BAB 1

149 3 0
                                    

Sudah beberapa kali Netta melirik arloji yang melingkar di pergelangannya, dengan sesekali menatap nyalang ke arah pintu cafe, memastikan bahwa seseorang yang ditunggunya sudah masuk lewat pintu itu dan menyapanya dari jauh dengan senyuman. Namun sudah lebih dari setengah jam ia duduk hingga espresso di depannya hampir habis, batang hidung orang itu belum juga nampak sama sekali. As usual!

Netta menghentakkan kakinya yang memakai heels sepuluh centi itu berkali-kali. selalu saja seperti ini! Seolah Netta bukan sesuatu yang berharga sehingga telat adalah prioritas utamanya. Seperti sebuah skenario film yang terus diputar dengan cerita yang sama dan memiliki ending yang bisa ditebak dengan mudah. Telat—minta maaf—besok diulangi lagi.

Benar dugaan Netta, sepuluh menit kemudian seeorang yang ia tunggu akhirnya muncul dari arah pintu cafe. Dengan jas lengkap dan langkah lebar-lebarnya karena memburu waktu. Dan seperti sebuah skenario film yang Netta katakan tadi, semenit lagi dia akan minta maaf dengan alasan yang sangat jelas Netta ketahui. Sangat jelas Netta hafal di luar kepala.

"Sorry...sorry sayang...tadi mendadak meeting."

Benar khan, alasan klasik yang disampaikan oleh Alaric Bastian—tunangannya itu tak akan jauh-jauh dari yang namanya sibuk karena pekerjaan.

"Iya...enggak apa-apa." meskipun omelan itu sudah menggantung di langit-langit mulutnya, tetap saja Netta tak bisa mengeluarkannya, dan jawaban 'iya' adalah senjata pamungkas untuk mencegah pertengkaran. Apalagi sore ini Netta ingin menyampaikan sesuatu yang penting pada Alaric. Sebuah ide briliant darinya, da mungkin sebuah ide gila menurut tunangannya itu.

Alaric tersenyum, mengecup lembut dahi Netta sebelum akhirnya menarik kursi di depan gadis itu lalu duduk di sana. Untuk beberapa saat Alaric hanya terdiam sambil memandangi wajah Netta yang cantik dengan rambut lurus sebahu itu. seorang gadis yang dipacarinya hampir lima tahun, dan dua bulan lagi akan sah menjadi istrinya.

"So, ada hal penting apa sampe sore ini kamu pengen ketemu sama aku?" tanya Alaric membuka percakapan.

Netta tak menyahut, ia hanya mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah brosur travelling yang sudah seminggu ini terparkir rapi di dalam tas cokelatnya.

"Ini....." dia menyerahkan selembar brosur yang masih terlipat rapi itu pada Alaric yang menerimanya dengan penuh pertanyaan.

Pria berkacamata itu langsung larut dengan brosur yang Netta berikan. Ia membacanya sekilas, dengan kening berkerut, jelas terlihat bahwa ia penasaran meskipun aslinya tahu apa yang Netta maksud dengan memberikannya buah brosur itu.

"Please...ijinin aku pergi." Kata Netta sebelum Alaric melepaskan pandangannya dari brosur itu.

"Ta." Alaric mengangkat dagunya lantas menaruh brosur itu begitu saja di atas meja.

Netta menahan nafas, sedikit kesal melihat brosur travelling yang selama seminggu ini dijaganya baik-baik di dalam tasnya, kini hanya teronggok tak berguna di meja cafeyang terbuat dari kayu tersebut.

"Ijinin aku pergi Al. Please....." ia mengatupkan kedua tangannya.

Alaric membuang nafas jengah. Netta adalah cewek penyuka travelling. Bahkan hobinya itu sudah dia lakukan sejak dulu, sebelum dia mengenal Alaric. Bahkan dulu, saat masih SMA dan Kuliah, gadis bertubuh langsing itu suka sekali naik gunung bersama temanp-temannya. Hanya saja saat Alaaric hadir dalam hidupnya dan memintanya untuk tak naik gunung karena banyak resiko (menurutnya), akhinya Netta mengalah dan hanya sekedar melakukan travelling biasa, berkeliling dari satu kota dan kota lain di Indonesia. Meskipun pada kenyataannya batinnya sering menjerit tak terima ketika teman-temannya membagi moment saat mendaki puncak Rinjani atau Merbabu.

Kisah TerakhirDonde viven las historias. Descúbrelo ahora