Keep Your Smile

By Arbayahs

17.3K 2.6K 524

Aluna, satu dari sekian banyaknya mahasiswi yang merasakan pahit-asamnya kehidupan perkuliahan. Tingkat kenor... More

Bab 1. Jebakan Permen Karet
Bab 2. Jungkir Baliknya Aluna
Bab 3. Rahasia Garda
Bab 4. Rahasia Aluna
Bab 5. Lempar Kode, Mental?
Bab 6. Drama Abal-Abal
Bab 7. Bapak Maunya Gimana?
Bab 8. Buat Itu Jadi Mungkin
Bab 9. Praduga Tak Bersalah
Bab 10. Pendekatan Mode Serius
Bab 11. Yang Sebenarnya Terjadi
Bab 12. Kapan Nyambung?
Bab 14. Kecemburuan Satu Kubu
Bab 15. Menembus Dinding Kewarasan
Bab 16. Karena Kamu, Tokoh Utama
Bab 17. Menuju Kejelasan
Bab 18. Upil Bermasalah
Bab 19. Dengan Jujur
Bab 20. Tanam, Rawat, dan Panen
Bab 21. Ini Jadi Lanjut?
Bab 22. Mati Kutu, Mati Gaya
Bab 23. Ibu dan Ayah
Bab 24. Dua Pertemuan
Bab 25. Keputusan Kita - Good Bye!

Bab 13. Salfoknya Aluna

491 93 9
By Arbayahs

Hari ini bebas tugas? Haha, percayalah besok adalah hari kerja paksa kalian. Tugas bejibun, deadline mepet-merempet. Mantap, lah!

-MaunyaGoleranTerus-


Ia menopang wajahnya, memandang bosan ke depan. Walaupun orang disekitarnya berteriak heboh hingga adu panco sekalipun, ia tidak tertarik. Sumpah, mungkin hanya dirinyalah orang nolep mendadak ikut nonton acara basket sendirian tanpa pengalaman sebelumnya. Jengah, akhirnya ia memilih memainkan gawai pintarnya saja. Ternyata teman yang mengaku masih saudara dekat ubur-ubur itu berani men-chat dan malah mengirimi foto Bara secara diam-diam. Agak takut juga ia kalau si Ciko nekat jadi stalker handal, otomatis informasi mereka ketahuan.

"Coba tebak gue di mana? Lu lihat siapa itu?" Ia mengarahkan kamera hpnya pada satu objek yang berlarian mengejar bola demi mencetak gol.

"Eh, di mana tuh? Pak Garda bukan sih? Kok gue baru ngeh doi punya kotak unyu?"

"Apaan dah? B, aja tuh. " Sesekali tsundere nggak papa, kan? Ia akan merekam di otaknya bagaimana ukuran perut abs tersebut.

"Tugas kacung memanggil, ya? Hahaha."

"Tawa lo merupakan dosa yang berpindah tangan." Aluna menadah, langit sore hari sudah berwarna fajar.

"Kampret. Beneran jadi kacung, Lun? Eh, gue mau atuh, kalau upahnya bisa lihat doi buka baju kayak bang Jojo." Yang Aluna ingat malah komentar media sosial bang Jojo yang bikin ketar-ketir.

"Otak lu perlu rukiyah, Cik. Pak Garda jago gitu gue yang ngajarin, makanya gue ada di sini sebagai pelatih calon ratu kecoak." Demi kebersamaan bersama, ia mengganti kamera depan. Menampilkan wajah kusut bak kekurangan duit.

"Halu lo kebangetan. Mumpung ada kesempatan, porotin aja duitnya." Halal nggak sih, punya teman dengan nasihat yang kadang di luar itikad baik? Mungkin Ciko pas lahir sempat diajak traveling sama lucifer kali, ya.

"Itu juga udah masuk rencana. Mau beli makanan agak berkelas dikit, kayak makan pizza, ayam kaefci, atau starbucks gitu. Biasanya doi traktir di tempat yang itu-itu, aja. Bosen gue." Manusia tak tahu syukur memang, sudah gratis melunjak minta yang lebih. Bak diberi jantung ingin semua organ dalam lainnya.

"Nah, bagus! Calon bibit cewek haus harta emang gitu. Mantap, Emak bangga padamu, nak."

"Eh, kampret. Doa lo nggak ada yang bener, aja."

"Tapi gue malu."

"Kenapa malu? Biasanya juga lebih malu-maluin, telat nih."

"Gue agak trauma."

"Apaan? Drama amat."

"Ya coba lo bayangin jadi gue, sok-sok an mau makan elit sendirian. Gue udah pesen, duduk cantik sampai satu jam nungguin nggak datang-datang juga tuh pesanan. Akhirnya dikasih tau sama mbak-mbaknya, bayar dulu baru pesanan datang. Gila nggak tuh, jiwa angkringan kaki lima gue meronta-ronta. Pada akhirnya gue lebih milih pesen online atau mampir di warung makan. Murah meriah, kadang gratis es teh juga." Tahu begitu kejadiannya, mending ia buka toturial pesan ayam krispi kolonial tersebut. Maklum sajalah, sering yang beli Bara atau tidak Sandro. Kalau dirinya mah, semenjak kejadian ajaib itu lebih memilih pesan secara online saja.

"Ya, ampun. Ternyata gue nggak sendiri aja? Antara terharu dan ngakak, hahaha."

"Kamu nggak lihat saya main, malah asik dengan benda ini?"
Aluna merebut kembali ponselnya, Garda mengambil botol minum dan handuknya. Ia perlu pendingin, badannya terasa panas terbakar. Peluh membanjir hingga membasahi kaosnya, menjiplak bentukan badannya. Sayang, Aluna belum berminat melihat apa yang sering menodai mata Ciko.

"Saya bosen lihat Bapak lari-lari kejar bola basket doang. Coba Bapak adu nyawa, pukul sana-sini sampai babak belur. Baru saya semangat nyorakin, semangat pula panggil ambulan." Seperti acara tinju kebanyakan, Aluna malah bersemangat ketika melihat salah seorang pemain berhasil kena pukul. Entah kenapa ada sensasi menyenangkan tersendiri kala melihat. Semenjak itu pula, Bara melarangnya menonton acara kesukaannya itu.

"Semoga sidang mu dipercepat."

Aluna mendelik, mencubit geram lengan Garda. Kalau punya mulut jahat nggak bisa dijaga, ya diajak ibadah sesekali dong.

"Masih lama, Pak. Kalau mau cepat kelar bantuin, dong. Jangan cuma nyumpahin mahasiswanya terus." Sebagai perwakilan mahasiswa yang sering terkena tindas batin oleh dosen sendiri, ia akan menyuarakan kemerdekaan semu sesaat bagi dirinya sendiri.

Tatapan tajam dan meremehkan itu sangatlah menyebalkan bagi makhluk kasat mata sepertinya. Ia beranjak, mencoba menyalami langkah lebar Garda.

"Mungkin mengulang di semester berikutnya adalah pilihan terbaik, ya?"

"Apa? Gimana-gimana, Pak? Memang Bapak nggak bosen lihat saya mulu? Kadang saya heran kenapa beberapa dosen bersikeras membuat mahasiswa mengulang kalau sang dosen sendiri juga jenuh akan pemandangan yang sama."

"Karena kami perhatian dan mungkin sayang."

"Sayang dalam artian yang bagaimana, Pak? Sayang kalau cepat-cepat lulus karena pelampiasan belum sepenuhnya terbalaskan?"

"Jadi begitu pandanganmu pada kami? Kalau asal lulus saja, mungkin sudah hampir semua sarjana pengangguran. Kesulitan mendapatkan pekerjaan."

"Tidak begitu juga sudah banyak sarjana nganggur, kan? Bahkan yang lebih tinggi sekalipun."

"Tidak juga. Itu tergantung pada bagaimana individu-nya."

"Sudah, Pak. Ngomong masa depan kadang suka bikin kepala saya cenat-cenut." Kepalanya terasa cenat-cenut sekarang. Bukan ia tak ingin menata masa depan dengan baik, tapi bukankah lebih baik membiarkannya mengalir dengan sendirinya? Ia sudah pernah merancang kan sesuatu dengan ambisi besar, namun semuanya tak ada yang bisa tercapai. Maka dari itu, ia akan hidup sebagaimana adanya.

Akhirnya ia duduk di bangku, menunggu Garda selesai mengganti pakaiannya. Sebelum sang pelaku pergi, ia sudah diberi uang kompensasi untuk mengganjal perut mahasiswinya.

"Ayo, saya antar."

Hampir, hampir saja ia meludahkan cilok dalam mulutnya. Kenapa sih Lucifer kalau ngomong kadang bikin ketar-ketir menggoncang ketenangan jiwa?

"Nggak usah. Saya pesan ojek atau taksi online aja. Bapak nggak perlu repot-repot. Ini sudah hampir magrib, kan? Nggak baik buat cowok pulang kemaleman. Nanti diculik genderuwo, loh."

"Tidak kebalik? Sudah, saya antar. Kenapa takut gitu sih?" Aluna meronta, mencoba melepaskan genggaman kuat Garda. Ia tak mau masuk ke dalam mobil hitam itu, rasanya sangat melelahkan jika ada kebohongan baru lagi.

"Nggak usah, Paak. Saya ini mandiri. Pulang kayak gini nggak perlu antar-jemput segala. Saya bukan anak kecil yang dijemput orang-tuanya sambil diseret-seret kayak gini."

"Jangan membantah, masuk!"

Ampun, alasan apa lagi yang akan ia katakan demi menutupi suatu kebenaran? Aih, kenapa satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan lainnya?

"Di mana? Alamat rumahmu?"

Lantaran gugup dan terlalu takut, akhirnya ia asal ucap saja. Untungnya Garda percaya saja, semoga menipu dosen kali ini tidak akan membuahkan karma atau kesialan lainnya. Parahnya alamat asal ucap tadi jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal Bara.

"Kamu yakin? Tidak bohong?"

Aluna mengangguk kemudian menggeleng, menghindari tatapan curiga Garda.

"Haha, baiklah. Saya percaya kamu."

Eh? Apa katanya?

Ada degub jantung dan gelenyar aneh itu ia rasakan kembali. Tawa orang good looking itu memang beda, mampu menggetarkan jiwa yang lemah iman. Coba saja Garda itu murah senyum, murah duit, murah nilai, murah jam kosong, murah nurani dan murah amarah maka sudah sejak dulu kali ia kan tergila-gila. Kok jadi cringe gini, ya?

"Itu... alamat saya bukan di sana. Saya tinggal di komplek B."

Garda bergeming, seulas senyum nampak darinya. Haruskah Aluna berdebar tik-tok seperti jaman sekarang? Sudahlah, lebih baik ia lanjut makan cilok saja.

"Terimakasih," ucap Garda kala mobil berhenti tepat di depan gerbang komplek, permintaan Aluna yang tak ingin diganggu gugat lagi.

"Untuk jadi kacung Bapak? Nggak papa. Saya mau karena duit Bapak. Nggak pernah kapok lahiriah kalau jalan sama Bapak." Ini jujur, loh. Mana mungkin ia bohong, bukan artinya ia silau harta juga.

"Bukan. Nggak takut saya cap kamu cewek matre?"

"Nggak, lah. Masa iya saya dicap matre buat morotin duit Bapak beli cilok doang? Lima puluh ribu beli cilok, Pak. Bukan lima puluh juta buat sekali belanja sana-sini." Ia memamerkan kantong plastik berisikan jajanan yang ia beli sebanyak uang jajan yang diberi.

"Yah, apapun itu. Terima kasih untuk kencan hari ini."

"Sama-sama. Eh? Apa tadi, Pak? Kuping saya keselek aspal, nih."

"Terima kasih untuk kencan hari ini," bisik Garda mendekat. Satu tangannya menautkan jemari mereka, lalu mencium punggung tangannya. Manis, asli manis banget. Tapi ada yang aneh, deh. Ini semacam godaan makan buah khuldi kali, ya?

"Ya Tuhan! Ngeri banget. Ini skandal, ranah hubungan terlarang. Tobat dong, Pak!"





******

Vote dan komen, ya^^

Post : 22-01-21

Continue Reading

You'll Also Like

504K 14.2K 17
21+ Rahasia takdir memang tidak ada yang pernah tahu, dimana kita akan berjodoh dengan siapa tidak akan bisa tentukan, mungkin kita sebagai manusia b...
1.6K 84 19
Apakah menyesal bisa memperbaikinya? #2 - romanceoffice
32.8K 4.1K 24
- Zona dewasa 21+ - Bijaklah bagi para pembaca yang belum cukup umur - Sudah tersedia versi pdfnya (nggak ada versi ebooknya) - Dihapus sebagian - Pr...
1.1M 113K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...