"Jogja....." Alaric mengulang tulisan-tulisan besar yang baru di bacanya tadi.

"Iya, jadi aku mau menghabiskan waktuku di Jogja untuk beberapa hari." Jawab Netta penuh semangat.

"Bukannya kamu udah sering ke Jogja Ta?" balas Alaric

"Iya...sering....tapi aku terlalu jatuh cinta dengan kota itu sehingga aku ingin kembali ke sana lagi...lagi...dan lagi...."

"Ta, kamu tahu sendiri kan, kita udah berkomitmen. Kamu janji untuk....."

"Sebelum menikah!" potong Netta cepat, ia meremas jari Alaric yang berada di atas meja. Dia tahu bahwa merayu Alaric memang tak akan semudah itu, apalagi kini mereka hampir menikah. Tapi bukan berarti tidak akan bisa sama sekali.

"Aku Cuma pengen menikmati waktu travellingku dengan nyaman sebelum menikah Al. Sebelum aku sah jadi nyonya Alaric. Aku mohon ijinkan aku untuk menjadi diri aku sendiri. untuk terakhir kalinya....."

Alaric mengusap wajahnya frustasi. Bagaimanapun ia mencegah, entah dengan persetujuannya atau tidak, Netta pasti akan tetap berangkat. Kekasihnya itu terlalu keras kepala, apalagi untuk urusan semacam ini.

"Aku temenin ya?"

Netta menaikkan alisnya. Sejak kapan Alaric mendukung hobbinya dengan ikut travelling bersama atau ralat, sejak kapan Alaric punya waktu luang sehingga dia bisa menyempatkan waktunya untuk menemaninya menjelajah jogja?

"Kamu yakin mau nemenin aku tanpa dibuntuti dengan pekerjaanmu? Liburan dengan santai tanpa memikirkan saham atau meeting atau yang lain?"

Alaric tak menjawab.

"Al....." Netta menarik nafas panjang. "Aku Cuma pengen menjadi diri aku sendiri sebelum aku menikah. Menikmati liburan menyenangkan sebelum aku berubah status menjadi istri dan setelah aku resign." Dalihnya kemudian. "Terus dua bulan di rumah, aku harus ngapain coba?"

Alaric masih belum menjawab. ia tampak berfikir, kemudian mengangguk pelan. Mungkin memberikan kesempatan untuk Netta menghabiskan sisa lajangnya dengan liburan bukan ide yang buruk. Lagipula Netta juga sudah berjanji bukan?

"Oke. Kamu boleh berangkat." Katanya lirih. " Tapi dengan satu syarat."

"Apa?!" mata Netta berbinar.

" Harus angkat telepon aku!"

Seulas senyum terukir lebar di bibir Netta. Akhirnya rengekannya berhasil juga.

"Siap bos!" ia memberi hormat, memaksa bibir Alaric yang manyun itu tersenyum.

"Jadi kapan berangkat?"

"BESOK!"

******

"Ya bener sih kalau Alaric gak setuju. Dua bulan lagi kalian nikah, biasanya orang mau nikah itu dipingit dul. Kan pamali kalau calon manten keluyuran. Lah ini malah mau liburan ke Jogja. Apa sih yang kamu pikirkan Ta?" omel Anita—mama Netta panjang Lebar. Meskipun sambil ngomel, wanita separuh baya itu tetap mebantu putri bungsunya itu memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke dalam koper.

Netta tak menjawab, melirik Wangsa—papanya yang berdiri bersandar daun pintu, sedang Diani sang kakak tengah duduk sambil melihat TV. Meskipun pura-pura cuek, Netta tahu jika ibu satu anak itu sedang menguping.

"Mama, jaman sekarang nggak ada namanya pingit-pingitan. Ngalir gitu aja lah seperti biasanya. Ya enggak pa?" Netta mengedik papanya yang hanya senyam-senyum sendiri. dibandingkan mama, pemikiran papa lebih terbuka dan realistis.

"Bener....namanya mau melepas masa lajang. Ya harus dipuas-puasin main dulu lah, namanya hobbi." Jawab Wangsa santai. "Kamera jangan lupa Ta, sama tas P3K."

Netta tersenyum puas, setidaknya ada satu orang di rumah ini yang membelanya. Karena meski bagaimanapun, mama tetap akan membela Alaric karena dia adalah calon mantu idaman mama.

"Hobi sih hobi, tapi yang nggak begitu juga 'kan pa. Ini statusnya Netta itu udah tunangan orang lho, mau nikah!"

"Namanya juga hobi ma." Netta mengambil sepatunya di dalam lemari. "Kayak hobi mama yang bikin kue tapi nggak pernah jadi. Mama tahu kalau bakalan nggak ada yang makan. Tapi mama tetep buat 'kan, ya itu tadi karena mama hobi." Netta menaruh sepatunya di dalam koper, setelah sebelumnya memasukkannya ke dalam plastik bening.

"Ya bedalah, hobi mama 'kan tetep di dalem rumah. enggak keluyuran kayak kamu."

"Kayak Netta baru pergi sekali ini ma." Tukas Netta, matanya berkeliling ruangan kamarnya yang didominasi berbagai fotonya saat travelling di seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia. Ada Bromo, pulau Komodo, Labuan Bajo, Sabang, Paris, Turki dan banyak tempat lainnya.

"Mama ngikut Netta ajalah kalau khawatir." Diani yang sejak tadi diam angkat bicara. Bener kan kalau sebenarnya sejak tadi dia nguping.Diani adalah tipe kakak yang baik, mendukung apapun yang Netta lakukan seperti papa. "Anak mama Cuma jalan-jalan ke Jogja, kayak mau jadi astronot ke luar angkasa aja. Dulu Netta ke luar negeri sendiri aja mama gak masalah. Lah ini Cuma ke Jogja, beratnya minta ampun."

"Kamu malah bela adikmu." Protes mama. "Kayak kakamu ini lho Ta, dulu sebelum nikah bener-bener mau dipingit nggak kemana-mana."

"Itu karena diani terpaksa. Takut sama mama." Kikik Diani yang disambut dengan tawa Wangsa.

Anita berdecak sebal. "Oh jadi gitu ya kamu....."

"Ma!" potong Netta cepat bebarengan dengan tangannya menutup resleting koper. "Netta tahu setelah menikah hobi Netta hanya akan jadi kenangan karena Alaric nggak punya hobi yang sama kayak Netta. Netta akan jadi wanita sibuk. Ngurus anak, ngurus suami. Jadi Netta mohon, terlepas ini pamali atau bukan, mama ijinin Netta pergi."

Anita menghela nafas, menatap suaminya yang hanya mengedikkan bahu.

"Udahlah ma, jangan terlalu konservatif begitu. Kayak Netta anak rumahan aja. Jogja deket, nggak perlu khawatir." Kata Wangsa akhirnya, membesarkan hati istrinya.

***** 

Kisah TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang