DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kit...

By pramyths

735K 177K 28.1K

CERITA INI SUDAH DIHAPUS SEBAGIAN. Untuk baca lengkap, silakan membaca versi cetak yang bisa didapatkan di o... More

Prolog
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
Epilog
Di Mimpi Tempat Kita Berjumpa versi 2
Kak Agni 'n' The Gank siap dipeluk 🧡
Ebook DMTKB

I

31.3K 4.7K 362
By pramyths

"AWAAAASSS!"

Aku berteriak sekuat tenaga. Ada suara keras yang terdengar seperti alarm tanda bahaya. Melengking dan mengerikan. Apakah pria itu benar-benar jatuh ke jurang?

Sontak aku membuka mata. Ada gambar bintang-bintang yang langsung tertangkap mata. Cahayanya hijau pudar, menunjukkan berapa harga hiasan kamar yang memang murahan. Tak ada jalanan beraspal, hanya poster band rock X Japan yang terpasang miring di atas meja belajar. Tak ada jurang lebar, hanya ada kamar kos yang superberantakan. Dan suara yang tadi kukira sirene bahaya, ternyata suara alarm dari ponselku.

Ah, mimpi lagi ternyata.

"Hhh ... Capek ...." keluhku, sembari menggerakkan tubuhku yang terasa kaku.

Tulang-tulangku terasa linu. Persendianku berderik-derik seperti engsel tua yang dipaksa berfungsi normal. Kepalaku pusing sekali. Rasanya nyaris mual. Keringat dingin mengucur deras, walau ada kipas angin tua yang cukup ampuh mendinginkan hawa kamar kosku yang sempit. Aku seperti sedang demam. Namun, begitulah rasanya setiap kali aku terbangun dari mimpi-mimpi yang aneh.

Mimpi? Tunggu!

Aku bangkit dengan terburu-buru. Kunyalakan lampu kamar yang hanya semakin menegaskan betapa berantakannya kamar berukuran 3 x 3 ini. Sayangnya, aku tak punya waktu untuk memikirkan apalagi membersihkannya. Dengan buru-buru sekaligus ceroboh, sampai aku nyaris terpeleset selimutku sendiri, kuraih buku kecil yang selalu kutaruh di meja samping kasur.

Kubuka buku itu dengan kasar sampai halaman terakhir yang kutulisi tiga hari yang lalu. Aku harus segera menuliskan mimpi tadi malam di jurnal mimpi sebelum aku lupa.

26 Agustus 2016
Cowok itu pake kaos hitam, celana jeans, sandal jepit. Duduk di pinggir jalan gelap, menundukkan kepala. Lalu dia berjalan jauuuuuh, sampe puluhan kilometer. Aku ngikutin dia di belakang sebagai pohon (?). Awalnya dia jalan biasa, terus lama-lama lari seolah ngejar sesuatu. Lalu kami sampai di retakan jalan. Ya, jalan itu ternyata terputus. Mungkin habis ada bencana. Putusnya jalan itu jadi jurang lebar yang curam dan dalam. Cowok itu harusnya berhenti lari kalo nggak mau jatuh ke jurang. Aku berusaha memanggil dia dan memperingatkan soal jurang itu. Tapi dia nggak dengar. Suaraku nggak mau keluar. Dia terus lari, lari, lariiiii dan akhirnya berhenti. Dia menoleh, menatapku dengan wajah matinya. Dan dia bilang "Tolong. Di sini. Dingin. Sakit sekali.". Intinya, sama kayak mimpi sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Nggak ada kemajuan.

Aku menghela napas lega. Berhasil menulis mimpiku di jurnal mimpi sebelum aku melupakannya, rasanya seperti berhasil menyelesaikan tugas tepat sebelum deadline berakhir. Berangsur-angsur lelah dan letih yang tadi kurasakan berkurang. Yaah ... walaupun mimpi ini masih sama seperti sebelum-sebelumnya.

Entah ini sudah yang ke berapa kalinya aku memimpikan orang yang sama. Pria putus asa yang diliputi rasa sedih, lelah, marah, dan bingung. Kubaca lagi ulasan mimpiku semalam yang kutulis dengan tulisan cakar ayam. Bahkan membacanya sendiri membuatku pusing. Mimpi itu sangat surealis dan membingungkan. Jadi aku adalah pohon? Tapi bagaimana mungkin pohon bisa berjalan sampai puluhan kilometer? Lalu kenapa ada retakan jalan sebesar itu? Apa jalan itu menghubungkan dua gunung? Jurang itu jelas terlalu dalam untuk sekadar jadi retakan. Lagipula kenapa ....

"Tunggu. Ada yang aneh ...."

Kubaca ulang catatan mimpiku sebanyak dua kali. Hasilnya tidak berubah. Dua kalimat terakhir paragraf itu menggangguku. Dia menoleh, menatapku dengan wajah matinya. Dan dia bilang "Tolong. Di sini. Dingin. Sakit sekali."

"WUAAAAH KEMAJUAN LAGI!" decakku sedikit heboh. "Dia nggak cuma bilang tolong!"

Tok tok tok ...

Sontak aku membekap mulutku dan menatap horor ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Seharusnya aku nggak teriak. Aku yakin Bu Murni yang mengetuk pintu kamarku. Palingan ibu kosku itu butuh teman ngobrol untuk membicarakan keburukan semua orang di dunia. Plis lah, aku lagi nggak mood ngobrol dengan siapa pun sekarang. Kepalaku pusing dan aku masih ingin tidur lagi.

"Monik?" Terdengar suara yang familier. Nah kan, benar itu Bu Murni. "Monik udah bangun? Ibu masak sayur asem. Kamu nggak mau beli sarapan?"

Aku ingin nggak peduli. Aku sungguh-sungguh nggak peduli. Tapi perutku langsung berbunyi mendengar kata sayur asem. Mimpi tadi benar-benar menguras tenagaku. Aku butuh asupan gizi yang baru, caranya dengan mengabaikan bahwa ibu kosku itu menyebalkan. Jadi, kututup jurnal mimpiku.

"Monik ...."

"Ya, Bu! Ini lagi bangun."

Kusambar kaos oblong besar di belakang pintu. Sembari mengikat rambutku yang mengembang seperti surai singa, aku memikirkan mimpiku semalam. Sekarang detailnya sudah mulai buyar. Tapi aku mengingat apa yang kucatat di jurnal mimpiku tadi. Aku bisa melihat wajahnya, tetapi ... apa-apaan ini? Aku tetap nggak punya bayangan siapa pria yang mendatangi mimpiku berminggu-minggu ini.

"Haaahh ... seolah-olah bisa baca pikiran orang lewat mimpi belum cukup aneh ...  Sekarang gue malah mimpiin orang yang gue nggak tahu itu siapa terus-terusan dan ... Halo, Bu Murni! Lama nggak ketemu ... Apa kabar?"

Sebenarnya aku kaget karena saat aku membuka pintu, Bu Murni masih berdiri di sana. Tapi aku lebih kaget karena Bu Murni terlihat sama kagetnya denganku.

"Monik, kamu habis nangis?!"

***

Apa yang terjadi di mimpi kadang-kadang terjadi di dunia nyata. Itulah sebabnya aku tidur sambil menangis sesenggukan hanya karena di mimpiku aku juga menangis. Kadang aku mengompol saat di mimpiku aku merasa begitu takut dan terancam. Jadi, itulah jawaban atas pertanyaan Bu Murni tadi. Apakah aku menangis? Ya. Tapi dalam mimpi. Rasanya aku ingat aku menangis saat aku merasa tak berdaya untuk menyelamatkannya.

Aku lupa sejak kapan hal ini terjadi, tapi, kurasa semuanya berawal sejak setahun meninggalnya Mama, yaitu empat tahun yanh lalu. Mimpi nggak lagi jadi bunga tidur belaka bagiku. Mimpi selalu berarti sesuatu yang penuh tuntutan. Mimpi menjadi sinyal bahwa ada seseorang yang sedang kesulitan, dan aku harus membantunya.

Aku pernah membaca tentang kemampuan spiritual yang mungkin dimiliki oleh orang-orang khusus. Salah satunya adalah empath. Mereka adalah orang yang bisa membaca dan memahami emosi orang lain, tanpa harus melakukan percakapan mendalam. Bahkan tanpa kontak, si empath bisa mengetahui rasa marah, sedih, kecewa, senang, dari orang-orang di sekitarnya. Dalam kasus ini, aku melakukannya lewat mimpi. Aku memimpikan orang-orang spesifik yang dekat denganku, kukenal, kuketahui namanya, ataupun orang-orang yang kukenali wajahnya walau aku tak tahu siapa namanya. Mimpi-mimpi itu seperti gedung bioskop, dan aku menonton kehidupan orang lain di sana.

Well, sebenarnya aku nggak yakin apakah kemampuanku ini termasuk kategori empath atau bukan. Namun, aku sudah berusaha mencari tahu ke sana kemari, dan hanya ini satu-satunya penjelasan yang paling masuk akal tentang kemampuanku.

Aku pernah memimpikan tentang Arga, teman sekampusku yang oleh orang-orang dilabeli sosiopat dengan semena-mena. Namun, sikap Arga memang demikian. Dia selalu menghindari orang lain. Saat yang lain asyik bercerita, Arga akan memasang headset dan mendengarkan musik dengan ekspresi terganggu. Saat ada tugas kelompok, Arga lebih suka mengerjakannya sendiri. Tak seorang pun yang bersusah payah mengajak Arga ke kantin, karena wajahnya sudah menyiratkan penolakan, apa pun ajakannya. Dalam mimpiku, Arga duduk di sudut kelas menatap keramaian di sekitarnya, berharap seseorang menanyakan pendapatnya. Ia ingin ikut ngobrol, tapi tak tahu caranya. Dia juga ingin disapa seseorang saat kebetulan bertemu.

Mimpiku semacam jeritan permintaan tolong dari orang-orang yang nggak bisa mengutarakannya. Terkadang aku bisa membantu, tapi sering juga aku nggak bisa apa-apa selain diam-diam ikut menangis bersamanya.

Namun, mimpi yang semalam itu sudah berlangsung sangat lama. Jurnal mimpiku dipenuhi oleh mimpi tentang pria yang sama. Di mimpi-mimpi awalku, semuanya terasa membosankan. Pria itu sama sekali nggak bergerak apalagi bicara. Aku hanya bisa melihat postur tubuhnya samar-samar karena posisinya selalu membelakangiku. Lama-kelamaan, mimpi itu berkembang. Pria itu mulai bergerak meski sebatas mengorek-ngorek tanah dengan ranting atau membentur-benturkan dahi dengan gerakan lambat ke dinding. Beberapa mimpi terakhir, barulah pria itu mulai bicara dan meminta tolong.

Mudah untuk membaca mimpi itu. Aroma keputusasaannya sangat kental. Pria itu terpojok, tertekan, dan terhimpit oleh sesuatu. Pria itu kalut dan takut. Ada rasa marah, sesal, dan kelelahan yang luar biasa. Aku tahu dia berpikir untuk mati berkali-kali. Namun, menilik dia minta tolong padaku, kurasa dia masih ingin hidup. Masalahnya ....

"Tolong aku ... Tolong aku ... Ya lo siapa, berengsek?! Gimana gue bisa nolongin kalau gue bahkan nggak tahu lo siapa?!" dumalku kesal.

Ini benar-benar menjengkelkan dan melelahkan. Segala keletihan yang kualami saat bangum tidur terasa sia-sia. Lagipula, kalau begini terus, sampai kapan aku harus memimpikannya?

"Woi! Datang-datang udah ngedumel aja!"

Aku mendongak. Ragil melongok dari gerbang kosnya yang terbuka lebar. Beda dengan kosku yang selalu tertutup rapat, kosan Ragil memang selalu bebas. Mungkin cowok-cowok di sana nggak punya banyak barang berharga. Atau bisa saja mereka terlalu kaya, sehingga nggak takut kehilangan apa-apa.

"Lo ngapain ke sini lagi sih, Mon?" tanya Ragil dengan nada lelah. "Kemarin kan udah ke sini?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Ragil, aku nyelonong masuk melewatinya. Deretan pintu kos yang berantakan menyambutku. Begitu juga dengan tatapan cowok-cowok yang kebetulan ada di sana. Tapi aku nggak peduli. Bukan mereka yang ingin kutemui.

"Jangan sering-sering ke sini," kata Ragil lirih, sembari menjajari langkahku. "Lo nggak lihat mata-mata buaya di sini?"

Aku mendengus keras. Bukan Ragil juga yang ingin kutemui di sini.

"Mana Paduka yang Mulia?" tanyaku.

Ragil memejamkan mata dan mendesah dengan ekspresi lelah. Lantas sedikit malas-malasan, dia melambaikan tangannya ke arah kamarnya yang terletak di sudut.

Dengan bahagia aku mempercepat langkah menuju ke sana. Pintu kamar Ragil terbuka lebar. Namun, fokusku adalah apa yang ada di balik pintu. Yang kucari sedang menyambutku. Duduk dengan anggun di atas singasananya yang baru saja dibersihkan dan matanya memandangku dengan anggun. Menunggu. Menuntut. Seolah berkata, "Ke mana saja kau, hambaku?"

Aku tersenyum lebar, lalu berjongkok di hadapannya.

"Paduka! Hai!" sapaku bahagia, seketika lupa dengan rasa masakan Bu Murni yang hari ini mengadu domba antara cabe dengan merica. "Aaa ... Ganteng ... Apa kabar? Ganteng banget sih ..."

Kubuka teralis besinya, lalu kuulurkan tanganku ke dalam. Seketika Paduka menyundul tanganku dengan kepalanya dan merengek minta dibebaskan dari kandang.

"Bosan yaa di kandang terus? Sini Paduka, kita jalan-jalan dan melihat dunia ...."

Makhluk berbulu berwarna hitam dan putih dengan corak tuksedo itu menyambut uluran tanganku. Seketika aku membawanya ke dalam pelukan dan berdiri tegak. Saat itu, aku menatap ke balik tubuh berbulu Paduka, ke arah kamar Ragil yang terbuka.

Seorang cowok berambut gondrong tengah memakai jaket. Sambil keluar kamar, dia tersenyum padaku.

"Beautiful cat," katanya. "Cabut dulu, Bro. Thanks, ya," tambahnya kepada Ragil yang berdiri nggak jauh dariku.

Ragil menggumamkan "Yoi, sip", dan pria itu berlalu.

"Pacar?" tanyaku.

Saat itu, sebuah tepukan yang lebih cocok disebut dengan pukulan mendarat di punggungku berbarengan dengan makian "Heh! Anak gila!". Paduka yang kaget melompat turun dari gendonganku dan memprotes dengan desisan galak.

"Ragil! Paduka murka nih!" omelku kesal.

"Ya lagian lo ngomong sembarangan aja! By the way, namanya Chikko. Bukan Paduka! Udah gue ganti!"

"Enak aja!"

"Bodo amat. Paduka! Paduka! Gue ogah ikut-ikutan memperbudak diri sendiri."

Aku penasaran kenapa Ragil selalu menggerutu. Sikapnya sebelas-dua belas dengan Bu Murni yang merasa seluruh dunia ini salah kecuali dia.

"Gue mau bawa Paduka ke klinik. Waktunya vaksin. Ntar lo balik pukul berapa?" tanyaku, membuntuti Ragil yang masuk ke dalam kamarnya.

Spontan aku bersiul kecil ketika melihat seantero kamar Ragil yang superberantakan. Sahabat sekaligus tetanggaku di kampung halaman itu memang punya bakak alami membuat segala sesuatu jadi berantakan.

"Gue ada latihan teater sampe malam," jawab Ragil, berusaha mengambil baju-baju kotornya dan melemparnya ke dalam keranjang cucian.

Aku mengernyit. Latihan teater di kampus itu sudah pasti sampai menjelang tengah malam. Masa aku harus menunggu sampai selama itu untuk menyerahkan Paduka pada Ragil? Tugas jaga di Kafe Kita pun hanya sampai pukul 9 saja.

"Gue titipin Paduka di klinik aja deh. Pamali anak gadis keluar malam-malam," gerutuku.

Paduka adalah kucing peliharaanku yang kutitipkan pada Ragil. Aku menemukan Paduka semester lalu. Kurus, kering, dan pincang karena kakinya terluka. Setelah membawanya berobat, aku memutuskan untuk memelihara Paduka karena nggak tega membiarkannya kembali ke jalanan. Sayangnya, kosanku nggak mengizinkan kami membawa hewan peliharaan. Jadi, sehari-hari, aku menitipkannya di kosan Ragil yang superbebas. Kabarnya, ada kawan satu kosan Ragil yang memelihara biawak. Kabar gembira lainnya, banyak cowok-cowok di sana yang menyayangi Paduka seperti kucing sendiri.

"Lo bawa kunci kosan gue aja. Daripada tambah bujet buat titip," kata Ragil.

"Kata lo gue nggak boleh sering-sering ke sini?"

"Bener juga lo. Mana gue nggak ada," kata Ragil seolah baru sadar. "Oh gini aja. Titipin ke teman gue yang tadi. Tahu kan siapa dia?"

Aku memutar mata lelah. Kadang-kadang Ragil ini menanyakan hal-hal yang sudah jelas.

"Iya, tahu. Udah janjian mau makan siang juga," jawabku ngawur. Sekalian saja.

Ragil tergelak. "Paan sih, lo? Ntar lo bawa Chikko ke kampus terus kasihin ke dia. Biar dia yang bawa ke kosan gue."

"Siapa sih dia?"

Kali ini Ragil mengerutkan dahi. "Anjir, beneran lo nggak kenal? Senior lo, pea! Agni, anak Krim* 2013."

"Salah gue gitu?"

"Padahal dia terkenal. Lo nggak lihat mukanya apa?"

Apaan sih Ragil ini?

"Ya tapi dia emang baru masuk lagi, sih, habis cuti setahun. Eh, itungannya dia semester 5 kali, ya?"

"Sabodo teuing lah mau semester berapa! Jadi, ini gimana Paduka Yang Mulia?"

Ragil berdecak. "Ya udah gitu aja. Titipin Agni, katanya siangan dia mau numpang tidur. Ntar gue kasih nomor WA-nya."

"Oke."

Setelah memastikan nasib Paduka Yang Mulia nggak terlunta-lunta setelah dari klinik, aku segera menyiapkan pet cargo berbentuk ransel yang disimpan Ragil di kolong kasurnya. Paduka agak kesal ketika aku mengurungnya dalam pet cargo. Apa lagi saat aku menyandang ransel itu di pundakku.

"Kita piknik dulu, Paduka. Tolong bukain ventilasinya, Gil. Biar Paduka bisa jelalatan lihatin cewek-cewek di jalan."

"Kalau di jalan jangan diajak ngobrol ya, Mon," kata Ragil sembari membuka ventilasi pet cargo di semua sisi. "Plis, demi kebaikan lo sendiri."

Aku berbalik, menghadap Ragil, dan mengedikkan bahu. "Kenapa? Mendingan ngobrol sama Paduka dibandingkan nanggepin cowok-cowok berengsek yang suka catcalling 'assalamualaikum, cantik' sambil suit-suit."

"Terus kalau ada yang rese begitu, jangan malah lo suruh ngulang sambil divideo-in."

"Kenapa? Kan biar gue punya bukti kalau melakukan pelecehan di ruang publik!"

"Ya iya sih, tapi ngeri gue, Mon. Otak orang-orang kayak gitu nggak bisa diprediksi. Gue takut lo diapa-apain. Mendingan lo laporin satpam atau keamanan gitu."

Aku mengernyit. Ragil ini umurnya hanya dua tahun di atasku. Tapi kecemasannya sudah seperti kakek-kakek dua cucu saja!

***

*Krim: Jurusan Kriminologi

Cerita ini genrenya apa sih?

(InsyaAllah) ada fantasi-fantasinya wkwkw tapi jangan berharap banyak yaa, soalnya bakalan tetep banyakan romance-nya 😂 gimana dong, aku kan emang bisanya nulis romance ahahaha jadi, fantasinya tipis-tipis ajaa ;p

Enjoy!

Continue Reading

You'll Also Like

704 166 23
🎖: Winner Shortlist AIFIL 2023 🎖: The 5th Winner of Event The Goosebumps Love - WattpadRomanceID 🎖: Reading List AIFIL 2023 - WattpadChickLitID (#...
37K 6.2K 40
Ana mengira bersekolah di SMK bisa sangat santai dan seenaknya. Dan, selulusnya dari sana ia bisa langsung bekerja. Enak banget, kan? Sekolah santuy...
11.6K 774 27
Tentang Misteri Sang Murid Baru Dan Sang Pembunuh Bayaran Yang Sedang Jadi Bahan Perbincangan Kali Ini.
1.8K 335 10
[Ministory | COMPLETED ] Menurut buku tersebut, Wendy menyelamatkan Yoongi. Tapi di sisi lain Wendy pula yang menyebabkan Yoongi terperangkap dalam b...