Keep Your Smile

By Arbayahs

17.3K 2.6K 524

Aluna, satu dari sekian banyaknya mahasiswi yang merasakan pahit-asamnya kehidupan perkuliahan. Tingkat kenor... More

Bab 1. Jebakan Permen Karet
Bab 2. Jungkir Baliknya Aluna
Bab 3. Rahasia Garda
Bab 4. Rahasia Aluna
Bab 5. Lempar Kode, Mental?
Bab 6. Drama Abal-Abal
Bab 7. Bapak Maunya Gimana?
Bab 8. Buat Itu Jadi Mungkin
Bab 9. Praduga Tak Bersalah
Bab 10. Pendekatan Mode Serius
Bab 11. Yang Sebenarnya Terjadi
Bab 12. Kapan Nyambung?
Bab 13. Salfoknya Aluna
Bab 15. Menembus Dinding Kewarasan
Bab 16. Karena Kamu, Tokoh Utama
Bab 17. Menuju Kejelasan
Bab 18. Upil Bermasalah
Bab 19. Dengan Jujur
Bab 20. Tanam, Rawat, dan Panen
Bab 21. Ini Jadi Lanjut?
Bab 22. Mati Kutu, Mati Gaya
Bab 23. Ibu dan Ayah
Bab 24. Dua Pertemuan
Bab 25. Keputusan Kita - Good Bye!

Bab 14. Kecemburuan Satu Kubu

508 102 20
By Arbayahs

Sosok ayah akan menjadi dua pilihan bagi hidup sang putri kecilnya, yaitu cinta pertama atau patah hati pertama.

-DearesFather-




"Eh?"

Reflek Aluna menarik kembali lengannya, namun kembali ditahan oleh Garda. Sesuatu yang aneh dan gerakan tiba-tiba yang diluar dugaannya lah membuat dirinya sadar bahwa kini ia berada dalam bahaya.

"T-terima kasih banyak, Pak! Sa-saya pulang dulu. Haha, cao!"

Mendorong dosen sendiri sampai benjol di itu tidak salah, kan? Situasi dan kondisinya memang dalam genting, alarm bahaya sudah menyala sejak tindak-tanduk seseorang yang begitu aneh. Berhasil dari cengkraman binatang buas malah berujung apes. Siapa sih yang meletakkan batu di jalan begini? Malu, kan dirinya jatuh nggak elit setelah berhasil keluar dari goa hantu. Ah, kenapa semesta tidak bersahabat dengan dirinya, sih?

"Fftthh, nggak papa?"

Aluna mendelik sinis, melempar kerikil kecil pada Garda. Bukannya dibantuin malah ditertawakan. Apa-apaan dengan sikapnya yang seperti mengatakan, kamu kualat lari dari dosen. Padahal barusan gelagat Garda bukan seperti pria terhormat, sekarang bersikap cuek bebek kayak yang barusan tidak pernah terjadi.

"Nggak!" Ketusnya menghentakkan kaki kesal. Rasa kesalnya berubah menjadi penyesalan, sudah betisnya sakit. Jarak rumah Bara juga masih jauh, kalau gini ia bisa kerempeng. Kan, kasihan Bara yang sudah bersusah payah membuat badannya berisi malah kempes gara-gara hal sepele doang.

"Maas! Air, dong." Badannya terhempas mesra pada sofa, merelaksasikan kakinya yang terasa minta di pijat.

"Ambil sendiri," jawab Sandro cuek mengganti channel TV sesuka hatinya.

"Mana Mas Bara?" tanyanya berganti posisi. Kepala di bawah, sedang kedua kakinya menjuntai di badan sofa. Sebentar saja kepalanya agak pusing, belum lagi rasa panas akibat keringat yang mengucur deras.

"Pergi."

"Oh."

Setelah mengisi perutnya dan membersihkan diri, ia mencoba tidur meski bayang-bayang astral itu datang menghantuinya. Matanya berkali-kali berkedip kemudian tetap terbuka, seakan kelopak matanya enggan untuk menutup demi menggapai dunia mimpi.

Ia melirik jam dinding, ini sudah jam satu malam lewat, namun kenapa rasanya sulit sekali untuk tidur. Ia sudah sangat lelah dan mengantuk tapi kenapa ia tidak bisa tidur? Bahkan kasurnya sudah acak-acakan lantaran ia pusing mengganti berbagai posisi nyaman untuk tidur.

"Ah, apa itu tidur? Siapa orang aneh yang mengusulkan teknik pembawa tidur dengan menghitung domba? Dosa jariyah, tuh. Yang ada kepalaku tambah pusing. Ayolah, mata, ayo tidur!" Ia memukul-mukulkan bantalnya pada wajahnya sendiri. Tidak ada perubahan, rasa kantuk tak ia dapatkan meski ingin sekali lelap.

"Rasanya seperti aku bisa melihat syaraf-syaraf mata dalam kelopak mata ini. Ah, bahkan kelopak mataku berwarna merah, apa itu darah?"

Lelah, akhirnya Aluna keluar kamar, menuju dapur. Peduli setan dengan kesehatan dan bencana penyakit, makan sampai kenyang mungkin akan membuatnya bisa tidur lebih mudah. Masih ada pudding dan sekotak salad buah, mungkin cukup memuaskan sisi laparnya. Sekotak susu murni akan menjadi pelengkapnya.

"Pak Garda pasti kerasukan jin penunggu pohon beringin kampus. Ih, berarti selama ini aku digodain setan, dong," gumamnya mengambil piring dan satu cangkir, ia letakkan di atas meja. Ruangan gelap tak ia pedulikan lagi, ia masih bisa meraba bagian yang ia perlukan.

Jemarinya menyentuh sudut bibirnya, disusul rasa hangat menjalar di kedua pipinya. Aih, ada apa dengan Garda? Mengacak rambutnya hingga berantakan, seberantakan itulah hidupnya kini semenjak deklarasi pernyataan cinta? Aluna menghela nafas berat, mengingat kembali bagaimana kejadian hari ini dan masa di mana ia ditembak hingga hampir mati sungguhan.

Kalau dipikir-pikir, Garda sudah lancang sekali padanya. Belum pacaran saja sudah berani pegang tangan sama cium sana-sini kayak orang tua kesepian. Dasar, bikin jantung anak orang tik-tok-an aja. Semakin lama dipikir malah semakin terjaga dirinya.

Mengendap-endap, ia melirik takut-takut dibalik dinding. Pemandangan langka ia dapatkan, Bara tengah duduk sembari memandangi kanvas yang sudah ternoda indah. Ah, rasanya begitu menyesakkan. Aluna tak suka situasi ini. Wanita dalam lukisan itu adalah mendiang istri Bara. Duka lama mendalam memang tak lah mudah dihilangkan.

Aluna beranjak, membiarkan Bara larut dalam duka dan lukanya. Ia tak perlu menjadi penyemangat, kadang kesedihan memang diperlukan pada beberapa waktu.

Cara makan hingga kenyang juga tak mempan, akibat kekenyangan ia malah susah untuk bernafas. Tidak sudi begadang sendirian, karena itu pula ia akan mencari rekan sengsara dalam berbagai luka bersama. Puluhan kali ia menghubungi Garda, tak peduli selarut apa. Ia hanya ingin berbagi rasa penat tak bisa tidur ini.

"Ya?" Akhirnya, setelah penderitaan panjang ini bisa juga ia bagi pada sang biang keringat.

"Malam, Pak." Bagaimanapun kesalnya ia, tetap santun walau batin tidak santai.

"Ya?" Senyumnya malah terbit begitu mendengar suara Garda. Suara khas orang yang masih setengah tertidur, ini pasti akan menyenangkan jika ia mengerjai Garda habis-habisan.

"Bapak udah tidur?"

"Menurutmu?"

"Saya nggak bisa tidur, loh."

"Ih, kok dimatiin, sih?" Tak kenal menyerah, Aluna kembali menghubungi sang pembawa petaka.

"Al, saya capek. Saya baru satu jam tertidur, jangan ganggu atau sidang yang kamu nantikan itu hanya akan menjadi angan-angan."

"Nggak masalah, saya sidang mulus dalam angan-angan, kok. Coba Bapak ngomong, saya suka ngantuk pas Bapak ngajar."

"Iya."

"Iya apa, Pak? Saya nggak bisa tidur, nih."

"Gara-gara tadi sore?"

Lah? Ini setan kok masih bisa berkilah, sih? Bikin orang jadi salah tingkah, aja.

"Jangan alihkan obrolan. Buat saya tidur sekarang juga."

"Kamu punya nekat yang besar, kan?".

"Punya."

"Kalau begitu... benturkan kepalamu ke dinding sekuat tenaga."

"Kalau saya mati bagaimana?"

"Kan kamu mau tidur. Kalau tidak coba kamu lepas dulu bola matamu, bersihkan sebentar. Kali saja ada kotoran yang menempel."

"Tapi tidak sampai selamanya juga. Mata saya masih berfungsi baik, kok."

"Pak? Pak? Pak? Yuhuu... jangan tidur, dong. Masa Bapak tega ninggalin saya tidur."

"Kampret, sengaja nih, pasti. Aih, buang-buang pulsa aja." Kaki kecilnya turun dari tempat tidur, melangkah pelan menuju ruangan di mana Bara tengah duduk tertidur di sofa kesayangannya. Dari wajahnya nampak kelelahan, sedang di depannya masih ada sebuah kanvas dengan lukisan yang sama.

Aluna mengambil selimut yang tergeletak, merebahkan Bara secara hati-hati. Ia mengambil sisi di samping kiri Bara yang seakan memeluknya. Nah, kalau begini mungkin ia bis terlelap. Aroma dan sosok hangat yang ia rindukan semenjak peburtas melanda.

Bara terbangun tiba-tiba, melihat sosok wanita di sampingnya. Ia tersenyum kecil, secara keharuan bangun dan mengangkat Aluna beserta selimut yang melindungi. Berat, itulah ia rasakan. Dulu sekali, ia menggendong Aluna yang masih sangat mungil. Menjadi sosok kakak dan ayah sekaligus bagi dua manusia kecil yang begitu ia cintai.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, yang awalnya ia masih merangkak dan makan juga perlu ia suapkan kini telah beranjak dewasa. Rasa takut kehilangan tentu ada, apalagi pada Aluna. Setelah meletakan kembali Aluna pada tempat tidurnya, ia menoleh ke nakas.

"Siapa yang menelepon malam-malam begini? Aluna punya pacar?"

"AlienBumi? Nama kontak macam apa ini? Kerjain, ah."

"Saya berubah pikiran, mari mengobrol sebentar. Tidak, lama juga tidak masalah. Aluna, kamu tidak sungguhan mati, kan?"

Bara bungkam, sedang menerka-nerka siapa pemilik suara yang tak asing di telinga.

"Kamu balas dendam? Okay, saya cuma ingin bilang sesuatu. Selamat malam, saya sangat menunggu jawaban itu."

Detik berikutnya ponsel itu dilempar ke dinding. Rusak parah, ia juga mengeluarkan kartu SIM dan mematahkannya.

"Beraninya dia."

****

Vote dan komen, ya^^

Post : 26-01-21

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 84 19
Apakah menyesal bisa memperbaikinya? #2 - romanceoffice
reply 2000 By gaurie

General Fiction

3.5K 201 33
karya pertama yang saya persembahkan buat para shipper bangbangcouple. mungkin masih banyak kekurangannya. "Bagaimana aku menyianyiakan masa remajaku...
3M 23.9K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.7K 342 7
Kepulangannya ke kampung halaman, memberikan pengalaman baru bagi Mahir. Bertemu dengan teman-teman semasa kecil juga cinta pertama yang membuat per...