Thirty;F;I;V;E > Wonderland

Mulai dari awal
                                    

"Kamu tenang aja, Abang ijinin kok, asal kamu nggak boleh nakal di sana."

Aku menggigit bibir bawah cemas. Masalahnya bukan itu.

"Nunggu apa lagi?"

"A-a-a...." Bibirku terbuka bersiap mengatakan sesuatu, namun rasanya tenggorokanku tertahan untuk mengucapkannya.

"Abang pergi duluan ya, Abang harus cepet nyampe kampus. Jaga diri kamu di sana, jangan nakal, harus mandiri." Dia mengusap pucuk kepalaku, tersenyum manis lalu pergi beranjak meninggalkanku yang termenung di tempat.

"Aku nggak mau ikut, Bang...." Perkataanku keluar begitu saja tepat kala punggung Bang Heeseung menghilang dari pandangan.

Mengapa sangat sulit mengatakan itu saja?

"Apa?"

Aku tersentak kaget ketika sebuah suara muncul tepat di sebelahku. Kupicingkan mata, menatap Bang Sunghoon.

"Lo tuh bisa jangan dateng kayak setan?!"

Selalu saja begitu.

Dia hanya menatapku datar. "Cepetan mandi, kita harus pergi."

Aku menghela napas jengah. Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain. Jika aku mengatakan tidak ingin ikut, mereka akan curiga bahwa sebenarnya aku dikucilkan di kelas. Jangan sampai mereka tau. "Oke, tunggu bentar." Kubalikkan badan, bergegas pergi menuju kamar.

"Jangan lama."

"Ck, kalau nggak mau nunggu, duluan aja sana!"


••••••••••••••••••••••••••••••••••


Mataku menyipit, menghalau sinar matahari yang begitu menyilaukan pandangan.

Kini kami telah sampai di lapangan sekolah, puluhan bus telah terparkir, ratusan para siswa menunggu di tribun sembari berbincang random, ada yang berjoget, berdandan, atau terbahak bersama, intinya suasana terasa ramai.

"Gue mau ke osis." Bang Sunghoon menatapku. Aku ikut menatapnya, sinar matahari memaksaku untuk selalu menyipitkan mata.

"Ya udah, pergi aja, ngapain segala pamit?" Kubetulkan letak ransel yang melorot.

"Temen lo mana?" Dia celingukan.

"Ada. Di sana, intinya lo pergi aja."

Dia masih celingukan, mencari entah siapa, padahal sejujurnya aku tidak memiliki teman seorang-pun.

"Sana! Lo kan ketos, pasti sibuk." Kudorong dirinya agar segera beranjak pergi.

Dia kembali menatapku, menyorotku lekat.

"Apa? Udah buruan sana!"

Hingga akhirnya ia berlalu pergi setelah menyempatkan menatapku lagi.

Aku menghela napas sedih, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di antara ratusan orang. Lagi, aku sendirian.

Kupilin tali ransel, menunduk dalam, aku melangkah menuju tribun sepi, memilih menunggu di sana.

Saat aku berjalan, tak sengaja diriku menubruk seseorang.

"Ah, maaf." Tanpa melihatnya, aku kembali berjalan.

Namun lenganku tiba-tiba dicekal. Sontak tubuhku berbalik, menghadap orang itu. Aku mendongak.

"Shey, satu bus kuy." Tanpa aba-aba dia langsung merangkulku akrab, menyeretku menuju bus paling ujung berwarna hijau.

"Tu-tunggu! Lo siapa?" Aku berusaha melepaskan rangkulannya.

My Brothers | ENHYPEN✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang