12. Hot Potato

Mulai dari awal
                                    

Wening menggeleng, mantap. Arvind pun pergi membawa kopernya.

Selepas Magrib, Ibu pulang. Wening segera masuk kamar, tidak ingin terlihat gelisah di depan Ibu. Makan malam pun dilewatkan dengan alasan masih kenyang dan banyak PR.

"Ning, besok Minggu, kamu mau belajar juga?" Ibu berseru di luar pintu. "Temani Ibu nonton, yuk? Kamu yang pilih film."

Wening menolak. Aksi mogok bicara perlu dilakukan sampai Ibu pusing dengan sikapnya dan menganggap pergi ke rumah Nini adalah solusi terbaik. Mereka berdua memang perlu jeda.

Menjelang tengah malam, Tante Agatha menelepon lagi. Ia baru sampai di rumah, katanya. Arvind belum pulang, masih tidak bisa dihubungi. Tante Agatha sangat cemas.

Wening tidak dapat membantu. Ia benar-benar tidak tahu ke mana Arvind pergi. Setelah menitipkan koper, tambahnya hanya dalam hati. Tak urung, ia penasaran. Kalau ia yang menelepon, Arvind pasti menerima panggilannya mengingat mereka bersekutu. Namun, nomor Arvind tidak aktif.

Apakah terjadi sesuatu pada Arvind di jalan? Ditangkap geng motor? Pikiran itu melintas begitu saja dan membuatnya terduduk. Ponsel di tangannya bergetar, Wening hampir bersorak mengira Arvind, ternyata Ren. Jantung Wening berdegup menyakitkan. Rasanya seperti sedang bersembunyi dan Ren akan menemukannya.

"Ning, aku khawatir dengan Arvind. Sudah telepon teman-teman, enggak ada yang lihat dia seharian ini. Berarti kita yang terakhir ketemu dia siang tadi. Aku sedang menunggu Gege mencarikan nomor Dennis dan Sam. Arvind mungkin main di tempat mereka.... Eh, sebentar, Ning." Ren tidak memutuskan telepon. "Masuk saja, Bu!"

Wening mendengar suara wanita di latar belakang. Tante Amel. Percakapan mereka samar. Sambil menunggu, ia mondar-mandir di sekeliling kamar. Perasaan cemas dan malu di antara pemikiran yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Arvind mengalami kecelakaan, karena kehilangan keseimbangan dengan dua kopor yang diikat di boncegan. Wening menyesal tidak mengusulkan Arvind naik taksi saja.

"Ning," Ren memanggilnya lagi. "Ibu barusan bicara dengan Tante Agatha. Jumat malam, rupanya Om Nurdan menyuruh Arvind kuliah di luar negeri, daripada enggak lulus PTN favorit di sini, bikin malu. Arvind enggak bilang apa-apa. Om mengira Arvind menurut. Tante Agatha baru sadar, itu aneh. Biasanya Arvind suka membantah. Tante jadi khawatir, Arvind sebetulnya memberontak, dan sekarang kabur dari rumah."

Wening terkesiap. "B-bagaimana Tante bisa menyimpulkan begitu? A-apa ada petunjuk atau saksi Arvind bawa koper—"

Ren menukas, terdengar geli. "Arvind enggak sebodoh itu meninggalkan jejak kalau sungguhan mau minggat. Ning, dia kan ke rumahmu tadi siang, coba ingat-ingat, apa saja yang kalian bicarakan, bagaimana sikap Arvind... mungkin ada petunjuk."

Wening tertegun. Mempertahankan kebohongan bahwa Arvind cuma sebentar di sini siang tadi, atau meralatnya? Namun, menyatakan Arvind di rumahnya sampai sore sama saja dengan memaparkan rencana ke Tokyo. Ren sahabat yang baik, tetapi anak itu selurus penggaris. Wening tidak mau mengambil risiko Ren menggagalkan perjalanan mereka.

"Ning, Tante Agatha menelepon Ibu lagi. Kayaknya marah banget. Ibu sedang menenangkannya. Jadi ingat waktu Arvind hilang kelas 8. Begitu ditemukan ketiduran di rumah orang, Tante Agatha memeluk dan mencubitinya. Menangisi dan memarahinya," kata Ren. "Kupikir, sekarang juga begitu."

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang