Bab.7

3.2K 397 6
                                    

Sore menjelang ketika kami meninggalkan rumah Santi, masih dengan abang becak yang sama. Pelan-pelan becak menyusuri jalanan yang diapit sawah yang mulai sepi karena kebanyakan para petani sudah meninggalkan tempat kerja mereka.

"Wah, adem banget ya cuacanya?" Rika berseri-seri menatap kehijauan di kanan kiri jalan.

"Iyaa, nyaman. Sayang matahari masih agak menyengat tapi setidaknya angin bertiup membuat segar." Aku menarik napas panjang, mengisi paru-paruku dengan udara yang sejuk.

"Eh Mya, lo pakai parfum ya? Kok wangi amat?"Rika mengendus bajuku, aku mendecakkan lidah dan memegang kepalanya.

"Kagaklah, gue main di bawah pohon bunga tanjung. Itu yang bikin wangi."

"Oh, kirain! Tapi asli segar." Aku tersenyum dan mengirup wangi samar dari tubuhku. Tangan kanan menggenggam payung yang terkembang di depanku. Senja memang mulai datang menghampiri namum panas matahari masih lumayan bikin silau.

Tiba-tiba entah datang dari mana, dari balik pohon turi yang tumbuh lebat di sisi kanan jalan datang segerombolan pemuda menghadang kami. Mataku menghitung cepat, ada delapan pemuda yang kelihatannya urakan. Jantungku berdetak tak karuan, Rika merintih ketakutan dan menggenggam tanganku.

"Mereka siapa Mya?" Dia berbisik di telingaku.

"Entahlah, mudah-mudahan nggak ada maksud buruk."

"Bapak kenal mereka?" Aku bertanya pada tukang becak di belakangku.

"Nggak neng, bapak juga baru pertama lihat ini." Dari suaranya kedengar si tukang becak juga ketakutan.

"Mati deh!" Aku mengumpat pelan.

Becak berhenti. Mereka berjalan pelan menuju kami, terdengar tawa keras dan mengucapkan kata-kata kurang ajar serta mesum.

"Ah, para gadis manis. Mau kemana kalian?"

"Bolehlah berhenti sebentar, kita kenalan?"

Aku memberi kode pada Rika untuk turun dari becak. Dia mengangguk, kuembuskan napas berat dan berbisik pelan, "Maaf Dito." Lalu kututup payung di tanganku.

"Siapa pun kalian, sebaiknya cepat menyingkir. Sudah sore, kami ingin cepat pulang." Aku berkata tegas ke arah mereka. Namun hanya disahut dengan tawa yang semakin keras.

"Hahaha ... manisnya dia ngomong!"

"Kalian dengar? Sudah sore, takut telat!"

"Kalian pikir kami peduli tidak? Ayo sini mendekat gadis cantik, kita bersenang-senang sebentar." Salah seorang dari mereka dengan rambut kucai, menertawakan kami paling keras.

Mereka berjalan makin mendekat, dengan wajah beringas. Sepertinya sedang mabuk alkohol atau apa karena mata mereka terlihat merah dan tercium aroma memuakkan dari tubuh mereka.

"Ah sial. Ini bakalan susah Rika. Ingat jangan panik!" Rika mengangguk paham, kami berdiri agak berdekatan dan mulai memasang kuda-kuda. "Bapak minggir dulu ya?" Aku memberi perintah pada tukang becak yang gemetar ketakutan.

Tanpa melihat apakah perintahku dipatuhi atau tidak, aku dan Rika menyongsong datangnya serangan. Tubuh kami berdekatan, saling melindungi.

"Wah, lihat kedua gadis ini. Memasang kuda-kuda, mau menghajar kita, Cantik?" Seorang pemuda dengan badan gempal dan rambut awut-awutan mengulurkan tangannya untuk menyentuhku. "Menjijikan."

"Rika, sekarang!" Aku berteriak.

Rika menerjang orang terdekat dan membuatnya terjengkang.

"Aduh, sial!" Mereka mulai marah.

Menggunakan seluruh tenaga, aku mulai memukul dan menendang siapun yang mendekat. Rika juga melakukan hal yang sama, aku mendengar teriakannya di sela tendangan dan pukulan yang kami lancarkan.

"Wah, ternyata mereka berdua bisa bela diri." Salah satu dari mereka berteriak.

"Jadi? Bisa kalian mundur? Tidak menganggu kami?" ucapku sambil menegakkan tubuh dan mengatur napas. Memandang mereka yang mengelilingi kami dengan beringas. Terlihat beberapa orang diantaranya tersungkur di tanah. Bisa di bilang pertempuran berjalan tidak seimbang.

"Ah, cewek karate ternyata." Akhirnya ada yang menyadari kami bisa karate.

"Jangan sombong kamu!" Secara serempak, mereka menyerang lebih ganas kearah kami. Dengan memegang payung di tangan kananku aku masih berusaha menangkis serangan.

"Ugh!" Damn, aku terkena pukulan di perut.

"Mya!" Rika menjerit takut.

"Gue nggak apa-apa, fokus jaga diri lo." Aku dan Rika memang pernah belajar karate, namun ternyata kami tidak cukup seimbang untuk menghadapi mereka yang entah bagaimana bertambah banyak. Aku mulai kelelahan dan kurasakan Rika juga sama. Napas kami nyaris habis.

Saat kami terdesak dan kelelahan, tidak tahu harus bagaimana, tiba-tiba angin kencang datang menerpa. Payung di tangan kananku mengembang dengan sendirinya, dan aku merasakannya. Seperti seseorang menggenggam tanganku dengan hangat. Bagai robot tanganku bergerak dengan sendirinya. Mengembang dan menguncup, payung di gengamanku membantu menggebuk mereka.

"Sial, payung apa ini," teriak mereka ketakutan.

"Aduh, tanganku panas." Mereka berteriak, karena tiap kali payung menyentuh kulit mereka, akan menimbulkan rasa panas yang luar biasa.

Dengan angin kencang mengelilingi kami serta pukulan payung yang menyebabkan kulit melepuh. Akhirnya mereka menyerah dan mulai berlari pergi meninggalkan kami. Aku menatap kepergian mereka dengan kelegaan luar biasa, gengaman di tanganku mulai mengendur sampai akhirnya hilang sama sekali.

"Terima kasih Dito." Aku berbisik lirih.

"Kamu hebat Mya." Rika berteriak di sampingku. Aku menunjuk payung di tanganku dan Rika mengangguk mengerti.

"Terima kasih Den Mas Dito." Dia berkata centil, seakan ada orang di sampingnya.

Tukang becak yang masih gemetaran karena mengantarkan kami pulang. Dia meminta maaf sepanjang jalan akhirnya menjelang malam kami sampai rumah.

Di depan pintu telah menunggu mbah Uti yang entah kenapa terlihat sangat marah dan kuatir.

"Lihat apa yang terjadi Den Mas? Kalau begini siapa yang harus di salahkan.?" Tanpa memahami apa maksud mbah Uti, aku merasakan payung di tanganku mendadak panas.

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang