KARA |Serendipity|

Por iliostsan_

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... Más

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 21
KS - 22
KS - 23
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 31
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 36
KS - 37
KS - 38
KS - 39
KS- 40

KS - 35

146 28 207
Por iliostsan_

Happy Reading~! 😘

••

Kara terduduk di kursi bus menghadap kaca, menyelipkan earphone ke telinga, terputarlah lagu Rehat - Kunto Aji. Suara itu mendayu-dayu di rongga telinga, bergumam mengikuti lirik sesekali. Mata asik memandang jalan yang dilewati dengan wajah tanpa emosi, dia hanya ingin menjauh dari semua masalah yang menerjang tanpa permisi. Masalah baru datang di saat masalah lama belum menemukan jawaban, membuatnya buntu akal dan merasa frustrasi.

Dari sebrang Arsa melirik prihatin, memandang Kara yang terlihat tidak baik-baik saja. Arsa mengikuti ke manapun Kara pergi, dia tidak tega meninggalkan bahkan tidak hadir di saat gadis itu butuh sandaran. Ingin memberikan pundak untuk disandarkan namun, dia paham. Gadis itu perlu waktu sendiri. Dia hanya perlu memantau dari kejauhan, tidak membiarkan gadis itu hilang dari penglihatan.

Sudah banyak halte yang dilewati, namun gadis itu seakan enggan mengangkat dirinya untuk keluar dan berpindah posisi-masih dalam kondisi termenung sampai siang pun menyapa. Seseorang yang tadinya duduk di samping Kara sudah keluar beberapa menit yang lalu, dengan cepat Arsa duduk di samping Kara. Namun, gadis itu masih belum menyadarinya-sibuk menatap hiruk-pikuk perkotaan lewat kaca bus.

Bosan mendengar lagu, Kara menarik earphone-nya, mematikan ponsel. Terdiam cukup lama tanpa berbuat sesuatu membuatnya lelah, otaknya tidak mampu berpikir jernih lagi. Membuat matanya menutup. Guncangan bus yang berjalan membuat kepala yang tadinya oleng tanpa tumpuan terjatuh begitu saja di bahu Arsa. Arsa yang sedang terpejam dengan bersedekap dada terkejut dibuatnya.

Arsa melirik wajah polos yang terlihat kelelahan. Untunglah dia yang duduk di sini. Bila orang lain dan dia tidak bergerak untuk mengikuti ke manapun gadis itu pergi, entah bagaimana keadaan gadis itu kedepannya.

Gadis ceroboh.

Beberapa menit berlalu, Arsa yang sudah jengah terduduk memperhatikan Kara yang sibuk terpejam membuatnya terpaksa membangunkan gadis itu-sudah cukup lama mereka di dalam bus ini.

"Kar ... bangun, Kar," ucap Arsa sembari menepuk kedua pipi Kara pelan. Kara yang merasa terusik, mencoba membuka matanya. Mata keduanya tak sengaja bertubrukan, membuat mata yang sayu mendadak melotot.

"Lo ngapain di sini?" ucap Kara dengan nada sinis. "Pasti gue lagi tidur, lo berbuat zina tanpa gue sadari, ya?" tuduhnya membuat Arsa terbelalak, kaget.

"Astagfirullah, jangan suudzon. Gue di sini baru aja, kok," balas Arsa membela diri.

"Halah, jangan ngeles! Kalau lo nggak berniat untuk berbuat zina tanpa gue sadari, ini apa? Kenapa kepala gue ada di bahu lo? Lo sengaja, kan, bawa kepala gue ke bahu lo?!" Mulut Kara dibekap oleh tangan besar Arsa.

"Ssst! Jangan teriak-teriak, ntar gue dikira berbuat yang aneh-aneh ke lo." Kara menarik paksa tangan Arsa yang membekap bibir dan hidungnya. Setelah terlepas, Kara meraup semua oksigen yang ada di sana.

"Lo mau bunuh gue?!" Arsa menghela napas, memandang wajah Kara yang kelihatan marah dengan intens. Membuat yang ditatap, gugup, berdehem dan berusaha memandang ke lain arah.

Kara menutup wajah Arsa dengan telapak tangannya. "Nggak usah liatin gue gitu amat! Gue tau, gue itu cantik."

"Ya, lo ... cantik," gumam Arsa yang terdengar jelas di telinga Kara sembari memandang wajah Kara yang kelihatan menahan malu.

Kara gelisah, dia tidak menyukai berada di posisi di mana dia dipojokkan seperti ini. "Ngapain lo di sini? Bukannya lo bawa motor sendiri, ya? Terus ngapain juga lo di bus waktu jam sekolah berlangsung?" tanya Kara tanpa memandang Arsa yang sibuk memandangi wajah Kara yang kelihatan memerah. Bukan tanpa alasan wajah Kara memerah dan sedikit gugup, wajah Arsa terlalu dekat dengan wajahnya. Membuat rasa yang belum pernah dirasakan datang tiba-tiba membuat hatinya 'kaget'.

Arsa menjauhi wajahnya dari Kara, menyadari kegugupan yang dirasakan Kara diakibatkan dia sembari bersedekap dada. "Lo sendiri, ngapain keliaran pas jam pelajaran berlangsung?"

Kara terlihat gugup, ia tidak ingin masalah ini bisa membuat Arsa ikut campur lagi. Dirinya tidak ingin membebani seseorang dengan masalah yang dihadapi. "Gue ... emang gue harus absen dulu sama lo, kalau gue pergi ke mana terus ngapain aja? Nggak, kan!" Kara melirik ke sekitaran melewati kaca tembus pandang, kebetulan pula halte selanjutnya tepat 15 detik di depannya. Kesempatan untuk terhindar dari pertanyaan Arsa yang lainnya.

"Udah deh, jangan kepo! Mau ke manapun gue pergi, bukan urusan lo!" Kara berdiri dan mendorong tubuh Arsa yang menghalangi jalannya kemudian berjalan keluar setelah bus berhenti sempurna di depan halte. Arsa yang tahu jika Kara ingin turun pun membuatnya cepat-cepat turun sebelum bus berjalan menuju halte selanjutnya.

Kara menyelipkan kembali earphone di salah satu telinganya, terputarlah lagu Senyumlah - Andmesh Kamaleng yang menggema di rongga telinga. Kara ingin menghindari Arsa bukan karena tidak nyaman, hanya saja ia tidak ingin Arsa mengulik fakta tentang 'kenapa dia ada di bus ketika waktu belajar berlangsung'. Dia tak ingin melibatkan dan menambah beban pikiran Arsa, lagi.

Kara tidak menyadari bahwa Arsa sedari tadi mengikuti langkahnya, matanya asik meneliti wilayah yang terasa asing di penglihatannya-memandang lautan yang membentang di bagian kiri. Ternyata, halte yang dia dapati menuju pantai, sudah lama dia tidak kemari.

Dengan cepat Kara menginjakkan kaki di atas pasir putih. Sejauh mata memandang, air yang terlihat. Angin yang menerpa, hangatnya terik matahari yang menyapa, serta suara ombak bersahutan, membuat seulas senyuman terpatri di sudut bibirnya.

Kara mendudukkan diri di atas pasir putih itu, merasa tidak peduli apakah bajunya akan kotor atau tidak. Yang diinginkannya hanya satu-ketenangan pada jiwa yang sedang terguncang.

Lagu penyanyi terkenal Andmesh Kamaleng terganti menjadi lagu lainnya, dengan cepat Kara menarik earphone itu dari telinga dan mematikan ponsel. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri, tidak ingin diganggu pada saat ketenangan hati belum bulat sempurna.

Ada yang duduk di sampingnya, tapi, Kara tidak menggubrisnya sama sekali. Namun, seseorang yang ada disampingnya seakan datang kepadanya dengan tujuan menganggu dia yang sedang mencoba menenangkan hati dan pikiran membuat Kara menoleh dengan raut wajah kesal. Betapa terkejutnya Kara, ternyata seseorang yang ada disampingnya adalah Arsa.

"Arsa, lo ngapain disini?! Lo ... lo ngikutin gue?" Arsa mendorong kelapa muda yang dia beli tadi ke arah Kara, menunjuk kelapa itu dengan lirikan mata.

"Diminum dulu kelapa mudanya. Nggak capek apa, ngomel mulu?" Kara memandang kelapa muda dan wajah Arsa secara bergantian. Rasa kesal teredam oleh rasa haus yang tiba-tiba menerjang tenggorokannya. Dengan cepat ia menggapai kelapa muda itu dan meminumnya melalui sedotan.

"Itu haus apa doyan? Buru-buru banget kek lagi dikejar rentenir," ejek Arsa dengan terkekeh memandang Kara yang terlihat antusias menyedot air kelapa muda seakan-akan ingin memakan kelapa itu bulat-bulat.

Kara menyudahi minumnya seraya memandang Arsa tajam. "Bodo!"

Kara menarik tubuhnya untuk menjauh dengan menyeret bokongnya sedikit menjauh dari Arsa, walaupun hal itu hanya membuat dia kelelahan.

Arsa mendekati Kara dengan menyeret bokongnya, membuat Kara mendengus kesal kemudian bergeser lagi. Namun, Arsa kembali mendekat membuat Kara pasrah dan mendorong sedikit dada Arsa yang menempel pada punggungnya. Dan mulai memfokuskan diri kepada lautan yang indah tersuguh di depannya.

Arsa yang merasa bila Kara tidak menghindarinya memandangi Kara dengan intens. "Lo nggak kepo gitu, kenapa gue masih ngikutin lo sampe ke sini?" Kara menoleh sembari memicingkan mata, kesal.

"Bodoamat! Ngomong sama lo, bisa buat energi gue terkuras sia-sia! Lebih baik gue ngomong sama Ahsan daripada lo," seru Kara menggebu-gebu dengan napas yang terengah-engah.

Fyi, Ahsan tipikal orang yang jarang bicara-bicara seperlunya dan tidak kepo seperti Arsa. Itulah mengapa Kara lebih suka bicara dengan Ahsan ketimbang Arsa, cowok banyak omong.

Ahsan. Kenapa dengan pria itu? Kenapa pula Kara membawa-bawa nama Ahsan di saat-saat seperti ini?, pikir Arsa.

"Ahsan? Ada apa dengan Ahsan?" Kara melirik Arsa yang memandangnya serius kemudian kembali memandang pantai lagi.

Arsa yang geram, menarik kedua bahu Kara untuk menghadap padanya. "Kenapa bawa-bawa Ahsan? Apa lo suka sama Ahsan?" Kara memandang Arsa dengan kerutan di dahi terlihat jelas, bingung.

Kara menepis kedua tangan Arsa yang memegang erat kedua bahunya. "Apaan sih lo? Mau buat bahu gue remuk?" gerutu Kara.

"Ya jawab dulu pertanyaan gue. Ada apa dengan Ahsan? Kenapa di saat kita lagi berdua lo bawa nama cowok lain di obrolan kita? Apa lo mau buat gue cemburu? Iya?" Kara kebingungan dengan ucapan Arsa yang melenceng ke mana-mana. Kenapa pria di depannya ini?

Kara mendorong wajah Arsa yang menurutnya sangat menggangu penglihatan. "Apaan-apaan, sih? Bukannya jawab pertanyaan gue, muka gue malah lo tabok?!" sungut Arsa sembari mengelus hidungnya yang sedikit sakit akibat dorongan tiba-tiba dari Kara. Gadis itu sangat kuat, membuatnya mendengus sebal.

"Arsa, denger, ya. Terserah gue mau ngapain aja. Gue nggak mau jawab pertanyaan lo, ya karena pertanyaan lo tuh nggak bermutu tau nggak? Lo tuh, ya, ganggu gue banget sih! Gue pengin nenangin diri, dan malah ketemu sama lo yang sikapnya sekarang nyebelinnya pake banget, huh!" omel Kara menggebu-gebu.

Arsa menghela napas, memandang pasir yang ada di bawahnya dengan saksama. Arsa dibuat kalut ketika dia dan Kara sedang berduaan kemudian dengan mudahnya Kara bawa-bawa nama cowok lain.

Kembali ke keadaan semula, sebelum Arsa menghampiri Kara-senyap dan nyaman. Kara menumpukan kedua tangan ke belakang di atas pasir dengan kaki yang diselonjorkan sembari memandang langit biru yang diselimuti oleh awan-awan.

Kejadian pagi tadi seakan menghantam ingatan Kara agar dia tidak melupakan kejadian itu dengan mudah. Dahinya mengkerut, menahan gejolak emosi yang tertahan di lubuk hatinya.

Arsa yang ada di sampingnya menatap Kara yang terlihat tidak baik-baik saja. Ia berusaha mengesampingkan rasa kecemburuan tak berdasar yang dialami dan mulai memfokuskan diri pada gadis yang ada disampingnya dengan wajah yang tidak bersahabat, lagi.

"Kar, lo nggak papa?" Kara tidak menyahuti maupun menoleh, dirinya seakan dikontrol oleh emosi yang sengaja ditumpuk di pikiran dan hati.

"Kar ...?" Kara tiba-tiba menunduk, terisak-isak terdengar pilu. Membuat Arsa tak tahan menahan rasa kasihannya pada Kara.

"Gue capek, Sa. Gue capek difitnah terus-terusan," kata Kara tiba-tiba, "Masalah lama belum kelar, masalah baru malah bikin gue seolah-olah orang yang paling tegaan. Nggak ada satupun orang yang tau sama sekali kayak gimana gue sebenarnya."

"Gue sedikit kecewa sih, sama ibu gue. Gue terpuruk kek gini, ibu gue malah nyalahin semua masalah yang terjadi itu ke gue. Gue, gue nggak habis pikir aja gitu, ada orang yang nggak punya hati fitnah gue dengan cara kotor yang bikin ibu gue kecewa sama gue. Gue ...." ungkap Kara sembari meremas tangannya untuk meredam kekesalan yang dibendung.

Arsa menarik tubuh Kara memberikan ketenangan untuk Kara. Arsa lelah melihat gadis itu selalu membuang-buang air matanya demi masalah yang akhir-akhir ini menganggu ketenangannya-mencoba mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa ingin membalas, biarlah bahasa tubuh yang bekerja.

Tak lama, Kara menarik tubuhnya dari dekapan Arsa menghapus dengan kasar air mata, memandang tanpa arah dengan tatapan kosong. "Tapi, kali ini, gue nggak akan tinggal diam kalau kejadian yang gue dapat cuma bisa menyudutkan gue aja. Gue nggak mau nama gue diolok-olok di depan banyak orang, lagi."

"Gue bakal bertindak cepat, biar tuh orang kapok karena udah bawa-bawa gue ke masalah yang nggak sama sekali gue perbuat." Kara memandang lautan dengan tatapan yang kemarahan yang berkobar. "Buat lo orang jahat! Jangan harap lo lolos dari gue, lagi!" Tunjuknya pada lautan dengan nada suara yang meninggi. Arsa terkekeh dibuatnya.

Arsa menepuk bahu Kara untuk menyemangati gadis itu. "Nah gitu dong, lo boleh bilang capek sama masalah yang datang. Tapi, lo nggak boleh berlarut-larut dalam kesedihan dan membiarkan seseorang menindas lo sesuka hati. Gue suka gaya lo yang kek gini. Lo harus kuat dan tabah. Gue akan selalu di sisi lo." Arsa tersenyum membuat Kara tersenyum pula.

Arsa berdiri dan berjalan menjauh dari Kara dengan kerutan di dahinya, bertanya-tanya. Lalu Arsa menoleh sambil tersenyum kecil memandangi Kara, lalu Arsa menunjuk ke bibir pantai ada ombak bergulung di depan dengan gerakan kepalanya, membuat Kara balas tersenyum dan bangkit menghampiri Arsa.

Setelah cukup dekat, Arsa membuat keributan dengan memercikkan air pantai ke Kara, membuat Kara kaget dan tidak mau kalah, berakhir mereka saling cipratkan air dengan senyum bahagia tanpa beban. Beberapa pengunjung yang hadir menyaksikan dengan ekspresi yang berbeda-beda, ada yang tersenyum karena gemas dengan kedekatan mereka, ada pula yang terlihat aneh pada mereka yang masih mengenakan pakaian sekolah.

Lelah, keduanya duduk di tempat semula, setengah basah pada saat bersamaan, tidak sempat berganti baju karena tidak membawa baju ganti dan tiba-tiba. Toh pakaiannya akan kering karena terik matahari.

Sampai senja menyapa, suara deburan ombak yang bersahut-sahutan, memandangi langit yang indah pada sore hari dengan seulas senyuman yang terpatri rapi di kedua sudut bibir.

"Gue nggak suka senja," ujar Kara spontan, membuat pria yang menemaninya menoleh cepat dengan salah satu alis yang menukik ke atas.

"Kenapa?" ujar Arsa.

"Senja datang membawa keindahan sesaat, kemudian mempersilakan gelap hadir dengan cepat," katanya memandang ke samping. Keduanya saling bertatapan. "Gue gak mau kisah cinta gue berakhir tragis seperti itu."

"Kar, jika cinta disamakan dengan senja, lo, terlalu naif," ujarnya memandang ke depan dengan seulas senyuman. "Ibarat air laut di pantai, meski ia kadang pasang dan surut, percayalah, rasa air laut itu tidak akan berubah," ujarnya tiba-tiba, membuat Kara memandang Arsa kebingungan meresapi apa yang dia katakan.

Arsa kembali memandang Kara lekat. "Sama halnya dengan cinta gue ke lo. Walaupun badai menghadang, masalah datang menganggu hubungan kita dan sakit setelah senang menghampiri, rasa cinta gue ke lo gak bakal pudar dengan mudahnya."

"Ha?" Kara tampak bingung dengan semua yang dikatakan Arsa padanya.

"Gue sadar, rasa gue ke lo gak bisa dikontrol, lagi," katanya menunduk, menggapai tangan Kara. "Gue ... gue cinta sama lo, Kar." Arsa duduk menghadap Kara mengelus punggung tangan Kara dengan senyum yang tulus.

Kara menatap tangan Arsa yang menggenggam erat tangannya, kembali memandang Arsa dengan keraguan yang mendalam. "Ini terlalu mendadak buat gue." Kara menarik tangannya dari genggaman Arsa dengan cepat.

"Gue takut, cinta yang gue dapati gak sebanding dengan apa yang gue pikirkan. Gue takut terlalu bahagia karena lo, kemudian rasa sakit yang dalam gue rasakan saat setelah gue menerima cinta lo. Karena gue takut, kejadian yang gak gue harapkan datang setelahnya." Arsa menggapai tangan Kara untuk kedua kalinya.

"Percaya sama gue, Kar. Gue gak akan buat kisah cinta lo kayak apa yang lo pikirkan sekarang. Gue akan bahagiakan dan selalu ada di sisi lo bagaimanapun keadaannya. Karena gue, udah banyak belajar dari pengalaman," balas Arsa dengan raut yang serius, membuat jantung Kara berdetak tak karuan.

"Tapi, kalau emang lo belum siap menjalaninya bareng gue, gue gak bisa maksa. Karena cinta gak bisa dipaksa, kan?" Arsa melepaskan genggamannya, tersenyum memandang Kara-senyuman keputusasaan. Mendadak rasa kecewa menyelimuti sebagian hati Kara.

Tak lama, Kara berdiri, membuat harapannya pupus begitu saja. Arsa mengira dirinya sudah mendapat penolakan setelah Kara mendengar pernyataan cinta yang dia katakan tanpa tahu situasi.

Kara bersedekap dada, memandang senja dengan seulas senyuman. "Sekarang gue gak lagi benci sama senja." Ucapan itu membuat Arsa mendongak, berdiri mensejajarkan diri dengan tubuh Kara.

Kara berbalik memandang Arsa dengan senyuman yang belum luntur dan semakin mengembang. "Karena lo, gue berhasil menyukai senja seutuhnya. Momen yang lo kasih membuat gue sadar akan cinta tulus yang sesungguhnya."

Kara tiba-tiba memeluk Arsa cepat, membuat Arsa terkejut kemudian menenggelamkan wajahnya di dada Arsa.

"Kenapa lo tiba-tiba ...?"

Kara melepaskan dirinya dari tubuh Arsa, memandang Arsa dengan senyum yang manis.

"Perasaan anda diterima."

Sesaat Arsa terkejut dan berusaha mengontrol ekspresi wajahnya menjadi senyuman. Dia senang, berhasil mendapatkan hati Kara seutuhnya. Untungnya, cinta yang dia rasakan, juga dirasakan oleh orang yang diincar, membuatnya sangat bahagia.

Arsa menatap sayu Kara secara intens, membuat Kara bersemu ditatap seperti itu. Namun, tiba-tiba ekspresi wajah gadis itu berbeda, tiba-tiba ia merasa cemas, Arsa baru mengetahui bahwa gadis di depannya mengalami perubahan mood yang drastis.

Arsa memegang pundak Kara, menyadarkan Kara agar gadis itu tidak melamun seperti itu, Arsa takut gadis itu akan trauma karena kasus yang sama yang menimpanya. "Kenapa?" Arsa bertanya cemas sambil mengguncang tubuh Kara agar gadis itu bisa tersadar dari lamunan yang tiba-tiba.

Pikiran Kara kembali ke tubuhnya, mata yang sebelumnya memandang hamparan lautan di sampingnya dengan tatapan kosong, beralih menatap Arsa dengan tatapan rumit untuk dipahami Arsa. "Gue, gue nggak mau pulang. Gue takut ibu gue marah ... gue takut Arsa," lirih Kara membuat Arsa menggelengkan kepala, menundukkan kepala, menggenggam erat tangan Kara, menyalurkan energi positif ke Kara.

"Ada gue, jadi lo nggak perlu takut lagi, oke?" ungkap Arsa agar kegelisahan yang dialami gadis itu menyurut. Kara hanya bisa mengangguk.

Arsa mengacak rambut Kara gemas. "Pinter," celetuk Arsa, membuat Kara kesal karena rambutnya berantakan. Namun, tak bisa dipungkiri Kara merasa bangga memiliki Arsa-kekasih dan sahabat yang selalu ada untuknya, meski keadaannya bisa membuat orang lain menjauh darinya, namun ... Arsa berbeda.

Nah lho? Keinget prolog gak jadinya? 🤣
Nah bagian ini yang aku ambil untuk prolog.

Tungguin aku di bagian selanjutnya ya~!
Borahae! 💜

Sunday, 21. 02. 21

Jangan lupa vote-nya! 🤗
🌟👇

Seguir leyendo

También te gustarán

6.4M 180K 57
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
RAYDEN Por onel

Novela Juvenil

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
990K 48.6K 64
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
5.5M 371K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...