7. Gadis Liar

13 5 41
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

***

Walau gak ada yang peduli, tetap lanjut aja. Sebab, kehidupanmu gak dipengaruhi oleh seberapa banyak orang yang mengikuti.

🧡🧡🧡

Pada saat sinar mentari menyelundup masuk melalui fentilasi kamar, saya masih bergelung dibalik selimut. Kalau boleh jujur, selepas subuh tadi saya kembali tidur. Seluruh badan saya rasanya lemas, padahal saya sudah sampai di Bandung sejak kemarin sore. Mungkin rasa lelahnya masih terasa sampai sekarang. Alhasil, saya yang tidak biasa tidur sehabis subuh pun terpaksa melakukan itu sebab mata yang tidak bisa diajak kompromi.

Melihat jam digital yang menempel di dinding, napas saya berembus. Ditariknya selimut ke atas agar menutupi seluruh bagian badan. Selama belum ada orang yang menyuruh saya keluar, saya akan tetap bertahan di sini. Di dalam selimut yang mendekap saya dengan penuh kehangatan. Sebenarnya saya benci bersikap seperti ini, tapi ya sudahlah. Sesekali.

Di luar masih hening, sama sekali belum terdengar kegaduhan yang biasa terjadi setiap pagi. Jelaslah, orang yang ada di rumah ini hanya Ummah, Abbah, dan saya. Tidak ada yang lain. Ummah pasti masih sibuk dengan peralatan dapurnya, sampai dia melupakan anaknya yang masih tergeletak manja di atas kasur. Abbah, sudah pasti sibuk menyirami kebun di belakang rumah. Sementara Syifa sekarang sudah tinggal di Jakarta bersama dengan suaminya, dan Syahdan masih berada di pesantren.

Tak ada yang tersisa di rumah ini selain kenangan. Baiklah, semua sudah memiliki kesibukan masing-masing, terkecuali saya. Mumpung baru pukul enam, alangkah baiknya saya tidur lagi, sampai Ummah membangunkan saya dengan panggilan khasnya.

Belum ada satu menit mata saya terpejam, suara pintu terbuka berhasil menahan kelopak mata saya untuk tetap terjaga. Disusul bunyi decitan pada ranjang yang saya tiduri akibat seseorang mendudukinya. Siap-siap, itu pasti Ummah.

"SYAFIQ, BANGUN UDAH SIANG!" Teriak seorang perempuan tepat di telinga kiri saya, bersamaan dengan selimut yang ditarik sekencang mungkin.

Seketika saya terbangun, dan langsung menatap tajam orang yang kini sedang berdiri tak jauh dari ranjang. "Astagfirullah, kamu apa-apaan sih, pagi-pagi sudah teriak-teriak," protes saya, yang disambut senyuman lebar oleh orang itu. "Lagi pula siapa yang mengizinkan kamu masuk ke kamar saya? Gak sopan!"

"Biasa aja dong ngomongnya, gak usah nyolot bisa, kan?" Syifa--saudara kembar saya--kembali mendaratkan tubuhnya di sisi ranjang. "Iya sih, gak ada yang nyuruh aku masuk ke sini, tapi ... harus ya, aku izin dulu, padahal ini kamar saudara sendiri?"

Seketika napas saya berembus kencang. "Kamu dengar ya, Fa, kita itu sudah dewasa, saya punya privasi yang harus dijaga, jadi kamu seharusnya paham. Apalagi sekarang kamu sudah menikah, harusnya bisa jaga sikap."

Mulanya Syifa memberengut saat saya memberinya wejangan. Bahkan bibir ranumnya sampai maju beberapa inci. "Oke, lain kali aku akan izin dulu," ujarnya, setengah hati.

Perkataan Syifa tadi hanya saya balas dengan senyuman. Baru juga saya memberi peringatan, dia sudah kembali berulah. "Ya ampun Syifa, ngapain sih kamu peluk-peluk saya? Lepasin gak!" Saking kesalnya, saya sampai mendorong tubuh Syifa agak keras.

"Ih, kasar banget sih jadi cowok, pantesan gak laku-laku, orang kasar gitu."

"Lagian, kamu kenapa main peluk saya sembarangan?"

"Ya ... aku kan, kangen sama kamu, Fiq, masa peluk aja gak boleh? Udah tujuh bulan kita gak ketemu, emangnya kamu gak kangen sama aku? Kita, kan kembar, masa kamu gak ada rasa kangen sedikit pun sama aku?"

JINGGAWhere stories live. Discover now