Cat and Boy

By rosanayulia_

25.6K 4.5K 2.4K

[Younghoon ⚔️ Lalisa ⚔️ Juyeon ⚔️ Eunwoo] [Dark-Romance, Minor Fantasy] 🚫Awas! Mengandung berbagai aksi, pe... More

-Sebelum Memulai-
Prolog
C & B ⚛ Saengil Chukha Haeyo ⚛
C & B ⚛ Teka-Teki ⚛
C & B ⚛ Obat Amnesia ⚛
C & B ⚛ Kentut yang Menyakitkan ⚛
C & B ⚛ What! Am I that bitch? ⚛
C & B ⚛ Pernikahan? ⚛
C & B ⚛ Bersimbah Darah ⚛
C & B ⚛ Teror ⚛
C & B ⚛ Ketika Amis menjadi Manis ⚛
C & B ⚛ Memang Anzinc! ⚛
C & B ⚛ Injeong ⚛
C & B ⚛ Tendangan Emas ⚛
C & B ⚛ Jungkir Balik ⚛
C & B ⚛ Berani Candang ⚛
C & B ⚛ Aksi Liar ⚛
C & B ⚛ Melamun ⚛
C & B ⚛ Saranghae (사랑해)⚛
C & B ⚛ Kamu? ⚛
C & B ⚛ You can't Bother Me ⚛
C & B ⚛ Puzzle ⚛
C & B ⚛ Lari ⚛
C & B ⚛ Tembak ⚛
C & B ⚛ Menyerahkan diri ⚛
C & B ⚛ Pintu ⚛
C & B ⚛ Bius ⚛
C & B ⚛ Sleep ⚛
C & B ⚛ Misi Neon ⚛
C & B ⚛ Jatuh ⚛
C & B ⚛ Pilihan Sulit ⚛
C & B ⚛ Konspirasi Zinc ⚛
C & B ⚛ Selamat Datang ⚛
C & B ⚛ Kekuatan Ilusi ⚛
C & B ⚛ Mati ⚛
C & B ⚛ Anomali ⚛
C & B ⚛ Suram ⚛
C & B ⚛ Adu Kekuatan ⚛
C & B ⚛ Tonggak Sejarah ⚛
C & B ⚛ Evolusi Kilat ⚛
C & B ⚛ Malam Pertama ⚛
C & B ⚛ DILEMA ⚛
C & B⚛ Alexithymia ⚛
C & B ⚛ Gairah ⚛
C & B ⚛ Malam Kedua ⚛
C & B⚛ Jelang Akhir ⚛
C & B ⚛ Come back⚛
APAAN NIH!
C & B ⚛ Goodbye ⚛
C & B ⚛ Awal Kehancuran ⚛
C & B ⚛ Reveal ⚛
C & B ⚛ Mati (2) ⚛
C & B ⚛ Quasi Una Fantasia ⚛
C & B ⚛ Selesai? ⚛
C & B ⚛ Goodbye, An ⚛
C & B ⚛ Dejavu ⚛
C&B ⚛ Challenge ⚛
C & B ⚛ Angel ⚛
C & B ⚛ Ayo, Kita Menikah ⚛
C & B ⚛ Meet With Zinc ⚛

C & B ⚛ Kamuflase ⚛

273 25 15
By rosanayulia_

Bab 58

Satu hari yang lalu....

"Jadi, bukan kalian pelakunya?"

Pandangan Zinc menyapu semua penghuni ruang bawah tanah, dari ujung kiri sampai kanan, semua makhluk itu tengah duduk di atas balok-balok yang sengaja ditumpuk dan terkesan berantakan, tetapi aman untuk di tempati.

Merasa diri sebagai pemilik rumah, salah satu tangan Zinc sengaja dikebelakangkan kursi, alhasil sifat arogannya tampak sempurna di hadapan perempuan yang satu-satunya berada di sana.

Bukannya takut, si perempuan yang merupakan pemilik ruang ilegal tersebut, menoleh ke pria yang memiliki rahang tegas dan berparas rupawan. "Jingga, sentuhlah dia, berikan dia akses agar dapat melihat kenyataan yang sesungguhnya."

"Tentu, Rubidium," jawab Jingga mantap, sebelum berjalan menuju Zinc yang duduk beberapa meter darinya.

Menyisakan dua langkah lagi, Zinc memberi arahan kepada Jingga untuk mencium leher bagian belakang Zinc. Seketika, Jingga terdiam dengan raut muka ribuan prasangka terhadap pria yang sekarang tersenyum sinis.

"Lakukan saja... saya tidak memiliki perasaan terhadap apapun. Lagi pula, bibir adalah bagian tubuh manusia yang sensitif, maka akan lebih mudah saya mendapatkan informasi."

Sekalipun Zinc memberi penjelasan, ada penolakan dalam hati kecil Jingga yang membuat mulutnya terbuka, berniat untuk melontarkan argumen. Namun, Rubidium kembali memberi instruksi yang sedikit terdengar melengking.

"Cepatlah, lakukan...! Apa yang kamu tunggu...?!"

Sudah hafal dengan kehidupan Zinc, sejak beberapa tahun yang lalu. Dengan penuh keyakinan, Rubidium setuju dari setiap apa yang diinginkan Zinc. Terlebih, ia memiliki sebuah rencana yang pasti akan menguntungkan dia sendiri. Alih-alih, mengemukakan to the point, Rubidium mendekat dan memperhatikannya dengan seksama kegiatan Zinc dan Jingga detik ini.

Iya, sesuai dengan permintaan, Jingga dengan ogah-ogahan menyatukan bibirnya dengan leher Zinc. Sontak saja, kegiatan tersebut, seperti sesosok vampir yang tengah menghisap darah manusia. Padahal, realitas yang terjadi adalah penelusuran kegiatan Jingga beberapa jam sebelumnya oleh pria yang secara otomatis menutupkan netra. Menyelami apa saja yang telah dilakukan Jingga, hingga leher Zinc bergerak seiring dengan otak yang menemukan serpihan memori. Sementara, Jingga mulai merasa tak nyaman, dan berniat untuk membebaskan diri.

"Lanjutkan... akan lebih menyenangkan, jika kamu menikmati keinginan dia." Mustahil, keinginan Jingga dapat terkabul, akibat Rubidium berbisik sembari menekan punggung Jingga yang hendak berdiri tegap.

Dampaknya, Jingga terpengaruh oleh Rubidium, ia tidak hanya menyatukan kembali bibirnya pada titik paling sensitif di leher Zinc, tetapi juga mulai 'bermain-main', meski awalnya sedikit ragu.

Tak lama, suara khas pria dikeluarkan, melebihi orang yang menikmati minuman, tanpa disadari, Zinc 'mendesah' dan bergerak tak karuan, kala Jingga bertindak binal di sana. Refleks, Rubidium melebarkan netra sesaat, sebelum melihat Zinc dari arah depan. "Wow... aku pikir, dirimu adalah monster seperti ayahmu... good job, Jingga."

Prok... Prok... Prok...

"S**t...!" Baru saja Rubidium memberi tepuk tangan, Zinc tersadar dengan membuka netra serta membebaskan diri secara kasar, melepaskan tautan mereka yang melebihi batas. Terlihatlah, raut muka dongkol serta pelototan yang Zinc tampakkan terhadap perempuan yang justru tersenyum miring. "Terserah apa yang kalian pikirkan, yang jelas saya bukan manusia lemah seperti kalian....!"

Usai memperoleh informasi yang Zinc butuhkan, pria itu berdiri, kemudian mendekati Rubidium yang masih menampilkan sikap arogan. Menyisakan beberapa meter saja, mereka berhadapan, bukan karena saling suka, melainkan tatapan tak suka yang mereka tampakkan.

"Apa...? Kamu ingin memarahiku lagi?" tantang Rubidium sembari tangan yang memegang pinggang. Sementara, Zinc mendengkus, menatap tajam sepasang iris perempuan itu.

"Urusan kita belum selesai... jangan sampai, permasalahan ini semakin rumit oleh tindakanmu yang semena-mena...."

"Semena-mena?!"

Ujaran Rubidium hanya dianggap angin oleh Zinc yang meninggalkan ruang bawah tanah. Tentu, Rubidium amat kesal dengan apa yang telah dilakukan Zinc, ditambah para pria berbadan kekar tiba-tiba berhamburan masuk ke ruang bawah tanahnya. Bukan untuk bertarung, akan tetapi menuju tahanan Zinc yang berada di pojok ruang, lebih tepatnya adalah penjara. Baru saja tiba di depan sel tahanan, salah satu dari anak buah Zinc berbicara.

"Sesuai dengan perkataan Tuan, kalian tidak boleh bertindak dan ikut campur dengan tahanan kami...!"

Jelas, tindakan Zinc yang amat keterlaluan, membuat Jingga hendak merespon, tetapi didahului oleh Rubidium yang menghembuskan napas berat sembari menutupkan netra. "Biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau...."

Secara bergilir, Rubidium yang telah berbalik, menatap para anak buahnya yang kompak mengepalkan tangan. "Tenanglah... lebih baik kalian melakukan aktivitas seperti biasanya... dan persiapkan untuk rencana A."

Ajaib, semua anak buahnya bergerak sesuai dengan apa yang telah Rubidium siasatkan. Hingga, menyisakan Rubidium dan Jingga yang berada di ruang itu untuk beberapa saat, sebelum Rubidium berjalan keluar sembari menerima panggilan dari seseorang.

"...."

"Kamu yakin?"

"..."

"Bagus sekali... dengan begitu, anak dari Flour akan terpanah dari segalah arah...."

Layaknya amnesia dengan kejadian sebelumnya, sorot netra Rubidium mendadak bersinar. Melebihi semburat jingga yang tergores di langit senja, senyum Rubidium mengembang kala berita baik ia terima, lebih-lebih lagi ia semakin semangat untuk melancarkan serangannya terhadap perempuan yang sama sekali tidak melakukan kesalahan.

"Aku semakin tidak sabar untuk memainkan bonekaku...."

Boneka yang dimaksud Rubidium memanglah Zinc. Berbicara tentang Zinc, mobil yang dikendarai oleh pria itu telah sampai di depan bangunan megah dan mewah. Kurang dari sepuluh detik, Zinc yang baru saja turun dari mobil, mendapati kendaraan beroda empat lain yang memasuki pekarangan tempat tinggal ini.

Dengan keyakinan begitu tinggi, Zinc menghentikan mobil tersebut melalui vokalnya yang amat tinggi. "Selamat datang, pecundang...!"

Seketika beberapa pria berpakaian serba hitam tiba-tiba keluar dari antah berantah, dan mengelilingi Zinc dari segala arah. Zinc sekali lagi yakin bahwa mereka adalah para pengawal ayahnya dan bersiap melakukan pembalasan atas sikap tidak sopan Zinc. Namun, Zinc tampak rileks dengan senyum sinis yang senantiasa melekat pada wajah rupawannya.

"Ada apa...? Kalian mau membunuhku, karena berani memanggil dia adalah pecundang?" tunjuk Zinc kepada pria yang baru saja turun dari mobil dengan dikawal ketat oleh lima bodyguard sekaligus.

Seketika, kepala pistol mengarah ke seluruh tubuh Zinc, selain beberapa pasang mata yang menatapnya tajam. Termasuk sang pengendali semua ini yang menatap ke arah lain, sembari menyuruh mereka untuk memberi ruang dan waktu bagi sang ayah dan anaknya berbicara empat mata.

Oleh karena itu, Zinc tidak lagi mendapati sorotan dari berbagai mata dan senjata, kecuali sepasang netra yang hampir sama dengan dirinya. Gelap dan tidak terbaca,

Mendadak atmosfer panas menusuk sampai ke tulang rusu mereka. Tiada yang memulai berbicara, selain netra mereka yang terus menatap satu sama lain. Hingga, semenit telah berlalu, Zinc mendekat sambil mempertanyakan persoalan dari teka-teki ini. "Apa tujuanmu, menculik tahananmu sendiri...? Apakah faktor usia menyebabkan dirimu semakin bodoh?"

"Jadi, kamu sudah mengetahui hal itu."

"Saya bertanya, bukan memberi tahu." Tungkai Zinc berhenti, kala jarak di antara mereka menyisakan setengah meter saja.

"Justru saya semakin pintar, karena berhasil menerobos sel tahananmu... kamulah yang tampak semakin bodoh."

"Menguji, tetapi berujung kesalahan?"

Perkataan Zinc yang menohok sekaligus kebenaran itu membuat sang ayah menutupkan mulut sambil menyelidiki raut muka Zinc.

Benar, berkat kelihaian membaca masa lalunya, Zinc dapat mengetahui bahwa para anak buah ayahnya sendiri yang menculik tahanan mereka, tetapi si tahanan tetap berusaha meloloskan diri, walaupun kemungkinan untuk lolos hanya seukuran lubang jarum. Sampai, usaha sang korban akhirnya menemukan titik 'terang', karena di jalanan tempat ia melarikan diri, secara kebetulan ia bertemu dengan Jingga bersama rekannya yang ternyata mau membantu korban penculikan itu. Rupanya, tindakan baik Jingga, tidak disangka-sangka akan menguntungkan Rubidium.

Ya, Rubidium yang selama ini mencoba mencari jejak sang korban, ternyata dapat di amankan oleh Jingga melalui cara yang terbilang mulia. Bagai mendapat durian runtuh, Rubidium tidak hanya bertemu dengan seseorang yang selalu ia cari. Rubidium juga mendapatkan kesempatan emas untuk menjadikan Zinc sebagai sekutu, bahkan 'boneka' dalam rangka membalaskan dendam.

"Jangan bilang, Jingga yang merupakan anak buah Rubidium adalah kawanmu." Akhirnya sang ayah memberi asumsi setelah ia mencoba isi pikiran Zinc yang mustahil untuk dibaca.

"Ternyata benar...." Zinc melepaskan kontak mata, memilih beralih untuk menatap langit malam yang warnanya tidak melebihi kehidupan gelap Zinc. "Bila dirimu gagal berbuat licik... buang-buang tenaga dan waktu saja."

"Oh, jika pekerjaan saya sia-sia, bagaimana denganmu...? apakah bukti yang berupa kalung itu ada bersamamu?"

Seperti diingatkan, Zinc kembali menoleh dengan raut muka yang kentara khawatir. "Kamu menyembunyikannya?"

"Untuk apa saya berbuat seperti—" Sebelum sang ayah menuntaskan ucapan, Zinc yang telah terlebih dahulu menarik dan menggenggam tangan sang ayah dengan sekuat tenaga. Seketika, Zinc menutupkan netra, berkeringat, serta meringis kala ingatan masa lalu ayahnya terbaca oleh Zinc.

"Maafkan kami Tuan... kami gagal menjalankan titah, tetapi berhasil mendapatkan sesuatu," ucap salah satu anak buah ayahnya sembari memamerkan benda berkilau yang terbungkus oleh plastik, yaitu kalung berliontin A.

"Bagus... kemarilah dan berikan benda itu."

Tidak hanya ayahnya yang berbicara dan berdiri di samping jendela, Byan juga ada di sana dengan posisi diam di tempat. Dimana, saudara kembar Zinc itu memperhatikan juga benda yang dibawa oleh pria berbadan kekar, sampai diberikan kepada ayahnya sendiri dengan penuh hormat.

Lantas, sang ayah yang telah puas menggenggam plastik yang berisi kalung sambil tersenyum-senyum sendiri selama beberapa detik, maka ia memberikannya ke tangan Byan, tentu saja dengan cara yang memaksa. "Inilah misimu pertama, sebelum misi utamamu."

"Apa?"

Pertanyaan polos Byan langsung saja dijawab oleh ayahnya. "Jagalah kalung ini dari Zinc... jangan sampai saudaramu, mengambil ini darimu sampai kalian menikah. Setelah itu, kamu dapat hidup aman dan sejahtera tanpa Zinc maupun ancaman lainnya."

"Ba—bagaimana mungkin saya bisa melawan—"

"Bukankah kamu ingin saya membuang Zinc...? Jadi, tunjukkanlah bahwa dirimu lebih hebat darinya."

"K*p*r*t...!" Zinc memaki dan menjaga jarak saat tersadar akan realitas. Selanjutnya, ia menatap sang ayah dengan pandangan yang kecewa sekaligus amarah tingkat tinggi. "Apa yang telah kamu lakukan?!"

"Mendaur ulang sampah."

"Sampah...?" tanya meyakinkan Zinc yang diakhiri dengan mulut yang ternganga. Sementara netranya menatap tak percaya si pria paruh baya yang sekarang menampakkan senyum pedofil.

"Iya, kamu sendiri yang menolak untuk dijodohkan... jadi, daripada kesempatan emas itu terbuang, lebih baik memanfaatkan sampah yang ada... lagi pula, kamu kan...."

Ayah Zinc yang memang makhluk sejenis manusia itu menekan dada Zinc tepat di sebelah kiri. "Monster yang memiliki jantung seperti manusia."

"Lalu, apa bedanya dengan dirimu?" Zinc menghempaskan tangan ayahnya secara kasar, ia juga memberi pelototan dengan netra yang mulai berwarna merah. "Mungkin, dirimu terlihat seperti CEO biasa, yang memiliki segudang saham, prestasi dan gelar sarjana... tetapi ingatlah, kamu yang menurunkan genetik monster ini dan kamu jauh lebih kejam daripada saya...!"

Sang ayah yang sama sekali tidak ikut terlibat emosi, ia justru mengangguk sembari cemberut. "Benar, saya setuju dengan kejujuranmu... namun...."

Kembali menggantungkan kalimat, karena ia mendekat sampai ke depan rungu Zinc untuk membisikkan sesuatu. "Bagaimana dengan dirimu yang telah membunuh beberapa orang...? Lebih buruknya lagi, benda yang dianggap sebagai bukti dari perbuatanmu tengah berada di lawanmu."

"Itu tidak buruk, jika kamu memberikannya kepada saya."

"Tidak, kamu bukan sampah daur ulang lagi, melainkan sampah yang telah menjadi racun dan harus dibuang...."

Sang ayah memilih untuk mundur kembali, agar ia dapat melihat Zinc yang merespon kenyataan pahit itu. Namun, bukannya marah ataupun memberi reaksi negatif, wajah Zinc yang sudah tergores oleh luka dan darah, kini semakin tampak berwarna, kala bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. Manis, rupawan, dan aneh, itulah kata si penglihat.

"Kenapa, tersenyum seperti itu?"

"Mungkin, ini yang dinamakan perasaan senang... karena, mulai detik ini saya sudah terbebas dari dirimu... jadi...." Lagi-lagi meleset dari dugaan, Zinc merogoh saku untuk mengambil dompet, berniat mengembalikan semua harta sang ayah yang pernah diberikan kepadanya.

"Ini bukan milik saya lagi," final Zinc dengan menyodorkan dompet penuh itu, tetapi si pria yang ada di hadapannya diam membisu, hanya memperhatikan alis tebal Zinc yang terangkat. "Why Mr. Andromeda...?"

"Pergilah, saya tak mau mengambil sesuatu yang telah saya beri." Ya, itulah Andromeda yang sekarang membalikkan badan, usai melihat Zinc yang mendengkus kesal. Seolah tidak memiliki rungu, Andromeda lebih memilih menuju mansion dan bercakap dengan seseorang melalui ponsel, ketimbang meladeni Zinc yang masih melihat punggung dirinya, sembari mengeluarkan umpatan.

Sampai, Andromeda benar-benar berada dalam mansion yang ditandai oleh pintu yang tertutup sempurna. Barulah Zinc berjalan cepat untuk memasuki dan mengendarai mobil kembali. Tujuannya hanya satu, yaitu kediaman ibu Byan.

Benar, melalui kemampuan psikometrinya, Zinc tahu bahwa dimana Byan berkesistensi, selepas melakukan kesepakatan dengan Andromeda. Kendati, Zinc jarang sekali menginjakkan kaki ke rumah ibunya itu, Zinc bukan seseorang yang dapat mudah melupakan kejadian buruk yang menimpa hidupnya. Lantas, ia melajukan mobil dengan cepat, hingga memakan waktu sekitar lima belas menit dan menyisakan satu rumah lagi dengan rumah sang ibu, Zinc menghentikan mobil bersamaan dengan dirinya yang merasakan gelenyar aneh saat netra melihat sesuatu di hadapan.

Bukan adegan romantis antar lawan jenis, justru keharmonisan antara Byan dengan penghuni rumah, yang terdiri dari satpam, pembantu, dan tukang kebun. Ketiga orang tersebut serempak menyanyikan lagu selamat ulang tahun sembari mengelilingi Byan yang berdiri di belakang gerbang rumah.

Tentu saja, tidak hanya nyanyian, kue ulang tahun juga tersodor oleh seorang satpam disebelah kiri pembantu yang Zinc ingat bernama Oksi. Tiada kecemasan, kesedihan, kebencian, atau bahkan keributan, hanya ada kebahagiaan yang tampak pada semua wajah, termasuk Byan yang tak henti-hentinya mengedarkan senyuman.

Saat lirik lagu telah dinyanyikan dengan apa adanya, seperti biasa lilin akan ditiup. Namun, Byan malah memandangi semua orang sembari berbicara. "Jadi, jadwal ulang tahun diundur?"

"Maafkan kami, Den... ini semua ide saya." Bi Oksi lah yang menjawab pertanyaan Byan sembari tersendat-sendat dan menundukkan kepala. "Besok adalah peringatan kematian Nyonya, ja—jadi ka—kami be—berniat... un—untuk menemani dan menghibur Den Byan... ka—karena...."

Bi Oksi mengangkat kepala lagi serta menampakkan wajah yang basah, akibat air mata. "Sa—saya tahu den Byan sangat sedih dan merindukan Nyonya. Maka, saya berniat—"

Ucapan bi Oksi terpotong manakala Byan mendekapnya sesaat, lalu merelai pelukan untuk menghapus air mata bi Oksi sambil berbicara. "Tidak perlu merasa bersalah... kejutan ini sangatlah menyenangkan diriku, tetapi...."

Byan menghentikan ucapan saat wajah bi Oksi telah bersih dari air mata. Mereka pun mendekat untuk mendengarkan kelanjutan pembicaraan sang tuan. "Kalau boleh saya minta, tidak perlu dirayakan setiap tahun, dengan adanya kalian juga, saya sudah bahagia dan tidak kesepian."

Situasi mengharukan pun menyelimuti keluarga itu, semua orang menitikkan air mata, terkecuali Zinc yang kini tersenyum pahit. Tidak memahami dengan perasaannya sendiri. Alih-alih cemburu, Zinc masih statis di tempat dengan rungu yang masih menjadi pendengar.

"Den Byan sangatlah baik." Tanpa disengaja, ketiga pembantu itu mengucapkan hal yang sama dalam waktu yang sama pula. Otomatis, Byan tertawa beberapa detik sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, kalian berlebihan."

"Jangan merendah, Den...."

Bi Oksi kembali beragumentasi yang kemudian dilanjutkan oleh sang satpam. "Selain tampan, mapan, dan pandai, den Byan juga memiliki hati yang baik... bahkan, pada saat den masuk kuliah, den mendirikan panti jompo dan asuhan, bukankah itu menunjukkan bahwa den memiliki hati yang seperti malaikat?"

"Berhati malaikat."

Spontan Zinc berbicara dengan mengalihkan pandangan ke spion yang berada dalam mobil. Memperhatikan diri yang urakan, berbanding terbalik dengan Byan yang bersih tanpa luka. Zinc pikir, Byan sengaja membersihkan diri agar orang lain tak melihat sisa dari perkelahian tempo lalu.

Terlepas dari penampilan yang kentara berbeda, sifatnya juga tidak sama. Byan—sang pria berhati malaikat. Sementara Zinc?

"Monster yang memiliki jantung seperti manusia."

"Monster yang memiliki jantung seperti manusia."

"Monster yang memiliki jantung seperti manusia."

Tidak tanggung-tanggung, ucapan Andromeda yang benar adanya terus teriang-ngiang di rungu, seiring dengan Zinc yang memperhatikan diri sendiri. Saking menusuknya kebenaran itu, Zinc tersenyum hambar sebelum membelah jalanan kembali.

Mengurungkan niat untuk merampas kalung, menjadi berniat melakukan sesuatu di mansion tua yang tampak besar, namun memiliki sejuta rahasia serta aura mistis yang mencekam. Akibat, tidak ada penghuni yang mengurus mansion tersebut, jelas bangunan itu diselimuti oleh debu serta dedaunan yang bertebaran dimana-mana, mengingat pepohonan rindang juga mengelilingi tempat itu.

Sudah menjadi tempat tinggal favorit, Zinc tidak takut berada di sana, justru nyaman melakukan apapun. Seperti sekarang, Zinc yang telah memarkirkan mobil di halaman mansion, langsung turun dari mobil untuk masuk ke dalam kediaman.

Kediaman yang minim akan pencahayaan itu tak membuat Zinc gentar untuk melakukan niatnya. Ia berjalan lurus menuju dapur agar ia dapat mengambil beberapa botol minuman.

Selepas itu, ia kembali ke ruang tamu yang hanya diisi oleh ruangan yang cukup luas, dengan ditambah oleh beberapa kursi antik yang menghadap ke tempat pembakaran. Sementara, Zinc tidak berhenti di sana, melainkan bergerak ke sebelah kiri, untuk menaiki anak tangga yang membentuk ular raksasa dan bersebelahan dengan tembok berwarna biru tua.

Sekalipun, bunyi derit sesekali terdengar, Zinc tetap meneruskan langkah sambil membawa minuman yang mengandung unsur kecanduan. Sampai, ia tiba di lantai paling atas—lebih tepatnya adalah balkon yang menghadap langsung ke bulan purnama— barulah Zinc membebaskan tangan dari kelima botol tersebut.

Prank...!

Pantas jika bunyi pecahan botol kaca terdengar beriringan, memasuki rungu si pria yang justru tersenyum miring. Lantai pun semakin kotor dengan ditambah oleh puing-puing kaca serta cairan beralkohol yang melebar ke sudut ruangan. Bahkan, Zinc juga ikut merasakan diri yang basah serta tusukan dari perilaku gilanya itu.

Namun, niat Zinc yang sebenarnya belum tercapai, alhasil, ia membuka sepatu, membiarkan telapak kaki merasakan tusukan dari serbuk-serbuk kaca tajam. Otomatis, darah merembes dan berbaur dengan lantai yang amat berwarna itu. "Woah...."

Bukannya kesakitan, Zinc malah menikmati rasa ini sembari memejamkan netra dan menginjak lantai kian dalam. Merasakan setiap inci kulitnya yang semakin lama berpeluk erat dengan pecahan kaca. Ditambah bau amis yang berasal dari darah kian tercium kuat. Jelas hal itu, menjadikan Zinc membentangkan lengan sambil menghirup udara 'segar' dalam-dalam. "Akh... It's so fun...."

Beralih ke tempat yang jauh dari sana, tetapi sama-sama kekurangan sinar lentera, akibat sang pemilik bangunan yang sengaja hanya menghidupkan satu lampu. Ya, di sinilah Neon bersama tiga rekannya bereksistensi di dalam ruang yang mirip dengan rumah Hobbit.

Hal ini, dikarenakan dari bagian luar, hingga dalamnya dibuat semirip mungkin dengan rumah Hobbit yang ada pada salah satu film terkenal. Bahkan, semua pernak-pernik Hobbit seperti pena bulu, kertas, buku, peralatan kayu, sampai perabotan lainnya dapat ditemukan pada rumah milik sahabat Neon yang mempunyai lesung pipit di pipi sebelah kanan.

Dengan posisi duduk yang menghadap ke perapian rumah, Neon mudah untuk melihat sahabat-sahabatnya yang ada di depan netra. Dimulai dari Bismut—sang pemilik rumah—yang berada di sebelah kiri, Azimuth sedang berdiri di tengah-tengah, serta Niccolum Algebra—yang sering disapa Al—berpresensi di sebelah kanan dari Neon.

Perlu diketahui bahwa Al dan Bismut dapat mengingat Azimuth termasuk 'masa lalu itu", sejak 3 tahun lalu. Dimana, mereka memperoleh keberuntungan itu saat mereka terlibat dalam misi yang sama yaitu agen mata-mata.

Beruntungnya lagi, mereka dapat beradaptasi dengan cepat, terlebih mereka juga menjalin hubungan persahabatan. Alhasil, tanpa diberi instruksi, saat ini mereka sama-sama menunda pekerjaan, demi membahas preman-preman tempo lalu yang akhirnya dibekuk oleh polisi.

Namun, yang menjadi poin penting adalah, setelah Azimuth membantu Neon untuk menghajar preman-preman itu. Azimuth, menggunakan sihirnya lagi untuk melihat apa saja yang telah dilalui Aurum, hingga ia menemukan waktu yang tepat, yaitu Aurum hendak mendaratkan bokong di kursi bus, pada saat itulah Azimuth menukar Aurum dengan dirinya yang menjadi perempuan lain.

Meskipun, kejadian selanjutnya hampir sama dengan apa yang terjadi pada Aurum, tetapi Neon tidak ikut terlibat, hanya Azimuth yang menghadapi mereka dan berhasil memanggil polisi. Alhasil, bukan Neon ataupun Aurum yang menjadi saksi, justru dirinya yang berperan sebagai korban sekaligus 'saksi'. Sampai, kasus ini dikelola oleh pihak yang terkait, ia pun mendapat laporan bahwa tindakan para preman termasuk sopir bus adalah rencana dari seseorang yang hingga saat ini masih belum terungkap dan dalam proses pencarian.

Dari kalimat terakhir itu, entah mengapa ketiga pemuda ini secara serempak mempertanyakan alasan di balik Azimuth ikut campur dengan urusan manusia. Dampaknya, Azimuth menghela napas sebelum ia berterus terang.

"Saya akui jika tindakan saya mengubah 'takdir' saat itu salah, tetapi pikirkan oleh kalian... bila saya memanggil polisi dengan kondisi Aurum sebagai mangsa mereka dan Neon berada di sana... bukankah profesi Neon akan terancam?"

Seketika, Bismut maupun Al bersamaan mengangguk sembari merenungkan perkataan Azimuth. Sementara, Neon diam sembari menatap muka Azimuth yang sebelas duabelas dengan Zinc, hingga sepuluh detik terlah berlalu, Neon memutuskan untuk berbicara. "Lalu apa rencanamu...? Jika dirimu berniat untuk mengubah takdir, mengapa kamu biarkan mereka ditangkap oleh polisi? Bukankah masalah ini akan semakin melebar?"

Spontan, Azimuth kini berperan sebagai pusat atensi, sekaligus 'otak' dari tindak-tanduk mereka. "Apakah kamu tahu, siapa sosok dalang dari semua ini?"

Klik!

Sengaja Azimuth menjentikkan jari, agar ia dapat mengubah posisi tempat duduk mereka. Hasilnya, Azimuth duduk di antara Bismut dan Al. Sedangkan Neon berhadapan lurus dengan makhluk yang menunggunya untuk berbicara. Tiga detik telah berlalu, suasana ruangan hening dengan ditandai oleh Neon yang membuang muka kesal, lantaran Azimuth mengunci ucapan dirinya.

Mengetahui betul perasaan Neon, segera Azimuth berucap, "percayalah, saya tidak bermaksud bertindak otoriter... tetapi saya penasaran bagaimana tindakan si dalang menghadapi kasus ini... lagi pula, jika ia menggunakan cara manusia, saya pun akan membalasnya melalui polisi juga...."

"Menarik...." Bismut memberi smirk secara spontan, sembari melanjutkan pertanyaannya. "tetapi, kamu tahu kan, siapa si pelaku itu?"

"Tentu saja tahu, berkat kemampuan istimewa saya." Dengan gaya yang keren, Azimuth menyimpan kaki kanannya ke kaki kiri. Ditambah dengan tangannya yang memeluk diri sendiri.

"Siapa?"

"Kemarilah, saya akan ceritakan semuanya." Atas pertanyaan Al, Azimuth memberi instruksi sambil mengubah posisi duduk menjadi tidak bersandar lagi pada kursi, melainkan menunduk dan mendekatkan diri ke para pria yang sama-sama mendekat ke arah Azimuth, sekalipun mereka masih menyimpan secuil bokong pada kursi.

Ketiga pemuda, termasuk Azimuth yang persis seperti Zinc itu pun memandangi satu sama lain. Sebelum, bibir Azimuth mengucapkan hal yang membuat mereka membisu.

"Sebenarnya si pelaku ini memiliki dendam yang amat besar ke keluarga Argentinum... akibat, Argentinum dan nenek Aurum sudah tiada, ia akan membalasnya kepada Aurum dengan cara apapun."

"Siapa dia...?!" Dengan vokal yang tertahan, Neon yang bertanya sambil terpancing emosi. Jelas, ia akan marah, karena belahan jiwanya menjadi sasaran empuk bagi si pelaku itu.

"Di—" Azimuth sengaja menggantungkan kalimat demi bertatapan dengan muka Neon yang tiba-tiba sangat serius.

"Dia adalah—nging—akh...!"

Kali ini bukan keinginan Azimuth yang menggantungkan kalimat. Justru, rungunya yang tiba-tiba kesakitan sekaligus berdering. Hal itu berdampak kepada Azimuth yang mendadak menutupkan mata sembari meringis kesakitan.

Menyadari para penglihat akan memberi respons, secepat mungkin Azimuth berbicara, walaupun berfrekuensi pelan. "Menjauhlah, sebentar lagi saya akan berteriak."

Sesuai dengan perintah, secara bersamaan mereka bergerak ke sisi dapur sambil melihat Azimuth yang bergerak gelisah. Dimulai dari berdiri sambil menutupkan mata, menggerakkan kepala seiring dengan suara dengungan yang semakin menjadi. Kemudian kedua tangan Azimuth yang masing-masing menutup rungunya. Hingga lolongan kepedihan pun ia keluarkan.

"AKHHHHHHHHH...!"

Prank..!

Dengan volume yang sangat tinggi, Azimuth berteriak tanpa memperhatikan para pendengar yang terkesiap, walaupun telah diberi tahu. Benar-benar sakti, meski ia tidak melihat sekeliling, Azimuth sama sekali tidak membunuh makhluk yang berada di sana. Kecuali, ia berhasil memecahkan kaca besar yang menghadap ke luar rumah, akibat teriakannya yang bombastis.

Puing-puing kaca pun tidak ikut ketinggalan meramaikan pagi hari yang kacau balau ini. Usai menjerit, raga Azimuth yang terkena serpihan tajam kaca akhirnya terduduk lunglai di atas lantai, dan mengelilingi kursi yang kecipratan darah serta kaca.

Ya, cairan kental merah yang jarang terlihat ini, sukses membuat Azimuth diam membisu. Alih-alih memperhatikan pergerakan teman-temannya yang mendekati Azimuth, ia justru mencabut secuil kaca yang menusuk ke salah satu tangannya. Maka tak salah, tangan yang berdarah itu, semakin berwarna merah. Memberi tamparan keras bagi Azimuth bahwa ada sesuatu yang ia tidak ketahui.

"Zi...."

Panggilan halus dari Neon, menjadikan Azimuth mendongak. Ia pun menemukan para manusia yang berdiri dan menatapnya khawatir, tak terkecuali Neon yang melebarkan netra.

"Astaga...mengapa di sekeliling matamu berwarna merah?"

Perkataan Neon bukanlah kebohongan, melainkan kejujuran. Pasalnya, baik Al, Bismut, maupun Neon melihat darah yang tergores lurus, dari ujung kiri kelopak netra Azimuth, sampai ujung kanan kelopak mata makhluk tersebut.

"Sekarang, kita harus melindungi Aurum." Azimuth yang sama sekali mengabaikan situasi, bergegas untuk bangkit, hendak membalikkan badan, tetapi Neon memegang tangannya.

"Ada apa, Zi?"

Alhasil, Azimuth kembali menatap para manusia yang penasaran akan dirinya. "A—Atom sempat merasuki Zinc... saya yakin, mereka akan terlibat lagi pada kehidupan Aurum."

"Apa...?! Bagaimana itu bisa terjadi?"

"Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa Atom tidak akan ada di dunia ini?"

"Iya... saya ingat kamu memberitahunya kepada kami, tetapi jika itu benar, mengapa Zinc terasuki olehnya...?"

"Apakah si pelaku adalah Zinc?"

"Lalu, mengapa Zinc berbuat jahat?"

"Jawab, Zi..!"

Pernyataan Azimuth seketika menjadikan para pendengar memberi pertanyaan runut dimulai dari Al, Bismut, Neon, Al, Bismut hingga kepada Neon kembali. Namun, Azimuth sengaja mendiamkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, hingga mulut mereka berhenti berucap. Barulah Azimuth menjawab, "temuilah Aurum di kafe 'A & Z', maka kalian akan memahami ucapan saya."

Klik...

Masih memiliki daya untuk memakai sihirnya, Azimuth menghilang dari tempat, menjadikan mereka bergegas cepat menuju bagasi. Dengan jarak yang sangat jauh dari kafe yang berada di kota, Neon, Al, dan Bismut menggunakan transportasi darat sebagai pengantar perjalanannya. Tentu saja, mereka memutuskan untuk berada di tempat terpencil ini, karena mereka sempat mengadakan rapat dengan para agen mata-mata lainnya dekat rumah Bismut.

Alhasil, mereka tidak kembali dulu ke kota, demi membahas fakta mencengangkan ini yang justru menyuruh mereka untuk ke tempat Aurum berada. Lantas, agar cepat sampai ke tempat tujuan, setiap orang menggunakan motor balap yang berkecepatan tinggi. Dengan di bawah pimpinan dari Neon, Bismut dan Al mengekor di belakangnya seperti pembalap sungguhan, padahal mereka hanyalah agen mata-mata yang identitasnya tidak diketahui orang lain.

Beberapa jam telah berlalu, perjalanan panjang mereka akhirnya terbayarkan oleh pemandangan kafe yang ada di depan mata. Tanpa membuang waktu lagi, para pemuda tersebut memarkirkan kendaraannya dengan berjajar rapi di sebelah kanan pada tempat parkir itu.

Seperti pemuda yang terlibat dalam geng balap, kali ini mereka berpakaian hitam-hitam keren dan menyesuaikan dengan kendaraan yang mereka pakai. Merasa kesempatan akan terbuang jika mereka membuang satu detik saja, maka mereka menambahkan ritme kecepatan tangan untuk membuka helm, kemudian turun dari kendaraan sambil memegang kunci motor.

Beruntung hanya ada mereka yang ada di parkiran, jadi mereka tidak akan ragu untuk berjalan cepat menuju kafe dengan kompak. Menyisakan satu meter lagi dengan pintu kafe, pergerakan kaki jenjang mereka tiba-tiba terhenti atas vokal mengambang dari Neon.

"Zinc...?"

Refleks, Neon menjadi pusat perhatian sekilas, sebelum mereka mengikuti pergerakan netra Neon yang mengamati sebuah mobil memasuki parkiran.

Seperti terhipnotis oleh presensi sang pemilik mobil, ketiga raga tersebut kembali ke arah parkiran. Memperhatikan mobil yang baru saja berhenti. Tidak lebih dari lima detik, pintu mobil akhirnya didorong, hingga menampilkan raga seseorang yang sangat mereka kenali.

Seseorang itulah berpenampilan tak kalah menawan, ditambah dengan wajah tampan, meski sebagian terhalang oleh masker. Sekalipun para penglihat juga berjenis kelamin pria, mereka tak sungkan untuk berdecak kagum sembari tidak percaya akan kehadiran sosok itu. Sosok yang bernama Zinc dan saat ini membelakangi mereka, lantaran ia berbicara seorang diri dengan posisi tangan yang mendekatkan ponsel ke rungunya.

Berkomunikasi melalui panggilan telepon, inilah asumsi para penglihat yang semakin menguatkan penasaran mereka akan Zinc. Akibatnya, Neon memutuskan untuk menghampirinya seorang diri. Setelah, ia memberi perintah kepada Al dan Bismut untuk mengamankan situasi, bila tiba-tiba Aurum datang ke tempat ini.

Efeknya, mereka berpencar lagi seperti agen rahasia biasa. Sedangkan, Neon berjalan cepat untuk mengikis jarak di antara dirinya dengan pria berpostur tinggi tersebut. Hanya beberapa langkah saja, akhirnya punggung Zinc ada di depan mata. Tanpa ba-bi-bu lagi, tangan Neon yang berlapis sarung tangan menarik pundak Zinc.

Hingga, raga Zinc bergerak mengarah kepadanya. Netra Neon pun bertabrakan dengan mata gelap Zinc. Sukar dibaca, dua kata tersebut mewakili pikiran dari kedua pria ini yang sama-sama berpandangan satu sama lain, serta bermimik muka yang seirama, yaitu mengerutkan kening sejak mereka beradu tatap tiga detik yang lalu.

Merasa risih diperlakukan seperti ini, Zinc menatap sekilas tangan Neon yang bertengger ke pundaknya, kemudian ia membebaskan diri sembari menjauhkan ponsel dari rungu. "S***t...! "

Neon kaget, ia juga berkedip berulang kali sembari memperhatikan gerak-gerik Zinc yang membersihkan pakaian di bagian pundak, lebih tepatnya adalah bekas tangan Neon.

"Kamu siapa... hah! Berani-beraninya menyentuh saya!"

Selain berlagak sok bersih, Zinc juga berbicara dengan nada yang tinggi. Berbeda sekali dengan Neon yang diam di tempat dan kehilangan seribu bahasa. Kegeraman pun kian meningkat seiring dengan pertanyaan Zinc yang dianggap angin, hasilnya Zinc tidak lagi fokus kepada pundak, justru pria yang terlihat menantangnya.

"Ada apa dengan matamu, hah...! Kamu bosan hidup!"

"Ma—maaf... ini sebuah kesalahan, saya pikir kamu adalah teman saya, jadi saya tidak ragu bertindak seperti itu... maafkan saya," ujar Neon sambil memberi hormat kikuk.

Sementara Zinc menarik salah satu ujung bibirnya, kemudian memandangi Neon yang masih menundukkan kepala. Cukup tiga detik saja, karena Zinc mengalihkan pandangan ke arah lain seraya berucap, "hem... enyahlah, saya muak jika terus berhadapan dengan orang seperti dirimu."

Mau tak mau, Neon mengalah dan meninggalkan Zinc yang kembali sibuk berbicara dengan seseorang di seberang sana. Terkait dengan reaksi Zinc yang diluar ekspektasi, Neon ingin melihatnya lagi, walaupun dalam rentang ruang sela yang cukup jauh.

Spontan, Neon yang telah berada di trotoar, kembali berbalik. Melihat fisik Zinc yang masih sama, tetapi dalam raganya benar-benar berbeda. Sampai, Neon pun menarik kesimpulan bahwa, "dia bukan Zinc Zacavia yang aku kenal... mungkin, perkataan Azimuth benar, jika—"

"Neon...!"

Panggilan dari seseorang itu, selain menyebabkan ucapan sang pemilik nama terkerat, pusat atensi juga teralihkan. Rupanya, setelah Neon membalikkan badan ke sumber suara, ada Bismut yang menatapnya sambil terengah-engah.

Dengan posisi tangan Bismut di lututnya sendiri menyebabkan Neon berasumsi bahwa Bismut telah berlari, serta memberi sinyal alarm bahwa ada yang tidak beres. "Ada apa...? Apakah Aurum baik-baik saja?"

"I—ini... hah... hah...." Vokal Bismut tergantikan oleh sistem pernapasannya yang tidak teratur. Akibatnya, ia memilih untuk menjeda dalam berucap dengan menenangkan diri terlebih dahulu. Selang beberapa detik, barulah Bismut berbadan tegap sembari memberi penjelasan. "Ini bukan tentang Aurum, tetapi Azimuth... dia sekarat dan membutuhkan darah kita."

"Hah?! Kenapa hal itu bisa terjadi padanya?"

"Azimuth sempat bilang bahwa pada saat teleportasi, ia tiba-tiba terlempar ke alamnya. Kemudian, ia disiksa, karena berani mencampuri urusan dunia manusia. Namun, ia melarikan diri ke sini lagi, walaupun ia dalam keadaan tak berdaya dan kesakitan...."

"Dari mana kamu tahu? Bukankah saya menugaskan dirimu untuk menjaga Aurum?"

"Iya saya memang mengawasi Aurum di luar kafe, tetapi saat saya tak sengaja mengedarkan pandangan ke langit... saya menemukan Azimuth yang kehilangan sayapnya saat terbang, kemudian jatuh, ke arah sana."

Bismut mengarahkan kepala ke arah kanan dari tempat mereka bereksistensi, yaitu di trotoar dekat parkiran. "Di gang tempat sampah itu, ia membutuhkan bantuan kita... ayo, kita temui dia!"

Tanpa berpikir panjang, Neon setuju dengan ucapan Bismut melalui gerakan menganggukkan kepala, walau sekali. Oleh karena itu, mereka pun mulai berjalan cepat ke tempat, yang menjadikan Neon menjauhi Aurum yang berada di sebelah kiri.

Tentu, hal ini berpengaruh pada pergerakan Neon, lantaran pikirannya terisi oleh Aurum yang sampai saat ini, belum ia lihat. Ditambah, rungu Neon samar-samar mendengar suara Aurum yang memanggil nama 'Byan'.

Seketika, Neon yang baru saja melangkah sebanyak tiga depa, harus terhenti. Pria itu terdiam, sembari mempertajam indra pendengaran dengan ditandai oleh mata yang menatap lurus ke depan.

Sebagai seseorang yang paling dekat dengan Neon, Bismut pun harus mensejajarkan raga dengan Neon dan menstatiskan diri, seraya menampilkan raut muka yang kebingungan. "Why?"

"Aurum...." Bismut yang melebarkan netra secara dadakan mendapat tatapan risau dari Neon. "Dia dekat dengan kita."

"Benarkah?" Bismut yang sedari tadi cemas dengan kondisi Azimuth, sekarang merasa lalai dan tidak peka.

"Iya, Bi." Tanpa memperhatikan respon Bismut, sang pembicara menggerakkan badannya sejauh 180 derajat. Mata Neon pun bertemu pandang dengan pria berbadan tinggi yang dibelakangnya ada perempuan mungil.

Aurum, perempuan itu terlihat keluar dari kafe dengan muka pucat dan kesusahan bernapas, sekalipun dipaksakan untuk bergerak cepat. "Astaga, Aurum kenapa?"

Bukan Neon yang bertanya, melainkan Bismut yang mengikuti pergerakan Neon. Benar, walaupun mereka cukup jauh dengan objek penglihatan, netra mereka telah terlatih untuk awas dalam melihat. Tak luput, mereka pun menangkap jelas Aurum yang juga membutuhkan bantuan.

"Gawat... kita harus ke sana."

"Tolong!"

Baru saja Neon akan melangkahkan tungkai, rungunya mendengar teriakan khas dari Azimuth. Khas di sini menunjukkan bahwa hanya mereka saja yang dapat melihat Azimuth dan dianugerahi pendengaran lebih.

Maka, Bismut pun yang termasuk dalam hal itu, menarik lengan Neon supaya mereka saling berpandangan. "Tidak Neon... kita harus menolong Azimuth terlebih dahulu."

"Tetapi—"

"Akh... tolong...!

"Kamu dengar? Azimuth lebih membutuhkan kita." Dengan sekuat tenaga, Bismut menarik lengan Neon yang tetap membekukan badan, hasilnya pun gagal.

Bismut akhirnya memutuskan pilihan dalam kekesalan, karena Neon lebih memilih memperhatikan gerak-gerik Aurum. "Baiklah, kalau kamu lebih mengkhawatirkan dia, dekatilah Aurum... tetapi, jangan salahkan saya bila hal buruk menimpa Azimuth."

Kedilemaan Neon semakin menjadi kala Bismut yang telah berucap itu pergi darinya. Mengingatkan Neon atas kejadian beberapa bulan silam yang peristiwanya hampir serupa. Hingga, Neon harus rela menyalurkan darahnya demi kesembuhan Azimuth, mengingat ia adalah 'majikan baru makhluk tersebut."

Namun, pada saat itu Aurum telah diamankan di rumah sakit. Tidak seperti sekarang yang terlihat sakit, dan akan berjumpa dengan Zinc. Jelas, hal tersebut menjadikan Neon bimbang dalam mengambil keputusan. Walaupun, alasan Azimuth lemah tak berdaya seperti ini, karena Aurum seorang.

Lantas siapakah yang akan Neon tolong?

"Maaf...." lirih Neon seraya menghembuskan napas pelan, sebelum berbalik. Mengganti posisi menjadi membelakangi Aurum, kemudian berlari secepat mungkin agar dapat menolong Azimuth.

Pada titik yang bertolak belakang dengan Neon, Aurum tiba-tiba menstatiskan diri saat mata menangkap dua pria tengah berada di samping pintu mobil.

Tentu, salah satu diantara mereka ada Byan yang berposisi membelakangi Aurum, sekaligus menghalangi separuh raga pria bermasker dan bertubuh tinggi yang menundukkan kepala. Entah apa yang terjadi di hadapan, tetapi yang pasti Aurum merasa familiar dengan fisik dan wajah pria itu, terlebih ia mendapati lawan bicara Byan yang lambat laun akan mendongakkan kepala.

Tepat, ketika sang objek perhatian yang sebenarnya adalah Zinc dan kini menatap lurus Byan, netra si perempuan terbuka lebar berbarengan dengan jantung yang berdegup lebih kencang. Melebihi irama pernapasan seperti biasanya, lantaran kejutan demi kejutan yang datang ke kehidupan Aurum. Khususnya detik ini, ia bertemu pandang dengan sepasang netra pria yang sekarang menatapnya lekat.

"A–apa ini...? mengapa dia tiba-tiba ada di hadapanku?" nada bicara Aurum ketus sejak dirinya tidak dapat melihat ke parkiran, lantaran dihalangi oleh pria asing yang lebih tinggi serta besar darinya, dan sekarang ada di hadapan.

Seolah tidak melakukan kesalahan, Al—pria yang dianggap orang asing oleh Aurum— kini menurunkan badan terhadap Aurum yang terkesiap.

Terkesiap, akibat Al yang mendongakan kepala, sembari tersenyum manis kepadanya, walaupun dalam posisi berjongkok. "Ka—kamu mau apa?"

"Membenarkan tali sepatumu."

Otomatis, Aurum menunduk dan memperhatikan sepatunya yang memang tidak rapi, seperti biasanya. Sebelum, tangan Al menyentuh sepatu milik Aurum, perempuan itu terlebih dahulu menyuarakan penolakan. "Tidak perlu, biar aku saja."

Tidak hanya berbicara, Aurum juga berjongkok. Alhasil posisi mereka sejajar, dimana Al senantiasa memperhatikan gerak-gerik Aurum. Sang objek perhatian pun menyadari akan hal itu, tetapi Aurum tidak tertarik. Alih-alih peduli kepada Al yang diam, Aurum memutuskan untuk mengikat tali sepatunya dalam tempo cepat.

Hingga, tangan lincah Aurum telah selesai merapikan tali sepatunya, mata si cantik itu tak sengaja menemukan lutut milik Al yang berdarah dan terluka, walaupun laki-laki tersebut memakai celana jeans sobek. Dengan sedikit rasa penasaran dan keraguan, Aurum berbicara sambil menunjuk luka pada kaki Al. "Ini...."

"Ah?" Kebetulan Al yang telah terbiasa mendapat luka, kini memperhatikan kakinya yang semakin mengeluarkan darah. "Saya...."

Masih memperhatikan sekeliling, Al mencoba untuk melihat Zinc dari ekor matanya, sampai ia mendapati bahwa kedua pria tersebut masih berada di sana. Lantas, untuk mengamankan situasi Al mulai melebih-lebihkan kondisi fisiknya. "Saya tidak tahu akan separah ini, setelah sempat jatuh mengejarmu ..."

"Kenapa harus mengejar aku?"

"Kamu menjadi pusat perhatian saya, terlebih tali sepatu... saya tak mau kamu jatuh dan merasakan sakit... aw... ini sakit sekali." Tidak hanya meringis, Al memamerkan mukanya menjadi memelas. "Bisakah kamu membantu saya berdiri...? rasanya sakit sekali dalam posisi ini."

"Loh... kenapa baru sekarang merasakan sakit...? Seharusnya kan dari tadi—"

"Akh...! Sakit...." Tanpa ada yang mendorong, Al sengaja menjatuhkan diri, memegang lutut memarnya sembari meraung-raungkan kesakitan. Akibatnya tindakan Al benar-benar mencuri perhatian, orang-orang yang ada di sekitar pun memperhatikan mereka berdua, dan menyebabkan Aurum berdecak, sebelum membantu Al berdiri dengan susah payah. Lantaran pria itu dengan sengaja menyulitkan Aurum.

Akhirnya setelah berusaha dalam kurun waktu yang cukup lama, mereka dapat berdiri. Dimana Aurum menahan badan Al untuk berdiri, dengan ditandai oleh tangan si perempuan memegang pundak kokoh si pria yang berlagak kesakitan, walaupun kakinya memang sakit.

Namun kali ini, ia memanfaatkan kelembutan hati Aurum. Hal itu, terbukti pada seutas senyum yang terbit di muka Al, saat dirinya berhasil mengalihkan perhatian Aurum. "Selanjutnya, aku akan membawa dia untuk melupakan Zinc."

"By the way, kamu jangan salah paham. Aku melakukan ini, karena risih dengan orang-orang yang melihat...." Aurum memperhatikan ke depan dan ke sisi jalan yang kebetulan masih ada penonton.

Dampaknya, ia berbisik, "lebih baik, aku mengantarmu ke taksi supaya kamu ke rumah sakit. Masalah pun selesai."

Hampir kehilangan kesempatan, Al segera menoleh ke Aurum yang benar-benar dekat dengannya. Bahkan, hembusan napas pun dapat dirasakan oleh pipi mulus sang pria. "Tidak mau, saya mau kamu mengantarkan saya ke apotek yang ada di sana," tunjuk Al ke depan, lebih tepatnya adalah samping kafe dari sebelah kiri, mengingat di sebelah kanan ialah parkiran.

"Lalu siapa yang akan mengobati dirimu? Kaki kamu kan sakit."

"Kamu."

Dengan mantap Al mengunci pergerakan netra Aurum menjadi memperhatikan dirinya. Kecanggungan seketika terjadi, pada Aurum yang saat ini kehilangan kelenjar saliva untuk menolak.

Menolak pria yang semakin terlihat tampan kala tersenyum manis, ditambah suara lembutnya yang nyaman terdengar di telinga Aurum. "Kamu terlihat baik dan cantik, jadi mau kan membantu saya?"

Seperti orang yang terhipnotis, Aurum yang tiba-tiba pinggangnya dililit oleh salah satu tangan Al, mengangguk dan ikut tersenyum. Pendirian untuk terlihat tak peduli akhirnya luluh pada pria yang sama sekali ia tidak kenali, tetapi berhasil menjadi prioritas Aurum untuk sementara waktu.

"Ayo...." Merasa lama diperhatikan, Al memberi interupsi yang membuat Aurum mengerjapkan netra. Mereka pun berjalan dalam posisi yang berdekatan. Membelah kerumunan yang sempat mengelilingi mereka. Selanjutnya, para penglihat melakukan rutinitas seperti biasanya, termasuk Aurum yang fokus membantu Al berjalan dengan pincang.

Waktu yang mereka habiskan untuk berjalan bersama tidaklah lama, hanya beberapa menit mereka pun akhirnya akan menaiki tiga anak tangga sebelum memasuki apotek. Ya, apotek di sini lebih tinggi dari permukaan trotor, oleh karena itu Aurum harus bekerja ekstra keras agar dapat membantu Al naik satu tangga.

Namun sayang, pergerakan Aurum terhenti saat ia menyadari sesuatu. Al yang siap untuk melangkahkan pun mengetahui diamnya Aurum. Tanpa berpikir panjang, Al yang awalnya fokus terhadap jalanan kini memandangi Aurum yang mengerutkan alis. "Kenapa?"

"Aneh...." Aurum menoleh, otomatis mereka saling berpandangan di halaman tempat jual beli obat.

"Ma—maksudmu?" Mendadak Al gugup, ia takut niatnya akan terbongkar sebelum tercapai.

"Saat berlari keluar dari kafe, aku merasa sesak dan sakit di jantungku, tetapi ketika berinteraksi denganmu saya pulih... bukankah itu aneh?"

Al tidak menjawab untuk sesaat, karena ia lebih dulu tersenyum lebar saat menyadari Aurum bingung terhadap dirinya sendiri. Jelas, perbuatan Al yang tak wajar menjadikan Aurum semakin bingung. "Kenapa tersenyum?"

"Karena kamu...." Inisiatif, si pengucap mengacak-acak rambut Aurum meski agak sulit oleh tangan Al yang lainnya. "Selain cantik, kamu juga lucu."

"Ish, serius." Sebelum rambutnya 'hancur', Aurum sedikit menyentak, Al pun menghentikan aktivitas, kemudian menatap lekat Aurum.

"Baiklah, saya tidak tahu apa yang menyebabkan kamu kembali sehat, tetapi saya yakin akan satu hal bahwa...."

Seolah-olah seorang siswa yang berpikir keras untuk menemukan jawaban, Al berperilaku seperti itu dengan matanya yang melihat ke atas. Hingga, ia teringat pada Azimuth yang mungkin telah pulih berkat Neon. "Kehadiran saya membuat dirimu sehat... jadi, jangan jauh-jauh dari saya ya?"

Dengan kepintarannya, Al mengubur kebenaran oleh sesuatu yang membuat Aurum keki. Tidak, bukannya tersipu malu, Aurum justru dongkol terhadap pria yang sialnya semakin tampan saat Al tersenyum lagi. "Dasar pria."

"Saya memang pria, dan kamu adalah wanita yang ditakdirkan untuk saya."

"Oh jadi kamu memilih untuk berjalan sendiri? Hah?!" Muak dengan Al yang semakin lama kian tampak 'buaya', Aurum mengeluarkan sifat aslinya. Segera Al menggeleng, Aurum pun tersenyum sinis. "Ya sudah, kamu diam dan berjalan... jangan banyak bicara!"

Dengan berat hati, Aurum melanjutkan aktivitas, yaitu memapah Al yang sekarang tidak sesusah sebelumnya. Hingga dua anak tangga mereka berhasil lalui, Al tiba-tiba mengkakukan kaki. Lagi, Aurum heran dengan pria yang saat ini terdiam, tetapi bermuka serius. "Kenapa berhenti...! Kamu mau membuatku semakin kesal?"

"Anu...."

"Anu, apa?"

"Seharusnya saya tidak melakukan ini." Keheranan Aurum meningkat kala Al lambat laun melepaskan diri darinya, rungu pun mendengar derap langkah kaki seseorang yang mendekati mereka.

Tepat ketika Al tidak lagi 'memeluk' Aurum dari samping, perempuan itu hendak bertanya 'kenapa', tetapi raga Aurum terlebih dahulu terperanjat kaget oleh tangan besar khas pria yang melilitnya dari belakang. "Maafkan aku, karena meninggalkanmu lagi... i miss you, Aurum."

Entah disebut sebagai keberuntungan atau kesialan, yang jelas situasi apotek saat ini sepi. Hanya ada apoteker, serta Al yang menjadi 'nyamuk' di antara mereka berdua. Tak nyaman dalam posisi ini, Al berniat menjauhi Aurum yang masih mematung dalam dekapan pria tampan itu.

Tentu saja, niat Al terwujud, ia berjalan dengan agak pincang ke trotoar tanpa ada ringisan. Penasaran dengan perjumpaan mereka, Al pun membalikan diri. Ternyata sama saja, Aurum masih dipeluk dari belakang dengan kondisi lehernya diendus-endus oleh si pelaku yang sebenarnya adalah Neon. "Cih, tidak tahu tempat!"

Jijik dengan perlakuan dua sejoli yang ada di hadapan, Al membalikkan badan, seketika ia bertemu pandang dengan senyum yang terlihat meledek dari Bismut. "Ada yang cemburu, nih...."

"Siapa yang cemburu?"

"Kamu." Tanpa menggubris perkataan Bismut, Al melangkahkan kakinya ke arah parkiran dengan Bismut yang masih menguntitnya. "Masih mending Neon tidak menghajarmu, karena kamu berani menyentuh kesayangannya."

"Seharusnya dia berterima kasih kepadaku, karena Aurum melupakan Zinc... aktingku benar-benar keren bukan?" Dengan diakhiri oleh senyum miring, Al memamerkan kesombongannya terhadap Bismut yang ada di samping.

"Jadi, kakimu tidak sakit?"

"Sedikit... ngomong-ngomong Azimuth, keadaannya bagaimana?"

"Lihat saja ke depan." Tak terasa kaki mereka telah sampai di trotoar yang menghadap ke parkiran. Tampaklah, Azimuth yang berada di dalam mobil mewah sembari melambaikan tangannya dengan kondisi wajah yang berseri-seri.

Tanpa dikomando, Al dan Bismut membalas lambaian tangan Azimuth. Al yang telah mengerti bahwa Neon usai menolong Azimuth sampai sehat bugar, ia pun tak kuasa untuk menahan sesuatu yang ada di otaknya. "Neon beruntung... tidak hanya berteman dengan makhluk seajaib dan sebaik Azimuth, ia juga mendapat perempuan cantik dan baik hati."

Azimuth yang mendengar ucapan pelan Al, mendadak terdiam sesaat, ketika menyadari perkataan Al tidak sepenuhnya benar. Tanpa bisa didengar oleh siapapun, Azimuth mengutarakan isi hatinya melalui lubuk hati. "Kamu salah, Al... keberadaan saya akan menimbulkan masalah baru dan sulit... Zinc, mengapa kamu membuat keputusan menyerah saat itu?"



💜💜💜




Delapan jam telah berlalu dengan cepat. Tentunya tidak ada sinar mentari yang menyinari bumi, melainkan lampu-lampu yang menjadi penerang bagi umat manusia kala malam tiba. Ah tidak, tidak hanya lampu, ada juga bintang yang berkelap-kelip di atas langit hitam, ketika Aurum mendongakan kepala.

Senyum dan netra yang berbinar pun Aurum tampakkan, sejak ia memperhatikan angkasa yang begitu mempesona. Saking takjubnya, Aurum tak berhenti menatap langit sembari berdecak kagum atas ciptaan Sang Maha Kuasa. Bahkan, ketika ia merasa pegal untuk melihat ke atas, Aurum menurunkan pandangan, hingga ia menemukan beberapa pepohonan dan beragam macam bunga yang mengelilinginya.

Ya, sebuah taman, di sinilah Aurum mendudukkan bokong di bangku taman. Mengingat dirinya diminta oleh seseorang untuk bertemu di taman dekat kampusnya, setelah ia menyelesaikan jadwal kuliahnya.

Namun, tiga puluh menit telah ia habiskan dengan sendirian. Terlebih lagi, Aurum baru menyadari tidak ada penghuni di sini, selain dirinya yang merasakan kedinginan, akibat angin malam menusuk raganya yang terbalut pakaian formal. Kekesalan pun mulai merongrong Aurum, ia bangkit sembari melihat waktu di jam yang melilit di tangannya. "Setengah sepuluh.... kak Neon, ada di mana?"

Dengan kepala yang celingak-celinguk, Aurum mencari keberadaan si hidung mancung itu. Akan tetapi, nihil. Tidak ada tanda-tanda Neon yang ia anggap sebagai pria istimewa. Akhirnya asumsi negatif hinggap di otak Aurum, muka muram pun ia pamerkan.

"Apakah dia mengulangi kesalahan yang sama lagi...?!" monolog Aurum yang diakhiri dengan gertakan gigi sembari mengepalkan tangan. Jangan lupakan, mata Aurum juga melotot, serta mulutnya yang tak tahan untuk mengeluarkan unek-unek.

"S**t... Dia telah berani mempermainkanku, awas saja...!"

Tiada alasan lagi untuk berdiam di sini, lambat laun Aurum berbalik, untuk mengambil tasnya di bangku sembari melanjutkan pembicaraan. "Akan kubuat dia, tidak bisa berbicara—"

Mendadak mulut Aurum kelu untuk berucap, manakala matanya menemukan si buah bibir yang menyembul dari balik bangku. Hingga keheningan pecah, saat Neon benar-benar berdiri tegap sembari berjalan mendekatinya dengan posisi tangan Neon di kebelakangkan. "Saya penasaran, bagaimana kamu membuat saya tidak bisa berbicara?"

Jelas, Aurum yang kaget dan takut akan tatapan aneh Neon, memundurkan tungkai, sehingga ruang sela di antara mereka beberapa meter saja. "Se—sejak kapan kakak berada di sana?"

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Neon kembali berjalan sambil menarik lengan Aurum agar diam, sehingga jarak di antara mereka beberapa senti lagi. Dengan pandangan seduktif, Neon sedikit menunduk agar dapat menatap lekat wajah Aurum yang dialiri oleh kelenjar keringat. "Jawab dulu pertanyaan saya, Aurum...."

"S**l!" Seketika Aurum mengutuk dalam sanubari bertepatan dengan vokal Neon yang terdengar pelan serta hembusan nafasnya yang semakin membuat bulu kuduk Aurum meremang. Kurang dari tiga detik, degup jantung Aurum kian bertambah kencang, tepat ketika jari Neon merapikan anak rambut Aurum ke belakang rungu, sehingga muka kaku Aurum benar-benar terlihat jelas.

"Kenapa diam...? Hem?" Bukannya membuat Aurum bebas, justru semakin menjadikan perempuan itu mati kutu. Membiarkan Neon memupus jarak dengan perlahan sembari mengatakan, "jika dirimu memilih diam, saya pun akan melakukan hal serupa tepat di depan matamu."

Sebelum ruang sela di antara mereka benar-benar tiada, secara otomatis Aurum menutupkan netra, membiarkan bibir dinginnya yang bersentuhan halus dengan permukaan yang bersuhu dingin juga.

Kurang puas dengan posisi saat ini, salah satu tangan Neon menarik tengkuk leher si perempuan dengan lemah lembut, alhasil bibir Aurum kian merasakan dingin dan sesuatu yang manis.

Dingin dan manis, itulah Aurum rasakan, tetapi lama kelamaan terasa familiar. Tidak, adegan ciuman ini bukan di antara bibir Aurum dengan milik Neon, melainkan hal lain yang ia curigai. Lantas, Aurum memberanikan diri untuk melihat situasi, tampaklah sebatang es krim di depan netra Aurum, yang dipegang kuat oleh si pria yang menebarkan senyum kemenangan.

"Oh, ternyata kamu termasuk orang yang mesum."

"Tidak!" Aurum membalas ledekan Neon, ketika menyadari bahwa dirinya dipermainkan oleh pria itu. "Kakaklah yang memulainya dan menjebakku."

"Baiklah, saya mengakui jika saya sedikit melakukan permainan, tetapi mengapa dirimu malah terbuai dalam permainanku...? Apakah kamu akan melakukan hal yang sama dengan orang lain, bila dirimu dalam posisi seperti ini?"

"Tentu—"

"Jadi, kamu mudah—"

"Tidak! Aku belum selesai berbicara... tentu saja tidak, mana mungkin aku melakukannya dengan orang lain, hanya dirimulah pria yang ada di hidupku." Alih-alih menatap Neon yang mulai menatapnya dalam, Aurum merampas makanan tersebut yang perlahan mencair. "Lebih baik, es krim ini aku habiskan."

Tanpa memedulikan reaksi Neon selanjutnya, Aurum duduk sembari melahap sajian dingin ini. Di sela-sela merasakan nikmatnya es krim di malam hari, Neon yang telah duduk di sampingnya mempertanyakan sesuatu. "Maafkan saya, karena terlambat menemuimu. Andai saja, antrean untuk membeli es krim tidak panjang, mungkin kamu tidak akan marah seperti tadi."

"Oh, jadi... kakak sengaja membelikan ini terlebih dahulu?"

"Iya... saya tahu kamu menyukai es krim ini, makanya saya membelikan khusus untukmu."

Tidak lagi melahap, Aurum malah celingak-celinguk ke sisi raga Neon. "Dimana es krim untuk kakak?"

"Tidak ada... kebetulan, es krim itu tersisa satu-satunya."

"Kalau begitu, ini untuk kakak saja."

"Tidak, ini untukmu...." Tangan besar Neon menahan lengan Aurum yang menyodorkan es krim. Tanpa direncanakan, tiba-tiba Neon menaikkan salah satu alis saat dirinya menemukan ide brilian. "Saya kan bisa merasakannya melalui mulutmu."

"Ih, mesum!" Aurum memalingkan muka sejauh 90 derajat, kemudian melanjutkan aktivitas lahap melahap es krim, tanpa memedulikan Neon yang tersenyum puas.

Entah apa yang menyebabkan Neon tersenyum, yang jelas Aurum sedikit kesal dengan Neon yang akhir-akhir ini bertindak agresif sejak tadi siang. Teringat dengan hal itu, Neon pernah mengatakan kepada Aurum bahwa kemarin malam, saat Neon yang baru saja sampai di rumah. Neon hendak memberi kabar kepada Aurum, tetapi gagal, karena ia mendapat informasi buruk dari bosnya dan harus segera datang ke basecamp mata-mata.

Lantaran cemas dan terburu-buru untuk datang ke sana, Neon sampai melupakan ponsel khusus komunikasi dirinya dengan Aurum di sofa dengan posisi menyala terus di bagian room chat. Maka tak salah, pesan dari Aurum hanya menampilkan tanda 'terbaca', sekalipun sang pemilik ponsel tidak membaca apapun perkataan online dari Aurum.

Seusai menyantap es krim, Aurum pun mengutarakan apa yang ia pikirkan. "Ngomong-ngomong, ponsel kakak masih ketinggalan di rumah?"

Neon mengangguk, membuat Aurum tersenyum kecut. "Ingatan kakak tidak setampan wajah kakak."

"Kamu salah kira, Aurum... saya—"

Dret.. dret... dret...

Untuk kesekian kalinya, ucapan Neon terpotong. Kali ini bukan makhluk hidup yang mengganggu, melainkan ponsel Aurum yang berada di dalam tas. Lantas, tanpa mengucapkan sepatah kata, Aurum membuka tas miliknya yang berada di antara mereka. Refleks, netra Aurum terbelalak manakala melihat dua ponsel sekaligus. Tentu saja miliknya dan milik Neon.

"Apa maksud kakak...? Bisa dijelaskan?!" Dengan menahan emosi yang hampir membludak, Aurum menggenggam ponsel Neon sembari menoleh ke si pemilik ponsel.

"Sesuai dengan pertanyaanmu yang sebelumnya, bahwa ponsel saya ada di rumah... dan, kamulah rumahku yang sebenarnya."

Lagi. Entah apa yang membuat Neon seperti ini, yang pasti Aurum mulai merasakan geli pada rungunya. Oleh karena itu, Aurum dengan segera menarik tangan besar si pria agar dapat menaruh ponsel kepada pemilik yang sebenarnya."Maaf... gombalan—mu kurang ampuh untukku saat ini."

Aurum yang mengetahui Neon akan berucap, dengan cepat mengambil ponselnya. Lalu, menerima panggilan dari seseorang sembari menjauhi Neon beberapa meter saja. Tentu, keputusan Aurum itu, tanpa terlepas dari pengkodean dirinya bahwa ia membutuhkan ruang sendiri untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana.

Neon yang memiliki sifat kedewasaan yang sempurna, memahami keinginan Aurum. Alhasil, ia memilih untuk duduk sambil memperhatikan punggung Aurum dari belakang. Sepuluh menit telah berlalu, akhirnya rambut Aurum berkibas seiring dengan si pemilik yang memutarkan tungkai untuk menghadap kepada dirinya.

Netra Neon pun seketika menangkap jelas raut wajah Aurum yang kentara bahagia. Hal ini ditandai oleh si perempuan yang tak tanggung-tanggung menarik kedua sudut bibir membentuk bulan sabit yang amat sempurna. "Kakak...!"

Masih menebak apa yang telah terjadi pada Aurum, Neon berdiri, tetapi perempuan itu tiba-tiba berlari dan memeluk raga Neon. Beruntung, si pria memiliki sendi-sendi yang kuat, sehingga Aurum dapat mendekap Neon leluasa sekalipun sang pemilik raga tengah terkesiap luar biasa. Dalam kekagetan itu, Neon mencoba untuk beradaptasi cepat Dengan Aurum. Hasilnya, kurang dari lima detik, Neon membalas dekapan Aurum, tangannya juga bergerak lincah membelai rambut halus milik si perempuan yang memeluknya erat. "Kenapa, sayang?"

Aurum yang tak mempermasalahkan panggilannya saat ini, menengadahkan kepala ke Neon tanpa melepaskan dekapannya. "Aku lolos kak... sebentar lagi, aku akan memenuhi amanah dari ibu, yaitu bekerja di tempat ibu dulu menghasilkan uang... ah, senangnya."

Tanpa meminta izin, Aurum kembali melekatkan raganya ke badan hangat Neon. Dalam posisi yang nyaman ini, Aurum tak sungkan untuk memeluk, serta menjadikan dada bidang Neon sebagai tempat bersandar kepala si perempuan yang mengingat kerja kerasnya sejak tahun lalu. Dimana, Aurum pernah mengikuti 'kegiatan khusus' di kampusnya yang akan mengantarkan ia ke perusahaan robotika terkenal di China sebagai pekerja, jika ia lolos dari serangkaian kegiatan yang amat berat itu.

Keikutsertaan Aurum dalam kegiatan tersebut, ia lakukan pada saat Aurum duduk di semester 3 dan 4, sekalipun diri melakukan hal seperti mahasiswa biasa yang mengikuti kegiatan akademik maupun berorganisasi dengan cukup aktif. Dengan memanajemeni waktu sebaik mungkin, ia pun dapat melalui semua itu, termasuk mengikuti kegiatan khusus yang dimulai dari ujian tulis, tes wawancara, hingga membuat sebuah mahakarya berbentuk robot, beserta laporan-laporannya yang berkaitan dengan ciptaan Aurum.

Hasil memang tidak akan mengkhianati usaha, kerja keras Aurum akhirnya terbayarkan. Ia dapat bekerja di perusahaan BAA China setelah mendapat gelar sarjana di kampusnya, tanpa melamarkan diri sebagai pekerja. Mengingat, universitas ini senantiasa bekerjasama dengan perusahaan tersebut, maka tak salah, jika setiap tahun ada saja tiga mahasiswa yang memenuhi kriteria dan terpilih menjadi bagian dari salah satu perusahaan pembuat robot itu.

Terlebih lagi, alasan terkuat Aurum untuk melakukan hal berat ini, tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri yang pernah mengatakan bahwa ia harus menjelma menjadi wanita hebat dan kuat, serta melanjutkan pekerjaan Argentinum yang sempat kandas di tengah jalan.

Sungguh masuk akal bila Aurum tengah merasakan kebahagiaan yang amat besar, mengingat usaha yang ia lakukan tidak sia-sia. Namun, orang yang paling dekat dengan Aurum tidak merasakan yang sama.

Neon justru membiarkan tangannya tidak memeluk Aurum lagi, pikirannya juga melayang ke percakapan dirinya dengan Azimuth yang terjadi di siang hari. "Cepatlah bawa Aurum keluar dari negeri ini... jika tidak, ia akan menjadi sasaran empuk bagi orang-orang jahat, termasuk Zinc... karena Zinc yang kamu temui tadi, bukanlah Zinc yang sempat kamu kenal."

Lain hal dengan Neon yang mulai merenungi semua informasi yang ia dapat dari Azimuth. Aurum malah melepaskan dekapan, kemudian berbicara di depan si pria untuk menyalurkan rasa kebahagiaan.

Ya, Aurum berbicara panjang lebar mengenai perjuangan ia selama ini di tengah-tengah jadwal padatnya sebagai mahasiswa, tak lupa pengobatan jantungnya yang ia lakukan secara diam-diam. Hingga, mengikuti rangkaian kegiatan khusus perusahaan itu, termasuk semua pengalaman yang mengesankan bagi dirinya.

Selang beberapa menit, akhirnya Aurum telah mengutarakan semuanya dengan kecepatan yang tinggi, sampai ia menutup cerita dengan sebuah pertanyaan. "Oh ya kak, jka ibu masih hidup, apakah ibu akan bangga kepadaku?"

Neon tidak mengatakan apapun, kecuali matanya yang melihat Aurum dengan pandangan kosong. Sebagai sesosok perempuan yang normal dalam penglihatan, jelas Aurum mengetahui kondisi Neon yang tidak baik-baik saja. Lantas, Aurum mendekatkan diri sembari memanggil si pelamun. Hingga, Neon tersadar akan realitas barulah Aurum menggerakkan lidah kembali. "Kakak memikirkan apa?"

"Kamu...."

"Ada apa denganku...? Apakah kakak tidak senang aku bahagia?"

"Tentu saja saya senang dan bangga kepadamu, tetapi...." Neon yang merasakan semilir angin malam, mau tak mau memotong ucapan menjadi memakaikan jaket miliknya kepada Aurum. Alhasil, ia hanya memakai setiwel berwarna putih yang tampak cocok dengan badannya yang kekar. Respon Aurum biasa saja, perempuan itu menautkan kedua alis pertanda masih menanti penjelasan lebih.

"Saya takut kamu kenapa-napa... kamu ingat perkataan polisi? Yang menyatakan bahwa pelaku yang menjadi dalang para preman itu masih berkeliaran di sekitar kita."

Iya, ingatan Aurum mengenai kejadian buruk dengan para preman, sengaja Azimuth biarkan. Sehingga, Aurum dan Neon didatangi oleh Azimuth yang berperan sebagai polisi. Dengan segala tindak-tanduk yang tak terlepas dari sihir, Azimuth akhirnya dapat mengontrol dan menjadikan Aurum percaya, bahwa ia adalah seorang korban sekaligus salah satu saksi, selain Neon yang menjadi saksi lainnya.

Memang tidak semuanya palsu, fakta mengenai pelaku yang berkeliaran ini adalah asli. Bukannya menakut-nakuti, Azimuth tak ingin Aurum dalam bahaya. Sayangnya, kecemasan semua makhluk yang menyayangi gadis itu, tidak dapat dipahami oleh Aurum sendiri. Hal ini terbukti, pada Aurum yang kini, mengambil tangan Neon untuk digenggam sambil menampilkan senyum tulus.

"Aku ingat, kak... tetapi, aku tak takut, because ada kamu."

"Kamu..?" Neon yang baru mendengar Aurum tanpa menggunakan embel-embel 'kakak', sekarang melebarkan mulutnya sendiri yang sebelumnya membeokan ucapan Aurum.

Tak pelak, Aurum yang mendengar pun seketika menganggukkan kepala dengan semangat. "Benar, kamu adalah kesayangan aku."

Dengan disambung oleh pengecupan pada pipi kanan Neon, Aurum kembali memberi kejutan. "Sayang, mau kan mendukung cita-citaku dan berada di sampingku?"

Bagai tiada opsi, Neon yang berdebar tak karuan, menyetujui keinginan sederhana Aurum. Neon pun mendapat pelukan lagi yang ia balas selama beberapa saat. Pasalnya, Neon tahu malam semakin larut, makanya ia mengajak Aurum untuk pulang ke asrama melalui motor miliknya. Namun, setelah mereka berada di depan asrama, tangan Neon menahan pergerakan Aurum yang hendak turun dari motor. Seolah tidak ingin berpisah, Aurum tak risih untuk mengeratkan lilitan tangannya di perut Neon sembari menyimpan kepala di pundak si pemilik motor sport ini. "Ada apa, hm?"

"Jika aku terlambat menolongmu di situasi buruk... kamu jangan risih dengan dua temanku yang siap siaga di mengamankan dirimu."

"Siapa?"

"Lihatlah ke belakang."

"Bagaimana caranya...? Toh tanganku saja ditahan olehmu."

"Tetapi aku tak ingin melepaskan dirimu."

"Ya sudah, sampai besok saja kita duduk di sini."

"Kok, kamu gampang menurutiku?"

"Kan aku itu, loving you." Sengaja mengutarakan kata-kata santai dan manis, Aurum menjadikan hati Neon berbunga-bunga. Terlebih lagi, pria itu membalas perasaan Aurum. Lalu, memposisikan diri menjadi biasa, tanpa ada pelukan maupun penahanan. Hasilnya, Aurum dapat bergerak bebas, ia turun dari motor, membuka helm, kemudian berbalik untuk melihat teman-teman Neon.

Sontak saja, Aurum melihat dua orang pria yang tengah berdiri di depan mobil Lamborghini berwarna kuning. Di sebelah kiri, ada pria bertubuh mungil yang tampak asing. Sementara, di sebelah kanan ada seseorang yang pernah Aurum jumpai di depan kafe siang tadi. Otomatis, Aurum yang ingat betul dengan wajah tampan dan sombong itu segera mendekat, setelah mengembalikan helm ke Neon yang kebingungan terhadap dirinya.

Benar, Neon yang tidak mengetahui isi pikiran Aurum, langsung menyusul setelah menyimpan helm dan memposisikan motor dengan aman. Pergerakan cepat Neon pun terbayarkan, akhirnya Neon dapat mensejajarkan diri dengan Aurum yang kini menatap sengit Al.

Hendak mempertanyakan 'kenapa', Al yang terlebih dahulu menyapa Aurum dengan kata 'hai, cantik' sambil melambaikan tangan. Pastinya, reaksi Aurum di luar dugaan, perempuan tersebut berdecak sebal. Kesal dengan Al yang lagi menggodanya dalam kondisi tidak memiliki hubungan. "Jadi, dirimu adalah teman kak Neon?"

"Tidak, kami bahkan bersahabat... ya kan bro?"

"Sekali lagi menggoda Aurum, akan saya coret dirimu dari daftar persahabatanku."

"Musuhi saja, kak...." Aurum yang malu memanggil Neon dengan sapaan sayang, kembali ke rutinitas biasanya. Ia juga bersiap melaporkan yang telah terjadi hari ini. "Karena saat kami bertemu, ia bertindak berlebihan dan—"

"Itu telah berlalu... dan saya berjanji tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Any way, sekarang sudah malam, tidak baik jika bersitegang... jadi lebih baik kita berdamai."

Bukan, bukan Al yang menghentikan pengaduan Aurum, melainkan pria yang di sebelah Al. Tertarik dengan sesosok yang menjadi penengah, Aurum menjatuhkan pandangannya terhadap manusia itu yang menjulurkan tangan, "perkenalkan saya Bismut, teman baik kekasihmu."

Alih-alih mengamati lengan Bismut yang tampak imut, ia lebih memilih untuk melihat wajah Bismut yang semakin lama, kian tampak familiar. Sampai Aurum menaikkan salah satu alis, kala menggali ingatan demi ingatan. Tetapi, Aurum tidak menemukan puing-puing memori bersamanya. Di lain sisi, Aurum merasakan de javu saat menatap Bismut. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, Aurum pun mengeluarkan vokal minim. "Apakah kita pernah bertemu?"

"Tentu saja kita telah bertemu...." Kali ini, Al yang berbicara dan menjadikan dirinya sebagai sumber atensi. "Kamu lupa ya...? Bahwa kita adalah pasangan di surga yang berpetualang di negeri ginseng ini."

"AL!" Secara bersamaan Neon dan Bismut meneriakkan nama yang sama. Akibatnya, Aurum tahu bahwa pria yang memiliki kadar cinta tinggi ini bernama Al.

Spontan si pemilik nama kaget, lalu meminta maaf dan mengatakan bahwa ia hanya bercanda. Berbeda dengan Al yang cemberut, Aurum justru mendekati rungu Al untuk mengatakan sesuatu. "Oh, jadi nama panggilanmu adalah sial ya...."

Sengaja menyatukan nama Al dengan kata 'si', Aurum berhasil melebarkan netra dan mendidihkan lava emosi sang pemilik nama. Sebelum, lava emosi Al meletus, Aurum cepat-cepat ke asrama setelah berpamitan singkat dengan Bismut dan Neon. Dengan tangan terkepal, Al sangat berusaha menahan amarahnya, teringat dengan Neon yang amat mencintai Aurum.

Ketimbang mendapat masalah baru, Al memamerkan senyum palsu. "Aurum benar-benar perempuan jenius... bahkan, ibuku pun belum pernah memanggil diriku seperti itu."

Hanya pundak yang diangkat oleh sang pendengar, Al tidak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka pun akan melaksanakan rencana mulai hari ini, dimana Al yang lebih dulu berjalan memasuki mobil, lalu disusul oleh Bismut. Sementara, Neon kembali mengendarai motor sesuai dengan instruksi Azimuth. Alhasil, mobil ini dihuni oleh 3 makhluk, dimana Al memberikan fakta terhadap Azimuth yang berperan sebagai supir.

"Zi, kamu tahu...? Aurum adalah orang kedua yang meledekku dengan cara itu... ya, orang pertama ialah Zinc, meski dulu kami jarang berkomunikasi... tetapi, kami memiliki momen yang jarang terlihat oleh orang lain... ah, aku jadi merindukan Zinc yang dulu... penuh misteri, tetapi baik hati. "

"Sayangnya itu dulu...." Azimuth yang hanya seorang diri duduk di bagian paling depan, melihat spion untuk memperhatikan Al dan Bismut yang tiba-tiba bermimik muka serius.

"Bersiaplah untuk menghadapi kenyataan bahwa Zinc akan menjadi musuh terbesar bagi Aurum...."

Pernyataan tersebut merupakan sebuah kebenaran. Hal ini terbukti pada realitas yang terjadi terhadap Zinc saat ini, yang mana ia dikejutkan oleh beberapa pasang mata ketika Zinc tiba di dalam markasnya. Melalui tatapan sinis, ia mengerlingkan pandangan, sehingga ia menemukan ayahnya yang bereksistensi di paling kanan.

Kemudian, di tengah-tengah ada para algojo Andromeda yang sedang mengawasi tahanan dirinya. Sementara, di sisi paling kiri terdapat Rubidium, beserta ibu Rubidium yang menatapnya tajam.

Seolah Zinc adalah orang yang bersalah, padahal dirinya lah sang pemilik ruang. Terlebih, tahanan yang tengah terbaring di dalam penjara terbuka tersebut, merupakan barang emas miliknya. Tak luput, rasa amarah pun merongrong raganya yang telah tercampur dengan luka dan darah. "Apa yang akan kalian lakukan di sini?"

Dengan suara yang bernada tinggi, Zinc mempertanyakan alasan mereka berkesistensi, bahkan membuka gerbang sel penjara tanpa meminta izin. "Berbicara denganmu."

Terbalik dengan Zinc yang tengah naik pitam, Andromeda masih tetap santai dalam balutan jas hitam yang melekat pas pada raganya. Tepat ketika Zinc melihat si pengucap, tungkai Andromeda berjalan sembari membenarkan tatanan pakaian, meski tidak kusut. "Kamu harus setuju, bahwa tahananmu akan menjadi tahanan polisi."

Menyisakan satu meter lagi, Zinc menatap lekat pria yang telah menghentikan pergerakan tungkainya. "Saya tidak akan sudi untuk bekerja sama denganmu...! Kamu lupa? Jika saya adalah racun? Hah!"

Diakhiri oleh pelototan selama beberapa detik, Zinc menjauhi Andromeda. Sang anak bergerak ke sisi penjara tanpa rasa takut. Iya, Zinc mengusir para algojo yang diam membatu. Tiada pilihan selain bertindak kasar, Zinc yang hendak menyalurkan emosi digagalkan oleh vokal Rubidium yang terdengar di rungunya. "Bagaimana denganku...?"

"Saya tidak memiliki urusan denganmu... pergilah, sebelum kalian menyesal karena berada lama-lama di sini." Tanpa memperhatikan Rubidium, Zinc menjawabnya dengan ketus.

"Oh, jadi Zinc ini telah pikun ya?" Bukannya menjauh, Rubidium malah mendekati Zinc. Bahkan perempuan tersebut, berdiri di hadapan pria yang tiba-tiba mengalihkan pandangan. "Baiklah, kalau kamu pikun... aku akan ingatkan bahwa tahananmu telah diamankan olehku, maka...."

Sedikit tertarik dengan perkataan Rubidium, akhirnya Zinc menatap si perempuan yang melanjutkan ucapannya. "Kamu memiliki hutang kepadaku."

Refleks Zinc tertawa hambar, ia baru mengetahui bahwa Rubidium juga mata duitan. Lantas, Zinc mengambil dompet, berniat untuk membayar jasa anak buah Rubidium itu. "Baiklah, kamu membutuhkan berapa banyak...?"

"Aku tidak membutuhkan uang darimu." Rubidium mendorong dompet Zinc yang semula tersodor di hadapannya. Tautan alis tebal milik Zinc pun terbentuk secara otomatis. "Melainkan dirimu yang menjadi bagian dari tim kami... kamu mau kan?"

Sekarang bukan alis Zinc yang bergerak, tetapi mulut tipis Zinc yang ternganga atas tipu daya Andromeda yang luar biasa. Beruntung, ia telah tersadar dengan Andromeda yang sebenarnya, jadi ia tak akan mudah terpengaruh, tidak seperti keluarga Rubidium yang berada di bawah kekuasaan ayahnya. Dengan gerakan mantap, Zinc yang sudah menutupkan mulut, menggelengkan kepala sambil mengatakan tidak.

"Tidak, Zinc... kamu tidak boleh menolak." Respon penolakan pun langsung ia dengar dari belakang. Siapa lagi, jikalau bukan Andromeda yang sekarang berada di samping Zinc. Dengan entengnya, pria tua tersebut menarik pundak sang anak agar mereka berdua saling berhadapan. "Karena, kalung yang menjadi bukti kesalahanmu, berada di anaknya Argentinum yang telah kamu bunuh."

"Jadi, saya harus bertanggungjawab, Tuan?" tanya Zinc dengan gaya khas ledekannya.

"Tidak... kamu harus camkan perkataan saya terlebih dulu... pertama, bukti kuat kasus pembunuhan antara dirimu dengan Argentinum, ada pada anak dari korbanmu...."

Andromeda tidak diam di tempat, malah melangkah ke arah sang ibunda dari Rubidium. Hingga, ia berada di samping Raslakarsa—ibu Rubidium, Andromeda baru menstatiskan diri.

"Kedua, bisnis terlarang yang dilakukan oleh Nyonya Raslakarsa cepat atau lambat akan terbongkar... mengingat para mata-mata mulai bergerak untuk menguak misteri di laboratorium itu... jadi, saya akan pastikan tahananmu sebagai kambing hitam. Setelah itu—"

"Apa?!" Zinc yang sangat penasaran dengan strategi biadab Andromeda antusias untuk bertanya.

"Tahananmu tidak akan bisa mengatakan kebenaran mengenai dirimu, bahkan ia akan mati di dalam jeruji besi."

"Bagaimana dengan bukti itu...? Seandainya, anak Argentinum memperoleh bukti lain yang menunjukkan kebenaran, 99 persen akan menimbulkan masalah."

"Pemikiran yang bagus." Atas pernyataan cemerlang Rubidium, Andromeda memuji yang diikuti oleh kesombongan. "Tetapi ide saya jauh lebih bagus dan hebat...."

Tiada lagi memperhatikan Rubidium yang sempat mendengkus sebal. Kini Andromeda memandang Zinc sambil memberi penjelasan, kemudian diakhiri oleh jari yang menunjuk dan mengarah ke Zinc Zacavia.

"Ada pepatah yang menyebutkan bahwa sedia payung sebelum hujan. Jadi, sebelum keturunan Argentinum mengetahui segalanya, dia akan tersiksa dengan amat pedih melalui dirimu."

"Saya?"

Zinc yang menunjuk dirinya sendiri, diberi balasan oleh Andromeda yang menggerakkan kepala secara horizontal. "Benar, kamu termasuk salah satu orang yang akan membuat anak Argentinum sekarat...."

"Artinya ada orang lain yang akan terlibat... siapa...? Rubidium kah?"

"Tidak, Rubidium dan Nyonya Raslakarsa akan terlibat dengan polisi untuk sementara... maka, saya akan mempekerjakan orang lain."

"Siapa dia?"

"Di belakangmu." Sesuai dengan perkataan Andromeda, Zinc membalikkan badan, hingga ia menemukan seorang pria yang berparas rupawan, bersih, rapi, dan terlihat lebih dewasa ketimbang dirinya. Namun sayang, di balik penampilan yang amat manusiawi itu, Zinc ingat betul bahwa perilaku si objek—yang ia kenali sejak remaja— jauh lebih buruk dari seorang hyper-s**s.

Tanpa diberitahu, mereka berdua yang telah beradu tatap lebih dari lima detik, akhirnya menarik salah satu sudut bibir secara bersamaan. Zinc juga tak kuasa untuk memecah keheningan.

"Hidro Jeffrey... pamanku yang senantiasa overdosis akan nafus birahinya... hm, kalau anak Argentinum adalah seorang perempuan, maka beruntunglah Hydro."

"Memang anak Argentinum berjenis kelamin perempuan... belum menikah lagi."

"Benarkah?"

Raslakarsa yang tadi menimpali, kini meyakinkan Zinc yang tidak tahu menahu mengenai keturunan Argentinum itu. Pantas, bila Zinc yang sempat kaget, selanjutnya mendekati Hydro yang masih tampak biasa saja. "Kamu dengar...? Dirimu akan mendapatkan durian runtuh."

"Kalau begitu, ikutlah dengan saya untuk mencicipi durian yang kamu maksud."

Sebelum Zinc menjawab ajakan Hydro, Andromeda memberikan sebuah fakta. "Iya, kalian dapat mencicipi, bahkan memakannya secara bersama-sama. Tetapi, ingat, sasaran kita kali ini bukan manusia biasa. Ia adalah perempuan yang dikelilingi oleh makhluk khusus dan istimewa."

"Jadi apa yang harus kami lakukan...?"

Akibat Zinc yang bertanya sambil menghadap ke dirinya, Andromeda melebarkan matanya, agak kaget dengan Zinc yang tiba-tiba tertarik dalam hal ini. Spontan, Andromeda mempertanyakan apa yang ada di dalam di pikiran. "Kamu mau bekerjasama dengan kami?"

"Katakan terlebih dahulu apa yang saya akan dapat dari rencanamu itu? Lalu, beritahu apa yang harus saya lakukan?"

"Hadiahmu sudah jelas bahwa jejak kesalahanmu akan sirna."

"Saya menginginkan hadiah tambahan, karena Hydro saja mendapatkan bonus."

Andromeda menghela napas berat, ia mulai merasa bosan dengan Zinc yang sulit untuk dikendalikan. "Baiklah, apa yang kamu inginkan?"

"Keinginan saya tidak seperti keinginan Byan yang mudah kamu wujudkan... karena, keinginan saya adalah kematian dirimu,

🌼🌼🌼

Pasca mendapatkan kabar baik mengenai pekerjaan yang ia cita-citakan, tentu Aurum semakin rajin belajar, agar ia lulus dengan proses yang cepat dan nilai yang tinggi. Tak pelak, Aurum mempelajari mata kuliahnya dengan sungguh-sungguh, dan sering kali menimba Ilmu di perpustakaan saat kelas sudah selesai, kendati hati dipenuhi oleh rasa penasaran.

Ya, penasaran sekaligus merasa cemas dan ganjil. Pasalnya,, semenjak satu bulan yang lalu, Aurum dikejutkan oleh Byan yang tiba-tiba memberi kotak perhiasan dan ternyata berisi kalung perak. Aurum juga tak menyangka bila Natrium akan mengambil cuti kuliah tanpa bercerita terlebih dahulu dengannya. Benar, Aurum hanya tahu informasi mengenai Natrium itu dari Carbon, sebab pada saat ia tiba di asrama tengah malam, Natrium dan barang-barang miliknya telah lenyap seketika.

Mungkin, Aurum terlalu sibuk sendiri, hingga ia tidak peka dengan kondisi Natrium yang sebenarnya. Entahlah, Aurum tidak tahu apapun tentang Natrium lagi. Bahkan, kabar sahabatnya pun sampai saat ini, ia tidak tahu. Alhasil, Aurum merasa cemas tanpa alasan yang jelas, mengingat nomor ponsel dan sosial media Natrium tidak aktif lagi semenjak empat minggu yang lalu.

Ah tidak, selain Natrium yang 'menjeda' kuliah, Byan juga mengambil cuti dalam waktu yang bersamaan dengan Natrium.

Keheranan serta hipotesa pun, Aurum senantiasa tanyakan dalam hati, lantaran tak ada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan sederhana Aurum. Kira-kira seperti inilah bunyi kalimat dalam sanuvari si perempuan cantik itu, 'apakah Byan dan Natrium ada keperluan yang sama, hingga ia 'menghilang' dalam waktu yang bersamaan...? Jika iya, mereka sedang menyembunyikan apa dariku?'

Tak hanya manusia yang menjadi perbincangan batin, Aurum juga memikirkan tentang kado-kado yang ia dapat dari mahasiswa baru. Bukan karena banyaknya hadiah yang ia terima, melainkan isi dari kado yang berlebihan, mulai dari berbagai makanan dan minuman, beberapa pakaian couple, bermacam-macam boneka, peralatan dandan ternama, buku-buku novel aneh, hingga alat elektronik pun ia dapatkan, seperti ponsel 'jadul' serta tablet khusus untuk menggambar yang harganya puluhan juta, Aurum dapatkan secara cuma-cuma. Bukankah ini terlalu berlebihan? Mengingat para pemberi kado adalah orang-orang yang Aurum tidak kenali?

Merasa pertentangan batin kian menggoncangkan fokus belajarnya, Aurum pun memilih untuk beristirahat dengan cara menutupkan buku, lalu bersandar ke kursi yang tersedia di perpustakaan ini. Otomatis, ia yang berada di lantai dua dan menghadap ke jendela, dapat melihat pemandangan langit yang gelap termasuk hiruk pikuk penghuni kampus di luar. Iya, Aurum tak sengaja menemukan beberapa orang yang bergerombol di teras laboratorium penuh misteri itu.

Spontan Aurum yang memiliki keingintahuan yang tinggi, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Karena, hanya ada segelintir mahasiswa yang Aurum tak kenali dan menghuni perpustakaan yang sama, Aurum tidak berani untuk bertanya. Akibatnya, Aurum terlebih dahulu meminjam buku referensi tersebut, sebelum memasukkan buku ke tas miliknya dan berjalan menuju laboratorium.

Lantaran posisi laboratorium dan perpustakaan cukup jauh, ia menghabiskan waktu beberapa menit sepanjang perjalanan yang ia lakukan sendiri. Hingga, puluhan langkah ia telah lakukan, akhirnya ia tiba di belakang kerumunan para mahasiswa. Mengingat Aurum memiliki tubuh yang ramping dan matanya tidak dapat melihat apa yang terjadi di laboratorium, ia pun menyelusup ke sela-sela gerombolan itu sambil mengucapkan kata 'permisi'.

Sekalipun, rungu harus mendengar decakan sebal dari orang-orang yang tak menerima perbuatan Aurum, sang pemilik rambut berwarna hitam legam itu tak mengindahkan kekesalan mereka. Aurum justru melangkahkan kakinya, walau harus berdesak-desakan. Hingga, usaha Aurum terbayarkan, ia dapat bernapas lega kala diri bereksistensi di paling depan.

Ah tidak, entah harus dikatakan beruntung atau sial berada di titik ini. Aurum mendadak melebarkan netra kala melihat secara jelas beberapa polisi membawa dus-dus bertuliskan minuman-minuman terlarang ke luar laboratorium. Tidak hanya barang-barang yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi, mata Aurum juga menyaksikan polisi menyeret para manusia yang terlibat dalam kegiatan jual-beli terlarang itu. Dimulai dari mahasiswa-mahasiswa yang Aurum tidak kenali, hingga Rubidium dan Raslakarsa pun berjalan beriringan dengan masing-masing polisi yang telah memborgol lengan mereka.

Otomatis, perjalanan mereka menuju mobil khusus tahanan harus melewati kerumunan ini secara horizontal. Termasuk Aurum yang sedari tadi fokus dengan Rubidium dan ibunya yang senantiasa menundukkan kepala, sejak mereka diseret keluar dari laboratorium. Sampai, mereka memasuki mobil yang berada di paling kiri dari tempat Aurum bereksistensi, tanpa terlepas dari kawalan ketat para polisi.

Rentetan, orang-orang yang tampak tidak bersalah ini, rupanya belum selesai. Tepat ketika, rungu Aurum mendengar teriakan dari arah laboratorium, si perempuan langsung menolehkan kepala ke sumber suara. Sehingga, ia mendapati tiga polisi tengah menarik paksa seorang pria untuk keluar dari laboratorium. Tanpa bisa dicegah, sistem pernapasan Aurum mulai tidak beraturan.

Bukan karena kaget, akibat mendengar teriakan yang bombastis dan dadakan itu, melainkan si pemilik suara bariton yang amat Aurum kenali serta ia benci.

Hingga, emosi mendidih secara spontan, Aurum salurkan melalui tangannya yang dikepalkan kuat-kuat. Bukannya perasaan kesal Aurum mengikis, justru semakin berkibar seiring dengan netranya yang menatap tajam si pusat perhatian yang saat ini mulai berjalan tanpa terlepas dari polisi.

Tidak ingin mengalihkan pandangan sedikit pun, Aurum senantiasa memperhatikan wajah si pria yang sekarang tampak keriput, sekalipun raganya terbalut oleh pakaian jas khas pegawai kantor.

Entahlah, Aurum tidak tahu apa yang terjadi pada pria tersebut, yang jelas Aurum mencaci maki orang itu melalui sanubari, mengingat dirinya berada di antara kerumunan orang-orang.

"Dasar keparat... setelah berani mengusir dan menipu ibuku, ia juga bekerja dengan cara yang kotor... apakah pantas, ia dikatakan sebagai ayah?"

Seolah dapat mendengar isi hati Aurum, pria yang semula fokus berjalan sembari berbicara dengan polisi, tiba-tiba menolehkan kepala terhadap Aurum yang mendadak membeku di tempat, merasakan gonjang-ganjing perasaan, sekaligus keringat dingin yang mengalir deras.

Terlebih, Aurum melihat sangat jelas mimik muka Fluor yang kentara menyedihkan, seakan-akan meminta pertolongan, amarah yang Aurum pendam lenyap seketika. Tergantikan oleh rasa iba dan rindu yang sayangnya Aurum singkirkan kuat-kuat. Aurum juga menyalakan api kebencian lagi, sekalipun diri harus merasakan sakit pada dadanya.

Benar, di dalam dada Aurum yang kembang kempis, terdapat jantung yang mulai tidak stabil dalam memompa darah. Dampaknya, penyakit bawaan Aurum terasa kembali, ia menahan sekuat tenaga untuk bertahan dan tidak menampilkan kesakitan, walaupun dadanya teramat sesak, setiap kali ia bernapas.

Beruntung, adu pandang antara seorang anak dan sang ayah ini tidak lama. Mereka akhirnya memutuskan kontak mata, setelah beberapa wartawan yang tiba-tiba mendekati Fluor dan para polisi untuk memperoleh informasi sejelas-jelasnya. Namun, rungu Aurum tidak dapat mendengar sesi tanya jawab itu.

Bukan, Aurum tidak tuli, melainkan merasakan kesakitan yang luar biasa pada jantungnya. Hal ini terbukti, pada seluruh kulit yang membungkus tubuh Aurum pucat dan basah oleh kelenjar keringat. Lebih-lebih lagi, muka Aurum yang sudah seputih mayat tidak bisa disembunyikan dari semua orang, yang beruntungnya tidak fokus kepada dirinya, karena Fluor masih menjadi daya tarik bagi para penglihat.

Tak ingin, kondisi Aurum terlihat oleh orang lain, ia berniat untuk keluar dari kerumunan ini. Namun, hujan tiba-tiba membasahi permukaan bumi. Jelas, orang-orang yang ada di sekelilingnya berlari untuk mengamankan diri dari air langit.

Implisit, mereka yang akan menepi, tak sengaja mendorong Aurum ke sana ke mari. Mau tak mau, raga Aurum terguncang seiring dengan para penonton yang mengombang-ambing dirinya. Bunyi bengek pun acap kali ia keluarkan, sejak kepalanya yang teramat berat ia topang.

Tiada yang mengindahkan Aurum dalam kondisi seperti ini, lantaran mereka fokus untuk menyelamatkan diri sendiri. Ditambah, tiada yang mengenali Aurum, mengingat ia berada di kawasan fakultas teknik yang amat jauh dengan lingkungan sains Aurum.

Akibatnya, Aurum yang tidak kuasa untuk berjalan. Bahkan ia yang kesulitan dalam bernapas, harus mencoba untuk bertahan dari lautan manusia. Serta, merasakan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Tak terkecuali jantungnya yang tak berhenti bergelora hebat dalam hal berdetak. Sehingga, salah satu Aurum selalu memegang dada sebelah kiri sembari merasakan sakit yang amat dahsyat ini.

Dalam keadaan yang semakin kacau ini, penglihatan Aurum buram, kakinya yang tak kuasa untuk berdiri lebih lama lagi. Tiba-tiba terdorong kuat ke sebelah kanan. Hingga, menabrak sesuatu yang menyebabkan kepala Aurum semakin pening, ditambah sistem pernapasannya yang kian terengah-engah. "Hah... hah... hah...."

Selain nada sesak yang Aurum keluarkan, pipinya juga seperti terbelai oleh hembusan napas. Refleks, ia menoleh dan mendongakkan kepala, walaupun matanya sulit melihat. Namun, ia dapat menangkap samar-samar pria berbadan tinggi tengah memayungi dirinya sembari menatap Aurum dalam.

"Maafkan aku, An...."

Sulit dipercaya, selain pinggang Aurum yang dililiti oleh si pembawa payung. Ia juga tidak berkutik kala si pria yang berparas tampan tersebut tersenyum tipis. Menambah kesan ketampanan yang pria tersebut miliki dan berhasil 'menghipnotis' Aurum dalam sekejap.

Benar, Aurum merasa terhipnotis sejak ia melihat lelaki itu, terlebih kini ruang sela di antara mereka terkikis. Lantaran, si pria menundukkan kepala dan mendaratkan bibirnya secara lemah lembut di salah satu titik yang ada di wajah Aurum.

Atas tindakan yang ia dapatkan, Aurum tidak bisa melakukan apapun, kecuali merasakan keningnya yang dikecup cukup lama oleh pria itu.

Pria yang ia yakini pernah berpapasan dengannya di lorong kampus dan ia lihat di parkiran kafe tempo lalu, yang sayangnya ia tidak bisa temui, karena ada penghalang. Berbeda dengan sekarang, yang justru berada dalam ruang yang sama, bahkan sukses menghangatkan tubuh Aurum.

"Zinc...."

Seketika, Aurum yang baru menyadari siapa pria tersebut tak malu untuk memanggil namanya dalam nada yang amat minim. Hingga, kecupan di kening terlepas, tergantikan oleh sepasang netra si pria yang telah memposisikan diri untuk memandangnya lamat-lamat.

Sebelum, kesadaran dan daya tahan tubuh yang Aurum miliki habis, ia membalikkan badan, kemudian tangannya terulur untuk menyentuh pipi mulus si lawan jenis, walaupun dengan gemetaran. "Ka—kamu.... Zinc 'kan?"

Dengan pandangan netra yang semakin meredup, Aurum melihat tangannya dipegang oleh pria tersebut. Ditambah, wajah si pria semakin tampak berseri, kala kedua sudut bibir terangkat ke atas disertai oleh anggukan kepala.

"Zinc...."



💦💦💦



bersambung...









Oh ya, di bawah ini ada beberapa visual yg mungkin terlupakan




He is Jingga








Itu, pria imut alias Bismut









Ini sebagai Al yang katanya si*l











Ini pasti sudah hafal banget, yaitu Neon







Jgn salty y, mungkin karakternya buruk, but ini adalah novel fiksi. Jadi, anggap aja sbg bayangan klu Jung jaehyun sebagai hidro, alias paman Zinc.





Bonus picture + biar tambah banyak di chapter ini














Jadi, Aurum bakal sama siapa ya?🤔🤔🤔

Continue Reading

You'll Also Like

79.4K 7K 51
【 On Going 】 GIRLS Series #1 - - - Blurb: Dia Alexiore, seorang gadis dengan kedinginan melebihi rata-rata tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya...
88K 5.8K 75
Disarankan untuk membaca cerita sebelumnya. "THE SECRET OF ANAYLA" Agar bisa lebih memahami jalan ceritanya. . . . AZEYLA QUEENY ZIYAH BALDEWIN...
Di Dampingi Malam By Atheanae

Mystery / Thriller

9.8K 828 25
𝐇𝐚𝐞𝐫𝐢𝐚𝐧𝐳𝐚 𝐒𝐞𝐩𝐳𝐭𝐢𝐧𝐨 tidak mengetahui darimana tanda-tanda merah itu berasal. "Di gigit nyamuk kah?" BEST RANKING - #1 in gs (8 Mac 20...
6.6K 1.2K 30
Berlatar dunia masa depan, di mana teknologi telah berkembang begitu pesat. Bahkan robot telah diperjualbelikan secara luas. Livia, seorang gadis yan...