Part 8

18.5K 473 6
                                    

Dalam kesendirian bersama sepi. Angin malam mulai bermain di tubuhnya membuatnya menggigil. Tetap bertahan dalam jongkoknya menakupkan kedua lengan di atas kepalanya yang semakin pening.

Tak lama berselang tubuhnya di angkat ke atas dan merasakan hangat.

Nara merengkuhnya erat dengan kedua lengannya. Membawanya dalam dekapan agar Dea merasa kehangatan. Dea diam tak bergerak ataupun membalas pelukannya.

"Lo sakit?" Bisiknya pelan saat merasakan panas tubuh Dea menjalar ke tubuhnya.

Dea menggeleng ragu. Namun kemudian mengangguk karena dia memang tak ingin berbohong saat ini. Tubuhnya memang aneh dan Dea berfikir bahwa dia memang sakit.

"Harusnya lo di rumah aja. Ngapain kesini?"

"Gue takut lo semakin marah sama gue." Bisiknya dengan suara serak.

Nara melepaskan pelukannya. Menggandeng Dea agar ikut masuk ke dalam. Rumah sama sepinya dengan suasana di luar. Hanya ada mereka berdua duduk di sofa dengan keheningan yang menyelimuti.

Dea menyandarkan kepalanya dibahu Nara, dan Nara hanya diam memandangi jemarinya yang menggenggam erat jemari Dea.

"Nara.."

"Hmm."

"Maaf."

"Apa yang terjadi?"

Dea diam. Tak sanggup menceritakan kejadian kemarin.

"Gue pengen tidur." Dea mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia belum bisa memberitahukan bahwa orang tua nya meninggal. Semua terlalu sulit dan sakit karena Dea pun belum merelakan kepergian mereka.

"Tidurlah." Bisiknya pelan.

Mengangkat lengannya, membawa Dea ke dadanya. Dea tampak lelah dan pucat. Jemarinya mengelus pelan rambut Dea membuatnya semakin mengantuk. Lama mereka terdiam. Dan entah kenapa Dea ingin mengatakannya. Alasan dia tak bisa datang menemuinya.

"Kata mereka, Bunda dan Ayah meninggal." Lirihnya pelan dalam kesadaran yang mulai menipis hingga akhirnya Dea tertidur.

Nara terdiam. Gerakan tangannya terhenti. Tindakannya membawa Dea masuk tak salah karena sesungguhnya hal yang membuat nya ingkar janji adalah maut. Tanpa sadar Nara memeluk erat tubuh Dea yang terlelap.

%%%%

%Nara%

Aku merasakan hal yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Beberapa hari lalu aku menyangkal tapi tetap saja jawaban dari setiap pertanyaanku sama. Bahwa aku tertarik padanya.

Ini gila. Karena bahkan kami baru saja bertemu dan pertemuan kami tak baik sama sekali. Aku menatapnya. Dia tidur di ranjangku, wajahnya pucat namun tetap terlihat cantik. Aku mendengar alasan dia tak datang kemarin. Bodohnya aku karena tak ada di sampingnya saat dia terpukul.

Sungguh melihatnya tak membuatku bosan sama sekali. Rambut pendeknya,  bibirnya, matanya, semuanya aku suka. 'Nara, Kau mulai gila. Sejak kapan lo naksir cewek? Rupanya lo normal.' Ah ya. Aku memang tak pernah tertarik pada mereka cewek cewek tapi entah kenapa aku melihatnya berbeda. Tingkah kekanakannya membuatku selalu ingin berada di dekatnya.

Aku merapihkan rambutnya yang menghalangi wajah cantiknya. Mengelus pipi cubby nya yang sumpah ini halus banget. Dan entah dorongan dari mana aku ingin mengecupnya. Aku mulai gila.

'Nara, dia tidur dan tak apalah menciumnya sedikit' plis Nara jangan dengarkan setan di hatimu. Tapi tetap saja aku mendekati wajahnya dan mencium tepat di bibirnya. Ga lama kok. Karena aku langsung beranjak dan melangkah pergi. Tanpa di sangka sama sekali Ibu berdiri di ambang pintu. Crap!

I'm (Not) Teaser #Laluna1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang