First Kiss

1.3K 165 5
                                    

Selama di rumah Malit gue nggak benar-benar berbaur dengan antusiasme Malit dan Raisa. Pikiran gue masih terus memikirkan ucapan Ervin soal Mama.

Apa benar Mama bicara begitu pada Ervin? Kalau benar, Mama beneran bikin gue malu di hadapan Ervin. Apa gue se-nggak laku itu sampai Mama minta Ervin buat nikahin gue? Mau ditaruh mana muka gue?

"Lo ngelamunin apa sih?" Ervin menyadarkan gue. Sekarang kami dalam perjalanan ke rumah gue. Ervin bahkan dengan nggak tahu dirinya telah membawa baju untuk dipakai kerja besok. Ya, tanpa seijin gue dia akan menginap lagi di rumah gue.

"Vin, soal omongan Mama, lo jangan masukin ke hati ya. Gue yakin Mama cuma lagi ngelantur aja," pinta gue.

"Jadi ini yang bikin lo hilang fokus dari tadi?"

Ervin meraih tangan gue membawa ke pahanya. "Lo santai aja, Lu. Meski kedua orangtua kita udah setuju, gue nggak mungkin nikahin lo saat ini juga. Butuh banyak persiapan untuk menuju ke jenjang itu."

"Dan Luishara, gue nggak akan nikahin elo kalo lo emang nggak mau nikah sama gue. Gue emang suka maksa, tapi nggak untuk hal seserius pernikahan. Jadi, lo tenang aja, ya?"

Perlahan gue menganggukkan kepala. Hati gue jauh lebih tenang sekarang. Meski begitu, gue tetap akan menegur Mama dengan sopan. Supaya Mama nggak mengulangi hal memalukan itu pada Dave nantinya.

Tanpa gue sadari, tangan gue masih ada dalam genggaman Ervin hingga kami sampai di halaman depan rumah gue. "Kayaknya lo bener-bener kepikiran ya? Buktinya lo sampe nggak sadar kalo tangan lo masih nyangkut di tangan gue. Apa karena lo merasa nyaman?" ungkapan bernada songong dari Ervinlah yang akhirnya menyadarkan gue.

Tanpa mau menoleh, gue meninggalkan Ervin di belakang gue dan berjalan cepat memasuki rumah. Hanya ada Dave yang sedang main game di ruang tengah. Mama sama Papa pasti sudah tidur. Mood gue sedang nggak bagus karena kesal sekaligus malu pada Ervin. Dan Dave ikut terkena imbas dari mood buruk gue. Padahal dia cuma minta dibuatkan mi instan, tapi gue malah mengomelinya panjang lebar.

"Dia kenapa sih, Kak?" Dave beralih pada orang di belakang gue yang tak lain adalah Ervin.

"Kesambet kali," jawaban asal dari Ervin membuat gue semakin dongkol.

Setelah melempar bantal kursi ke Ervin, gue melesat ke dapur untuk membuatkan mie pesanan Dave. Tangan gue mengiris sayur dan cabai dalam mode nggak santai.

"Gue pengen nungguin lo di sini, tapi nggak jadi deh. Salah-salah gue yang dicincang ntar," Dave yang baru masuk dapur bersama Ervin langsung ngacir keluar. Ervin tertawa melepas kepergian Dave.

"Lo nggak mau pergi juga?" cibir gue ketus.

"Nggak lah, orang niatnya gue mau nemenin lo di sini," ujar Ervin yang dengan santainya mengambil sebungkus mie instan dan meletakkannya di depan gue.

"Buatin buat gue juga," setelah mengatakan itu Ervin mendudukkan diri di salah satu sisi meja dapur.

"Gue bukan bini lo, enak aja nyuruh-nyuruh gue!"

"Ya udah lah, besok gue nikahin lo, tapi sekarang bikinin buat gue dulu. Punya Dave ntar aja." Ervin kalau ngomong emang minta di sambelin.

"Nggak! Lo bikin sendiri!"

Gue memasukkan mie ke dalam panci kecil berisi air yang telah mendidih, lalu memasukkan sayur dan cabai ke dalam panci lainnya. Sesuai perintah Mama, kuah yang akan gue sajikan tidak boleh menggunakan air dari rebusan mie tadi. Alias, air rebusannya di ganti. Tapi karena menurut gue kelamaan, jadinya gue merebus air dalam dua panci secara bersamaan. Satu buat mie, satu buat sayur dan kuahnya.

Chef LuiWhere stories live. Discover now