The WIP

Autorstwa zzztare

2.6K 630 653

[First draft; completed] [TOP 1 MWM NPC 2021] [R15+] [Other Side Series#1] Leana hanya ingin menemukan Fuma... Więcej

Sebelum Bulan Mei
Prolog
1. Fuma
2. Anyelir
3. Sekretaris
4. Mimpi
5. Ujian
6. Hilang
7. Petunjuk
8. Curiga
9. Obrolan
10. Rencana
11. Kesepakatan
12. Zleth
14. Perjalanan
15. Hari Pertama
16. Malam
17. Suram
18. Hari Kedua
19. Diri yang Lain
20. Teka-Teki
21. Hutan
22. Rapat
23. Mata-Mata
24. Keributan
25. Dua Jam
26. Kisah Anyelir
27. Komunikasi
28. Emosi
29. Kabut
30. Mewujud
31. Melanjutkan
32. Kembali
Epilog
Kilas#1: Sudut Pandang Anyelir
Kilas#2: Sudut Pandang Gerald
Ekstra: Wisuda
Ekstra II: Episode Selanjutnya
Ini Bukan Update Bab Baru
Ekstra III: Karyawisata

13. Keberangkatan

61 16 23
Autorstwa zzztare

Otw jadi omniscient POV

****

Satu pikiran--atau fakta--yang sangat menyeramkan.

Leana tentu ingat bagaimana ujiannya kacau. Ia terkantuk-kantuk dan hampir tertidur ketika sedang membaca soal. Atau jangan-jangan ia memang tertidur? Saat ia mengingat-ingat, sepertinya ia tak menggunakan kertas coretan sedikit pun. Apakah ia sempat memegang pensil? Apakah ia menulis rumus?

Leana merinding sejadi-jadinya. Jadi, itu bukan hoki semata? Jadi, ada sesuatu yang mengambil alih dirinya?

"Kamu akan membacanya tiap malam. Apa yang sudah Fuma rencanakan, siapa saja tokoh yang muncul, yang baik, yang jahat, yang akan mati ...."

Kali ini, tiap hendak tidur, Leana akan berselimut rapat-rapat, berharap tak ada yang mengganggu istirahatnya. Entah dirinya sendiri yang tiba-tiba "melayang" atau malah ada sesuatu yang merasuki tubuhnya. Leana tertekan sendiri. Ia jadi parno untuk memejamkan mata. Lagi-lagi ia kurang tidur. Malam-malamnya dihantui mimpi yang teramat nyata.

"Lea, buat lima hari, kan?"

Leana mengangguk lesu. Hari ini, ia berbelanja kebutuhan untuk bepergian bersama ibunya. Besok ia berangkat, tetapi mood Leana masih kacau.

"Kenapa kamu kayak gembel begitu, sih?" tanya Ibu. "Kurang tidur, ya? Mimpi buruk? Hayo, enggak baca doa."

"Baca doa, kok," sanggah Leana. "Tapi tetep kurang tidur."

"Banyak pikiran?"

Banget, sahut Leana dalam hati. Namun, ia tak berminat cerita soal semua keanehan yang ia alami, terutama di dalam mimpi. Reaksi orang tua biasanya sama: cuma bunga tidur!

"Bapak udah seneng lo kamu bisa di atas passing grade SMA favorit," ujar Ibu. "Kamu harus seneng juga. Besok bareng-bareng temenmu. Nikmati saat-saat terakhir sama mereka. Namanya kan perpisahan."

Leana mengangguk-angguk saja sepanjang petuah Ibu. Ia mengecek daftar belanjaannya dan memasukkan beberapa bahan makanan. Ibu yang sudah tahu rombongan anaknya akan masak sendiri selama beberapa hari menyampaikan beberapa saran. Buat makanan yang simpel. Bahan sedikit, tapi bisa buat banyak porsi. Kalau enggak mau berat bawa banyak beras, kalian sarapan roti saja. Enggak sekalian bawa plastik buat bikin es? Lumayan buat seger-segeran.

"Lea, mau beli jaket? Yang itu kan sudah dari kamu kelas 6," ujar Ibu sambil menunjuk satu arah, tempat baju-baju dipajang.

Leana menggeleng. "Masih kegedean ini."

"Tapi gembel."

"Bu!" Leana protes juga. "Yang penting masih bisa dipakai. Aku beli lagi kalau yang ini sudah rusak atau kekecilan aja."

"Ya sudah, ini beli sekarang aja, kamu pakai nanti-nanti. Sayang banget kalau kamu pake baju lama begitu. Nanti dikira Ibu enggak punya uang buat beliin kamu baju."

Leana sama sekali tak mempermasalahkan barang-barang lama yang ia kenakan, selagi masih layak. Namun, ia menurut saja. Untuk sekarang mungkin tidak apa-apa memakai jaket lamanya, tetapi kalau sudah masuk SMA di tempat favorit dengan banyak orang berpakaian modis? Bisa minder ia.

Ah, Leana jadi ingat lagi soal nilai ujiannya. Dingin merambati hatinya. Perasaan bersalah, berdosa, dongkol, marah, dan takut jadi satu. Ia benci sontekan. Ia benci kerja sama saat ujian. Ia benci kecurangan. Leana masih menoleransi kehokian seseorang. Namun, dirinya sendiri?

Leana merasa, itu benar-benar bukan dirinya.

****

"Leana ...."

Leana sudah kehilangan kata-kata jika bertemu Zleth lagi. Ia hanya bisa mematung, menatap tak suka.

"Jadi, kamu sungguhan tidak mau melanjutkan?"

Pertanyaan Zleth terdengar begitu menusuk bagi Leana. Nadanya tajam, seperti memaksa.

"Aku tahu, besok kamu akan pergi, kan?"

"Sejauh apa Anda tahu tentangku?" tantang Leana.

"Sejauh apa? Hanya sebatas sejak kamu menggambarku."

Leana terdiam. Ia melihat pemandangan di hadapannya berganti. Bangunan itu. Rumah yang disewakan menjadi vila. Kalau kemarin-kemarin Leana semangat mencari tahu tentang Fuma di sana, kali ini keraguan meliputi hatinya.

"Rumah Fuma, bukankah begitu?"

Leana membuang napas. Ia harus berani. Rencana sudah ada, meski sebatas menginspeksi satu-satunya kamar yang ia kenali.

"Leana, kamu harus ikut karyawisata besok."

Leana kaget mendengarnya. "Kenapa kamu mewajibkanku?"

"Karena semuanya akan baik-baik saja." Zleth tersenyum. Senyuman biasa, bukan menakutkan. "Aku ingin memberi keberanian padamu. Kalau ada temanmu yang bertingkah lagi, katakan dengan lantang supaya tidak mengganggumu. Karena, kalau kamu sampai merasa terganggu dengan seseorang, bisa jadi ada sesuatu yang tidak diinginkan."

"Maksudnya?"

"Maksudnya ... kamu akan tahu besok." Zleth menatap Leana.

Leana bagai terhipnotis. Mata merah itu memberi isyarat yang dalam. Sesuatu yang tidak dimengerti Leana.

"Kamu kesal."

"Hah?"

"Kamu kesal dengan beberapa orang." Zleth berbalik. "Sampai bertemu besok, Leana. Semoga kamu tidak lagi ditindas."

Lalu semuanya menggelap.

****

Leana merapatkan topinya. Ia tak mau terlihat kurang tidur, meski kantuk menyerang sejak tadi. Ia merasa buruk. Amat buruk.

Bapak tampak senang saat mengantarkan Leana ke sekolah, titik kumpul pertama. Empat bus sudah berkumpul. Tiga untuk murid, satu untuk guru dan keluarga. Pembagian bus per kelas dibacakan. Leana menyeret kopernya lunglai dan mengangkatnya ke dalam bagasi. Untung Gerald muncul dan buru-buru menyambar kopernya sebelum Leana yang nyungsruk ke dalam bagasi.

"Kenapa enggak minta tolong, sih?" Ia malah kena omel.

"Malas ngomong," sahut Leana. Selanjutnya, ia mencari Anya. Ia mendapati Anya sedang duduk di bawah pohon tepi lapangan sambil memainkan gawainya. Untung anak itu sungguhan ikut. Kalau tidak, Leana tak tahu apakah ia masih berniat ikut atau tidak--selain dengan alasan diseret Gerald.

"Mimpi buruk?" sapa Anya begitu Leana mengempaskan diri di sampingnya.

"Kamu masih ingat Zleth, kan?" tanya Leana. "Udah lama banget aku enggak gambar dia. Tapi, dia ... nongol di mimpi."

Anya tak menyahut. Ia, hanya menatap Leana, menuntut lanjutan.

"Dia itu fiksi, kan? Maksudnya, kalaupun dia ngajak ngomong aku di dalam mimpi, itu cuma bayanganku aja, kan?" Leana bertanya dengan nada amat lemas. "Dia bilang, lihat besok. Hari ini. Apa yang bakal terjadi hari ini? Aku enggak ada bayangan. Aku ... aku mau tidur saja."

Baru saja bicara begitu, Leana sudah mengangguk-angguk alias ketiduran. Anya sampai harus mengguncangnya ketika sirene TOA mengaung, menandakan waktu berkumpul. Gerald bersama salah seorang guru berdiri di depan barisan, memberikan pengumuman seputar teknis, destinasi pertama mereka, serta dilanjut doa bersama.

Leana menurut saja sepanjang Anya menariknya naik bus. Ia langsung tertidur begitu duduk, tak peduli kasak-kusuk sepanjang perjalanan. Tidak ada mimpi, tak ada pula yang mengganggunya.

****

Anya bisa paham kegelisahan Leana, tetapi ia tak tahu harus berkomentar apa. Dunia mimpi adalah abstrak baginya. Banyak yang bisa terjadi selama orang kehilangan kesadaran, termasuk tiba-tiba kehilangan nyawa.

Anya terhenyak. Mengapa pikirannya sampai sejauh itu? Ia menggeleng. Tragedi apa pun yang terjadi, tak pernah sampai ada korban jiwa. Justru Anya yang jadi korban.

"Nya, apa menurutmu Leana bisa menikmati jalan-jalan? Dia kayak orang tertekan."

Anya melonjak saat tiba-tiba Gerald muncul di sampingnya. "Dia memang tertekan."

"Oh, ya sih. Dia cuma sering ngobrol sama kamu doang. Mohon bantuannya ya." Gerald berdeham. "Enggak boleh ada yang tersisih dan sendirian selama kita wisata."

"Oh, kan selain aku, ada kamu yang bisa berisik ke dia. Kalau kita berdua terus, nanti jadi 'dua orang yang tersisih dan terabaikan'," sahut Anya agak tajam.

"Duh, kamu kenapa gampang ngomel, sih? Pantes orang pada ngehindar," sungut Gerald.

"Enggak papa. Memang tujuanku biar enggak terlalu dikenal. Aku enggak suka perhatian." Anya bersedekap. "Tapi, Leana sendirian ... dan dari semua yang ia ceritakan, aku merasa harus ada yang menemaninya. Lebih tepatnya, aku harus ada di dekatnya."

"Kamu merasa begitu juga?"

"Juga?" Anya menatap Gerald aneh. "Maksudnya?"

"Maksudnya ... bukan sekadar kasihan atau enggak tega karena di penghujung sekolah ada anak yang dikucilkan. Tapi, ngerasa kayak ... sedikit lebih protektif?" Gerald tampak salah tingkah.

"Hm, kamu merasa kayak gitu?" Anya agak kaget. "Di luar sikapmu yang gaul dan enggak suka melihat orang sendirian ... kamu merasa Leana harus dijaga?"

"Aduh." Gerald menutup wajahnya. "Omonganku aneh banget, ya."

"Iya, tapi untung kamu ngomongnya ke aku."

"Kenapa emang?" Gerald mengintip dari sela jarinya.

"Soalnya, kamu benar. Aku merasa begitu." Anya merasa gelisah. "Jadi, makanya ... kalau kamu tiba-tiba ngomong hal aneh, kayak kata horor, kamu langsung ngelirik aku?"

"Ya ampun, ketahuan!" Lagi-lagi Gerald menutup wajahnya.

"Ger, kamu bisa merasakannya, kan?"

"Ya?" Gerald tak melepas tangannya dari wajah, tampak ingin sembunyi saja.

"Di belakangku. Kamu tahu ada yang sedang menatapmu, kan? Makanya kamu sering tiba-tiba keder atau diam kalau ngomong sama aku."

Suasana riuh di kursi belakang, tetapi tidak di bagian depan. Leana tertidur pulas, sementara Anya duduk di sampingnya dan Gerald berdiri di lorong antarbangku.

Hening.

(Bersambung)

****
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1321 words

***

Baru ditulis abis tarawih, sekitar 20.45 sampe 22.10 heheu kebanyakan bengong sayanya.

Jadi hari ini bisa dobel update /terharu/ dan maso 20k kata :')

Gais saya beneran mau ngilang tapi kok rasanya naskah ini sangat menuntut buat dilanjut ya :') mana outline yang saya susun selalu bubar karena muncul ide baru pas ngetik, selalu.

(Tapi beneran, abis ini mau banyakin ngaji, dan ujian asrama yang harusin saya maso di hal lain--murojaah, guys ;-;)

Oh ya

Selama ini saya nahan diri pake POV Leana soalnya takut kalo berubah jadi Anya nanti jadi second lead syndrome (eh?) Wkwk gadeng. Maksudnya, si Anya yang merupakan perpanjangan Tare alias tokoh yang harus ada di semua cerita (karakter cewek berjilbab yang eksentrik) emang lebih saya sukai ;-; dan biasanya ngaruh ke pembaca, haha.

Tapi kayaknya habis ini saya bakal pindah-pindah kepala kayak konsep awal cerita ini setahun lalu~ antara Leana, Anya, atau Gerald.

Ehm, kalo ada yang baca sampe sini, boleh komen dong apa yang bikin kalian tetep lanjut baca? :'3

Jangan lupa terus semangati saya dengan vote dan komen!! Jangan tergarami meski saya hobi tebar garam.

JKT, 8/5/21
AL. TARE

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

69.8K 9.6K 39
Gris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatu...
39.7K 2.6K 164
[ BL TERJEMAHAN ] RAW TRANSLATE!! NO EDIT!! di terjemahkan dengan Google Translate Judul Asli : 風水大佬穿成豪門假少爺後 Penulis: 飲爾 Status: Complete (155 + 5 ex...
58.7K 7.2K 36
[Pemenang Wattys2020 - Horror] Nyawa seorang pemuda desa sedang terancam. Kehilangan kedua orang tuanya membuktikan kebenarannya. Bermula dari mitos...
21.6K 4.1K 42
[END] JANGAN BOOMVOTE YA BEB, NOTIFNYA GANGGU. KALO MAU VOTE JGN SEKALIGUS YAA ENJIN Suka teori konspirasi dan cocoklogi? Dibaca deh. Storynya sangat...