Bab 36

1.7K 275 34
                                    

Kami terdiam, dengan tangan Kenan menggenggam erat tanganku. Sia-sia aku kibaskan, dia tetap menggenggamku erat. Sementara Dito, berdiri melayang di depanku. Wajahnya menyiratkan ketenangan yang aneh. Dia pasti merasa kesal juga tapi ditahan. Samar-samar aku mencium aroma dupa, atau sesuatu yang wangi memabukkan. Entah apa itu, terasa asing di penciuman.

Mataku terpancang pada Rika dan Darki yang terikat di ujung ruangan.

Sementara Andika berdiri pongah. Aku mendengkus marah, menolak kenyataan jika aku dulu pernah menyukai laki-laki sepertinya. Tapi, jika diingat lagi, Andika yang dulu memang beda serratus persen dengan sosoknya yang sekarang. Dulu, dia begitu tampan dan penuh cinta, sebelum akhirnya menyerah pada perjodohan orang tua-nya dan meninggalkanku. Whatever, itu masa lalu. Sekarang masa depanku ada Dito. Ironis memang, patah hati dengan manusia lalu jatuh cinta dengan hantu.
Pikiranku teralihkan saat Nenek Peyot itu melempar sesuatu ke arah Rika dan membuat sahabatku menjerit kencang. Aku menggeram, siap-siap melompat untuk menyerang saat terdengar bisikan di sampingku.

"Kak, tahan amarah," bisik Kenan cukup jelas untuk kudengar "Yang diikat itu temanmu, bukan?"

Aku mengangguk samar. Merasakan gejolak amarah dalam dada.

"Kalau begitu, kita harus tenang. Jangan sampai bikin mereka terluka."

"Kamu nggak lihat dia menjerit?" ucapku kaku.

Kenan mengangguk. "Takutnya, itu hanya pancingan untukmu!"

"Lalu, kamu mau aku bagaimana? Membirkan merewka mati disiksa?"

"Nggak, Kak. Please, kita akan tolong mereka. Jangan terpancing emosi. Kak Dito pasti nggak akan biarkan mereka terluka?"

Permohonan Kenan membuatku terdiam. Dito pun sepertinya merasakan hal yang sama, amarah atau bisa jadi benci, aku nggak tahu. Karena kini kulihat seperti ada asap putih tipis keluar dari kepalan tangannya. Selalu seperti ini, dia berdiri paling depan membela kami.

Rupanya, Andika melihat kedekatanku dengan Kenan, karena aku mendengar dia berteriak marah. "Wah-wah, setelah dengan hantu, rupanya kamu menggantikanku dengan bocah itu, Mya?" Teriakannya menggelegar di seantero ruangan.

Aku tersenyum kecil, menarik tangan Kenan yang menggenggamku dan kuacungkan ke depan tubuh. "Lebih baik aku bersama Dito, yang hanya berupa hantu. Atau bersama bocah ini, dari pada harus bersamamu!"

Entah apa yang salah dengan kata-kataku, sekarang setiap mata memandangku. Bahkan Dito membalikkan tubuh dan menatapku dengan sorot yang aneh. Lalu, kulirik Kenan dan bocah itu pun membatu. Eih, aku salah ngomong apa,sih?

Aku cuma ingin membalas perkataan Andika, nggak ada maksud lain.

"Aku tahu kamu datang untuk apa, Mya!" Lagi-lagi mantan pacarku bicara.

"Sayangnya, tak semudah itu bisa kamu dapatkan."

Andika melangkah mendekat, aku mendengkus dan bersiap. Tekanan Kenan di tanganku makin kuat. Aku tahu, dia pasti merasa kuatir.

"Kamu ingin menyelidiki hubungan buyutku dengan pacar hantumu, bukan?"

Ah, ternyata nenek sihir jahat itu buyutnya? Pantas aja mereka satu keluarga jahat semua. Aku menengkan kepala, memandang pada Andika yang makin mendekat. Entah kenapa aku dulu bisa suka padanya. Rasanya, perasaan lama yang tercipta dulu, kini musnah.

"Iya memang, apa yang kalaian sembunyikan di rumah ini!" Aku menjawab keras.

"Nggak ada Mya, kalau kamu ingin tahu ada apa? Serahkan hantu itu, biarkan dia jadi peliharaan Buyutku."

Apa dia bilang? Mau menjadikan Dito sebagai peliharaan? Dasar manusia-manusia laknat.

"Pantas kalau kalisn jahat semua, cucu dan buyut, nggak ada beda!" semburku geram.

"Kurang ajar!" Tak lama terjadi kegemparan saat sang nenek mengacungkan tongkat ke arahku, secarik sinar biru menyorot ke arahku. Belum sampai mengenai tubuh, Dito datang menghadang dan sinar itu masuk ke dalam tubuhnya. Lalu, dia terduduk di lantai.

"Ditoo!" Aku berteriak keras. Dan menepiskan tangan Kenan, berlari menghampiri kekasihku.

"Tenang, Mya. Aku ndak apa-apa." Dito bangkit perlahan. Dengan gemetar aku berusaha meraihnya. Merasakan tusukan kesedihan karena dia yang selalu menyelamatkanku.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku kuatir.

Dito menegakkan tubuh dan mengangguk. "Aku baik, tenang. Jaga dirimu sendiri, jangan sampai lengah."
Belum sempat aku menjawab, lagi-lagi terdengar teriakan, kali ini Si Nenek itu yang bicara.

"Wah-wah, cinta sejati rupanya. Menarik, luar biasa menarik. Hahaha." Nenek itu tertawa keras. Rambutnya digelung, dengan satu tusuk konde dia pakai. Pakaiannya berupa kain yang dibebat di tubuh bagian bawah dan sejenis kebaya hitam. Sekilas, aku melihat nenek itu bagaikan bayangan kabur dari masa lalu. Aku mendesah, merasakan tusukan kebencian teramat sangat. Hal yang tak pernah kurasakan pada orang tua sebelumnya. Meski sama-sama tua seperti Mbah Uti tapi sikap dan sifat mereka berbeda.

"Andika, apa maumu sebenarnya?" tanyaku keras.

Andika mengangkat bahu. "Nggak ada, sebenarnya aku hanya ingin kembali bersamamu Mya. Tapi rupanya, Buyutku ingin yang lain."

"Kamu pikir aku mau kembali padaku? Nggak sudiii! Lebih baik aku mati dari pada harus menjadi bagian dari kejahatan kalian!"

Saat aku mengucapkan kata-kata itu, aku sudah menduga apa yang akan terjadi. Andika merengsek maju sambil menghunus benda tajam. Tak lama, beberapa orang ikut maju bersamanya. Aku ngacungkan tongkat, menguatkan tekad. Karena tahu, ini adalah petempuran hidup dan mati.

"Kak, biar aku yang hadapi laki-laki itu." Kenan menepuk punggungku dan dia juga bersiap.

Aku melirik Dito yang masih berdiri tenang. Seakan membaca kegalauanku, dia melirik dan berucap pelan.

"Mya, Sayang. Apa pernah kukatakan sebelumnya kalau aku mencintamu? Teramat sangat mencintaimu? Bahkan melebihi apa yang aku punya di dunia ini?"

"Apa?" Aku terbeliak. "Dito, ada apa?"

Dito meraba kepalaku, tersenyum samar. "Aku bahkan rela menukar keberadaanku di dunia ini, demi kamu."

Aku menggeleng, tanpa terasa air mata jatuh ke pipi. Nggak, aku nggak suka pernyataan cinta seperti ini. Ada banyak kesedihan di dalamnya. Aku nggak suka Dito yang begini, seakan-akan mengucapkan kata perpisahan.

"Di-dito, aku rela menua sendiri demi kamu. Asalkan kamu jangan pergi." Aku berucap dengan air mata terburai.

Dito tersenyum kecil. "Aku ndak akan ke mana-mana, ada di hatimu, Mya."

Selanjutnya, kata-kata Dito bagaikan gaung di otakku. Aku masih menatapnya sambil berurai air mata. Tak menyadari lawan yang makin mendekat. Aku menoleh saat melihat Dito tiba-tiba berterika sambil mendorongku ke samping.

"Awas, Myaa!"

Aku hampir terjungkal, kutopang tubuh dengan satu tangan dan menatap kaget saat Dito bergerak memutar di udara. Ada semacam cahaya biru yang berusaha membelitnya. Suara senjata beradu menyadarkanku. Rupanya pertempuran di mulai dan Kenan seorang diri menghadapi para penjaga Andika. Mengacungkan tongkat aku berteriak marah.

"Mati, kalian semuaaa!"

Aku tidak tahu siapa yang aku lawan, merengsek maju aku menyabet siapa pun yang terdekat dengaku. Kucabut bilah pisau panjang di pinggang dan menggunakannya untuk menyerang. Aku beradu punggung dengan Kenan dan kami berdua, diserang membabi-buta.
Semoga saja, kami bisa melewati ini dengan selamat. Saat itulah, kulihat tubuh Dito tertarik ke bawah dan jatuh ke hingga menimbulkan keretakan di lantai.

"Ditooo!"

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang