

"Gak denger, Ra. Telinga gue ditutupi aura negatif."

"Terserah deh, Zan...."

***

"Aneh."

Mereka yang awalnya asik bercanda lantas berhenti dan mengalihkan atensi ke arah Dara yang tadi berujar.

"Aneh kenapa, Ra?"

"Jam pertama kan Pak Tegar. Udah setengah jam, tapi beliau belom dateng."

"Ngaret kali," sahut Alfa kembali fokus pada ponselnya. "Pak Tegar kan tipe guru nyantuy."

"Iya, sih. Tapi...---gue samperin aja deh."

"Gue aja," sela Revan menawarkan diri sembari bangkit berdiri dan pergi ke luar kelas, tanpa mendengar jawaban yang lain.

Namun, baru terhitung lima menit kepergiannya, Revan sudah balik dan langsung disambut oleh kernyitan heran dari yang lain.

"Cepet amat."

"Siapa yang cepet, Jan?"

Farzan lantas tersentak kecil mendengar sahutan yang tiba-tiba itu. "Astagfirullah, Pak. Doyan bener bikin kaget."

"Kamu aja yang kagetan. Masih muda kok gampang kaget," balas Pak Tegar dengan nada tak acuh dan membuat---seperti biasa---Farzan mendelik sebal.

"LOH, DUDUK. KENAPA MALAH PELANGA-PELONGO MACAM AYAM NYARI INDUK? MAU MINTA BAPAK PANGGILIN BU PUSPA?"

Mereka yang tadinya berkumpul di meja Dara lantas bergerak mengambil posisi masing-masing. Pak Tegar menyipitkan mata sembari berjalan ke meja guru dan menaruh tas serta bukunya.

"Dih, Bapak bulol Bu Puspa, ya? Kayak Pak Fucek---eh, Pak Rizky maksudnya," celetuk Ardi iseng mengingat bagaimana eksistensi Pak Rizky yang pernah dilempar sepatu oleh Bu Puspa.

Dengan wajah angkuh Pak Tegar menggelengkan kepala. "Gak, lah. Bu Puspa bukan tipe Bapak."

"Terus tipe Bapak yang gimana?"

"Mau kamu cariin, Dra?"

"Kagaklah. Saya aja masih jomlo, boro-boro," gerutu Andra langsung.

"Cari pacar makanya. Udah SMA kok masih jomlo. Kalah sama anak SD tetangga sebelah rumah Bapak."

"Pak."

"Iya, Sya?" sahut Pak Tegar menanggapi panggilan Ersya.

"Perlu saya cabut spion motor saya biar Bapak bisa ngaca?"

"Nice!" seru Ardi spontan sembari mengacungkan jari jempolnya.

"Agak sakit, tapi gapapa. Saya oke, Sya."

"Alay."

"Lama-lama Pak Tegar kayak gak ada harga dirinya lagi jadi guru," papar Asep yang disetujui oleh Dara.

Pak Tegar yang tadinya masih berdiri lantas bergerak duduk di meja---seperti biasa. "Udah diem dulu kalian. Bapak mau ceramah bentar."

"Pak, itu kursi kalo gak ada guna buang aja dah mending," saran Ardi menunjuk kursi yang masih tersusun rapi di balik meja guru.

"Iya, abis itu kamu yang Bapak buang."

"Asiyap."

"Udah diem dulu, Ya Allah. Salah apa Tegar punya anak murid congornya kok gak bisa tenang."

"Bapak mau ngomongin apa?" tanya si ketua kelas. Ia merasa Pak Tegar memang hendak mengatakan sesuatu yang penting. Tidak biasanya beliau serius seperti ini. Raut wajah yang biasa ceria itu mendadak muram. Dara tidak yakin perkiraannya benar atau tidak, tapi Pak Tegar terlihat sedikit bimbang.

Beliau diam sejenak, seperti menimbang-nimbang sesuatu. Raut wajahnya terlihat ragu, antara iya atau tidak. "Bapak gak mau ngomongin apa-apa sebenernya. Bapak cuman mau bilang, apapun yang terjadi, jangan ubah tekad kalian. Kalaupun nanti ada yang berubah, kalian harus tetap fokus. Ingat, ya. Bapak bukannya gak tau tujuan kalian dikumpulin sekelas ini kenapa. Bapak kenal kalian bukan sebulan-dua bulan. Tiga tahun, kalian harus bisa banggain Bapak," ungkap Pak Tegar dengan senyum haru di akhir.

"Pak."

"Kenapa, Di?"

"Saya merinding."

Lantas melempar penghapus papan tulis yang ada di meja, Pak Tegar mencibir, "Makhluk halus kok bisa merinding."

"YA ALLAH GUE DIKATAI SETAN."

"Bukan Bapak yang bilang monmaap."

Selagi Ardi mencibir pelan di sana, Dara mengangkat tangan kanannya yang langsung ditanggapi oleh Pak Tegar.

"Emangnya ada apa, Pak?"

Mendengar pertanyaan itu Pak Tegar justru tersenyum dan menggelengkan kepala. "Gak ada apa-apa. Oh, iya. Terutama kamu, Dara. Bapak lebih mengandalkan kamu sebenarnya. Jadi jangan kecewain Bapak, ya."

Dara terdiam sejenak. Merasakan sesuatu yang tidak beres. Dalam otaknya muncul berbagai spekulasi, beradu saling berlomba menciptakan dugaan yang kuat. Secara otomatis ia menoleh pada Dio, yang kebetulan ikut menatapnya. Ternyata mereka punya pikiran yang sama.

"Oke, ayok buka buku kalian. Pelanga-pelongo lagi Bapak gaplok satu-satu."

***

"Kagak anjir, cupang gue---eh," perkataan Ardi lantas terhenti kala merasa menabrak sesuatu. Ia yang tadinya mengobrol sembari berjalan ke arah belakang lantas membalikkan badan untuk melihat siapa yang ditabrak atau mungkin menabraknya.

"Ck, siapa sih...? Anjir."

Ardi diam tak berekspresi menatap cewek di hadapannya ini. Ia bersedekap, spontan mengernyitkan alis sembari mengingat-ingat sesuatu. "Bentar, muka lo gak asing."

"Mbak-mbak gorengan depan rumah Repan kali, Di," celetuk Andra asal, cewek tersebut lantas memelototinya.

"Bukan anjir. Gue inget, mbak-mbak gorengan depan rumah Repan semelehoy. Ni triplek, beda banget lah."

"Sembarangan lo!"

"Eh buset ngamuk," Ardi tersentak pelan. Ia terdiam sebentar, merasakan kilas ingatan ketika mendengar sentakan tersebut. Terbayang wajah seseorang, ia lantas menunjuk cewek tersebut dengan wajah kesal, "Lo yang kemaren dorong gue, kan? Di Pesga?"

"Apaan, sih...."

"Dia bukannya yang ngasih lo surat, Di?" tanya Dara mengingat wajah cewek tersebut. "Iya, kan?" tanyanya pada adik kelasnya yang terlihat gugup itu.

"I-iya. Itu gue!"

"Lah ketemu lagi...," Ardi melihat nametag cewek tersebut, "Dita."

"Apa, sih. Gak usah sokab. Gue udah gak suka lagi sama lo."

"Anjir, lo suka sama gue?" tanya Ardi tak percaya sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Tau, ah!" kesal, Dita menghentakkan kakinya seraya berlalu pergi.

"Lah kabur bocahnya."

"Tuhkan bener! Yang kemarin itu bukan surat biasa tau!" geram Dara gemas memukul pelan lengan Ardi.

"Itu tisu, Ra. Tisu."

"Tetep aja namanya surat!"

Ardi tak langsung membalas, tatapannya terus mengikuti punggung yang bergerak menjauh keluar area kantin itu. Selanjutnya ia menyentuh hidungnya sekilas dan mencibir, "Padahal gue mau minta tisu lagi."

"Kasian dia," kata Asep turut prihatin.

"Tau, tuh. Semoga gak trauma sih," sahut Ersya ikut mengasihani nasib adik kelas mereka tersebut.

"Ca, beliin TeaJus."

"Ca bapak lo."

"Sensi bener."

Ersya hanya mengacungkan jari tengahnya pada Farzan.

"Kalian ngerasa aneh gak sih sama Pak Tegar?" Dara tidak bisa menahannya lagi. Menurutnya hal ini perlu dibahas.

"Lumayan," balas Dio seraya menyandarkan punggungnya.

"Gue juga sebenernya, Ra. Pak Tegar emang terbilang jarang ngasih wejangan kayak tadi. Kalopun iya, timing-nya random. Jadi gue mikirnya mungkin Pak Tegar abis baca buku apaan atau kepikiran sesuatu makanya bisa kayak gitu," terang Asep menjelaskan pikirannya.

"Gue mikirnya Pak Tegar kesambet setan khilaf," Alfa menyahut dengan santai.

"Setan kalo khilaf dosa kagak?"

"Lo kalo khilaf dosa gak?"

"Si anjir. Gak sopan lo bocah ep-ep."

"Ajege," untuk kesekian kalinya Farzan mengumpat karena Ardi.

"Gue mikirnya Pak Tegar lagi ada sesuatu..., apalagi waktu itu...," Dara melirik Revan dalam diam, mengingat hanya mereka berdualah yang mengetahui sesuatu tentang Pak Tegar.

Revan mengangguk pelan. "Bisa jadi."

Menyadari ada hal yang disembunyikan, Dio melirik Dara dan Revan dengan curiga. Lirikan tajamnya berhenti ke tetangga sebelah rumahnya ketika ia bertanya, "Ada apaan?"

"Ada," tapi Revan yang malah menyahut dengan tak acuh seraya mengambil tahu goreng kesukaannya.

Beberapa saat hening, mereka sibuk dengan pikiran dan makanan masing-masing. Sampai Dara secara tiba-tiba berdiri seraya menggebrak meja. Sukses membuat Farzan yang sialnya duduk di ujung terjengkang ke samping.

"KENAPA, RA? KENAPA?"

"ITUU---eh, Zan, kok di bawah?"

Seisi kantin memerhatikan mereka. Dara menangkap beberapa cekikikan pelan dan yang lain tertawa secara blak-blakan seperti yang dilakukan oleh teman-temannya.

"Aduh, anjir. Kejengkang dia."

"Tarjan lo kalo kaget elit dikit ngapa."

"Gue mau malu tapi tingkah lo udah terlanjur kesebar anjir. Gak guna jadinya."

"Ajege," umpat Farzan sembari buru-buru berdiri dan kembali duduk di kursi sebelah Ersya. "Si Dara sambil gebrak meja gitu gimana gue gak kaget."

"Sorry, sorry. Gue refleks soalnya," balas Dara sembari menyengir tidak enak. Kemudian ia hendak melanjutkan perkataannya tadi, tetapi suara notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatian.

Dara segera mengambil ponselnya dan spontan membelalak ketika melihat nama Bu Puspa terpampang di laci notifikasi ponselnya. "Guys, Bu Puspa nge-chat."

"Lah? Ngapain dia?"

Dara menunjukkan layar ponselnya yang berisi pesan WhatsApp dari Bu Puspa. Mereka semua mendekat membaca dengan seksama.

Bu Puspa
Dara tugas praktek kau mana ya? Tugas kelen semualah udah aku tungguin loh daritadi tak datang-datang pulak kelen sampek perkataan guru lain aku abaikan tapi kelen tak muncul juga batang hidungnya tak abis pikir aku udah banyak cengkunek bertingkah pulak lah kelen sekarang aku tunggu di ruang guru datang kalian atau aku pelorotin celana kelen satu-satu

"Anjir ngetik apaan, gak ada titik komanya," keluh Andra membaca ulang pesan Bu Puspa.

Dengan alis mengernyit Alfa turut menyeletuk, "Ketikannya haram anying bikin orang mikir."

"Intinya Bu Puspa marah karna tugas kemaren gak dianter."

"Gimana mau dianter, kelar aja kagak."

"Lo sih nangis."

Dara menghela napas pelan, merasa bersalah. "Sorry...," katanya menyahut Alfa.

Dio bangkit berdiri sembari melihat ke arah Dara. "Udahlah bukan salah lo juga. Ayok bentar lagi bel."

"BAKSO GUE BELOM ABIS ANJIRLAH."

***

Dara dan Dio sebagai perwakilan memasuki ruang guru dengan perasaan yang berbeda. Dara yang tak terbiasa memasuki ruang guru karena bermasalah hanya bisa menarik napas panjang. Dio melirik sekilas cewek di sampingnya dan kembali menghadap ke depan seakan sudah terbiasa---walau memang iya.

Saat sampai di meja Bu Puspa yang berada di ujung pojok belakang, Dara melihat beliau tengah sibuk mengurusi beberapa hal. Dengan setumpuk kertas di meja sebelah kanan dan beberapa buku Biologi di sebelah kiri, meja Bu Puspa tampak sumpek.

Dara membuka mulut hendak menyapa, tetapi tanpa diduga Bu Puspa segera menyela,

"Aduh, keluar dulu kelen. Aku lagi sibuk bentar, nanti aku susul ke depan. Sekarang jangan dulu di sini kelen, pusing kali otakku, pusing," tanpa melihat ke arah mereka.

"Kami tunggu di depan, ya, Bu?"

"Iya, sanalah."

Dara tersenyum kaku dan kembali keluar dengan sopan, disusul oleh Dio. Ia melirik cowok itu kesal, tetangga sebelah rumahnya itu sepertinya memang sudah terbiasa. Tapi tetap saja harusnya beretika sopan di hadapan para guru yang jelas lebih tua dari mereka.

"Dio, sopan dikit dong."

"Bukan nyokap gue, gak penting."

Dara hanya berdecak tidak habis pikir.

"Loh ngapa keluar?"

"Disuruh nunggu. Bu Puspa lagi sibuk banget kayaknya."

"Ya udahlah, kuy kantin."

"Farzan ih kan disuruh nunggu." Dara segera menghentikan Farzan yang sudah putar balik hendak kembali menuju kantin.

"Kalian ngapain rame-rame di sini?"

Suara yang tidak asing, dan entah sejak kapan sudah masuk ke dalam daftar suara yang paling Dara tidak sukai itu terdengar. Ia berbalik badan, mendapati Pak Pon dengan wajah angkuhnya.

"Ohh, mau nemuin wali kelas kalian, ya?"

Mereka masih diam, malas menanggapi.

"Wali kelas kalian itu memang tidak becus. Anaknya terlantar, dianya kabur dengan alasan resign."

Mendengar itu, mereka serempak saling menoleh. Dara mengerjapkan kedua matanya, merasa hal itu tidak mungkin terjadi. "Bapak jangan bercanda. Kita tau Bapak emang kurang suka sama kita, tapi tolong, Pak. Gak usah nyenggol Pak Tegar," paparnya langsung tanpa pikir.

"Siapa yang nyenggol?" Pak Pon tersenyum tipis. "Si Tegar itu memang sudah resign. Besok hari terakhirnya. Eh, ternyata kalian kecepatan terlantarnya."

Dara membeku. Mereka semua mematung. Tidak menyangka hal ini akan terjadi. Padahal Pak Tegar tidak punya masalah apa-apa. Padahal Pak Tegar terlihat damai dan tenang. Pak Tegar menyenangkan, salah satu wali kelas terbaik sejauh ini. Lantas, mengapa?

"Pak Tegar..., resign?"

***

Continue Reading

You'll Also Like

9.4M 392K 63
On Going (Segera terbit) Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di ke...
2.4M 132K 29
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
4.4M 98.6K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
516K 38.8K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...