Hadirnya Elsa

13 5 0
                                    


"Van, gue punya kabar buat lo," celetuk Vino.

"Kabar apaan? Penting nggak, Vin? Kalau nggak, gue mau ke kelasnya Vely."

"Justru ini menyangkut masa depan lo sama dia."

"Tunggu-tunggu maksud lo apa?"

"Elsa udah balik ke sini, tapi—" ucapnya yang terpotong oleh perkataan Elvan.

"Lo serius? Terus dia sekolah dimana? Jangan bilang disini?!"

"Bentar, tadi gue belum selesai ngomong kali. Elsa emang udah balik ke rumahnya yang dulu, tapi dia untungnya nggak satu sekolah sama kita."

Masih ingatkah dengan Elsa? Cewek yang pernah disebut-sebut waktu mereka nongkrong di cafe malam itu, dia adalah cewek yang sempat dikabarkan dekat dengan Elvan. Walau tak ada kejelasan dalam hubungan mereka. Vino bisa berkata seperti itu, sebab kemarin dia sempat bertemu dengan Elsa sewaktu mengantar mamanya ke mall.

"Kok lo biasa aja sih, Van?"

"Gue harus gimana emangnya? Toh gue juga udah ada Evelyn dan gue cintanya sama dia, bukan Elsa."

"Bukannya dulu lo bilang—"

"Itu dulu," potong Elvan.

"Lo tahu kan, kalau Elsa suka sama lo. Bahkan lo juga tahu kan Elsa itu orangnya nekat, dia nggak pernah akan diam selagi apa yang menjadi miliknya itu direbut."

"Gue miliknya? Nggak salah denger?"

"Udahlah gue cabut dulu ke kelasnya Vely," lanjutnya setelah itu keluar dari kelasnya.

Langkah tegapnya berjalan menyusuri koridor sekolah, telinganya penuh dengan sorakan kagum para siswi yang dilewatinya, sementara pikirannya terus memikirkan perkataan Vino. Dulu, ia memang sempat sedikit tertarik dengan Elsa. Catat hanya sedikit, bahkan kini hatinya penuh dengan nama Evelyn.

Sesampainya di kelas yang dituju, ia menarik nafasnya, berusaha membuang jauh-jauh pikirannya tentang Elsa. Ia sudah mengetahui jika Evelyn bisa membaca pikiran orang, walaupun dia pernah mengatakan hanya dirinya yang tidak bisa dibaca dipikirannya, tapi tetap saja harus berjaga-jaga.

"Vel, cowok lo udah dateng tuh. Gue Hera, sama Viani ke kantin duluan ya," ungkap Selvi, kemudian keluar dari kelas bersama dengan Hera dan Viani.

"Vel, mau ke kelas atau kemana nih?" tanya Elvan.

"Aku mau ke taman, Van."

"Cie udah mau aku-kamuan sama aku nih, waktu itu aja bilangnya lebay, alay."

"Udah ah ayo ke taman, ntar keburu bel."

"Iya, sayang. Gitu aja ngambek, pake blushing segala lagi, aku jadi makin cinta sama kamu."

Evelyn tak menanggapinya, dia berlalu begitu saja, berusaha menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya, walau Elvan sudah terlanjur melihatnya. Entah kenapa hal ini sering terjadi, begitu dirinya berdekatan dengannya. Apa ini termasuk syndrome orang jatuh cinta?

"Sayang, masih ngambek nih?"

"Tau ah."

"Jangan ngambek ah, nggak malu dilihatin bunga-bunga itu?" tunjuk Elvan pada bunga-bunga yang bermekaran di taman sekolah.

"Pokoknya gue kesel sama lo, titik!"

"Lah kok balik lo-gue lagi, beneran ngambek ya? Oke, gue pergi." Meski itu hanya candaan oleh Elvan, tiba-tiba tangannya dicegah oleh Evelyn.

"Jangan pergi lah, masa iya aku di sini sendirian? Tau gitu mending aku bareng sahabat aku ke kantin."

"Hehehe ... bercanda sayang, mana mungkin aku ninggalin kamu sendirian di sini, ntar yang ada pacar aku yang cantik dan gemesin ini digodain lagi mereka-mereka." Yang dimaksud mereka oleh Elvan adalah siswa yang berdiri tak jauh dari tempatnya, sepertinya dari tadi mereka memperhatikan Evelyn.

Pulang sekolah tiba, rencananya Elvan akan mengajak Evelyn di cafe langganannya, namun gara-gara Evelyn dijemput oleh papanya, mau tidak mau rencana itu gatot, alias gagal total.

"Van!" panggil seseorang yang tidak asing di pendengarannya, begitu dia masuk ke rumahnya.

Benar saja, ternyata orang yang memanggilnya adalah Elsa.

"Kok lo bisa ada di rumah gue?"

" Surprise gue sengaja mau bikin kejutan sama lo, gimana lo pasti kaget kan gue udah balik lagi ke sini?"

"Biasa aja tuh, gue juga udah tahu dari Vino."

"Dasar sih, Vino. Dari dulu masih aja nyebelin tuh anak! Awas aja kalau ketemu, gue timpuk pake sapu lo!"

Elvan tidak memperdulikan umpatan-umpatan itu, melainkan ia sudah masuk ke kamarnya untuk membersihkan badannya. Ia sengaja berlama-lama di dalam kamar, agar ia tidak berhadapan dengan Elsa. Namun, perkiraannya salah, Elsa masih stay di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya.

"Lo kenapa masih di sini?"

"Ya gue nungguin lo lah, kan gue kangen banget sama lo, emang lo nggak kangen sama gue?"

"Nggak." Singkat, padat dan jelas. Namun bukan Elsa namanya jika dia langsung menyerah, justru sekarang dia menyodorkan sebuah kotak berwarna ungu, dengan pita di atasnya.

"Ini ada jas buat lo," ujarnya.

"Gue nggak butuh, lagian jas gue juga masih banyak yang belum ke pake, ngapain lo kasih ini ke gue?"

"Lo lupa ya? Besok kan gue ulang tahun, biasanya kan lo selalu ingat ultah gue, kenapa sekarang lupa? Apa mungkin lo udah pa-car?" Elvan mengangguk sekali.

Walau begitu Elsa masih saja gencar memaksanya, "Pokoknya gue mau lo besok dateng ke acara ultah gue pake jas itu, kalau sampai lo nggak dateng. Gue nggak bisa jamin keselamatan pacar lo itu."

Elvan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan permintaan Elsa, jika tidak ia yakin kalau dia tidak pernah main-main dengan ucapannya sendiri.

"Nah gitu dong, kalau gitu gue balik dulu ya. Jangan lupa dateng! awas aja kalau nggak."

"Hmm."

Akhirnya dia pergi juga, membuatnya bernafas lega. Dering di handphonenya mengalihkan perhatiannya. Ternyata itu telepon dari pacarnya, mereka berbicara lewat benda kotak kecil itu selama dua jam lebih, entah apa yang dibicarakan mereka.

Cinta Gedung TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang