Mungkin dengan bertahan beberapa hari di Bali, bisa mengembalikan dirinya ke siapa Ara yang dulu.

***

Apakah takdirnya memang harus tetap berada di sini melanjutkan impian Mami sebagai model profesional?

Ara menatap sendu pada tubuh yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Mata Mami terpejam, wajahnya pucat dan badannya begitu lemah. Dokter visit baru saja keluar setelah menjelaskan kondisi Mami saat ini. Tidak ada yang serius, Mami hanya kelelahan. Begitu penjelasan singkatnya saat Ara bertanya dengan nada khawatir. Sementara Mika hanya duduk di kursi tanpa sekali pun melepaskan pandangannya dari ponselnya.

Setelah fashion show di Bali tempo hari, Ara berencana untuk menikmati waktu sendiri di sana beberapa hari. Tapi telepon Mika membuyarkan semua rencana. Mami tiba-tiba harus dibawa ke rumah sakit. Sementara Papi masih mengurus bisnis di Singapura.

Dengan menumpang pesawat paling pagi, Ara segera kembali ke Jakarta. Meski dia bertanya-tanya dalam hati penyebab sakitnya Mami, tak urung dia merasa bersalah juga. Terlebih Mika bersikeras menuduhnya sebagai penyebab sakitnya Mami.

"Loe sih pake acara minggat segala. Apa enaknya tinggal di Wonosobo? Cuman bikin elo terpenjara karena gak bisa ke mana-mana," gerutu Mika meski dengan suara pelan karena takut membangunkan Mami yang tengah beristirahat.

"Maksud loe Mami sakit gara-gara gue, Kak?" Ara mendekat ke arah Mika agar pendengarannya lebih sempurna. Lagipula jika mereka gaduh, Ara khawatir akan membangunkan Mami. Perlahan dia mengambil kursi kecil yang disediakan untuk tamu pengunjung dan duduk di samping kakaknya.

"Ya siapa lagi kalo bukan loe? Selama ini loe kan biang keladi semua masalah?" tanpa wajah bersalah, tuduhan itu langsung mengacak-ngacak perasaan Ara saat itu juga.

Ara berusaha tidak terpancing emosi meski harus diakui kalimat Mika sangat menyakitkan.

"Gue cuma butuh waktu nenangin diri." Pembelaannya itu rasanya terdengar sangat klise. Tapi saat itu pikirannya kacau balau, dia tidak tahu harus kemana lagi.

"Karna Aldy? Lagian cowok berengsek kayak gitu masih aja dibelain."

"Saat itu gue masih berharap dia mau berubah."

"Tapi sampai kapan? Sampai elo jadi rusak kayak gini? Cmon, Ra, elo cantik. Lelaki mana pun bisa dengan mudah bertekuk lutut sama loe. Tapi kenapa loe terus mempertahankan Aldy?" Nada suara Mika mulai meninggi. Dia menatap wajah adiknya dengan perasaan kesal.

Mika benar tentang perasaannya kepada Aldy, tapi menuduhnya rusak? Ara malah merasa jika dirinya yang sekarang jauh lebih baik daripada Ara yang dulu sebelum bertemu Bu Hasna. Dia lebih tenang, tidak terburu-buru, tidak meledak-ledak, belajar ikhlas, belajar sabar, dan belajar menerima apapun yang sudah digariskan dalam hidupnya.

"Gue udah gak sama Aldy. Lagian kenapa selalu gue yang disalahin?" Ara menarik napas panjang. Ada perasaan sedih yang berusaha disembunyikan dan membuatnya gusar.

"Ya karena elo salah!"

Kalimat itu begitu jemawa seolah Ara hanya orang payah yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh Mika. Ara bangkit, menatap Mami sebelum memutuskan untuk mendekati pintu dan membukanya perlahan.

"Eh loe mau kemana?" Suara Mika menahan langkahnya beberapa saat, tapi Ara bungkam dan segera berjalan keluar. Entah harus ke mana dia meluapkan kesedihan akibat kalimat-kalimat Mika yang menuduhnya terlalu keji. Ara terus menyeret langkahnya tanpa tujuan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari tempat yang tenang.

Mungkin dia butuh secangkir kopi, duduk di dekat jendela yang terbuka, dan menikmati udara yang basah karena hujan. Dengan begitu, hatinya mungkin bisa sedikip membaik. Ara merapatkan jaket yang dikenakannya sambil melangkah menuju sebuah coffeshop yang berada di salah satu lorong rumah sakit.

NadamWhere stories live. Discover now