Chapter twelve, Chatter

12 2 0
                                    

"Kau akan pergi?" Vale menanggalkan seragam kerja untuk menyambut jam makan siang, disaat yang bersamaan dia mendapati Tony keluar dari ruangannya dengan pakaian jas tiga potong dan rambut tergulung rapi.

"Aku mempunyai agenda di luar studio hari ini." dia menjelaskan seraya menarik kerah jas risih. "Ugh, aku benci pakaian seperti ini."

Vale tersenyum lemah, "Menuju rumah sakit?"

"Tidak ini bukan soal janin Taelin dan bukannya aku sudah mengingatkan untuk tidak membicarakan hal ini di tempat umum?"

Ya, ya, ya. Vale sudah bosan mendengar larangan tersebut. Entah kenapa kakaknya ini menolak untuk membagikan berita bahagia ini kepada siapapun.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Tony sekali lagi sesaat setelah dia mendapatkan gambaran jelas dari wajah adiknya.

Vale mendapatkan serangan flu tambah demam sepulang dari Yamawaro's, mungkin karena penghangat ruangan di kantor Tony belakangan ini bekerja kurang memuaskan atau memang imunnya mulai melemah. Alhasil hidung Vale memerah, juga mata membengkak, indra pengecap menghilang dan suhu tubuh meningkat.

"Ini hanya demam kecil." kilahnya cepat.

"Apa kau kuat bekerja?"

"Tentu saja, aku tidak semanja Leo."

Pria dengan rambut panjang itu terlihat memakan kebohongan Vale. "Baiklah, jangan memaksakan." dia melihat jam tangan sekilas. "Aku akan pergi bertemu Ibu dan Leo. Mungkin akan kembali pada jam lima sore. Kau boleh langsung mengunci studio dan pulang jika aku tidak kembali, oke?"

Vale hanya menganggukkan kepala, setengah menyimak.

Setelah Tony menghilang ditemani deru mesin mobil. Sang pemuda mulai menyelesaikan pekerjaan bagaikan tengah sleepwalking, menghindari tugas berat seperti menata bahan baku dan malah menghabiskan waktu dengan menggenggam tongkat sapu.

Beberapa pekerja lain sudah selesai membersihkan diri, menggangti pakaian dan siap pulang. Namun Vale masih bergelung dalam selimut di sofa kantor Tony.

Tubuh terasa terbakar bagaikan api unggun raksasa sedang membakar ruangan ini. Benih-benih keringat meluncur bebas membasahi wajah, seragam kerja sampai selimut pria tersebut. Vale tidak tahu apakah ini mimpi atau apa, tapi bibirnya terus meracau mengenai hal-hal acak, dia kesulitan berpikir jernih, kepala Vale hanya ingin fokus menyetabilkan suhu tubuh yang mana membuatnya menggigil hebat.

Ini hanya demam. Dia yakin jika tubuhnya tidak berhenti berkeringat, satu atau dua jam kemudian kondisnya akan membaik.

Waktu berlalu tanpa bisa lagi dibaca. Entah sekarang masih pukul enam sore atau jam sudah menuju tengah malam. Vale tidak ingat, pikirannya sudah dikuasi oleh mimpi demam hingga bunyi pintu depan terbanting kasar menjadi sebuah pengingat jika dia belum mengunci akses utama studio.

Ah, sial.

Jika itu pencuri, maka habislah sudah maha karya, uang, berkas penting dan kepercayaan Tony kepada adik pertamanya. Namun bila pengunjung disana ternyata sang pemilik studio, maka semakin larut masalah yang akan Vale dapatkan nanti.

Bagaimana tidak? Dengan Tony kembali menuju studio di luar jam kerja, sama saja dengan Tony mendapati fakta bahwa sang adik sudah mengubah kantornya menjadi motel dadakan selama seminggu belakangan ini.

Langkah tergesa-gesa terdengar mendekat. Terlalu cepat dan menderu untuk satu pasang kaki, Vale berani menebak jika tamu tak diundang ini tidak datang secara solo.

Sempurna.

"Vale?"

Eh?

Itu bukan suara asing. Mungkin otak Vale terlalu panas sampai mampu menciptakan ilusi audio.

Salvatore's Forbidden EcstasyWhere stories live. Discover now