Keep Your Smile

By Arbayahs

17.3K 2.6K 524

Aluna, satu dari sekian banyaknya mahasiswi yang merasakan pahit-asamnya kehidupan perkuliahan. Tingkat kenor... More

Bab 1. Jebakan Permen Karet
Bab 2. Jungkir Baliknya Aluna
Bab 3. Rahasia Garda
Bab 4. Rahasia Aluna
Bab 5. Lempar Kode, Mental?
Bab 6. Drama Abal-Abal
Bab 7. Bapak Maunya Gimana?
Bab 8. Buat Itu Jadi Mungkin
Bab 9. Praduga Tak Bersalah
Bab 11. Yang Sebenarnya Terjadi
Bab 12. Kapan Nyambung?
Bab 13. Salfoknya Aluna
Bab 14. Kecemburuan Satu Kubu
Bab 15. Menembus Dinding Kewarasan
Bab 16. Karena Kamu, Tokoh Utama
Bab 17. Menuju Kejelasan
Bab 18. Upil Bermasalah
Bab 19. Dengan Jujur
Bab 20. Tanam, Rawat, dan Panen
Bab 21. Ini Jadi Lanjut?
Bab 22. Mati Kutu, Mati Gaya
Bab 23. Ibu dan Ayah
Bab 24. Dua Pertemuan
Bab 25. Keputusan Kita - Good Bye!

Bab 10. Pendekatan Mode Serius

521 98 7
By Arbayahs

Apa kamu tahu kalau menangis itu adalah tawa dikala sedih?

-Halah, ngibul-

_______________________



Pernahkah Aluna mengatakan bagaimana sikap Garda kepadanya selama ia kuliah? Tentu, tentu saja. Sebagai ayah yang merangkap sebagai saudara, Bara harusnya tahu bagaimana keadaan mental Aluna yang naik-turun kayak lagi main holahop ketabrak pangeran belatung. Nggak nyambung? Disambung-sambungin aja, ya. Ketika akan pagi menyambung siang nanti, Aluna meletakan secangkir kopi hitam untuk Bara. Anggap saja ini salah satu upaya keberhasilan persentase kemenangannya.

"Mas," ucapnya lembut. Tangannya ikut bergerak, memijat pelan bahu Bara yang masih sama kerasnya.

"Hm?"

"Mas sayang aku, kan?"

"Kalau manis kayak gini pasti ada maunya. Mas nggak akan goyah."

"Ih, bukan. Ini tentang masa depan aku, loh."

"Masa depan? Ada yang ngajak kamu nikah? Tolak, aja. Kuliah aja belum beres, main sikat nikah aja. Dia sudah kerja? Mapan? Bagaimana dengan tabungan, rumah, dan finansial yang harus sudah sedia demi kamu? Itu belum termasuk tes seleksi Mas untuk dia. Apa dia punya attitude yang bagus atau malah hanya sampah bersembunyi dibalik ketek ibunya?"

Ya ampun, inilah yang membuatnya tersentuh sekaligus kesal. Bara menempatkan dirinya sebagai sosok seorang ayah, tapi untuk sekarang Aluna belum ingin berhadapan dengan mode 'ayah' yang begini.

"Bukan. Itu, loh, pak Garda. Kayaknya doi masih dendam, deh. Beberapa waktu yang lalu dia pernah ancam aku. Katanya beliau mau mempersulit proses kelulusanku. Gimana dong?"

"Gimana apanya? Itu hanya gertakan. Mungkin Garda sedang mengujimu atau mungkin hanyalah lelucon iseng."

"Iseng? Mas?! Mana ada istilah doi bercanda. Kalau serius, ya serius. Mau sungguhan atau tidak, semuanya tetap sama."

"Nah, benarkan. Hiperbola. Sesekali dibimbing Garda, oke juga. Kata sebagian mahasiswi, sih. Lumayan cuci mata."

"Itu dia. Sebagian, Mas. Sebagian lainnya aku ikut aliran itu. Habis sudah masa ketenangan indahku." Aluna duduk samping kanan Bara. Menangkup wajahnya, menambahkan efek nelangsa. Berharap Bara mau memberikan uluran tangannya.

"Kamu masih semester lima, santai saja."

Apa katanya? Santai? What the hell? Tiap kali ia dikejar deadline, mana mungkin bisa bersantai barang sejenak. Baiklah, kalau Bara tidak mau membantunya, ia akan meminta tolong pada Tuhan saja. Mulai sekarang ia akan menjadi orang jahat dan supaya Tuhan lebih meliriknya dan doa jahatnya bisa dikabulkan.

"Mahasiswa kok banyak ngeluh?" ucap pemuda berkacamata diseberang Aluna, menikmati sarapannya dengan buku terbuka di tangannya. The Hegel Reader, sudah tahu dong buku itu pastinya akan menjadi makanan anak mahasiswa filsafat.

"Yang calon atheis mending diem, deh," balasnya sengit.

Bara berdehem, "Filsafat bukan ilmu atheisme. Hanya karena mempertanyakan Tuhan, bukan berarti tiap individunya bisa berubah haluan. Beberapa kasus malah bisa meningkatkan keimanan," sahut Bara membela adiknya. Aluna mengangguk dungu saja, apalah arti dirinya jika dibandingkan dua bersaudara tersebut. Bak buah surga dengan buah zaqum, beda jauh.

"Ndro, nggak ada niatan ikut SBMPTN tahun depan? Kalau iya, barengan aja." Tanpa ragu, Bara menampol kepalanya. Baiklah, sekarang pria itu berubah mode menjadi sosok abang yang menyebalkan.

Ini bukan hanya usulan sesaat, loh. Pernah sekali ia terjebak, membaca buku milik Sandro. Being and Time dari Martin Heidegger, buku rumit yang memperkenalkan istilah dengan penjelasan kelewat panjang lebar. Satu istilah dengan penjelasan satu paragraf, namun satu paragrafnya bisa dua lembar. Mantap nggak, tuh? Tak heran anak filsafat itu tingkahnya ajaib, sampai sekarang saja mereka belum bisa menjelaskan alasan masuk jurusan tersebut dan apa saja yang mereka pelajari. Tidak salah kan, ajakannya barusan?

Namun Sandro mengabaikan ajakannya, seperti keberadaan Aluna tak begitu berarti. Mode menyebalkan inilah yang seakan-akan ada dinding penghalang bagi mereka. Kadang, kebanyakan gaul dengan Sandro membuatnya tak sengaja melihat kucing pool malah teringat pada Acara Scrhodinger's cat. Inikah the power of Filsafat?!

Tak mau kesalnya berkepanjangan, lebih baik Aluna angkat kaki segera. Gerimis, tak masalah selama bukan hujan emas yang melanda. Berpamitan pada keluarganya, Aluna melaju sedang. Lama-kelamaan gerimis berubah menjadi hujan deras. Hampir, hampir saja ia menabrak trotoar karena penglihatan buram. Kalau tahu begini, mungkin ia tidak akan pergi dulu. Terpaksa berteduh di salah satu depan ruko kosong.

"Eh? Ya, Allah, Bapak?!" Kalang kabut Aluna mendekat seonggok korban bernyawa di sana. Orang-orang dekat sana bukannya dibantu malah sok asik sendiri. Beginilah jadi manusia yang masih sangat peka akan simpatik.

"Ikutin saya, Pak. Minimal baca takbir, lah."

"Kamu pikir saya sakaratul maut?" hardik Garda kesal, mendorong wajah menyebalkan itu hingga sang empu badan tertunduk.

"Saya ikhlas kok kalau Bapak pergi," ceplos Aluna melepaskan balutan perban Garda yang tak beraturan. Kemudian membalut ulang, tentu dengan rapi dan tak menyesakkan.

"Saya yang nggak ikhlas pergi, gimana?"

"Pasti karena Bapak nggak mau rohnya lihat saya ngakak pas acara pemakaman, kan? Tenang, saya bantu habiskan makanannya. Tak perlu air mata, hanya diperlukan senyuman kebahagiaan."

"Karena kamu sudah bantu. Saya kasih hadiah, tolong jadi babu sehari saja. Tenang, tetap ada gaji. Sebagai mantan kacung saya, kamu pasti paham, kan?"

Aluna mendelik, kalau lagi sakit aja belagunya minta ampun. Memang sih, pas jadi kacungnya Garda itu harus banyak-banyak kesabaran dan berani mengungkap isi hati, tapi soal gaji tak pernah mengecewakan. Sering diberi bonus, malah. Maklum saja, cuma dirinya yang paling lama tahan jadi kacungnya Garda. Yang lain, mah, banyak mundurnya.

"Cuma sehari aja kan, Pak?"

"Maunya sih selamanya, tapi takutnya saya bangkrut."

Entah yang dimaksud lelucon ringan atau sindiran nyata, Aluna terkekeh. Mencoba berpikir positif, anggap saja Garda adalah legenda lawak, Dono. "Ya jangan, dong. Btw, Bapak sedang diburu rentenir, ya?"

"Jangan bodoh. Saya begini bukan gara-gara dikejar rentenir."

"Terus?"

"Kecelakaan kecil saja."

"Nabrak orang? Orangnya gimana? Berapa korban jiwa yang tidak selamat?"

"Tidak, cuma keserempet. Saya jatuh, lengan saya bergesekan sama aspal. Untungnya cuma tangan kanan saja yang luka, bukan patah."

"Yaah."

"Kenapa kamu? Kecewa?"

"Mana berani, Pak. Jadi, apa yang anda butuhkan, Yang Mulia? Kita ke RSJ sekarang?"

"Makin lama otakmu makin berkarat. Antar saja sampai kampus kalau hujannya agak reda."

"Motor Bapak?"

"Nanti ada yang ngurus."
Aluna mengangguk, ikut menemani dosennya gembel di sana.

"Oh, iya. Kemeja Bapak ada noda darahnya, lebih baik ganti dulu. Takutnya nanti dikira mahasiswa Bapak lagi berantem sama mafia." Garda memegang bagian kemejanya yang terkena darahnya sendiri. Tidak banyak, namun tetap menyakitkan mata jika dilihat lebih lama.

"Kalau begitu, ayo."

"Hah? Gimana, Pak?" Ia mengikuti Garda, membawa tas bawaan sang dosen juga miliknya. Toilet umum, sepertinya Garda sudah menyiapkan barang lebih dulu. Sedia payung sebelum hujan, begitulah perumpamaannya.

"Bapak yakin nggak mau saya bantu? Saya sarjana lepas kancing kemeja, loh."

"Nggak!" Bantingan pintu itu sudah membuktikan bagaimana ungkapan kekesalan yang dimiliki Garda. Aluna terbahak, berhasil menggoda Garda sebagai hiburan. Jarang-jarang kan, ia dapat pelepasan tawa dikala stres melanda.

****

"Seharian ini kok, dimonopoli pak Garda terus, sih?" celutuk Ciko membawakan ice tea untuknya. Sementara Aluna sendiri sudah terkapar diatas rumput, buku tebal ia letakkan di wajahnya.

"Ya, maklum aja. Gue kan babu kesayangannya."

"Kesayangannya, kutilmu. Jadi babu aja kok bangga."

"Nggak papa babu, yang penting gajinya lumayan buat beli baju baru."

Ciko mendengkus, mengambil buku yang menutupi wajah Aluna. "Ngeliat kalian datang boncengan terus lo ngekor, gue malah bayangin pak Garda yang nggak mau kalian kepisah bahkan buat panggilan alam sekalipun."

Aluna memutar bola mata jenuh, perkataan Ciko terlalu melebih-lebihkan baginya. Yah, meskipun itu yang diajarkan Tn. Krab pada spon kuning berlubang, tetap saja ajaran tersebut belum cocok untuk kondisi sekarang.

"Gue baru lihat lo pakai kalung. Ada inisialnya? Lihat dong!" pintanya setelah benda itu terlihat dari celah-celah kerah kemeja Aluna.

Lekas ia bangkit dan menyembunyikan benda tersebut dari penglihatan temannya. "A-apasih? Kepo banget." Lalu buang muka demi menutupi rona merha yang terasa menjalar di kedua pipinya.

"Ciee, malu-malu babi ngepet. Dari siapa sih? Belum pernah cerita nih, kalau sudah punya gebetan."

"Enak aja. Ini bukan dari gebetan atau apapun itu. Nggak sudi banget jadi gebetan dia. Kenal aja udah bikin sial."

"Halah, sok-sok-an pasang tampang nggak suka gitu. Hatinya udah getar tik-tok an, nggak karuan, tuh. Lagian kalau nggak suka mana bakalan diterima, kan?"

"Mana ada. Kalungnya cantik, makanya gue terima. Sayang, kan, sudah dikasih masa ditolak. Setidaknya kita hargai niat baiknya. Udah, ah. Kebelet pipis nih."

"Kebelet pipis apa kebelet malu?" goda Ciko tak peduli keadaan sekitar. Sebodo amat dengan urat malu. Memangnya dia punya rasa malu? Aluna yang masih menyangkal, berbalik dan memukuli pelan temannya itu.

"Oh, Pak! Tolong kacungnya diurus, nih!"

Aluna menoleh, aksi brutalnya terhenti sejenak. Menatap Garda yang juga menatapnya. Membuang muka, kala teringat sesuatu. Ada apa dengan gelenyar aneh barusan?

****

TBC.

Vote dan komen, ya^^

Written by : Arbayahs

Post : 10-01-21

Continue Reading

You'll Also Like

67.2K 9.9K 31
Genre: Romance, School life, friendship Rate: 17+ Cover: Nayla Salmonella (Pantai Boom Banyuwangi) Edit: Canva #sadstory #happyending #bullying Cerit...
6.1M 320K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
20.4K 764 10
[SHORT STORY] Apakah pertemuan ini yang dinamakan takdir? Atau hanya sebuah kebetulan? Who knows. Pertemuan antara mahasiswa yang dikejar deadline da...
3.5K 221 39
Tidak ada yang mengetahui seberapa cepat waktu dan takdir berjalan. Begitu singkat pertemuan Diana dan Matt. Lelaki sejuta pesona yang membuat Diana...