04 : Makan Malam

Mulai dari awal
                                    

"Sudahlah, Jun. Kau masih menggunakan kemejamu. Nanti kemejamu rusak jika digulung seperti itu." Ujar Maria, dengan maksud menyuruh anaknya berhenti membantu setelah melihat Jun yang masih berpakaian kerja malah turun tangan di dapur untuk mencuci piring dan mangkuk. Namun Jun menulikan telinga. Ia tetap meringankan pekerjaan sang ibu dengan mencuci piring sementara Maria hanya tinggal menyimpan dan membungkus sebagian makanan yang masih tersisa. Untuk dibekalkan pada Saga dan Kristin.

"Ryo terlihat dekat sekali dengan Arash, Jun." tutur Maria dengan suara pelan. Jun menjawab dengan gumaman singkat.

"Tidakkah kau merasa mungkin saja dia adalah seseorang yang kita kenal?" Pertanyaan Maria membuat gerakan tangan Jun berhenti sejenak, tapi kemudian Jun melanjutkan kegiatannya kembali, yakni membilas piring.

"Dia memang orang yang kita kenal ..." Jun menghela napas panjang. " ... dia adalah teman yang mengantar Ryo ke rumah sakit. Iya kan?"

"Namanya Arash, Jun."

"Lalu?"

"Itu adalah nama yang ..."

"Sudah, Bu. Tidak usah dibahas." Sanggah Jun, menghentikan kalimat Maria. Wanita itu pun tidak berani melanjutkan ucapannya lagi, melihat anaknya yang terlihat tak berminat untuk membicarakannya.

Sesuai janji, Jun meluangkan waktu untuk mengantar Arash pulang. Sebenarnya Arash belum mau pulang, ia masih ingin bercerita banyak dengan Ryo. Apalagi, semakin lama bercakap, Arash bisa semakin santai berhadapan dengan idolanya. Ryo adalah orang yang jauh dari kata sombong. Ia memperlakukan Arash seperti teman, bukan penggemar atau sebatas rekan satu klub. Ryo membuat Arash merasa dekat dengannya. Ryo tidak sungkan untuk menceritakan tentang ayahnya yang merupakan seorang pengacara, dengan kantor yang dibangun tepat di samping rumah. Arash pun bersedia menjadi pendengar yang baik untuk Ryo. Hatinya sudah terlalu berbunga kala mendengarkan Ryo bercerita, hingga ia tak sempat lagi untuk menceritakan tentang dirinya sendiri.

"Kapan-kapan, bolehkah aku mengunjungimu rumahmu lagi, Kak?" tanya Arash di mobil, memecah suasana hening yang sempat tercipta karena mereka baru saja melewati terowongan.

"Eum .... boleh tidak ya, Yah?" goda Ryo, dibalas dengan senyum oleh Jun yang melirik mereka dari kaca spion tengah.

"Eum ... Ayah akan memikirkannya dulu." Balas Jun, ikut menggoda. Ia terkekeh bersama Ryo saat melihat wajah gugup Arash.

Ryo memukul lengan Arash pelan. "Tentu saja boleh. Kenapa tidak boleh? Memangnya harus pakai undangan tertulis baru boleh datang ke rumahku? Kau ini ..." ujar Ryo sambil tertawa ringan. Sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di area perumahan yang sepi.

"Itu ibuku, Paman!" seru Arash sambil menunjuk seorang wanita yang sedang berdiri di depan gerbang sebuah rumah. Jun mematikan lampu jauh, agar tidak mengganggu penglihatan wanita itu. Ia memarkirkan mobil di seberang rumah Arash agar tidak mengganggu pengendara lainnya. Arash dan Jun turun bersama, sementara Ryo menunggu di dalam mobil. Ia pikir sang ayah tidak akan lama.

Belum sempat Jun dan Arash sampai di depan gerbang, ibu Arash melangkah cepat hingga berhadapan tepat dengan Jun. Ia melayangkan sebuah tamparan keras dan memberikan bekas memerah pada pipi Jun.

"Ibu!"

"Ayah!"

Ryo berseru, serempak dengan Arash. Ryo keluar dari mobil, berlari kecil untuk kemudian berdiri di depan sang ayah. Menjadi tameng yang membuat ibu Arash bergerak mundur, tapi tidak memadamkan tatapan garangnya sedikit pun.

Arash memegang lengan sang ibu dengan kuat. "Apa yang Ibu lakukan sih?" protesnya, melirik takut pada Ryo dan Jun yang kini terdiam.

"Berani-beraninya kau membawa anakku pulang malam! Kau pikir kau itu siapa?" teriak ibu Arash, berapi-api. Arash berdecak, benar-benar kesal bercampur bingung dengan sikap ibunya yang tidak jelas sebabnya apa. Memang, ini mungkin dipicu oleh kesalahannya karena tidak mengabari sang ibu. Namun ia tidak pernah menyangka sang ibu bisa semarah ini hingga harus menampar seseorang.

"Maaf, Bibi. Bisakah Bibi memelankan suara? Dan tolong sekali, bicara dengan sopan." Tukas Ryo dengan berani. Semakin ibu Arash menatap penuh tantang pada Jun, semakin Ryo menegakkan punggung, siap melindungi ayahnya yang hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Jun bahkan hanya bisa menatap sendu pada wanita itu.

Pandangan ibu Arash beralih pada Ryo. Ia mengerjap setelah menatap wajah Ryo yang pucat, tapi mata Ryo sungguh tajam. Ibu Arash mengatur napasnya, kemudian kembali menatap Jun.

"Maaf, aku tidak bermaksud untuk membawa anakmu sembarangan. Itulah mengapa aku mengantarnya pulang sebelum terlalu larut." Jun menunduk, mengaku salah. Namun Ryo merasa tidak terima dengan perlakuan ibu Arash dan geram melihat ayahnya yang malah mengalah. Ryo ingin mengatakan sesuatu saat ia rasakan tangannya dipegang dari belakang oleh sang ayah. Ia menoleh, melihat sang ayah yang menggeleng samar. Memberi isyarat untuk menahan emosi. Ryo melemaskan bahu, menuruti permintaan sang ayah yang terbaca hanya lewat tatapan mata.

"Arash, kami pulang dulu. Selamat istirahat ..." Kalimat Jun menggantung. Ia menelan ludah dengan susah payah sambil menatap wanita di hadapannya. " ... maaf." Sambungnya.

Hati wanita itu berdenyut saat mendengar ucapan maaf itu. Namun ia tidak melembutkan tatapannya sampai Jun dan Ryo berbalik dan menjauh dari mereka.

"Kak ..." Arash melangkah cepat untuk menangkap lengan Ryo. Ryo berhenti sejenak, berbalik dan memandang Arash tanpa ekspresi. Arash menggigit bibir, lalu berkata, "Maaf."

Ryo tidak menjawab dan memalingkan wajah begitu saja. Ia melanjutkan langkah bersama sang ayah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mata Arash tidak terlepas dari mobil yang semakin menjauh. Meski tangannya sudah ditarik oleh sang ibu yang memaksanya untuk masuk, tapi Arash masih memberatkan tubuh hingga sang ibu terlihat seperti menyeret putranya. Tidak ada yang Arash pikirkan selain rasa bersalah dan satu hal yang ia bisa simpulkan. Tindakan sang ibu malam ini sudah menghancurkan pertemanan yang ia bangun dengan sang idola. 

To be continued

[Sourire]

Jadilah begini. Hehehe.

Love

Wella

17 Desember 2020

Repost

22 Juni 2021

SourireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang