Bab.38

1.5K 216 9
                                    

Aku Dito....

Apa kalian tahu rasanya menjadi berbeda? Berada di antara dua dunia, memilih menyendiri karena tidak ingin mengganggu keseimbangan alam. Aku seperti itu. Tidak ingin berada di dunia, tapi tidak mengerti bagaimana caranya untuk naik. Seperti ada tali yang mengikatku untuk tetap berada di tempatku sekarang. Tak peduli waktu berlalu, hari berganti, dan jaman yang berubah.

Aku tetap tinggal di rumah besar milik keluarga. Setiap hari hanya mengenang masa kecil yang abadi dalam ingatan. Tentang aroma bunga dari tubuh kanjeng ibu. Serbuk kayu dari pekarangan rumah, juga rumput basah karena hujan. Terkadang, meski tak bisa lagi membaui aroma, aku masih bisa mengenang wangi rempah dari masakan yang dibuat kangjeng ibu.

"Kita memang bangsawan, Le. Tapi, ingat harus tetap kerja keras. Kamu harus menuntut ilmu untuk mengetahui perkembangan dunia." Kanjeng ibu bertutur suatu hari. Saat kami sedang minum wedang jahe dengan jajan pasar.

Pola pikir Kanjeng Ibu memang berbeda dengan wanita bangsawan kebanyakan. Mereka lebih suka jika anak-anak mereka menjadi pejabat kadipaten atau keraton. Sedangkan Kanjeng Ibu menginginkan anaknya pintar berilmu. Itulah salah satu alasan yang membuatku begitu mengagumi sosoknya.

"Jauhi juga dua saudaramu, Le. Jauhi mereka, jangan membuat keributan dengan mereka. Bagaimana pun kalian bersaudara."

Aku sempat merasa marah waktu Kanjeng Ibu menegur tentang dua saudara tiriku. Sama sekali tidak ada niatan untuk mengusik mereka, justru mereka yang sering mengusikku.

"Kangjeng Ibu harus tahu, aku ndak ada niat sama sekali untuk merebut lahan dagang dari Kangmas Umbara. Aku itu hanya dagang untuk membantu teman."

"Ibu mengerti, tapi ndak sama mereka."

Dua kakak tiriku memang terkenal arogan dan pemarah. Sebenarnya, aku punya tiga saudara tiri tapi kakak perempuanku jarang berhubungan dengan keluargaku. Lebih banyak dua kakak laki-lakiku yang selalu mengganggu, Umbara dan Janaka. Mereka sebenarnya ingin menjadi pejabat, tapi entah kenapa suka sekali mengusikku.

Kanjeng ibu seorang yang sederhana. Beliau tidak suka bersolek dengan pakaian mewah seperti kebanyakan kaum ningrat. Kanjeng Ibu lebih suka menyimpan uang dan perhiasan untuk digunakan dalam pendidikanku.

Di usiku yang menginjak enam belas tahun, banyak lamaran pernikahan yang diterima dari para keluarga yang mempunyai anak perempuan. Jamanku dulu, anak perempuan dianggap cukup untuk menikah jika sudah datang bulan.

Tak kurang dari lima permintaan perjodohan yang ditolak oleh ibuku, karena aku mengatakan dengan terang-terangan belum ingin menikah.

"Anak perempuan seperti apa yang ingin kamu nikahi kelak, Le?" tanya kanjeng ibu suatu hari. Saat kami baru saja menolak rencana perjodohan dari keluarga seorang tumenggung.

Aku sempat terdiam, bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang kuinginkan dari diri seoarng perempuan. Terlebih lagi jika menajdi istriku kelak.

"Dito ingin perempuan seperti Kanjeng Ibu, baik rupa maupun sifat."

"Memangnya ada, Le? Kanjeng ibu hanya satu-satunya di dunia," seloroh kangjeng ibu.

Memang, diakui atau tidak. Kanjeng ibu memang satu-satunya perempuan terhebat dalam hidupku. Beliau yang rela mengorbankan nyawanya demi melindungi. Meski pada akhirnya, kami sama-sama terluka. Aku bersyukur beliau bisa naik, hingga tak perlu merasakan penderitaan seperti aku.

Hari-hariku berlalu dalam damai, hanya ditemani oleh Mbah Uti yang tertua, hingga tiga generasinya. Mereka adalah orang-orang berpikiran maju, dan sungguh suatu anugrah diberkahi kemampuan untuk bisa melihatku.

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang