Bab.15

2.7K 324 5
                                    

"Rika, kita ke jalan ke arah restorasi. Aku rasa bakalan ada petugas di sana untuk mencari informasi." Rika mengangguk, dia menggandeng lenganku dan kami berjalan ke arah restorasi yang entah terletak di gerbong mana.

"Restorasi ada di gerbong sepuluh." Titi menjawab pertanyaan dalam benakku. Dia menempelkan telunjuknya pada bajuku, seperti berpegangan agar tidak jatuh.

"Kenapa lo harus gitu?"

"Entahlah, sepertinya kalau pegangan sama kamu aku bisa kemana saja, Cin." Aku mengganguk, membiarkan dia memegang ujung bajuku.

Kami berjalan pelan melintasi lorong jalanan dari satu gerbong ke gerbong lain. Restorasi terletak agak jauh dari sini. Kadang rel yang tidak stabil membuat langkah kami goyah. Rika sepertinya menikmati perjalanan ini karena setiap melihat cowok duduk sendirian dia tersenyum atau mengedipkan mata. Uh, dasar genit.

"Apaan nih, masa makanan kayak gini aja harganya selangit?" Terdengar suara pertengkaran dari dalam gerbong di depan kami.

"Kalau kamu nggak mau bayar, jangan makan di restorasi. Dasar, kere!" Sepertinya dua orang laki-laki tengah bertikai, aku berpandangan mata dengan dengan Rika.

"Apa, kamu bilang aku kere?" Rika membuka pintu gerbong di mana suara keributan berasal. Tampak di hadapan kami seorang petugas restorasi tengah bertikai dengan penumpang. Meributkan harga makanan sepertinya karena aku melihat ada bungkus mie istan seduh di tangan penumpang.

"Iya, lo kere makanya mie doang kagak sanggup bayar!"

"Dasar sialan!"Laki-laki itu menerjang petugas restorasi di depannya, memukul sekuat tenaga. Tidak banyak orang di dalam gerbong, hanya beberapa penumpang perempuan yang buru-buru meninggalkan gerbong karena takut.

"Sudah Jamil, berhenti!" Seorang petugas kereta, bapak tua mencoba melerai. Nyaris mendapatkan pukulan nyasar jika tidak di tahan oleh Jamil.

Aku tersentak, melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sesosok makluk menyeramkan nampak mencengkeram leher penumpang yang marah. Makluk itu luar biasa jelek mengerikan, rambut awut-awutan, wajah putih pucat dan taring nampak dari giginya yang menyeringai. Ada semacam luka memanjang dari pelipis sampai dagunya, tepat membelah tengah kepala. Fix, jika lihat setan ini Rika pasti terbirit-birit ketakutan. Jadi begini kalau ada setan mempengaruhi manusia? Aku baru tahu. Dengan pelan aku mencabut tongkat cendana dari saku belakang celana dan berbisik pada Rika.

"Rika, lo mundur!" Rika serta merta mundur lima langkah.

" Titi, apa lo kenal hantu itu?"

"Dia penguasa Cin, jahat sekali," Titi berbisik ketakutan.

Aku menggangguk, "Rika, bawa tasbih?"

"Nggak, gue ambil dulu." Tanpa banyak tanya Rika berbalik dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan kami.

Aku menatap setan di depanku sambil menarik napas panjang."Oi setan jelek, turun lo!" Aku berteriak pada setan jelek awut-awutan yang bergelayut pada pundak penumpang yang mengamuk.

Sekarang ada dua petugas lain yang berusaha meleraikan perkelahian. Entah kenapa aku memanggilnya setan bukan hantu.

Teriakanku membuatnya menoleh, seringai jelek dan menjijikan terbingkai di wajahnya yang bercodet. Dia meloncat turun dan membiarkan perkelahian di depannya.

"Wah, si banci ini punya teman ternyata. Lumayan cantik juga." Suaranya bergaung membuat telinga sakit.

"Jelek, lo tinggalin penumpang itu!" Aku mengacungkan tongkat cendana padanya, kulihat dia meringis sejenak namun tidak berjengit.

"Jangan main-main gadis kecil, kamu pikir aku takut? Jika dilihat kamu belum lama memegang kayu itu, berarti belum menguasai ilmu." Dia tertawa menakutkan, membuat bulu kudukku merinding. Oh sial! ini pasti nggak akan mudah.

"Titi, lo nggak bisa bantu gue?" bisikku pada hantu banci yang mengkerut di pojokan.

"Nggak bisa, Cin. Dia terlalu kuat untukku, kalau aku melawannya dan kalah, kesempatanku untuk 'naik', hilang." Uh, tidak kuduga akan rumit begini. Aku menyuruh Titi mundur, sementara perkelahian antar penumpang dan petugas masih berlangsung.

Tanpa aba-aba dan hanya mengandalkan insting aku mengayunkan tongkat ke arah setan jelek di depanku. Dia berkelit tepat waktu, aku meloncat dari lantai ke arah kursi untuk mengejarnya. Satu sabetan mengenai kakinya, membuatnya marah. Dia mengayunkan kakinya dan mengenai bahuku, terasa nyeri luar biasa.

Dia turun persis dua jengkal di depanku."Kamu berani melukaiku, cari mati kamu gadis kecil!"

Tanpa disangka dia menyerangku, tangannya terulur mengeluarkan asap berbau busuk. Aku menutup hidung, merasa sesak dan berusaha mengindari tangannya yang menggapai. Aduh, bagaimana ini. Jika napas sesak bagaimana aku mengalahkannya? Masa aku mati di dalam gerbong ini hanya karena setan?

Aku angkat leher baju menutupi mulut, berucap 'Basmalah' dan mengayunkan tongkatku sekali lagi. Dengan gerakan memutar cepat seakan sedang memutar baling-baling. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, hanya saja terasa ada angin keluar dari putaran tongkatku dan perlahan-lahan asap tersibak. Setan di depanku terkaget ketika melihatku muncul dari dalam asap, tanpa basa-basi aku menerjangnya. Dia terjungkal karena bersentuhan dengan tongkat. Saat dia tergeletak tak berdaya aku menusuk tubuhnya dengan tongkat. Terdengar jerit kesakitan samar, tubuhnya menghilang bersama asap.

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang