KARA |Serendipity|

By iliostsan_

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... More

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 21
KS - 22
KS - 23
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 31
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 35
KS - 36
KS - 37
KS - 39
KS- 40

KS - 38

163 26 254
By iliostsan_

Selamat membaca .. 🤗

···

"Bang, aku takut papa marah," rengek Kara di dalam dekapan Dani. Dani mengelus rambut Kara, menenangkan adiknya.

Dani melepas pelukan, menatap mata jernih Kara yang sedang menatapnya takut. "Rileks, abang yakin ayah nggak bakal marah. Lagian, masalah kali ini bukan kamu, kan pelakunya? Tenang aja, abang bakal belain kamu."

"kalau gitu, abang harus belain aku, jadi tameng aku biar nggak diamuk langsung sama papa. Harus pokoknya!" putus Kara dengan cepat. Dani mengangguk.

"Ya udah yuk, kita ke bawah. Ayah pasti lagi nungguin kita di ruang tamu." Kara menatap Dani ragu. "dibawa rileks, dek," suruh Dani. Kara menarik napas terus membuangnya. Kemudian mengangguk yakin.

Berjalan duluan dengan langkah percaya diri menuju ruang tamu. Namun, belum sampai menginjakkan kaki ke tangga pertama, rasa percaya diri itu menciut membuat Kara mundur secara teratur. Dani yang ada di belakangnya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis.

Kara berbalik, menatap sendu Dani. "Bang, takut."

Dani merangkul Kara. "Apa yang ditakutkan sih? Ayah nggak bakal marahin kamu. Percaya deh sama abang."

"Tapi, bang ...."

"Udah yuk ke bawah aja langsung. Kayak pertama kali kena diskors aja kamu dek."

"Iya juga sih. Kan papa udah tau aku sering diskors. Kenapa aku harus takut sekarang coba? Aneh ih!" omelnya membuat Dani terkekeh. Adiknya sangat unik.

Kara berjalan menuruni tangga dengan degup jantung yang tak beraturan. Takut sekali rasanya. Berjalan sedikit menuju ruang tamu, di mana papa dan mamanya sedang duduk di sofa dengan baju santai. Kara berjalan menuju keduanya dengan menggigit kuku karena gugup. Dani yang melihat itu, menarik tangan Kara ke bawah, menghentikan pergerakan Kara. Kara menoleh.

"Rileks. Nggak papa," gumam Dani menenangkan Kara. Kara berusaha rileks dan berdiri tepat sebelah sofa yang diduduki Galuh, papa Kara.

"Pa," panggil Kara, Galuh menoleh, dengan cepat Kara terduduk dengan lutut menjadi tumpuan menaruh tangan di paha Galuh sembari menunduk. "Pa, maafin Kara, Pa. Kara sering buat masalah dan sekarang Kara kena hukuman diskors lagi."

Kara mendongak dengan wajah bersalah. Galuh hanya diam memperhatikan. "Maafin Kara, Pa. Jangan marahi Kara. Kara janji nggak bakal bikin masalah yang ujung-ujungnya diskors lagi. Suwer deh!" Galuh mengangkat tangannya, membuat Kara kembali menunduk takut papanya memukulinya.

Bukan pukulan yang dia terima, namun elusan papanya yang membuatnya merasa nyaman. Kara mendongak, menatap Galuh dengan berkaca-kaca. Galuh tersenyum. "Mana bisa papa marah sama anak gadis kesayangan papa ini. Apalagi kamu-nya nggak salah di sini."

Kara mendongak dengan binaran mata yang terlihat jelas. "Bener, Pa?"

Galuh meraih sebelah tangan Kara. "Nggak mungkin tangan sekecil ini bisa membuat orang lain terluka. Nggak terbayang di pikiran Papa kalau kamu beneran melakukan kekerasan. Untung aja kali ini hanya kesalahpahaman. Tapi untuk kedepannya, jika Kara ada masalah jangan biarkan emosi mengendalikan kita. Karena jika kita mengikuti emosi maka hal yang nggak baik datang tanpa diundang," Galuh menasehati Kara dengan perkataan yang terbilang halus.

"Jadi, jangan gegabah walaupun kita dalam keadaan emosi. Sampai di sini paham?" lanjut Galuh bertanya. Kara mengangguk, berdiri memeluk papanya.

"Sayang Papa!" pekik Kara. Galuh mendekap erat tubuh Kara, mengelus punggung anaknya sembari tersenyum tipis. Intan dan Dani hanya bisa tersenyum melihat kedekatan yang terjalin di antara anak dan ayah.

Dani memandang Intan. "Bun, Yah, Dani ke atas dulu, ya. Mau menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda," pamit Dani. Intan dan Galuh hanya mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Kara masih asik di dekapan Galuh.

Dani ke kamar, memasukkan barang-barangnya ke koper. Setelah semua yang dimilikinya telah masuk ke koper, pria itu berjalan menuju ruang tamu sembari menenteng koper.

Galuh, intan, dan Kara yang sedang bercengkrama di atas sofa dengan ditemani televisi yang menyala di hadapan yang terlihat oleh pandangan Dani ketika sampai di ruang tamu. Dani mendekati mereka, niat hati ingin berpamitan.

Intan menoleh, menyadari keberadaan Dani. "Sudah selesai?" tanya Intan, Dani hanya mengangguk. Kara mengernyitkan dahi menatap Dani dari atas hingga bawah. Dia tak sadar jika Dani sedari membujuknya di kamar memakai setelan baju yang formal. Dan membawa koper di sampingnya.

Dani menyalimi tangan Intan dan Galuh secara bergantian. Kara masih menatap Dani dengan tatapan bertanya-tanya.

"Lho, Abang mau ke mana? Kok bawa-bawa koper segala?" tanya Kara. Dani menatap Kara dengan senyum tipis.

"Abang mau balik kerja lagi, Dek. Biasalah ada kerjaan mendadak dari atasan abang," balas Dani sekenanya.

"Kok nggak bilang dulu sama Kara kalau abang mau pergi?"

"Namanya juga dadakan Dek. Abang mau ngasih tau, cuma tadi nggak sempat karena waktunya habis buat bujuk kamu," ucap Dani menatap Kara intens. Kara mendelik.

"Tapi sekarang Kara jadi sedih ditinggal abang mendadak begini tau!" Dani mengelus rambut Kara.

"Maafin Abang nggak sempat bilang ke Kara dulu, ya?" Kara hanya diam, menatap ke lain arah. Dani tersenyum maklum, menarik tubuh Kara ke dalam dekapannya. Bau maskulin masuk ke rongga hidung Kara. Kara memeluk tubuh itu kembali.

Dani melepas pelukan itu menatap Kara yang mendongak. "Udah maafin Abang belum nih?" Kara mengangguk pelan.

"Tapi lain kali kalau mau pergi bilang dulu sama Kara. Abang tau, kan, Kara nggak suka ditinggal tanpa dikasih kabar?" Dani mengangguk, mengacak-acak rambut Kara. Menatap ke arah Galuh dan Intan yang tersenyum.

"Bun, Yah, Dani pamit dulu, ya." Beralih menatap Kara. "Abang pergi dulu. Kara jangan nakal dan jangan sering memendam sakit sendirian, oke?" Kara mengangguk mantap.

"Dani pamit, assalamu'alaikum." Sebelum benar-benar pergi, Kara mencegat Dani.

"Wa'alaikumsalam," seru ketiganya.

"Mau Kara antar ke depan rumah nggak?" Dani mengangguk.

Kara berjalan beriringan bersama Dani. Melihat Dani yang masuk ke dalam taksi. Kara melambaikan tangan saat taksi itu melajukan kecepatan meninggalkan rumah Kara.

Kara masuk berjalan menuju ruang tamu.

"Ma, Zoya mana?" tanya Galuh.

"Yaya tadi pergi ke mall bareng teman-temannya, Pa. Paling mau lepas penat, apalagi sekarang dia lagi sibuk-sibuknya," jawab Intan.

Kara mendekati kedua orang tuanya. "Ma, Pa, Kara mau jalan-jalan keluar sebentar. Boleh, kan?" tanya Kara. Keduanya menoleh.

"Boleh, tapi jangan lama-lama. Pakai pakaian tebal karena dingin di luar sana." Kara menatap Galuh, meminta izin. Galuh mengangguk sebagai jawaban.

"Oke siap mama!"

Kara berjalan menuju kamar memakai pakaian yang tertutup membawa ponsel. Berjalan menuju ruang tamu, sebelum pergi Kara diberi beberapa kata dari sang ibunda untuk tetap hati-hati di luar. Kara hanya bisa mengangguk dan berjalan tanpa arah. Tanpa sadar dia kini berada di lapangan basket.

Kara duduk di kursi yang tersedia, menatap ke sekeliling. Keadaan di sini sangat ramai. Banyak pemuda-pemudi yang masih aktif bermain bola dan melakukan aktivitas lainnya.

Kara menghidupkan ponsel. Jam menunjukkan pukul 21.28 WIB. Membuka aplikasi chattingan. Nampak biasa saja. Tak ada yang memberikan pesan yang berarti, paling grup dan nomor yang tidak dikenal. Kara melihat-lihat status WhatsApp yang dibagikan teman-temannya. Karena bosan tak ada yang memberikan pesan, Kara memutuskan untuk menyaksikan pertandingan seru-seruan yang ada di hadapannya.

Tak lama, ponselnya berdering.

Arsa <3
Online

|Ti, masih melek gk?
21.35

"Ti, siapa njir?" gumam Kara dengan dahi yang menukik ke atas.

Ti? Siapa tuh? Gadis baru lo ya|
21.35 ✔️✔️

|Nama lo pe'a
21.36

|Lagian, selain lo sp lgi pacar gue?
21.36

"Ti? Nama gue?" Kara menepuk jidat. Kara Vristhi Dennalie. Pasti pria itu mengambil panggilan itu dari nama tengahnya. Sungguh tak keren.

Mana tau aj lo punya selingkuhan stlh pcaran sm gue|
21.36 ✔️✔️

Atau yg lebih parahnya, gue yg jdi selingkuhannya, hii|
21.36 ✔️✔️

|Ngapain harus selingkuh klo udh punya pacar yg cantiknya gk manusiawi kyk kmu
21.36

"Huek! Mau muntah gue rasanya," ucap Kara tapi gadis itu tersenyum setelahnya.

Alah gembel lo!|
21.37 ✔️✔️

|Gk ada manis-manisnya ya kmu, kar
21.37

"Padahal udah tau, pakai nanya. Emang aneh ni orang."

Gk suka? Balik gih sm mantan lo sn|
21.37 ✔️✔️

|Astagfirullah ukhti jgn begitu dong
21.37

|Aku blm selesai ngetik pdhl
21.37

Emg lo mau ngetik ap?|
21.38 ✔️✔️

Awas aja smpe ngegembel lgi|
21.38 ✔️✔️

|Ketikan kmu emg pedes
21.38

Gk pake cabe jg|
21.38 ✔️✔️

|Kmu ceweknya gk kalem
21.38

Emg, masalah buat lau?|
21.39 ✔️✔️

|Tpi ntah knp aku bisa terpikat pesona kmu
21.39

|Yg jdi pertanyaan aku
21.39

|Kmu pake pelet ya?
21.39

Enak aja!|
21.40 ✔️✔️

Tpi emg sih pesona aku gk bisa ditolak|
21.40 ✔️✔️

Kamu termasuk beruntung miliki aku, Sa|
21.40 ✔️✔️

Jadi, jgn smpe kmu selingkuh, klo gk mau masa depan kmu aku pangkas abis 😁🔪|
21.40 ✔️✔️

"Astagfirullah geli woi! Gini amat punya pacar! Tapi, lucu juga sih gombalannya," kekeh Kara. Mengeratkan cardingan yang dia pakai karena angin yang menerpa. Menunggu balasan Arsa.

Bukan balasan yang didapat, melainkan deringan ponsel, terlihat Arsa menelponnya dari sebrang sana. Kara mengangkat panggilan tersebut dalam kondisi terkejut.

"Eh! Kalau mau nelpon intro dulu dong. Aku kan jadi kaget!" Terdengar suara kekehan samar yang keluar dari mulut Arsa. Kara mendengus pelan.

"Maaf sayang. Aku cuma kangen suara kamu aja."

Kara terperangah mendengarnya, kemudian mengontrol detak jantung dan berusaha biasa saja. "Alah kentut!"

Arsa tak menjawab, terdiam sebentar. Kara melihat ponselnya, telponnya masih tersambung namun pria yang ada di sebrang sana kok diam saja?

"Kamu di mana sekarang? Kok berisik banget?"

Kara memandang ke sekeliling. Makin malam makin ramai. "Oh ini, aku lagi di lapangan dekat komplek."

"Ngapain di sana?"

Kara berdecak samar. "Ngemis."

"Hm?"

"Main lah, aneh-aneh aja ih pertanyaannya."

"Malam-malam begini?"

"Iya."

"Sama siapa?"

"Aku sih sendiri ke sini. Tapi rame kok."

"Pulang. Masuk angin nanti."

Suara Arsa berubah menjadi datar. Pasti pria itu mengkhawatirkannya yang ada di luar rumah pada malam hari. Ide jahil terlintas di benak, Kara mencoba menggoda pria itu. "Nggak ah, males."

"Kok gitu?"

"Nggak papa."

"Pulang atau aku samperin ke sana?"

"Samperin aku dong, Sa. Di sini sepi, aku takut pulang ke rumah. Takut digodain preman," rengekan Kara yang dibuat-buat membuat Arsa kesal.

"Aku ke sana. Jangan ke mana-mana!"

Kara tersenyum merasa senang Arsa menghampirinya. Sembari menunggu Kara mengedarkan pandangannya, ingin membeli makanan ringan. Kebetulan tukang siomay keliling berada di pinggir lapangan.

Kara membeli 1 porsi siomay. Tak berselang lama pesanannya sudah selesai. Kara kembali berjalan menuju tempat duduk tadi.

Kara memakannya dengan pandangan menatap sekitar. Tak lama ada seorang pria menghampirinya. Farhan Delano, mantan pacar ingusan Kara. Kara melirik sebentar dan kembali sibuk mengunyah siomay-nya.

"Tumben ke sini malam-malam?" tanya Farhan.

"Dih, suka-suka gue lah! Emang ini lapangan punya lo!"

"Lagi pengin keluar aja," ucap Kara singkat kembali memakan siomay-nya hingga habis.

Farhan hanya bergumam. "Mau ikutan main lagi nggak?" Kara menatap Farhan, keadaan pria itu terlihat berkeringat. Kara baru menyadarinya sekarang.

Kara menggeleng. "Nggak dulu deh."

Farhan mengangguk samar. Duduk terdiam di samping Kara. Kara hanya malas berbicara sekarang. Sejak putus dari Farhan, Kara jadi jarang menyapa. Dia hanya tak ingin Farhan mengajaknya balikan walaupun itu hanya asumsi Kara semata.

Tak lama Arsa datang, menatap Kara dan Farhan secara bergantian. Kara mendongak, tersenyum menatap Arsa.

"Ngapain?" tanya Arsa datar. Kara menatap Arsa heran. Apakah dia tak melihat kalau Kara sedang duduk?

"Duduk."

"Kok sama cowok?"

"Kan tempat duduknya disediakan untuk umum. Berarti, siapa aja boleh duduk di sini," balas Kara dengan nada kesal. Arsa menghela napas. Melirik Farhan dengan tajam.

"Santai bro! Gue sama Kara cuma ngobrol biasa aja. Oh iya kenalin, gue Farhan Delano, mantan pacar Kara," ucap Farhan, menjulurkan tangan.

"Arsa, pacar Kara," balas Arsa sedikit menekannya kata 'pacar' dan mengabaikan tangan Farhan. Farhan menarik tangannya kembali sembari tersenyum tipis.

"Farhan! Giliran lo lagi!" seru pria yang berada di tengah lapangan. Membuat pandangan Farhan beralih ke arah lapangan dan mengangguk. Farhan menatap Kara dan Arsa bergantian.

"Kayaknya gue ganggu waktu berduaan kalian di sini. Gue mau lanjut main nih, udah dipanggil juga." Farhan menatap Kara. "Kar, gue pergi dulu. Bye!" pamit Farhan. Dibalas gumaman Kara. Arsa mendengus.

Arsa duduk di samping Kara. Menatap ke depan. Tak menoleh ke Kara. Kara tahu pasti Arsa sedang kesal.

"Sa, lo marah?" Arsa diam saja tak menjawab. "jawab dong pertanyaan gue. Masa cewek cantik kayak gue dianggurin begini?" Arsa menoleh, tak bersuara.

"Lo cemburu?" tanya Kara, menatap Arsa. Arsa diam saja melirik sebentar kemudian menatap ke arah lain.

"Arsa! Jangan marah dong! Tadi tuh dia cuma samperin aku sebentar kok. Lagian aku juga udah berusaha cuekin dia." Perkataan Kara mampu memancing Arsa agar berbicara. Terlihat pria itu menoleh.

"Tapi dia mantan kamu, Kara. Aku takut kamu balik lagi sama dia karena dia ngasih perhatian sama kamu," balas Arsa cepat. Kara menatap Arsa dengan senyum tipis.

"Boro-boro perhatian, dia ngomong aja udah aku cuekin. Pasti dia udah ilfil sama aku," balas Kara berusaha menjelaskan. "lagian ya, aku nggak ada rasa lagi sama dia. Malahan aku merasa nyesel udah terima dia jadi pacar aku dulu."

Arsa terdiam, menatap Kara intens. Kara menatap Arsa penuh harap. "Jangan ngambek lagi ya?" Arsa masih terdiam. Kara mengeluarkan puppy eyes-nya, pipi yang menggembung dan mengerjapkan mata beberapa kali.

"Maafin aku, ya?" tanya Kara. Tatapan yang tadinya intens berubah melunak.

Arsa menyukai ekspresi gadis itu sekarang. Rasanya pria itu ingin menggigit pipi Kara yang berisi itu. Namun ditahan olehnya, agar pemandangan ini tidak lenyap dengan cepat.

"Arsa! Maafin aku, hm? Jangan ngambek lagi dong!" suruh Kara menatap Arsa dengan tatapan lucu. Tak tahan, Arsa memeluk Kara. Kara yang dipeluk tersenyum dan membalas pelukan Arsa. Arsa melepaskan pelukan itu dan menciumi kedua pipi Kara beberapa kali.

"Arsa, berhenti! Geli tau!" Kara menahan wajah Arsa agar tidak menciumnya kembali.

Arsa menjauhkan wajahnya dari Kara, menatap Kara dengan senyuman. "Abisnya kamu lucu banget sih!" Kara bergerak gelisah, salah tingkah, pipinya pun bersemu.

Kara memukul bahu Arsa. "Apasih, garing banget!" Arsa terkekeh mendengarnya.

Hening. Kara sibuk mengayunkan kakinya dengan Arsa yang juga melihat ke depan. Memeriksa orang-orang di lapangan yang didominasi laki-laki, menoleh ke arah pakaian yang dikenakan Kara. Arsa menghela napas lega. Syukurlah gadis itu mengenakan pakaian tertutup.

"Oiya, kamu ngapain malam-malam di luar?"

Kara melirik Arsa sebentar dan kembali menatap ke depan. "Cuma mau cari udara segar aja." Arsa yang bingung hanya bisa mengangguk.

Kara berganti posisi, tangan diletakkan di belakang tubuhnya, menjatuhkan semua beban tubuh di kedua tangan. Menatap langit malam, memejamkan mata sambil menghirup udara segar. Lalu menatap Arsa yang juga menatapnya sambil tersenyum. Mendadak teringat Dani. Tidak ada salahnya untuk menceritakan tentang Dani pada Arsa, toh Arsa tampaknya sedang bingung ingin membahas apa.

"Abang sepupu aku beberapa menit yang lalu balik kerja lagi. Padahal baru dua hari dia nginep di rumah. Kesel tau, Sa!" Kara menggerutu. Merasa tidak ada respon, Kara melirik Arsa yang sedang menatapnya dengan tanda tanya.

Kara menepuk keningnya. "Oh iya, aku belum kasih tau kamu tentang dia, kan?" Arsa mengangguk, Kara terkekeh. "Dia tuh namanya bang Dani, Abang sepupu aku. Dia udah kerja, jadi Intel. Dia juga yang bantu aku lacak siapa yang nyebarin video tentang aku di akun gosip." Arsa mengangguk tak banyak bertanya. Kara melihat sekeliling, angin bertiup cukup kencang, membuat badannya sedikit menggigil. Sepertinya hujan akan turun.

Kara berdiri, meregangkan tubuhnya. Arsa ikut berdiri, Kara menoleh. "Kayaknya mau hujan. Pulang yuk?" Arsa mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuju motor yang diparkir tak jauh dari tempat mereka sebelumnya.

Arsa mengendarai motornya menuju rumah Kara. Setelah beberapa menit berlalu, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan.

"Makasih untuk malam ini." Arsa yang berada di atas motor itu hanya mengangguk. "Bawa motornya jangan ngebut ya, harus hati-hati."

"Enakan juga ngebut." Spontan Kara memukul bahu Arsa.

"Enak kata kamu? Kalau nggak hati-hati apalagi nggak pake helm kayak sekarang, bisa aja, kan musibah datang ke kamu dadakan? Pokoknya pulang jangan ngebut!" Arsa terkekeh.

"Baik tuan putri bawelku," ucap Arsa seraya mencubit kedua pipi Kara gemas. Kara mendengus, menyingkirkan tangan Arsa.

"Hus-hus sana, pergi kamu babu!" Arsa melotot, Kara terkekeh. "canda! Udah sana pergi, dicariin lho nanti sama orang tua kamu!" Bukannya menyalakan mesin motor, Arsa masih tetap menatap Kara intens. Kara menatap mata Arsa ragu-ragu, mendadak dia merasa gugup.

Kara menutup mata Arsa dengan telapak tangan. "Arsa, aku suruh pulang bukan liatin muka aku!" Arsa menyingkirkan tangan Kara dari wajahnya.

"Bentar doang."

"Buat apaan?!"

"Biar aku bisa inget muka kamu terus." Kara tertunduk, pipinya bersemu. "soalnya kadang suka lupa. Tapi ... bentar," Kara melotot. Arsa tak menghiraukan tatapan membunuh Kara, sibuk merogoh saku celana. Mengambil ponsel, menekan aplikasi foto, mengarahkan kamera ke arah wajah Kara yang terlalu dekat kemudian membidiknya.

"Nah, sekarang, kan bisa diliat kapan aja," gumam Arsa, menatap hasil bidikannya. Kara menatap kesal Arsa, apa-apaan pria itu?!

"Wah parah, sembarangan aja ngambil foto gue! Pergi nggak lo!" Kara menendang ban depan motor Arsa. "atau mau gue unboxing motor lo sekalian?!"

"Emang bisa?" tanya Arsa menatap Kara intens dengan tangan yang sibuk memasuki ponsel ke dalam saku celananya.

"Ish! Bodo lah. Ngomong sama cowok cerewet dan nggak mau ngalah itu beneran buang-buang waktu! Aku mau masuk. Pergi sana!"

Kara berbalik, sebelum berjalan semakin dalam menuju pintu masuk Arsa meraih lengan Kara, membuat gadis itu berbalik menghadapnya. Wajahnya tampak kesal. Bukannya takut, Arsa malah tertawa. Menarik tangan Kara, lalu memeluknya.

"Aku bercanda kok. Maafin aku, ya?" Arsa membelai rambut Kara. Untuk beberapa saat Kara membeku, kemudian ia melepaskan pelukan Arsa.

"Tapi jangan diulangi lagi. Karena bercandaan kamu itu sama sekali nggak lucu." Arsa tertawa, Kara melengos.

"Ya, sorry sayang." Kara bersemu kembali, bergerak gelisah, salah tingkah. "cie kayaknya ada yang lagi salting nih." Arsa menusuk-nusuk pipi Kara pelan tersenyum meledek.

Kara menepis tangan Arsa. "Udah sana pulang. Bosan gue liat muka lo terus!" Arsa masih mengejek Kara lewat tatapannya. "Tau ah!" Kara berjalan masuk, menoleh ke belakang. Arsa masih memperhatikannya.

"Pulang Arsa! Tuh liat langit, udah mau ujan. Ntar kehujanan malah sakit kamu nanti!" Arsa masih tetap menatap Kara jahil. Kara mendengus. "ish! Dibilangin ngeyel kamu ya. Dasar nyebelin!" Kara berbalik, benar-benar masuk ke dalam rumah.

Arsa terkekeh menatap pintu masuk yang dibanting oleh Kara. Sangat menyenangkan membuat Kara marah seperti itu. Wajahnya sangat lucu saat mengomel, membuat Arsa tak sabar menunggu raut wajah itu menghiasi muka Kara kembali.

Kara mengintip dari jendela, memandang Arsa yang menyalakan mesin motor dan meninggalkan rumahnya. Kara berbalik, mengembuskan napas.

Ruang tamu terlihat sepi, sepertinya orang tuanya sudah tidur. Kara berjalan menuju kamarnya. Setelah tiba, dia berpapasan dengan Zoya yang baru saja keluar dari kamar. Terlihat mata kakaknya sedikit bengkak, entah kenapa bisa seperti itu.

Paling habis nugas, pikir Kara.

Kara lebih memilih masuk ke kamar daripada mengurusi kakaknya, toh Zoya tidak menegurnya. Kara berbaring telentang setelah membuka cardingan dan rok hitam semata kaki. Mengangkat tangan yang dilingkari oleh gelang pemberian Arsa. Menatap gelang itu cukup lama. Kemudian menjatuhkan tangan itu secara mendadak.

"Dia udah ngasih gue gelang. Apa perlu gue kasih sesuatu biar dia bisa inget gue balik?" tanyanya pada diri sendiri. Cukup lama terdiam, Kara mengangguk. "kayaknya emang harus gitu. Tapi apa ya? Besok deh gue pikirin. Otak gue nggak mau mikir lagi. Capek katanya." Kara saat ini benar-benar seperti orang aneh yang berbicara sendiri. Untunglah saat berbicara, tak ada yang menyahuti setiap omongannya.

Assalamu'alaikum semuanya! Apa kabar kalian? Masih kuat puasanya sampai hari ini? Semoga sehat dan tetap kuat jalani puasanya, ya.

Ini bagian yang dipublish pada saat bulan puasa, nih. Tadinya sih mau update awal puasa, cuma baru sekarang nulis sampai selesai, huhu.

Semoga masih suka ya. Walaupun sedikit membosankan menurutku 🙂💔

Rasanya yang kemarin kurang masuk sama konflik, jadi aku rombak balik deh. Sengaja ngga diunpub takut spam notif, ehe. Pembaca lama bakal tau, kalau aku penulis yang suka revisi berkali-kali 😌🤣

Friday, 16-04-21
Wed, 05-05-21

Jangan lupa vote-nya! 😁👌
🌟👇

Continue Reading

You'll Also Like

3.9M 303K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
2.4M 141K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
6.1M 262K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
360K 44.5K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...