REGRET [END]

By Aindsr

207K 17.5K 1.8K

[PART MASIH LENGKAP] [PROSES REVISI] Kamu tau, kenapa penyesalan selalu datang di akhir dari suatu keadaan? ... More

β—‹ 1
β—‹ 2
β—‹ 3
β—‹ 4
β—‹ 5
β—‹ 6
β—‹ 7
β—‹ 8
β—‹ 9
β—‹ 11
β—‹ 12
β—‹ 13
β—‹ 14
β—‹ 15
β—‹ 16
β—‹ 17
β—‹ 18
β—‹ 19
β—‹ 20
β—‹ 21
β—‹ 22 [END]
β—‹ EXTRA PART

β—‹ 10

7.7K 693 59
By Aindsr

Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Kemarin, Arsya sudah diperbolehkan pulang ke rumah, setelah 2 hari dirawat di rumah sakit.

Ting

Arsya membuka pesan yang masuk di ponselnya.

Nana

Gue udah di depan.

Tanpa membalas pesan Nana, Arsya meraih tas nya dan keluar dari kamarnya. Ia menuruni tangga, dan berjalan ke arah meja makan, dimana keluarganya berada.

"Yah, ma, aku izin keluar sebentar."

Reno menoleh menatap putrinya yang mengenakan pakaian rapi. Keningnya mengerut samar. "Kamu mau kemana? Kamu baru sembuh loh."

"Aku ada urusan sebentar, yah. Enggak lama."

"Urusan apa? Nanti kamu sakit lagi, Sya."

Arsya menoleh menatap mamanya. "Sebentar aja, ma. Nanti aku langsung pulang."

"Diantar sopir ya?" tawar Reno.

"Gak usah, Nana udah jemput di depan."

Arsya mencium tangan ayah, mamanya, dan neneknya. Setelah itu beralih pada Safia, dan mengusap kepala gadis itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati."

Arsya melangkahkan kakinya keluar, menuju mobil Beny yang teparkir diluar gerbangnya.

Arsya membuka pintu belakang mobil Beny, dan mendudukkan dirinya di sana. Beny segera mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah Arsya.

"Lo takut?" Beny melirik Arsya dari spion tengah, yang menunjukkan wajah pucat gadis itu.

"Enggak."

"Gak perlu diceritain semua, Sya. Tante Ana kan udah tau, paling diambil point pentingnya aja." Jelas Nana.

"Iya."

Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah besar dan mewah. Di depan pintu rumah itu, berdiri seorang gadis seumuran dengan Beny dengan pakaian santainya. Ia tersenyum kala sebuah mobil yang sudah ia hafal, memasuki pekarangan rumahnya.

Beny, Nana, dan Arsya turun dari mobil, dan menghampiri gadis yang melemparkan senyum pada mereka.

"Aku udah nunggu dari tadi."

"Ngapain ditungguin segala, udah kayak presiden aja yang dateng." cetus Nana setelah memeluk calon kakak iparnya itu.

"Apa kabar?" tanya gadis itu pada Arsya.

"Baik. Kak Vita gimana?" balas Arsya.

"Selalu baik, apalagi kalau ada kalian."

"Pencitraan." cibir Nana.

"Udah, ayo masuk." ucap Beny berjalan mendahului mereka.

Vita adalah putri dari Tante Ana—psikiater yang menangani Arsya. Vita dan Beny adalah sepasang kekasih yang telah menggelar acara pertunangan mereka, 3 minggu yang lalu. Dan rencananya, bulan depan akan diadakan acara sakral bagi mereka berdua.

Beny merebahkan dirinya disofa besar yang ada diruang keluarga. Sedangkan Nana, duduk lesehan di atas karpet bulu yang berada di bawah sofa, dengan setoples camilan yang berada dipangkuannya.

"Udah pada sampai, ya."

"Belum tan, ini lagi terbang." cetus Nana menyalami Tante Ana, diikuti Beny dan Arsya.

"Bisa aja, kamu."

"Pasiennya dikasih makan dulu, tan." ucap Nana seraya melirik Arsya.

"Kamu belum sarapan?" tante Ana pada Arsya.

"Udah, tan. Aku tadi bangun jam 4 pagi, terus makan sekalian."

"Ngapain, lo bangun pagi-pagi buta?" tanya Beny tanpa membuka matanya yang terpejam. Selepas bersalaman dengan calon ibu mertuanya tadi, Beny kembali merebahkan dirinya disofa. Begitu juga dengan Nana yang duduk ditempatnya semula.

Mereka bisa sesantai ini, karna mereka sudah sering datang ke rumah itu. Tante Ana juga memberikan izin mereka untuk melakukan semau mereka.

Lagipula Beny dan Nana baru saja pulang dari tugas mereka sebagai tenaga medis, pukul 6 pagi tadi. Beny sengaja mengajak kedua adiknya untuk datang kemari pagi-pagi sekali, agar dia bisa tidur lebih lama. Jika ia mengajak kedua adiknya nanti siang, jatah tidurnya akan berkurang. Dan ia tidak rela akan itu.

"Kebangun."

"Mimpi lagi?" kali ini Nana yang melayangkan pertanyaan pada Arsya.

"Enggak. Ya tiba-tiba kebangun aja."

"Yaudah, ikut tante yuk." ajak Tante Ana yang diangguki Arsya.

"Kalian kalau mau sarapan, di meja makan udah tante siapin. Kalau mau tidur, terserah mau tidur dimana. Vita dan Beny ingat batasan, kalian belum halal."

"Iya, tan." balas Beny.

Tante Ana memasuki ruangan kerja miliknya yang berada dilantai satu, diikuti Arsya yang berjalan dibelakangnya.

"Duduk, Sya. Santai aja."

Arsya duduk berhadapan dengan Tante Ana, yang duduk di atas sofa diruangan kerjanya.

"Kenapa lagi?"

"Kemarin mimpi itu datang lagi, tan. Aku bisa rasain rasa sakit yang sama, waktu nenek nyiksa aku digudang, dulu." ucap Arsya seraya menautkan jari-jari tangannya di atas paha gadis itu.

"Lalu?"

"Bang Beny bilang aku mimisan. Itu karna aku gak bisa nahan rasa sakit yang aku rasakan dialam bawah sadarku, dan aku juga gak bisa bangun dari tidurku, tan. Kaku banget rasanya."

Tante Ana menggenggam tangan Arsya. "Tapi kamu tidak menyakiti diri sendiri, kan?"

Arsya menggelengkan kepalanya. "Enggak, tan."

"Apa sebelumnya kamu ada kejadian yang bisa memicu mimpi itu datang lagi?"

Arsya terdiam seolah memikirkan apa saja yang ia lewati sebelum mimpi itu datang. "Enggak. Aku sempet beberapa kali ngobrol sama nenek, tapi aku bisa mengendalikan diriku. Sehari itu juga aku kurang enak badan, tan."

"Nenek kamu dirumah?"

"Iya, udah beberapa hari ini."

Tante Ana menghela nafasnya pelan, lalu menatap Arsya tepat dikedua bola mata gadis itu. "Dengerin tante, Arsya. Jangan berfikiran negatif, selalu berfikirlah positif. Jangan stress sama apapun. Entah pekerjaan, atau masalah lain. Sebisa mungkin kamu harus kontrol diri kamu. Jangan pernah berfikiran untuk menyakiti diri sendiri, saat kamu merasa terpojok dan frustasi."

"Jauhi segala sesuatu yang bisa memicu trauma atau depresi kamu kambuh. Termasuk nenek kamu. Jangan merasa lemah di depan orang-orang yang menyebabkan kamu memiliki rasa trauma dan depresi. Kalau kamu sudah merasa lemah, pergi kemanapun yang membuat kamu kembali kuat dan tenang. Atau kamu juga bisa kesini. Ngobrol sama tante, luapin perasaan yang kamu pendam. Perasaan yang tidak bisa kamu ekspresikan."

Tante Ana bisa melihat pancaran kemarahan, ketakutan, kekecewaan, dan kesedihan yang ada dikedua mata Arsya. Dulu, Tante Ana pernah mempelajari tentang ilmu psikolog, yang bisa menilai kondisi pasiennya dari sikap yang mereka tunjukkan.

"Kamu tidak gila. Datang ke psikiater atau psikolog bukan berarti orang itu gila. Kamu hanya butuh bimbingan dari orang yang ahli dalam bidang ini. Tante tidak memaksa kamu untuk melupakan masa lalu kamu. Tapi tante berharap sama kamu, kamu bisa terus maju sampai dimasa depan nanti. Kita tidak akan pernah bisa lepas dari kenangan masa lalu, Arsya. Entah itu kenangan baik ataupun buruk sekalipun. Karna merekalah yang membentuk diri kita sampai kuat seperti ini, dan sampai dititik yang enggak pernah kita bayangkan sebelumnya."

Tante Ana menuangkan segelas air putih yang ada di atas meja, lalu memberikannya kepada Arsya. Arsya mengusap air matanya, dan menerima gelas berisi air putih dari Tante Ana. Arsya meneguk air putihnya dengan pelan.

"Tenang ... kamu boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut. Dulu, tante sempat khawatir sama keadaan kamu. Pikiran tante dipenuhi berbagai macam pertanyaan tentang kamu. Gimana kalau kamu gagal kontrol diri kamu sendiri, gimana kalau kamu kambuh, gimana kalau kamu sampai menyakiti diri kamu sendiri, dan lain-lain. Apalagi, waktu itu kondisi fisik kamu sangat buruk. Tapi nyatanya kamu bisa, kamu hebat. Lebih dari 10 tahun kamu melalui semuanya dengan baik. Selama itu pula konsultasi kamu sama tante sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Tidak ada pembahasan berat yang kamu sampaikan. Fisik kamu juga jauh lebih baik dari minggu ke minggu."

"Kamu harus percaya sama diri kamu sendiri. Kamu pasti sembuh. Kamu tidak sakit jiwa. Jangan dengarkan kata-kata mereka yang membuat mental kamu down. Mengerti?" 

Arsya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Iya, tante."

"Tidak ada kesulitan tanpa kemudahan. Tidak ada ujian kalau tidak ada hikmahnya. Kamu harus sabar dan kuat."

"Iya, tante. Terimakasih, tante udah mau bantu aku."

"Tante kasih obat lagi, ya. Kali ini jangan berhenti untuk diminum. Minimal sampai kondisi kamu jauh lebih baik. Seminggu sekali kamu harus ke klinik tante, buat periksa. Kita lihat perkembangan diri kamu, menurun atau meningkat."

"Iya, tante."

Tante Ana berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil bungkusan yang berisi obat dalam bentuk tablet kecil, dilaci mejanya. "Semalam Beny sudah telfon tante, dia cerita tentang kondisi kamu saat ini. Semuanya cukup baik dan aman, untuk kamu mengkonsumsi obat yang tante resepkan. Ini obat antidepresan, dosis rendah. Sesuai dengan tingkatan depresi kamu saat ini, masih tergolong ringan. Jangan sampai tingkatannya kembali melambung seperti dulu. Obat antidepresan tidak dapat menyembuhkan depresi. Ini hanya membantu mengendalikan atau mengurangi gejala depresi kamu." jelas Tante Ana menyerahkan bungkusan obat itu ke Arsya.

"Obatnya diminum sehari 2 kali. Salah satu efek sampingnya, mengantuk. Jadi, waktu minumnya diatur sendiri. Jangan pas mau bepergian kamu minum ini, yang ada malah kecelakaan karna kamu tertidur." Lanjut Tante Ana dengan nada memperingatkan.

Arsya terkekeh pelan. "Iya, tante."

Tante Ana ikut terkekeh dan mengusap kepala Arsya dengan sayang. "Jaga diri baik-baik. Kesehatan lebih penting dari segalanya. Apalagi kesehatan mental."

"Iya, tante."

Tante Ana tersenyum lebar. "Sudah lebih baik? Tidak ada yang mengganjal lagi kan?"

Arsya menggelengkan kepalanya. "Sudah plong." ucapnya dengan terkekeh.

"Syukurlah, ayo kita keluar. Tante tadi buat pudding cokelat kesukaan kalian."

Tante Ana menggandeng Arsya untuk keluar dari ruangannya, dan bergabung dengan yang lainnya.

***

Temen-temen aku mau kasih sedikit informasi, tentang perbedaan psikolog dan psikiater.

Entah ini penting atau enggak buat kalian, aku akan tetep kasih tau. Ini aku search dari google, dan udah aku persingkat dengan jelas point-pointnya.

Perbedaan yang paling mendasar antara seorang psikiater (orang yang menggeluti ilmu psikiatri) dan psikolog (orang yang menggeluti ilmu psikologi) adalah latar belakang pendidikan dan ruang lingkup kerjanya. Secara garis besar, psikiater adalah dokter, sedangkan psikolog bukan dokter.

Psikiatri adalah ilmu kedokteran yang berfokus pada kesehatan jiwa, sedangkan psikologi adalah ilmu non-kedokteran yang mempelajari perilaku dan perasaan seseorang. Meski berbeda latar belakang, keduanya saling melengkapi.

Karena psikiatri adalah suatu cabang ilmu medis, maka psikiater diperbolehkan untuk meresepkan obat-obatan untuk membantu mengatasi gangguan mental yang dialami pasien. Berbeda halnya dengan psikolog, mereka tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat.

Karena batasan inilah, psikolog lebih banyak menangani kondisi psikologis yang berkaitan dengan masalah sehari-hari, sementara psikiater lebih banyak menangani gangguan kejiwaan yang sudah parah dan memerlukan pemberian obat-obatan.

Sumber : www.alodokter.com

Kalau ada yang kurang tepat, atau ada yang lebih tau tentang psikolog dan psikiater. Kalian bisa comment disini. Aku sangat tidak masalah. Karna aku pun juga belajar dari beberapa artikel.

Dibeberapa part kedepan, semua rahasia yang ada, akan terungkap. Pelan-pelan ya hyung, sabar.

Jangan tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu, semua butuh proses. Oghey.

Jadi, terus ikuti update an ku yah 😉

Mon maap kalo ada typo.

Jangan lupa vote dan comment.

Selamat malam senin 💑

See you next part ❤

Semarang, 7 Februari 2021
Salam Indah♡

Continue Reading

You'll Also Like

922K 73.5K 40
SERIES #4 Highest Rank : #1 of 25 in Sibbling [22/01/22] #44 of 53,1k in teen [16/1/2021] #18 of 36,9k in random [16/1/2021] #213 of 324k in romance...
1.6M 119K 48
Sudah terbit di Penerbit Dream Catcher PART MASIH LENGKAP! [KONFLIK SERINGAN KAPAS] β€’β€’β€’ Setiap pasangan yang sudah menikah pasti ingin segera memilik...
1.4M 57K 43
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
1.3K 325 25
Sahabat. Mereka berkata bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa menjalin hubungan sebagai sahabat. Cla tidak percaya dengan itu. Sampai saat ia meng...