Erik Gerald Fransisco

14 3 0
                                    


Sudah dua Minggu berlalu setelah kematian Elvan, kini Evelyn jarang sekali memperlihatkan senyumannya. Seolah-olah tak ada lagi penyemangat dalam hidupnya. Ternyata benar kata orang, jangan terlalu benci pada seseorang karena itu akan menumbuhkan cinta di dalamnya.

"Vel, ke kantin yuk. Lo nggak boleh gini terus, Vel. Ikhlasin Elvan, pasti dia di sana nggak bakalan tenang lihat lo udah kayak mayat hidup." Perkataan Hera sukses mendapatkan jitakan dari Viani.

"Maaf, Vel. Kalau perkataan gue ada yang salah," lanjut Hera.

Kini sahabat dekatnya hanya tersisa Viani dan Hera, sementara Selvi. Dia sudah dipindahkan sekolahnya oleh orang tuanya ke London. Alhasil, ia duduk sendirian di bangku tengah. Sebenarnya ia duduk bersama Hera, sebab akhir-akhir ini Hera terliha dekat banget sama Viani seperti perangko, dia memutuskan untuk memilih satu bangku dengan Viani, tapi itu tidak menjadi masalah baginya.

"Gue nggak ikut, kalian berdua aja."

"Lo mau nitip apa gitu nggak?" tanya Viani antusias, namun wajahnya kembali datar tatkala Evelyn menggelengkan kepalanya.

Begitu kepergian kedua sahabatnya, ia berniat untuk membasuh wajahnya. Ia berjalan secara menunduk menuju toilet sekolah. Hingga tak sadar ia menabrak seorang cowok yang memakai seragam berbeda dengannya.

"Maaf, gue nggak sengaja." Evelyn menghiraukannya, sedangkan cowok yang ditabrak justru tersenyum miring.

Kira-kira siapakah dia?

---o0o---

Keesokan harinya, banyak murid menggosip ria perihal adanya siswa baru, mereka mengatakan jika dia memiliki paras tampan dan misterius. Dia digadang-gadang seantero siswi SMA Pradipta.

"Vel, lo udah denger belum kabar soal siswa baru di sini?" tanya Hera.

"Hmm. Dia sekelas sama kita. Bentar lagi juga masuk," jawab Evelyn dengan wajah datarnya.

"Beneran?" Gantian Viani yang menjerit antusias. Untuk masalah cowok apalagi keren, dia maju digaris terdepan.

"Lo hitung sampai lima, tuh cowok dah masuk."

Viani menuruti perkataan Evelyn, dia menghitung satu sampai lima, hingga akhirnya seorang cowok asing masuk ke dalam kelasnya, diikuti bel masuk yang berbunyi nyaring.

"Vel, dia mengarah kesini," bisik Viani.

Cowok itu mengarah pada bangku kosong di sebelah Evelyn, lantas menjatuhkan tas nya dan duduk terdiam, tanpa berniat membuka suaranya. Padahal satu kelas semua cewek menjerit kegirangan, ralat bukan semua buktinya Evelyn bersikap acuh.

Jeritan kagum itu berhenti, tatkala Bu Syifa—selaku wali kelas XI IPA 3. Keheningan terjadi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Bu Syifa teringat oleh siswa baru di kelas ini. Lantas memintanya untuk maju ke depan dan memperkenalkan identitas dirinya.

Evelyn? Ia masih sibuk menulis puisi pada lembaran terakhir bukunya, ia sama sekali tidak minat untuk mengetahui siapa cowok itu. Namun, saat dia duduk di sebelahnya, ia merasa kalau ada sesuatu yang tidak ia ketahui tentang cowok baru itu. Apa jangan-jangan dia memiliki kelebihan yang sama dengan dirinya sendiri? Yakni seorang indigo?

"Saya Erik Gerald Fransisco." Perkenalan yang singkat, karena setelah itu dia ke bangku di sebelah Evelyn.

"Baiklah, saya harap Erik bisa beradaptasi dengan baik di kelas ini."

"Bu!"

"Ada apa Siska?" tanya Bu Syifa begitu seorang siswi yang diketahui bernama Siswa mengangkat tangannya.

Cinta Gedung TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang