TIGA PULUH ENAM

100K 11.6K 1K
                                    

Emang mbak Wati keliatan banget kayak ✨pelakor✨ ya? serius nanya

~•~•~

Selesai makan malam bersama, kedua remaja berbeda kelamin itu berjalan berdampingan menuju ruang tengah untuk membicarakan soal permasalahan mereka. Berniat untuk meluruskan dan berbaikan. Masih seputar permasalahan mereka yang sudah sedikit membaik.

Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk berdampingan. Keadaan semula hening beberapa saat sebelum Gibran berdeham memulai percakapan. Menurutnya, keadaan jika dibikin lama hening, malah jadinya canggung.

"Ekhm, Al." panggil Gibran. Alana menoleh dengan mengerutkan dahi.

"Apa?"

Gibran meringis dalam hati. Bingung juga mau ngomong darimana dulu. Lalu, ia memilih untuk diam sejenak merangkai kata yang akan ia lontarkan pada Alana.

"Ngomong aja, nggak usah lama-lama. Badan gue mulai lemes, nih.." keluh Alana menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa.

Cowok itu berdecak mendengar keluhan gadis di sampingnya ini. "Udah tahu baru keluar rumah sakit, sok-sokan masak sama mandiin Raska. Cih.." decih Gibran. Tapi, menurut Alana Gibran itu sedang mengomeli dia.

Seketika Alana memandang Gibran sinis. "Gue tuh pengen beraktivitas, nggak dikamar terus. Lo nggak tau kan gimana rasanya tidur di ranjang dan cuma mainin hp? Bosen tau!" dengus Alana ikut berdecih.

Mereka langsung saling memandang dengan sinis dan bersedekap dada. Sepertinya pertengkaran dunia kesekian akan dimulai saat ini juga. Niat awal untuk membicarakan masalah agar cepat tuntas dan berbaikan. Tapi, ini malah menambah masalah.

Mereka masih sama-sama tidak bisa mengontrol emosi mereka hingga terjadilah seperti ini. Saling melempar tatapan permusuhan, saling mempertinggi gengsi dan juga, mempunyai ego yang amat besar. Hingga, mereka berdua tidak ada yang mau mengalah satu sama lain.

"Ya gue bener dong! Lo kan baru keluar dari rumah sakit dan belum boleh banyak aktivitas. Tapi kenapa lo malah masak dan malah mandiin Raska? Akibatnya tau sendiri kan?" Gibran memandang Alana remeh.

"Lo kenapa malah ngomelin gue terus sih, arghh!" kesal Alana mengacak-acak rambutnya frustasi.

Ini kenapa mereka malah berdebat un-faedah sih?

Alana pun kini mencoba menurunkan egonya untuk tidak emosi saat berbicara dengan makhluk menyebalkan sepesies seperti cowok di hadapannya ini. Ia tersenyum dengan paksa dan dengan wajah yang di anggun-anggunkan.

"Jadi... lo ngajak gue kesini mau ngomongin apa? sini cepet ngomong sama gue... jangan lama-lama ya, Gibran.." Alana tersenyum manis, namun kata-katanya penuh penekanan.

Kedua alis Gibran bertautan. Ia bingung dengan sikap Alana yang berubah. Tadi emosian, sekarang kenapa malah jadi lembut? Gibran tuh bingung sama cewek. Kenapa moodnya selalu tiba-tiba berubah? Kan dia sebagai cowok, susah buat pahaminnya.

Hembusan napas kasar keluar begitu saja dari mulut Gibran. Lalu, ia menatap Alana dengan intens membuat gadis itu meneguk salivanya susah payah dan juga... salting.

"L-lo kenapa natep gue gitu sih?" mata Alana kini sudah menatap ke sembarang arah. Tidak berani menatap manik mata Gibran yang sedang menatapnya dengan amat intens.

Senyum miring terbit dari sudut bibir kiri Gibran. "Emangnya kenapa kalau gue natep lo kayak gini?" tanyanya dengan santai. Matanya tak beralih dari wajah Alana.

Alana semakin salah tingkah hanya karena tatapan Gibran. Ia pun menghembuskan napasnya lalu mendorong wajah cowok itu agar berjauhan darinya dan tidak menatapnya lagi.

"Udahh, cepet ngomong!! Kalau nggak gue pergi nih!" ancamnya bersiap-siap untuk beranjak dari sofa.

Gibran semakin ingin gercar menggoda Alana. Tangannya terulur untuk menarik pinggang gadis itu hingga merapat kepadanya. Seketika, mata Alana langsung membulat sempurna saking terkejut melihat apa yang Gibran lakukan.

"Gibran! Lo apa-apaan sih! Singkirin nggak tangan lo!" mata Alana sudah melotot kearah Gibran.

"Nggak!" tolaknya dengan tangan yang semakin erat memegang pinggang Alana.

Napas Alana seketika tercekat dengan tubuh yang menegang. Tubuhnya dan tubuh Gibran tidak ada celah satu senti pun sekarang. Jantungnya terpacu dengan cepat dan juga keringat dingin sudah mulai bercucuran.

Gibran yang merasa tubuh Alana menegang hanya bisa menahan tawanya. Ia peka dengan keadaan Alana sekarang. Bisa ia lihat jika keringat bercucuran di pelipis gadis itu dan juga wajahnya sudah memerah, malu.

"G-gibran.. please, lepasin tangan lo dari pinggang gue..." mohon Alana dengan mata yang mengerjap dibuat selucu mungkin agar cowok itu luluh.

Dahi Gibran berkerut, "Kenapa sih emangnya?" suara Gibran kini juga dibuat berat membuat Alana semakin menegang.

Padahal jika Alana tahu, saat ini cowok itu sudah menahan tawanya agar tidak meledak hingga air wajahnya sudah memerah saking tak kuatnya. Tapi, demi gencar menggoda Alana. Gibran terus melancarkan aksinya.

"Gibran.... please yaa. Lepasin tangan lo dari pinggang gue." mohon Alana sekali lagi.

"Kenapa sih emang? gue cuma meluk pinggang lo doang, nggak sampai buat yang nggak-nggak sama lo.. tenang aja kali." sahut Gibran dengan nada santai.

Alana menghela napasnya kasar. Tangannya mencoba menjauhkan tangan Gibran dari pinggangnya. Sudah sekuat tenangnya ia menjauhkan tangan cowok itu, tapi nihil. Gibran malah semakin mempererat rangkulannya.

"Gibran please yaa.... jauhin tangan loooo.." gemas Alana.

Bukannya menjawab, Gibran malah menaikkan alisnya. Alana menggeram dengan tangan terkepal kuat menahan emosinya. Sudah cukup, ia sangat muak dengan semua ini. Tiba-tiba, ide cemerlang terlintas di otaknya membuat Alana tersenyum miring.

"Beneran lo nggak mau lepasin tangan lo dari pinggang gue?" tanya Alana melancarkan aksinya. Gibran menggeleng.

"Yaudah kalau nggak mau. Lo nggak boleh ketemu sama Ras–"

Belum sempat Alana melanjutkan ucapannya, Gibran sudah menjauhkan tangannya dengan cepat membuat gadis itu dapat bernapas lega. Ia bersorak dalam hati karena idenya berjalan dengan lancar.

Lalu dengan secepat kilat, ia berdiri dari duduknya bersedekap dada. Memandang Gibran remeh lalu menjulurkan lidahnya meledek Gibran. Cowok itu menggeram lalu menatap tajam Alana. Gadis itu tidak peduli, yang penting sekarang dirinya sudah terbebas dari cowok menyebalkan seperti Gibran ini.

"Main-main sama gue.." Alana mengibaskan rambutnya kebelakang dengan gaya angkuh.

Gibran semakin menggeram. Lalu cowok itu beranjak dari duduknya dengan tatapan tajam. Ia kembali tersenyum miring. Berjalan mendekat kearah Alana membuat gadis yang masih bergaya angkuh itu mengerjap pelan.

Semakin dekat Gibran melangkah, semakin cepat juga jantung Alana berdetak tak karuan seperti ingin keluar dari sangkarnya. Alana berjalan mundur menghindari langkah Gibran yang mendekat.

"Kenapa mundur? takut lo sama gue?" tanya Gibran dengan nada remeh.

Sekarang, suasana menjadi mencekam. Bahkan, Gibran seperti psychopath yang ingin memotong-motong tubuh mangsanya. Alana yang membayangkan itu saja bergidik ngeri. Apalagi kalau itu terjadi di dunia nyata? Oh, impressive.

"B-bran. Jangan mendekat!" kini Alan semakin panik saat dibelakangnya sudah tidak ada jalan lagi.

Ia sudah berada di depan tembok sekarang hingga tidak bisa bergerak kemana pun. Gibran semakin tersenyum miring. Padahal, dalam hati ia sudah tertawa ngakak sampai gulung-gulung.

Kini, kedua tangan Gibran sudah mengunci pergerakan Alana membuat gadis itu refleks menutup mata takut dan tangannya berada di depan dada. Menghalau agar Gibran tidak mendekat kearahnya.

Kedua alis Gibran bertautan, "Ken–"





"ASTAGFIRULLAH!"




••••••



Gue emang suka ngegantungin. hubungan aja sering gue gantungin, apalagi cuma cerita?

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang