BAB 2

32 3 0
                                    

Bandara Adi Sutjipto Jogjakarta.

Netta berjalan santai keluar dari dalam bandara sambil menarik kopernya. Sejak keluar dari pesawat tadi kebahagiaanya membuncah, bibirnya terus melengkung membentuk bulan sabit. Netta seperti menang lotre, tidak....tidak...dia seperti baru saja keluar dari penjara.Bisa merasakan aroma kebebasan yang tak pernah dirasakannya untuk beberapa waktu yang lalu. Travelling adalah dunianya, dan bagaimana bisa dia bernafas dengan leluasa kalau beberapa bulan terakhir harus terkunci di dalam peraturan tak tertulis milik Alaric.

Gadis itu menyadari, bahwa dirinya dan Alaric adalah dua kutub yang berlawanan. Netta easy going, sedang Alaric adalah tipe pria yang tidak bisa mengenal seseorang dengan cukup mudah—perlu waktu. Netta hobi jalan-jalan atau sekedar nge-mall kalau pikiran suntuk, sedangakn Alaric lebih memilih mendengarkan music jas di dalam kamar untuk membuat mood-nya membaik. Jadi apa alasan Netta menerima lamaran Alaric? Hanya satu alasan, mereka sama-sama ingin menikah. Usia 29 bukan lagi usia remaja yang tujuan menjalin hubungan hanya untuk main-main. Bukan lagi usia untuk mencoba dan mencari lagi jika dirasa kurang pas dihati, bukan juga usia yang mengedepankan cinta diatas segalanya. Namun usia 29 tahun adalah waktu yang pas untuk melonggarkan semua ego tentang cinta dan mulai berfikir realistis. Give and take! Setidaknya Alaric sudah menjadikannya gadis yang sempurna dengan memberikan cinta yang Netta butuhkan dalam perbedaan karakter mereka. Meskipun Netta sadar jika dirinya dan Alaric sepenuhnya berbeda, namun meskipun berbeda bukan berarti sama sekali tidak bisa bukan? Netta tidak memaksakan keadaan, hanya saja dia sudah malas berpetualang dalam hal percintaan.

Kota Jogjakarta seakan sedang menyambut kedatangan Netta sore ini. suasanya pas, langit biru membentang, disertai angin sore yang semilir menerpa rambut sebahunya yang dibiarkannya tergerai begitu saja.

Netta berhenti tepat di depan bandara, menunggu taxi yang akan membawanya mencari sebuah penginapan. Netta sengaja tidak memesan penginapan lewat aplikasi online karena dia benar-benar ingin menikmati setiap moment-nya di kota ini. apalagi jam masih menunjukkan pukul tiga sore, masih banyak waktu untuk menemukan penginapan terdekat sekaligus jalan-jalan.

Mungkin sudah lima menit Netta berdiri di depan pintu masuk bandara menunggu taxi ditemani alunan merdu lagu Shameless—Camila Cabello dari balik headsetnya. Disampingnya orang-orang mulai ramai, mungkin untuk melakukan hal yang sama dengannya—menunggu taxi, atau menunggu jemputan.

Tak berselang lama taxi warna biru itu mendekat, dengan tangkas Netta melambai dan taxi itupun berhenti tepat di depannya. Netta bergegas menyambar koper di sampingnya tanpa peduli hiruk pikuk di sekitarnya, lalu masuk begitu saja ke dalam taxi.

"Jalan Malioboro ya pak." Kata Netta setelah menutup pintu.

"Nggih mbak..."

******

Netta menaruh kopernya dengan asal lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan kaki menggantung di tepi tempat tidur. Sambil memadang langit-langit kamar berwarna putih itu, pikirannya menerawang bebas. Satu persatu menyusun jadwal petualangannya untuk beberapa hari ke depan. Mulai tempat yang nyaman untuk sarapan sampai tempat terakhir yang akan dikunjunginya sebelum pulang nanti.

BAru juga Netta sedang asyik dengan imajinasi tanpa batasnya, dering telepon menyentak lamunannya. Dengan malas ia menarik tas yang teronggok di sampingnya, lalu mengambil benda pipih itu dari dalam sana.

Sudah Netta duga, jika Alaric penyebab ponselnya berjerit nyaring seperti itu. Pria itu pasti sudah kalang kabut karena Netta belum juga menghubunginya padahal pria itu tahu jika Netta sudah landing sejak dua jam yang lalu.

"Halo...."

"Ta, kok nggak segera ngehubungin sih?!" suara tegas Alaric memaksa Netta menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

Netta menegakkan tubuhnya, duduk di pinggiran kasur.

"Baru nyampe hotel sayang..." jawabnya singkat. "Tadi niatnya mau segera ngehubungi sih, tapi udah dapet taxi jadi lupa. Hehehe....." padahal Netta lupa jika punya kewajiban penting di liburannya kali ini, yaitu menghubungi Alaric tepat waktu dan tidak boleh telat angkat telepon.

Terdengar desahan nafas berat dari ujung sana.

"Tapi udah dapet hotelnya?" suara Alaric melemah.

"Udah. Murah lagi...."

"Kualitasnya bagus nggak?"

Netta memutar bola matanya malas. "Tenang, nggak bakalan ada maling atau lainnya deh AL....keamanan terjaga!" pria super perfect itu selalu menanyakan hal detail yang tak pernah Netta pikirkan. Peduli amat sama hotel mahal atau murah, yang terpenting Netta nyaman.

"Yaudah kalau kamu nyaman. Sebenernya kalau belum dapet tempat nginep sih temenku di Jogja punya guest house."

"Akh nggak usah!" tolak Netta tegas. "Yang ada malah ngerepotin."

"Iya, aku tahu kalau kamu juga bakalan nggak mau."

"Hehehehe.....nah itu tau." Cengir Netta, tangannya terjulur menarik koper ke arahnya. "Udah ya Al, aku mandi dulu. Gerah...."

"Iya.....jangan lupa makan ya."

"He'em...."

"Pesen Go-Food aja, biar nggak kemana-mana."

Netta kembali memutar bola matanya. Niatnya sampai Jogja kan emang mau muter-muter sampai kaki pegel, kalau Cuma mau makan dan pesen Go-Food, di Jakarta juga bisa.

"Iya....." itulah kalimat pamungkas Netta agar pembicaraan mereka segera berakhir. Bukannya Netta malas, tapi terkadang Alaric mempunyai ide yang tak bisa Netta cerna di benaknya. Pria itu suka sesuatu yang masuk akal, tak buang-buang waktu dan bisa dijangkau dengan mudah.

Neta melemparkan benda pipih itu sembarangan di atas kasur, lalu kini kesibukannya teralihkan pada koper di depannya. Biasanya setiap jadwal kegiatannya akan ia tulis di sebuah buku catatan kecil yang selalu dibawanya kemana-mana saat travelling, dan ia ingin menuliskan rencananya di notes itu sekarang.

"Lho kok.....?!"

Tapi betapa terejutnya Netta saat membuka isi koper itu. Senyum yang sejak tadi menghiasi bibirnya tiba-tiba hilang dengan cepat. Isinya dari koper itu sama sekali bukan barang-barang yang Netta persiapan semalam. Sangat jauh berbeda. Tak ada sepatunya, tak ada pakaian-pakaiannya, tak ada peralatan mandinya dan kameranya. Semua berubah! Koper yang berwarna sama dengan miliknya itu jelas bukan kopernya karena berisi pakaian cowok, beberapa foto hewan, dan sebuah buku tebal berisi diagnosa-diagnosa penyakit hewan.

Netta melempar buku tebal itu ke sembarang arah. Tubuhnya lemas, karena menyadari jika kopernya telah tertukar dengan milik orang lain. Pikirannya merangkum kejadian waktu di bandara tadi. Mungkin dia memang salah ambil koper waktu cepat-cepat naik taxi, dan tak taunya ada seseorang yang memiliki koper yang sama dengannya.

Tapi yang jadi masalahnya, siapa pemilik koper ini? dan bagaimana Netta bisa mendapatkan kopernya kembali?

Kisah TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang