4. Panggilan baru 2

30 5 53
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

***

Hallo soZa, Wellcome to my story'😊

Happy reading

🧡🧡🧡

Sudah malam Ahad lagi. Padahal, rasanya baru kemarin saya melewati malam Ahad, tapi waktu seolah berjalan dari satu angka ke angka lainnya dengan begitu cepat. Bak anak panah yang lepas dari busurnya, hingga melesat ke titik sasaran. Sepertinya sudah menjadi sunnatullah, bahwa hidup di dunia memang seperti ini. Terlalu sibuk dengan apa yang disuguhkan dunia, sampai manusia tidak sadar kalau waktunya di dunia hanya tinggal beberapa saat lagi.

Ah, dunia. Segala keindahannya hanyalah tipuan semata.

Tatkala tengah asyik berbaring di atas kasur, bunyi dari ponsel memaksa saya untuk bangkit. Menggapai ponsel yang tergeletak di atas nakas dengan malas, lalu menatap layarnya sekilas. Begitu membaca nama yang tertera di sana, saya senang bukan main. Dengan segera saya mengangkat panggilan itu setelah sebelumnya duduk di kursi.

"Assalamualaikum, Ummah," sapa saya setelah mendekatkan ponsel ke telinga.

"Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak. Kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah, Aa baik-baik saja, Ummah. Ummah sendiri bagaimana kabarnya, sehat?"

"Alhamdulillah, Ummah sehat."

"Abbah, bagaimana?"

"Alhamdulillah, Abbah juga sehat. Tapi ... akhir-akhir ini Abbah mu selalu sibuk dengan para siswanya, sampai Ummah sebagai istrinya tidak pernah diacuhkan."

Sebelum menanggapi perkataan Ummah, saya memilih untuk terkekeh sebentar. "Ummah yang sabar ya, kalau Abbah sedang sibuk, Ummah bisa kok telepon Aa. Aa akan selalu siap dua puluh empat jam temani Ummah."

"Bicaramu itu A, seperti orang pengangguran. Ditelepon saja masih banyak yang tidak diangkat, ini sok-sok'an mau temani Ummah? Dua puluh empat jam pula."

"Ya ... tadi, kan Aa cuma mau menghibur Ummah."

"Hm, terserah kamu sajalah, A. Oh iya, kamu sudah makan?" Pertanyaan kali ini tak langsung saya jawab. Sampai suara dari seberang sana kembali terdengar. "Pasti belum, kan?"

"Mmm, iya, Ummah, Aa memang belum makan."

"Kenapa, sekarang sudah mau isya, memangnya kamu mau makan jam berapa?"

Niatnya setelah isya nanti saya baru makan, sepulangnya dari masjid. Biar tidak bolak-balik. Karena biasanya juga seperti itu. Saya dan Syahrul sudah sepakat untuk makan malam selepas isya. Agar di tengah malam kami tidak merasa lapar lagi.

"Habis isya?"

"Iya, Ummah."

"Masya Allah, Aa, berapa kali Ummah bilang, jangan makan lewat dari jam tujuh, nanti kamu susah tidur."

Mengingat hal itu, saya sampai mengulum bibir. Masih jelas dalam ingatan bagaimana kebiasaan saya waktu masih kecil. Bisa dibilang kalau saya ini orang yang paling rewel dalam segala hal. Seperti dalam masalah makan, saya tidak akan pernah makan jika bukan Ummah yang memasak. Dan saya juga tidak akan pernah bisa tidur jika makan lewat dari jam tujuh. Mandi pun akan memerlukan waktu setengah jam lebih, sampai sabun di kamar mandi habis setengahnya. Pokoknya, saya merupakan anak Ummah satu-satunya yang paling merepotkan. Bahkan kebiasaan saya itu terbawa sampai saya SMA.

JINGGADove le storie prendono vita. Scoprilo ora