Suasana di lapangan ternyata sudah sangat ramai. Pertandingan takraw antar kelas hendak dimulai. Beberapa pertandingan terlewat karena kedatangan Bell serta teman-temannya, setelahnya Dara harus bicara dengan Pak Tegar pasal FesGa ini, ditambah jarak kelas lumayan jauh ke lapangan. Ia benar-benar harus mempercepat langkahnya.
Dara memanjangkan lehernya, mencari-cari tempat duduk yang sekiranya kosong. Ketika ia bergeser ke kanan sedikit, segerombolan orang mendorongnya hingga tubuhnya nyaris jatuh, tetapi untungnya ada tangan yang meraih dan menarik bahunya membuat tubuhnya kembali stabil.
"Makas———eh, Dio?"
Dio tidak membalas. Ia masih memegang kedua bahu Dara dan menjulurkan lehernya mencari tempat yang kosong. Mendapatkan apa yang ia mau, dengan telaten dan hati-hati Dio menuntut Dara menuju tempat yang ia incar. Sempat oleng karena memang sudah sangat padat, tapi untungnya cowok itu bisa kembali menstabilkan tubuhnya. Kini mereka bisa duduk aman di barisan depan.
"Makasih," ucap Dara ketika mereka sudah duduk.
Dio berdeham untuk menjawab.
"Yang lain mana?"
"OTW, pada ke ekskul masing-masing."
"Terus lo ngapain ke sini?"
"Gak usah banyak nanya," tukas Dio membuat Dara mencebik kesal.
"Mereka bakal duduk di mana?"
"Belakang."
Dara menoleh. Ternyata tempat ini memang sudah dipersiapkan oleh Pak Tegar. Beliau memasang kertas dengan tulisan, 'IPS 5' yang besar di sana. Pantas saja Dio dengan mudah bisa mendapatkan tempat yang kosong.
"Pak Tegar———"
"AAAAAA ALFAAA!"
"AS———"
Latah Dara terpotong sebab Dio langsung membungkam mulutnya. Dengan kedua mata membelalak, ia mendadak membeku. Perlahan matanya melirik Dio yang masih dengan wajah tenangnya.
Dio menolehkan kepalanya ke kiri dan melihat orang-orang di sampingnya tenang dan tidak berisik. "Lo pindah ke sini," titahnya membuat Dara mengangguk kaku dan mengikuti titah tetangganya tersebut untuk berpindah tempat.
"Di situ berisik banget. Gapapa?" tanya Dara tidak enak.
"Sans."
Dara mengangguk kaku, masih ada rasa tidak enak di hatinya. Tetapi sepertinya Dio tidak menghiraukan itu. Ia kembali menonton pertandingan. Ternyata IPS 5 sedang bermain melawan IPS 1. Pantas saja para cewek ini sangat heboh menontonnya. Sejak dulu IPS 5 memang sudah menjadi bintangnya FesGa. Setiap pertandingan dimenangkan oleh mereka. Hanya satu-dua permainan saja mereka kalah. Itupun mereka kalah karena jumlah pemain yang tidak memungkinkan. Mereka hanya berjumlah delapan orang, sedangkan beberapa permainan seperti bola kaki membutuhkan sebelas sampai dua belas pemain. Jelas mereka kalah telak.
Tapi meskipun demikian, tetap saja sorotan utama dari acara olahraga ini adalah para cowok di kelasnya.
Dara tersenyum lebar kemudian bertepuk tangan dengan keras. "SEMANGAT IPS 5!"
"SIAP, BU KETUA!"
Dara menutup mulutnya kaget. Ia tidak menyangka Ardi, Andra, Alfa, serta Ersya bisa menangkap suaranya. Padahal ia hanya sekali berteriak. "JANGAN SAMPE KALAH, YA!"
"GAK BAKAL!"
Dara tertawa kecil sembari bertepuk tangan, merasa senang ditanggapi begitu. Namun itu tidak berlangsung lama sebab beberapa saat kemudian kedua telinganya menangkap bisikan-bisikan yang tidak mengenakkan. Ah, harusnya ia sudah memprediksi hal ini.
"Kalo mau ghibah di kelas aja, ya. Gak usah di sini. Haram."
Dara menggerakkan kepalanya, tersenyum tipis mendapati Farzan yang menegur sekelompok cewek kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan oleh Pak Tegar, disusul dengan lainnya.
"Heran, ngeghibah gak tau tempat bener," keluh Farzan seraya duduk.
"Gak usah di dengerin, Ra," Asep menunjuk tim IPS 5 dengan dagunya, "fokus aja sama empat anak itik itu."
"Yang bener anak curut, Sep."
"Oh, iya, Zan."
"Ini mereka lawan siapa?" tanya Revan sembari memperhatikan pertandingan.
"Sekarang IPA 2."
"Loh?" Dara mengernyit bingung. "Bukannya tadi IPS 1? Cepet banget."
"Tadi udah mau abis waktunya," Dio kembali menyahut. Ia menunjuk para tim yang sedang beradu bermain takraw. "Kelas kita menang, sekarang lawan IPA 2."
"Yang bener lawan anak-anak caper, Yo."
"Nyinyir banget, tapi gapapa karena itu bener," sahut Asep lagi seraya mengangguk setuju.
"Siapa yang nyinyir, Sep?"
Farzan tersentak hingga nyaris terjengkang kalau saja Asep tidak menahannya. "Pak, jangan kayak setan dong suka nongol tiba-tiba. Mending jadi setannya pas mergoki adek kelas lagi pacaran."
"Gak sopan kamu, Tarzan!" balas Pak Tegar memukul kepala Farzan dengan kertas yang digulung.
"Pak nama saya Farzan, Pak, Farzan. F-A-R-Z-A-N."
"Gak nanya nama kamu, monmaap," Pak Tegar kembali menyahut dengan tidak acuh.
"Ajege," umpat Farzan pelan tetapi tidak dihiraukan oleh wali kelasnya itu. Beliau malah kembali berjalan mengambil tempat di samping Revan.
"Bapak ngapain?"
"Nyari cewek," jawab Pak Tegar cuek, tetapi sejurus kemudian ia kembali menghadiahkan pukulan dari gulungan kertasnya itu kepada Revan. "Nonton pertandingan anak-anak Bapak, lah! Gimana, sih, Master Anu ini?"
"Jangan di sini, Pak."
"Kenapa, tuh?"
"Rame."
Pak Tegar mengangguk paham. Beliau menepuk bahu cowok itu. "Tau malu juga kamu. Bapak pikir malunya udah ilang diambil Tante Mia."
"Kita beda selera, Pak."
"Selera Bapak lebih mantap."
"Ini Pak Tegar kok kospley jadi Pak Fucek?" tanya Farzan heran membuat Dara terkekeh.
"Oh, iya. Minum anak-anak gimana? Udah ada? Bapak———" pertanyaan Pak Tegar terpotong saat ponselnya mengeluarkan suara notifikasi tanda pesan masuk. Beliau lantas mengambil ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Beberapa saat kemudian, dengan wajah yang tenang pria tersebut berdiri dan pamit, "Bapak pergi sebentar, ya."
Farzan sontak bertanya, "Mau ke mana, Pak?"
"Biasa, kalo kata anak muda sekarang," Pak Tegar mengedipkan sebelah mata, "nyebat."
"WIHH KEREN-KEREN," seru Farzan heboh seraya mengacungkan jempolnya.
Pak Tegar tertawa keras dan membalas Farzan dengan jempolnya juga. "Bapak duluan. Ra, Yo, bisa handle, kan?"
Dara dan Dio serempak mengangguk membuat Pak Tegar tersenyum puas dan beranjak pergi.
Revan terus menatap punggung yang sudah berjalan menjauh dari tempatnya. Ia spontan menghela napas pelan mengingat apa yang tadi kedua matanya lihat.
"Eh, tadi Pak Tegar bilang soal minum, kan? Gue aja yang beli, ya?" Dara menawarkan diri.
Revan juga ikut menawarkan diri, "Gue bantu."
"Oke!" Dara mengambil ponselnya dan memberinya pada Dio. "Rekam, ya. Gue mau nonton pas di rumah."
Meskipun dengan gerutuan kecil, Dio tetap menerima ponsel tersebut dan melakukan apa yang ketua kelasnya minta. Ia membuka aplikasi kamera dan siap untuk merekam.
"Ayok, Van! Kita beli minum."
***
"Kantin sepi gini suasananya jadi beda banget."
Revan memalingkan wajahnya sekilas pada cewek di sampingnya. "Biasa aja."
"Apaan, beda banget tau. Kantin yang biasanya keliatan sempit jadi luas banget," balas Dara tidak terima pendapatnya ditentang.
"Serah lo." Revan memberi dua botol air mineral pada Dara. "Lo bawa dua, gue sisanya."
"Lah, emang bisa?"
"Gampang. Udah lo bawa aja itu."
Dara menerima dua botol air mineral yang diberi Revan. Ia melirik sekitarnya dan beberapa bungkus camilan menarik perhatiannya. "Gak mau beli jajan, Van? Siapa tau mereka laper."
"Kalo laper jajan gak bakal mempan. Gopud aja."
Dara spontan mengalihkan pandangannya pada cowok itu. Dengan raut wajah terkejutnya ia menjerit tertahan, "Kan gak boleh?!"
Revan berdecak. "Makanya tuh otak isinya jangan pelajaran mulu. Bego 'kan jadinya."
"Ih, malah ngatain."
"Bodo."
Dara mencebik sebal. "Itu doang, kan? Ayok balik."
Revan mengangguk dan kembali berjalan menuju lapangan, begitu pula dengan Dara. Tetapi, langkahnya terhenti kala telinganya menangkap sesuatu yang membuatnya panik seketika.
"Gilaa! Lo serius? IPS 5 sama IPA 2 berantem? Aslii, pecah banget! Gue mau nonton, ah!"
Mereka berdua secara spontan saling bertatapan. Dengan serempak dan cepat, mereka menaruh botol-botol air mineral itu dan berlari cepat menuju lapangan.
Dara panik. Sangat panik. Ia hanya bisa berharap tidak ada masalah yang fatal akibat kejadian ini. Ia berharap teman-temannya baik-baik saja. Ia benar-benar berharap apa yang dikatakan oleh segerombolan cewek tadi tidak benar. Namun harapan itu buyar seketika saat kedua matanya melihat kerumunan yang dibuat oleh perkelahian itu.
"Anjing, beneran berantem," Revan berdesis marah kala melihat apa yang didengar tadi benar adanya. Anak-anak IPA 2 melawan IPS 5. Benar-benar di tengah lapangan dan tidak ada yang berusaha memisahkan kecuali beberapa guru laki-laki. Para murid tersebut hanya menonton dan mungkin saling bertaruh siapa yang akan menang. Beberapa kelompok malah berseru menyemangati kedua pihak.
"CUPU LO! UDAH KALAH KOK GAK MAU TERIMA?!"
"Bacot lo, Bangsat," desis Revan ikut marah mendengar seruan itu. Ia berlari menuju kerumunan itu dan ikut serta menyerang IPA 2, meninggalkan Dara yang masih terdiam membeku. Ia mengepalkan kedua tangannya dan dengan berani berjalan masuk ke kerumunan itu.
"BERHENTI ATAU GUE PUKUL KEPALA LO SATU-SATU?!"
Seruan itu berhasil. Mereka semua langsung berhenti dan terdiam. Kini seluruh atensi berada pada Dara yang berada di tengah-tengah. Ia menatap Eja yang tadinya sedang beradu dengan Dio. "Lepasin teman-teman gue," geramnya marah.
Eja mendengkus dan mendorong Dio menjauh. Ia mengangkat sebelah tangannya, sebuah kode agar para temannya juga ikut berhenti dan bergerak mundur.
Kini kedua pihak sudah terbelah, dengan Dara yang berada di tengah. Cewek itu masih mengepalkan kedua tangannya, menatap Eja dengan geram. "Bisa gak usah cari masalah sama kita gak?"
"Gak ada yang nyari masalah sama anak kelas lo," balas Eja langsung. "Mereka kalah, tapi gak terima terus malah nyerang. Cupu banget teman lo, Ra."
"Brengsek," umpat Andra kembali maju namun dengan sigap Dara menahannya.
"Dra, stop."
Andra mendengkus kesal dan kembali mundur.
Dara hendak berbicara lagi, tetapi ketika atensinya menangkap seorang wanita dengan wajah garangnya berjalan ke mari, ia menghela napas berat.
"KURANG AJAR KELEN, SETAN! MASUK KE RUANGAN BAPAK KEPALA SEKOLAH ATAU KUTELAN KEPALA KELEN SATU-SATU?! CEPAT BERANGKAT!"
Ah, ternyata tadi Dara mengharapkan hal yang sia-sia.
***
mau langsung lanjut ke konflik
tapi takut kalian bosen.
lanjutnya di part selanjutnya aja ya.
btw iya tau part ini garing, kan
lawak line lagi emosi cuy hwhw
oiya sekalian mau minta saran.
ceritaku kan masi kasar banget,
dari segi penulisan sama alurnya juga.
nah rencananya aku mau revisi.
menurut kalian,
aku revisinya pas tamat aja,
atau mulai dari sekarang?
kalo mulai dari sekarang mungkin bakal aku unpub dulu semua part, terus aku revisi, baru aku repub semuanya (mungkin sekalian sampai ending tapi ga janji WKWK) dan kalo pas tamat, aku takut kalian ogah baca dari awal lagi.
nah, jadi enaknya gimana ya?