Bab.29

2.4K 326 8
                                    

Kembalinya Andika, kiriman santet dan banyak hal yang terjadi bersamaan, dalam waktu dekat membuatku berpikir. Ada apa gerangan? Memang, belum tentu ada hubungan satu sama lain, tetap saja, tak urung aku curiga. Jika ditelisik lebih dalam, Andika bukan orang yang percaya hal gaib seperti hantu atau santet. Tapi, nggak ada salahnya berjaga-jaga bukan? Siapa tahu saja itu berkaitan. Huft, kenapa aku jadi suudzhon gini, sih? Soalnya tak ada orang lain yang aku curigai selain dia.

"Apa kamu membawa kayu cendana?" tanya Dito, pagi itu. Sewaktu kami bersiap-siap meninggalkan rumah untuk bekerja.

"Kenapa harus bawa?" tanyaku balik.

Dito mendekat, dari semula berada di ambang pintu kini masuk ke kamarku. "Aku merasa ada sesuatu yang jahat sedang mengincar penghuni rumah ini. Bisa jadi kamu, Rika atau Darki. Siapa pun itu, kita wajib berjaga-jaga."

Ah, jadi itu. Kekuatiran Dito terkait santet kemarin malam. Rupanya, bukan hanya aku saja yang merasa takut. Hantu tampan di sampingku pun sama. Jika kutanya, pasti Rika dan Darki sama ketakutannya seperti aku.

"Baiklah, aku akan bawa tongkat. Apa itu bisa membantuku? Menangkal santet dan sihir?"

Dito mengangguk. "Bisa, setidaknya untuk ukuran santet yang ndak terlalu ganas. Sebenarnya, kamu lebih aman dibanding Rika dan Darki."

"Kenapa?"

Dito mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wait, ada apa dia? Bikin gugup saja.

"Karena ada aku."

Aku tersenyum, bisa jadi tersipu-sipu. Sepertinya yang dia katakan ada benarnya. Selama ada dia, aku akan baik-baik saja.

"Manis sekali kamu," godaku sambil mengedipkan sebelah mata. "lalu, Rika dan Darki?"

"Mereka baik-baik saja, selama Rika membawa tasbih. Darki sendiri, dengan kemampuannya yang bisa mencium keberadaan roh, aku rasa bisa menjaga dirinya dan Rika."

Perkataan Dito melegakanku. Selesai berkemas, kami bergegas menuju halte busway. Berjejalan dengan para penumpang yang lain seperti biasa. Sepanjang jalan, pikiranku mengembara, tentang Dito, Rika dan Darki. Tentang masa depan kami dengan adanya banyak teror. Terkadang, iri melihat teman-teman sekantorku. Mereka berkencan, menjalani hidup dengan normal tanpa memikirkan hal gaib. Cepat-cepat aku menepis pikiran gila yang terlintas di otak. Karena bagaimana pun, hal gaiblah yang membawaku bertemu Dito.

Hari sibuk seperti biasa, aku berkutat dengan pekerjaan sementara Dito berjalan-jalan, entah kemana. Aku mengingatkan diri sendiri, untuk bertanya pada hantu tampan itu. Kemana perginya setiap siang. Apa mungkin bertemu dengan hantu perempuan? Lalu, apakah mereka akan tergoda? Halah, pikiranku makin lama makin ngaco.

"Mya, ngapaian ngetok-ngetok kepala?" suara teguran membuatku kaget. Rupanya, sedari tadi tanpa sadar aku mengetuk kepala.

Aku tersenyum ke arah Yanti yang memandang heran. "Nggak apa-apa lagi mikir."

"Mikir kok nyakitin diri sendiri. Eih, kamu dipanggil sama manajer. Sana, ke kantornya."

Salah apakah aku? Sampai Pak Jantu memanggilku ke kantornya. Rasanya, jarang sekali dia memanggil karyawan datang ke ruangannya. Kecuali jika ada masalah besar. Mengabaikan rasa penasaran, aku mengetuk pintu ruang manajer dan terdengar teriakan dari dalam. Menyuruhku masuk.

"Selamat siang, Pak." Aku tersenyum pada Pak Jantu, laki-laki setengah baya yang hari ini memakai kemeja hitam.

"Mya, duduk. Saya mau ada perlu sama kamu."

Aku duduk di depan mejanya. Sedikit gugup melirik ke Pak Jantu yang kembali sibuk dengan ponselnya. Kuembuskan napas dan mengamati diam-diam, ruangan tempat manajer bekerja. Menghadap langsung ke taman belakang, dengan meja kokoh yang dipelitur mengkilat. Bekerja kursi hitam besar. Menempel di dinding, ada rak-rak berisi dokumen dan map.

Sepuluh menit berlalu tanpa suara. Saat aku hendak mengatakan sesuatu, pintu dibuka dan kemunculan seseorang membuatku kaget.

Andika, melangkah masuk dalam balutan kemeja biru dongker. Tersenyum pada Pak Jantu dan mereka saling menjabat tangan.

"Silahkan duduk Pak Andika dan ini, Mya. Pegawai yang Pak Andika inginkan untuk membantu masalah ticketing dan lain-lain."

Masih dalam keadaan heran, aku ditinggalkan berdua dengan Andika di ruangan. Sedangkan Pak Jantu entah pergi kemana. Aku yang berniat protes hanya bisa menelan ludah, merasa kesal.

"Mya, dua tahun nggak bertemu. Kamu makin cantik."

Pujian Andika membuat kesal. Apalagi sekarang, saat kami hanya berdua terkurung di sini. Mengembuskan napas geram, aku menatap laki-laki yang dulu pernah kupuja.

"Mau apa kamu? Bilang aja langsung, aku banyak kerjaan."

"Huft, dari dulu Mya nggak berubah. Galak!" ucapnya sambil nyengir. Menampakkan deretan gigi putih yang terawat rapi. Dia mendekat dan bisa kucium wangi parfum yang dia pakai.
"Jangan galak-galak Mya, demi masa lalu kita."

"Masa lalu yang ingin kulupakan," ucapku ketus.

"Well, anggap saja gitu tapi seenggaknya, bersikap sedikit ramah pada klienmu."

Kata klien membungkam mulutku. Dengan amat sangat terpaksa, aku duduk diam. Menunggu apa yang akan diucapkannya.

"Ternyata, Mya sangat menyukai pekerjaannya. Sampai rela duduk manis, menahan benci."

Aku terdiam, membuang muka. Menatap tanaman yang tumbuh di taman belakang. Mengabaikan laki-laki yang kini menarik kursi di sampingku. Benarkah aku membencinya? Selama dua tahun perpisahan, aku lebih banyak merasakan sakit hati, merana dari pada benci.

"Katakan, apa maumu Andika? Kita selesaikan semua sekarang. Bisakah kamu nggak ganggu pekerjaanku?"

Hening, tak ada jawaban. Bisa kurasakan kini Andika duduk sebelahku. Desah napasnya terdengar nyaring. Mendadak pikiranku tertuju pada Dito. Kemana hantu tampan, kekasihku itu. Pergi ke mana dia? Apakah dia baik-baik saja sedangkan di luar begitu panas.

"Mya, aku ingin kita bekerja sama. Pak Jantu setuju kamu membantuku."

"Hanya soal pekerjaan, bukan?"

"Iya, murni pekerjaan."

Aku terdiam sejenak, memikirkan perkataannya. Rasanya sangat salah jika terus menerus menyimpan dendam. Bagimana pun pekerjaan nomor satu. Aku juga ingin menunjukkan pada Andika, jika aku baik-baik saja tanpanya.

"Baiklah, aku setuju." Aku bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu. "Kita lakukan komunikasi via chat dan telepon. Berikan nomor kontak anak buahmu." Tanganku sudah memegang gagang pintu saat mendengar perkataannya.

"Mya, satu lagi yang aku ingin tahu."

Aku berhenti, menunggu.

"Apakah kamu punya kekasih baru?"

Ah, ini sungguh pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Kutolehkan kepala, memandang Andika yang kini berdiri di tengah ruangan. Dengan senyum terkembang, aku menjawab. "Sudah."

Dito : Sang Hantu BangsawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang