Keep Your Smile

By Arbayahs

17.3K 2.6K 524

Aluna, satu dari sekian banyaknya mahasiswi yang merasakan pahit-asamnya kehidupan perkuliahan. Tingkat kenor... More

Bab 1. Jebakan Permen Karet
Bab 2. Jungkir Baliknya Aluna
Bab 3. Rahasia Garda
Bab 4. Rahasia Aluna
Bab 5. Lempar Kode, Mental?
Bab 6. Drama Abal-Abal
Bab 7. Bapak Maunya Gimana?
Bab 8. Buat Itu Jadi Mungkin
Bab 9. Praduga Tak Bersalah
Bab 10. Pendekatan Mode Serius
Bab 11. Yang Sebenarnya Terjadi
Bab 12. Kapan Nyambung?
Bab 13. Salfoknya Aluna
Bab 14. Kecemburuan Satu Kubu
Bab 15. Menembus Dinding Kewarasan
Bab 16. Karena Kamu, Tokoh Utama
Bab 17. Menuju Kejelasan
Bab 19. Dengan Jujur
Bab 20. Tanam, Rawat, dan Panen
Bab 21. Ini Jadi Lanjut?
Bab 22. Mati Kutu, Mati Gaya
Bab 23. Ibu dan Ayah
Bab 24. Dua Pertemuan
Bab 25. Keputusan Kita - Good Bye!

Bab 18. Upil Bermasalah

407 86 11
By Arbayahs

"Aku hanya ingin perempuan yang kucintai bahagia."

-Hijikata Toushiro-







Aluna berjalan mengendap-endap, menengok segala sisi, takutnya ada setan genderuwo yang datang tiba-tiba kayak jailangkung. Kata Yanto ada setan usil yang suka main petak umpet di sekitar koridor sini. Duh, pantas saja sepi. Ia juga nggak bakalan mau lewat sini, kalau dirinya tidak mageran. Tempat ini tidak semenyeramkan apa yang orang pertama kali bayangkan, bersih, kok. Tapi, kalau sudah sepi begini baru aura mencekamnya terasa.

Entah mengapa, ia merasa geli pada lehernya. Semoga bukan pocong ganteng yang nempel, susah nolak soalnya. Ia berteriak kaget setelah bahunya berasa ada yang menepuk. "Kenapa kaget? Saya hantu, gitu?"

"Ya, Tuhan. Hantunya jelmaan dosen galak." Ia meringis begitu jidatnya disentil keras oleh Garda. Salahnya juga ngomong asal dan tidak jelas begitu.

"Kamu dan Bara ada hubungan apa? Saya sudah digantung perasaan, nggak enak banget. Aluna, bagaimana kalau jadwal sidang mu digantung tidak pasti?" Aluna menggeleng ngeri, kenapa dari sekian karma malah balasannya begitu?

Keringat dingin mengucur, Aluna gelagapan mencari alasan yang tepat kali ini. Salah-salah, ia akan dipojokan dengan permainan kekuasaan. "B-bukan, gitu, Pak. Ya, ampun, kok balasannya lebih mengerikan, sih."

"Al, saya memang suka kamu. Tapi, semua itu bisa berubah andai kamu jujur sejak awal." Duh, panas dingin kayak lagi pendosa besar saja. Aluna berpaling, ia bingung dan semakin bertambah bingung. Takut salah ambil langkah, dan malah berbalik membuatnya menyesal.

Matanya melirik ke samping kaca. Loncat dari lantai tiga nggak bikin patah tulang, kan? Nggak jadi, deh. Harus pecahin kacanya dulu baru bisa lompat, kalau ia tidak jadi mati otomatis harus ganti rugi.

Aluna tidak tahu dari mana Garda mengetahui rahasianya, ia juga sudah lelah menutupinya dengan kebohongan. "Saya takut ngomongnya. Kita udah sepakat untuk merahasiakannya."

"Oh, jadi begitu? Baiklah, sama jumpa dipertemuan tujuh tahun berikutnya." Busyet, umur berapa tuh dia bakalan wisuda? Gila aja, nih dosen. Aluna menahan lengan kanan Garda, kenapa Garda kayak marah pasang tanduk siap nyeruduk, sih?

"Loh? Maksudnya apa, Pak? Dengerin dulu, mas Bara pinta saya nggak pacaran dulu. Bapak kan udah setuju juga?" Seingatnya, Garda sendiri yang memberikan kebebasan padanya untuk memilih apa yang ia inginkan. Kenapa malah sekarang maksa?

"Apa? Siapa yang kamu panggil Mas? Setuju? Jadi, saya ini cuma orang kedua, begitu? Hanya pelarian sesaat Semata? Sip, kamu nggak usah wisuda sekalian," ucapnya kesal, mengerucutkan bibir Aluna. Apa-apaan dengan panggilan sayang dan kesan kalau dirinya adalah orang ketiga yang suka menyelinap dalam hubungan orang lain?

"Aduh, Bapak kenapa, sih? Kayak orang cemburu aja, siapa juga yang jadiin Bapak pelarian? Saya malah lebih suka lari dari Bapak." Aluna mengusap kepala, kalau masalah menyiksa seseorang Garda lah rajanya. Apa saja, deh. Dirinyalah mahasiswa lemah dan penuh kesalahan di mata Yang Mulia Agung pak dosen. Ibaratnya, bak upil nyempil di batu berlian, nggak guna banget, kan?

"Saya cemburu? Ya, jelas. Kamu pikir saya ini apa?"

Aluna jadi merasa bersalah, ia tidak tahu kalau malah berakhir begini. "Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau Bapak sebegitu ingin jadi sodara saya. Saya jadi sedikit lega ternyata Bapak anggap saya adik ketimbang yang lain."

"Nah, sekarang kamu bicara apa?"

"Tenang, saya akan anggap Bapak sebagai abang. Abang angkat ketemu gede, gitu, kan?"

"Jangan bercanda."

"Iya, saya serius. Sudah, jangan terharu gitu, dong, Pak."

"Bara bilang kalian pacaran dan melarang saya mendekatimu."

"Heh? Kok gitu? Bapak percaya gitu? Hahaha."

Pegangan Garda luruh, mundur hingga punggungnya menyentuh tembok. Ia memijat pelipisnya, terbayang hal konyol apa saja yang ia perbuat akhir-akhir ini. Secara terang-terangan menantang Bara tapi malah jadi bumerang begini. Gimana coba ia bakalan minta restu? Canggung dan malu pasti kentara ia rasakan.

"Pak? Nggak papa?"

"Saya butuh pelukan." Jiaah, bisa saja dospret gombal merempet modus. Otomatis Aluna meloncat sembari memasang kuda-kuda, takutnya ada serangan mendadak.

"Ingat diri, Pak. Ini kampus, loh. Bukan tempat tertutup di mana orang bebas mengumbar tindak keuwuan. Hargailah kami para jomlo kompeten."

"Kalau begitu satu kecupan?"

"Busyet, kok malah makin aneh. Modus Bapak udah kebangetan, ini."

"Kamu nggak tahu jadi saya." Garda merentangkan kedua tangannya, berharap Aluna peka dan mau mendekat.

"Iyalah, kan beda posisi. Jangan berandai-andai, Pak. Bersyukur aja masih dikasih nyawa."

"Saya kira kamu sungguhan ada main sama Bara. Terang-terangan dia bilang kalian tidak bisa dipisahkan bahkan jika saya jadi orang ketiga."

Aluna terbahak, ia paham sikap cemburuan Bara. Bukan sebagai pria tapi seperti sosok ayah yang belum siap ditinggal nikah putrinya. "Haha, serius? Mas Bara bilang gitu? Aw, makin sayang sama mas, deh."

"Katanya dia tidak suka saya dekat denganmu. Saya kayak orang aneh yang suka sama anak kecil, pedofil gitu? Aneh."

"Wah, kalau begitu sudah jelas jawabannya, dong."

"Kenapa kamu menyimpulkan sendiri?"

"T-terus? Sudah jelas sekali, kalau mas Bara nggak setuju. Saya bisa apa?"

"Banyak, sangat banyak kalau kamu mau mencobanya." Duh, firasatnya tidak enak.

"Astaga, berilah saya kesempatan buat napas lega bentar. Lagipula saya nggak yakin, deh, Bapak serius. Maksudnya, dengan kondisi Bapak yang sudah matang dan kayaknya mapan, harusnya bukan perempuan labil seperti saya yang di pilih. Jangan-jangan Bapak mau mainin hati saya kayak kebanyakan cowok? Ingat umur, Pak."

"Jangan sembarangan bicara. Terus? Saya harus menjelaskannya panjang lebar begitu?"

Aluna mengangguk, bagaimanapun jawaban Garda. Ia tetap akan menolaknya, anggap saja seperti senjata makan tuan.

"Baik, langsung ke rumah saja kalau begitu."

"Hah? Rumah siapa? Jangan gila deh, Pak."

"Kamu sendiri perlu bukti, kan?"

"Tunggu, saya minta penjelasan tentang alasan Bapak punya perasaan menggelikan itu, kenapa malah makin rumit, sih?"

"Yaa, ribet. Dijelaskan juga kamu belum tentu mengerti." Dan pada akhirnya, Aluna gagal menyakinkan hatinya dan menggoyahkan perasaan Garda. Bahkan ia diantar paksa hingga tiba di depan rumah Bara. Oh, tentu saja ekspresi Bara sudah kayak kebelet nahan bab. Sedang Garda malah santai-santai saja menghadapi Bara walau berujung pengusiran kasar.

****


Kantong matanya sudah menebal, lelah batin dan fisik dirasa luar biasa. Ah, kapan ia bisa tidur seminggu tanpa bangun? Kram perut menambah bad mood-nya. Rasanya seperti ingin mencakar orang saja.

"Wih, pak Garda ketempelan." Ciko bersiul menggoda, meski jarak mereka jauh tetap saja Ciko masih bisa mengenali dosennya dan adik tingkatnya.

"Astaga, maba yang nekat," sahut Caca dan dilanjutkan dengan cemoohan serta gunjingan lainnya.

"Kenapa lesu gitu? Cie, cemburu, ya?" Ciko menoel pipi Aluna, mahasiswi lainnya terpekik geli. Mereka tahu kalau Aluna dekat dengan Garda namun mereka tidak pernah terpikir kalau hubungan kedua bisa lebih dari itu.

"Iya."

Ciko dan dua temannya melongo, tidak menyangka kalau Aluna akan berkata demikian. "H-hah? G-gue nggak nyangka kalau lo sungguhan suka pak Garda."

"Apaan? Gue suka duitnya, sekarang posisi kacung dikayakan sudah diganti. Sedih, sih, tapi lebih banyak leganya." Ia membalurkan minyak kayu putih ke perutnya dan menghirup aromanya. Fix, hari pertama memang selalu sesakit ini.

"Ah, Luna. Kirain beneran suka pak Garda. Tapi, buat fantasi sih lebih oke pak Bara, ya, nggak?" ucap Momo seper-empat bercanda dan sisanya serius.

"Gaes, hentikan kehaluan ini. Sadar diri, ini dunia nyata yang memang semenyakitkan itu, terima saja."

Aluna menempelkan sebelah pipinya ke meja, tak mempedulikan obrolan temannya. Ia harus menata kembali hatinya, tidak hancur atau roboh hanya sedikit rapuh. Ia mengambil napas panjang, menormalkan kembali perasaannya.

"Aluna beneran galau, nih," goda Ciko menyenggol temannya dan disahuti siulan menggoda.

"Diem, Cik. Gue bad mood."

"Oh-hoh? Bad mood gara-gara pak Garda?" ucap yang lain ikut menggodanya.

"Serah, deh. Capek mulut gue buang ludah sama kalian." Tentu ia kalah kalau adu mulut dengan banyaknya mulut, lebih baik diam saja. Kan, katanya diam itu adalah emas. Semoga saja ia mendapat bongkahan emas sehabis diam begini.

"Oh, my, gila berani banget. Lun, coba lihat sini. Tu anak berani banget sok-sok an jatuh terus ditangkap lagi. Gila, ketahuan banget modusnya, senyum-senyum lagi."

Aluna bangun, melirik ke jendela. Sudah tidak ada adegan yang disebutkan Ciko, entah sungguh terjadi atau hanya akal-akalan Ciko saja, yang jelas ia butuh obat dan koyo sekarang. "Lah, Lun? Mau kemana? Jangan labrak sekarang, nanti viral, gimana?"

"Hah?" Caca menahan dua pergelangan tangan Aluna, sedang Momo mencoba menghubungi damkar.

"Jangan terbakar api cemburu, Al. Biarlah pak Garda bahagia sama cabe-cabean, siapa tahu jodoh lo terong-terongan."

"Nggak lucu, Cik. Minggir, ah." Pengap ia dikerubungi cewek beda aroma, pusing.

"Jangan, Lun!! Kuatkan hatimu. Yanto! Bantu siapin altar! Nanti kita main jelangkung buat usir setan."

"Argh, kalian kenapa sih? Gue tembus! Minggir!" Hening, bahkan mahasiswa yang sedang gabut main game online juga menatap mahasiswi di depan. Merasa menjadi pusat perhatian dan tiga biang kerok itu menyingkir, ia menjaga bagian belakangannya.

"Hei, ibu Gehna nggak masuk tapi ngasih tugas. Hari ini dikumpulin." Karena datang tiba-tiba disaat waktu kurang tepat, jadilah adegan sama terulang kembali.

"Kenapa liatin gue segitunya? Baru sadar gue ini ganteng dan kalian terpesona gitu? Sorry, tapi gue udah cinta mati sama Erza, waifu terbaik di semesta."

Para mahasiswa yang mendengar pengakuan barusan langsung menelpon ambulan di lanjut tingkah absurd berikutnya. "Wiibu... wiiibu... wiibuu." Konyolnya beberapa dari mereka berperan jadi ambulan dan mengangkat Didit dengan pose terbang. "Ah, Al, lo tembus." Tak lupa tumbukan buku Didit dapatkan setelah mengatakan kebenaran barusan.

"Argh, ada apa dengan kalian dan kelas aneh ini?" keluhnya membuka pintu. "Eh?"

"Kenapa berisik sekali di sini?"

Sekali lagi, aktifitas absurd mereka terhenti begitu saja.




***
TBC.

Thanks for vote and comment.

Written by : Arbayahs

Post: 09-01-21

Continue Reading

You'll Also Like

44.3K 2.3K 13
Kwon Joohyun ibarat Matahari yang memancarkan SInar, Cho Kyuhyun ibarat Bulan dalam sinar Matahari ,, bagaimana cerita mereka dimulai dan berjalan,, ...
1.2M 58.1K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
2.7M 289K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
124K 19.7K 53
Aldebaran Juan Adytama baru menunjukkan batang hidungnya setelah beberapa tahun tinggal di Amsterdam. Kepulangannya itu membawanya pada sebuah pertem...