Father For Addo -g.c (Addo Se...

By frantastickris

139K 14.7K 1.3K

# Book 1 in Addo Chance Series # Addo Grey Chance adalah anak yatim. Dia sudah tidak memiliki ayah sedari k... More

Prolog
Satu: 10 tahun kemudian
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
[A/N] Lil Explanation
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Author Note-DONT IGNORE THIS
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
PS
Sembilan Belas
[A/N - break chapter] "This Is My Letter (-Addo)"
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
[A/N] Soundtrack? OFC!
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
[A/N] Real Sekuel VS FFA versi lain? VOTE [CLOSED]
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga: FLASHBACK
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Epilog
BONUS CHAPTER : " Backward 1"
BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"
BACKWARD CHAPTER PT. 3
Hola! ● Father For Addo ↔ Home Sweet Home
Welcome! Home Sweet Home

Empat Puluh Satu

1.6K 190 17
By frantastickris

Author's POV

Hal pertama yang langsung disadari Addo adalah 'apa yang telah kulakukan?' Sayangnya sudah terlambat untuk menarik lagi perbuatannya.

Dilihatnya Alice membeku. Matt masih megap-megap kaget. Semua pasang mata di homeroom masih tertuju padanya, dan semakin tajam dari sebelumnya.

Diam-diam Addo mengigit bibir bawahnya. Dia mencium Alice. Dia mencium Alice didepan Logan, Matt, didepan semua orang. Dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak tersenyum. Ciuman itu rasanya menyenangkan. Terlebih karena dia melakukannya dengan unsur nekat, perasaannya jadi membumbung dua kali lipat. Jantungnya berdebar kencang, serta perutnya seperti terkocok di roller coaster.

Pandangannya masih belum lepas dari Alice. Begitu pula gadis itu. Kemudian Addo sadar mungkin Alice justru tersinggung karena telah dipermalukan olehnya. Dan sekarang ia mulai cemas.

Addo tahu dia harus segera bicara pada Alice. Dia hendak melakukannya, namun gadis itu keburu lenyap. Logan menariknya pergi. Mereka meninggalkan homeroom.

Tanpa membuang waktu, Addo berlari menyusul mereka berdua. Dia sempat mendengar Matt berteriak melarangnya pergi, tapi dia tak sedikitpun memperlambat langkah kakinya.

Logan menarik Alice kasar menuju kebun anggrek sekolah yang sepi. Disana ia berteriak, sampai memaki Alice yang tak mampu berkata apa-apa. Gadis itu hanya menunduk, gemetar menahan tangis.

Tiba-tiba tangan Logan bergerak hendak menampar Alice. Alice sudah menutup matanya, pasrah, tangisnya pecah saat itu juga. Akan tetapi tepat sedetik sebelum tamparan itu terjadi, tangan Addo menangkap tangan Logan.

"Kau ini tidak punya otak, ya? Yang harusnya kau tampar dan hajar adalah aku! Bukan dia!" bentak Addo. Dia dan Logan saling bertatapan. Sebisa mungkin Addo menahan emosinya yang sebenarnya sudah diujung. Logan menampik genggaman Addo, membebaskan tangannya. Kemudian dia mendorong Alice minggir, namun dengan cara yang agak kasar.

"Dia juga salah!" Logan bersikukuh. "Dia juga menerima saja ciuman dari lelaki lain! Apalagi namanya kalau bukan perempuan murah? Aku tak pernah menyangka kau serendah itu," dia berpaling ke Alice yang menangis makin kencang. Logan menatapnya tajam. Kemudian, tiga kata berikutnya dari Logan adalah tiga kata terhina yang pernah didengar Alice seumur hidupnya.

"What a bitch."

Tendangan Addo langsung mendarat di punggung Logan. Dia tersungkur keras di tanah dan tidak bisa bangkit lagi. Alice refleks mundur ketika Logan jatuh terperosok ke arahnya. Namun diluar dugaan Addo, gadis itu berlari meninggalkan kebun anggrek.

Addo sadar bahwa seumur hidupnya, dia tidak akan pernah bisa melupakan kejadian hari ini. Mungkin juga setelah hari ini Alice tak akan kembali lagi ke dalam jalur hidupnya. Addo merasa dadanya sesak dan matanya panas. Logan juga temannya. Dia tahu sudah berapa lama Logan menunggu Alice—jauh lebih lama dari dirinya.

Tapi hari ini Addo mengakhiri kisah mereka berdua. Dia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri dan berakhir merusak hubungan percintaan dua teman baiknya sendiri. Terlambat baginya baru menyadari betapa besar kesalahan yang ia buat... Dan itu karena ia tidak pernah sadar diri dengan masih menginginkan Alice dari awal. Akan tetapi Addo memang tidak pernah bisa membohongi perasaannya sendiri.

Addo menunduk. Setetes air mata jatuh dari masing-masing pelupuk matanya. Logan mencoba bangkit perlahan sambil mengerang menahan sakit, dan Addo hanya punya keberanian untuk memperhatikannya. Sekarang ia memikirkan Alice. Ia telah kehilangan gadis itu. Lalu dia melihat Logan lagi. Dia juga kehilangan teman baiknya.

Tidak ada yang bisa dia perbaiki sekarang.

Addo berusaha menahan tangisnya, tapi justru air matanya semakin banyak yang bercucuran. Dia menendang sebuah pot bunga hingga isinya tumpah. Kepalanya berdenyut menahan sakit karena memikirkan segalanya. Dadanya terasa berat, untuk menarik napas saja rasanya susah baginya. Beban perasaan seolah-olah telah berubah nyata menjadi batu beton dan menghimpit dadanya

Logan akhirnya berhasil bangkit, walaupun masih terus mengerang kesakitan. Dilihatnya Addo menangis dan entah bagaimana, seluruh amarahnya lenyap.

Logan tak akan lupa kalau dia dan Addo adalah teman. Walau kadangkala dia suka mengungkit-ungkit hal paling sensitif dalam hidup Addo—ayahnya—tapi Addo tidak pernah benar-benar marah kepadanya.

Logan masih memperhatikan Addo. Diam-diam dia mengintrospeksi dirinya sendiri; mungkin, Addo hanya tidak ingin Alice terluka. Dalam benaknya, lelaki bermata hijau itu menyangka mungkin selama ini Addo hanya berusaha melindungi sahabatnya.

Kembali terbayang ketika ia ingin menampar Alice beberapa saat sebelumnya. Perasaan bersalah langsung menyergapnya cepat.

Tapi Logan tak mengerti kenapa Addo mencium Alice. Kecuali...

Tentu saja, batinnya. Dengan sekejap ia tahu.

Logan menghampiri Addo, lalu meninju pundaknya tak terlalu kuat, selayaknya mereka sering saling menyapa ketika bertemu. Addo mendongak. Matanya merah serta berair.

Logan justru menyambutnya santai, seperti tidak ada yang baru saja terjadi. Lelaki pirang itu mencengkram bahu Addo, meremasnya singkat sebelum mulai bicara.

"Aku senang kau sadar dengan kesalahanmu," katanya. "Jadi, tampaknya kita akan membuat sebuah kesepakatan baik dengan mudah, bukan begitu?"

Addo tidak bisa menjawab apapun kecuali mengangguk dua kali.

"Well, kawan. Yeah kita berteman, dan aku juga sayang kehilangan sobat baik sepertimu. Jadi aku hanya akan memberimu peringatan. Jauhi Alice. Dia hanya milikku. Paham?"

"Tentu," gumam Addo pelan. "Aku juga telah berpikir untuk menjauhinya. Dia tidak akan memaafkanku, aku ya—"

"Ya, ya. Baguslah kau akhirnya paham," Logan memotongnya cepat. "Kalau begitu, sampai jumpa." Tangannya menepuk pundak Addo dua kali lagi sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu juga.

Addo tahu dia tidak akan bisa meninggalkan Alice semudah perjanjiannya itu. Tapi dia tidak punya pilihan lain.

***

"Sayang, apa yang kau pikirkan?" tanya Pat setelah melihat Greyson hanya berdiam diri di pojok ruang kerjanya.

"Maksudmu dengan pikirkan?"

"Dari tadi kau hanya diam disana. Ceritakanlah apa yang membuatmu cemas, Sayang."

Greyson tidak langsung menjawab. Ia menghampiri Pat, mengambang disamping kursinya. Pat memutar posisi duduk supaya bisa berhadapan dengannya.

"Tidak ada yang kukhawatirkan, Sayang, sungguh," Greyson tersenyum. "Semuanya baik-baik saja. Menurutmu begitu juga, kan?"

"Ya tentu saja," Pat balas tersenyum. "Kau ini aneh. Aku tanya apa, kau malah balik bertanya," wanita itu terkekeh pelan dan Greyson hanya memberinya senyuman lagi.

"Lanjutkan saja pekerjaanmu. Oh ya, jangan lupa makan malam untuk Addo. Anak itu makin kurus saja kalau aku perhatikan," setelah berkata begitu, Greyson menghilang.

"T-tung—ya sudahlah." Pat mengatupkan kedua bibirnya rapat dan menghela napas, mencoba sabar karena sebenarnya ia masih ingin berduaan dengan Greyson. Tapi hantu itu malah langsung main pergi saja seenaknya. Satu-satunya jalan Pat menghibur dirinya adalah dengan bahwa mengatakan bahwa nanti dia bisa bertemu Greyson lagi, setelah semua pekerjaannya selesai.

Setelah memperbaiki posisi duduk kembali menghadap meja, Pat meraih kembali beberapa berkas laporan anggaran sekolah dan mulai membacanya dari awal. Namun tak lama kemudian, dia kembali diganggu.

"Pat! Patricia kau dimana?! Astaga, Patricia Gilbson!"

Pat menutup mata mendengar teriakan Cheryl, ibunya, dari luar. Entahlah, Pat juga tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ibunya sering sekali teriak-teriak seperti itu.

"Coming, Mom!" sahutnya dan terpaksa kembali meletakkan berkas di meja. Pat sempat mencarinya diseluruh penjuru lantai satu, namun Cheryl tidak berhasil diketemukan. Teriakannya terus terdengar dan makin lama makin membuat Pat jengkel.

"Pat, apa kau sudah mulai tuli, ya?" teriaknya lagi. Pat mendengarkannya baik-baik kali ini, dan asalnya ternyata dari lantai dua. Bergegas ia naik lagi kesana.

"Sabar, Bu! I'm on my way!" Pat mengikuti suara Cheryl yang mengantarnya ke kamar tidurnya sendiri. Dia mendapati ibunya disana, dengan kondisi seisi kamar telah berubah menjadi kapal pecah. Begitu banyak barang berserakan di lantai dan kasur, membuat Pat kembali harus menghela napas panjang agar tidak seketika meledak marah-marah.

"Ada apa in—" langkahnya terhenti ketika melihat ada setelan piyama bayi berwarna biru motif beruang tergeletak dekat kaki pintu. Dipungutnya piyama itu.

"Bu, kenapa..." Pat memerhatikan benda-benda yang lain: boneka, topi, baju-baju bayi, dot... semua adalah barang-barang Addo ketika dia masih bayi. Kemudian Pat ingat, dia menyimpan semua barang-barang lama Addo dengan rapi didalam kardus di bawah kasur. Benar saja. Saat Pat mengedarkan pandangannya lagi, ia melihat sebuah kardus besar tergeletak di lantai dalam posisi terbalik. Pat tidak habis pikir bagaimana ibunya bisa menemukan kardus itu.

Dia segera berjongkok dan memungut kembali barang-barang yang berserakan, satu persatu.

"Bu, kenapa kau mengeluarkan semuanya?" tanyanya seraya mendongak padanya. Cheryl tidak menyahut. Ia hanya berdiri dengan kedua tangan terlipat didepan dada. Pat kembali lanjut memungut baju-baju Addo lalu melipatnya hingga rapi. Tangannya hendak meraih kardus, tapi Cheryl mengambilnya lebih dulu.

"Ibu?"

"Buang barang-barang bekas itu, Pat. Buat apa menyimpan barang yang tidak dipakai lagi? Hanya menambah debu saja."

"Barang bekas?" ulangku tajam. Sampai disini dia tersinggung. "Ini semua punya Addo dan aku tidak akan pernah membuangnya! Mereka semua memiliki kenangan tersendiri, Bu, tidak satupun dari benda-benda ini adalah barang bekas!"

"Terserah. Tapi besok, Ibu pastikan kamar ini bersih dari benda-benda kumal ini," kata Cheryl lalu pergi keluar kamar.

"Oh tidak," Pat menggeleng. Sejujurnya ia tidak tahu sudah pasrah atau marah dengan tingkah laku ibunya, atau mungkin keduanya. Tapi Pat segera meletakkan kembali pakaian-pakaian bayi Addo sebelum menyusul Ibunya keluar. "Tunggu dulu, Bu! Kumohon! Ah!" langkahnya terhenti saat Greyson tiba-tiba muncul menghadang di tengah jalan pintu.

"Kenapa?" tanyanya polos.

"Jangan sekarang," jawab Pat acuh dan terus berjalan maju. Greyson segera memilih minggir karena masih ingat kan, Pat akan merasa sakit jika bersentuhan dengannya?

Pat menemukan Cheryl sedang duduk di ruang tengah, menonton TV dengan santai. Sekaranglah saat yang bagus, batin Pat berkata. Pat harus segera membicarakan masalah ini dengan ibunya. Dia tahu dia tidak bisa terus-terusan membiarkan hal ini terus terjadi. Pat tidak boleh membiarkan siapapun 'melukai' Addonya, dan siapapun termasuk ibunya sendiri.

"Bu," panggilnya.

"Apa?" Wanita berumur lima puluh tahun itu bahkan tidak repot menoleh ke arahnya. Pat menarik napas sambil menutup mata. Rasanya dia sudah hampir menangis karena terlalu lama menyimpan emosi sendiri. Beruntung suara didalam kepalanya terus menyemangati untuk bertahan paling tidak sebentar lagi.

"Sudah lama aku memendam ini dan sejak itu pula aku bertanya-tanya sendiri. Aku mencoba memikirkan semua cara atau penjelasan yang paling masuk akal tapi tetap saja aku tidak mengerti."

"Tentang apa?" tanya Cheryl, akhirnya menoleh ke putrinya.

"Apa yang salah dengan Addo?" []

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Aku, Patricia Teresa Gilbson, bersedia menerima Greyson Michael Chance sebagai suami. Dalam keadaan susah, senang, sehat maupun sakit. Hingga maut... memisahkan kami."

"Sekarang kau bisa mencium suamimu." []

----------------------------------------------------------------------------------------------------------    

Continue Reading

You'll Also Like

408K 35.8K 56
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
728K 22.8K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
84.8K 5.6K 19
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
722K 18.9K 58
Altan Ferhan, direktur perusahaan ritel yang dipaksa berjodoh dengan gadis pelayan cafe karena penjanjian orang tuanya di masa lalu. Penyakit sang Pa...