Bab.13

2.8K 367 9
                                    

Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa tiba saatnya kami harus pulang kembali ke kota. Ada perasaan berat untuk meninggalkan rumah ini karena Mbah Uti dan terutama Dito. Selama beberapa hari yang tersisa, semenjak aku bisa melihat wujud Dito. Aku merasa dia begitu dekat. Berbicara dengannya bagaikan membuka buku lembaran sejarah, dia orang yang berpendidikan juga cerdas.

Rupanya, selama dia bergentanyangan di rumah ini, Dito selalu belajar. Itu kenapa dia bisa membaca ejaan baru seperti dia membaca ejaan lama. Aku salut, baru kali ini ada hantu rajin belajar.

"Nama panjangmu siapa?" Aku bertanya padanya karena penasaran.

Dito tersenyum, melayang dan berdiri di sampingku. Senja temaran, kami melihat tingkah genderuwo di pohon asem deng geli. Hantu satu itu Cuma tampangnya yang seram, tapi suka merengek seperti anak kecil. Terutama pada Mbah Uti.

"Rade Mas Pandito Jayaningrat."

"Dipanggil, Dito."

Dia mengangguk. Uhg, sebuah nama yang elegan dan itu memang cocok untuknya. Kami berbicara dan bertukar pikiran tentang perkembangan jaman dan hal-hal yang berkaitan dengan duniawi. Sementara kami asyik berdiskusi, Mbah Uti dan Rika berjalan keliling kampung untuk menyapa para kerabat.

"Ini namanya facebook?" Aku memperlihatkan ponselku padanya suatu malam.

"Apakah semua orang bisa saling memanggil di sana? Dan bertukar foto? Kenapa ada yang marah-marah?" Dito terlihat bingung dengan timeline facebook. Aku tertawa mendengar gerutuannya.

Ada banyak hal yang tidak dia mengerti, tentang bagaimana internet bekerja juga hal lainnya.

"Mya, besok kalian pulang bukan?" Suara mbah Uti memecah konsentrasi kami dalam mendalami facebook.

"Iya mbah." Aku mendongka dari kayar ponsel.

"Ini kau bawa buku ini, baca saat kau sudah di kereta." Mbah Uti menyerahkan sebuah buku tua yang sudah menguning. Aku menerimanya dengan hati-hati, sambil berpandangan dengan Dito.

"Buku apa ini, Mbah?"

Mbak Uti tersenyum,"Kamu baca saja, biar kamu mengerti."

Aku mengangguk dan tidak bertanya lebih lanjut lalu meletakan buku di pangkuan. Sementara Dito nengacungkan dua jempolnya padaku. Dia terlihat senang aku menerima buku ini.

"Mya, Mbah Uti berpesan. Suatu saat jika ada orang datang mengantarkan payung tua itu artinya Mbah Uti sudah tiada."

Ucapan Mbah Uti bagaikan sambaran petir untukku. "Apa?"

"Kenapa Eyang ngomong gitu, sih?" Rika mendadak muncul dari kamar dan memeluk mbah Uti dari belakang.

"Anak bodoh, semua manusia pasti mati pada akhirnya, eyang juga begitu." Mbah Uti tersenyum sayang pada Rika, tampak bahagia di balik wajahnya yang penuh kerutan.

Aku membelai buku di pangkuanku, merasakan sampulnya yang kasar di ujung jemari.

"Hati-hati selama tinggal di kota, jika banyak menemui makluk tidak baik sebaiknya jauh-jauh." Dito menasehatiku, entah kapan dia bergerak aku tidak tahu. Sekarang dia duduk di sampingku. Aku mengangguk samar mendengar nasihatnya.

"Jika mereka keterlaluan, musnahkan dengan kayu cendana. Paham Mya? Jangan sampai kau celaka," tegasnya sekali lagi. Nada suaranya yang kuatir membuat hatiku tersentuh.

"Iya paham, nggak usah kuatir. Aku orangnya nggak suka ikut campur urusan orang lain," ujarku meyakinkannya.

"Huh? Elo, nggak suka ikut campur urusan orang lain?" Rika mendengkus tidak percaya, aku mendelik padanya.

Mbah Uti menepuk punggung Rika. "Kamu juga hati-hati Rika, bantulah Mya jika terjadi apa-apa. Ingat dengan tasbih yang eyang kasih?"

"Iya Eyang," sahur Rika." kalau Mya ada masalah, celupkan tasbih ke dalam air lalu percikan ke arah mana saja yang kira-kira ada bahaya mengancam."

"Betul, anak manis." Pujian dari Mbah Uti membuat Rika menggelayut manja pada eyangnya. Aku terharu melihat kebahagiaan mereka.

Malam itu kami berempat tidak tidur, berbicara apa saja di ruang keluarga. Aku memergoki Dito tak henti menatapku dengan kuatir. Aku berusaha selalu tertawa untuk membuatnya yakin, bahwa kami akan baik-baik saja.

Siang hari kami berpamitan pada Mbah Uti dan Dito. Rika menangis, begitupula Mbah Uti yang memeluk kami dengan erat. Santi sang pengantin baru datang dengan suaminya, seorang pria muda yang sangat sopan dan berwajah ramah, bernama Mas Damar. Dia menawarkan mobilnya untuk mengantar kami ke stasiun kereta. Untuk terkahir kalinya aku memandang Dito, berusaha mengelus lengannya namun aku tahu itu sia-sia. Dito tersenyum manis melambai padaku, itulah hal terakhir yang aku lihat tentangnya. Sebelum pandanganku kabur karena air mata.

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang