Adik yang Bersedih

1.2K 171 5
                                    

Gue nggak tahu dosa gue sebesar apa sampai gue mendapat cobaan beruntun seperti ini. Baru kali ini gue mendapat pekerjaan yang bikin gue kerasan. Nggak hanya karena kerjaan ini sesuai dengan passion gue, melainkan karena majikan dan teman kerja gue juga menyenangkan. Gue berasa sedang melakukan hobi, bukannya bekerja.

Tetapi semua itu kini telah menguap. Kenyataannya, setelah bekerja sama dengan Ma Cuisine, Pâtisserie Alsha menjadi lebih berkembang. Toko kue itu kini menjadi lebih ramai ketimbang sebelumnya, meski nggak seramai dulu. Hal itu membuat gue merasa semakin buruk, karena gue ikut menyumbang kesuksesan mereka. Gue ingin menyerah, tapi mengingat gue harus menghidupi keluarga dan membayar cicilan hutang membuat gue tetap bertahan dengan segala ketidaknyamanan gue.

Suasana hati gue yang buruk membuat gue menjadi lebih pendiam. Gue memilih diam karena gue yakin, gue nggak bisa mengontrol nada tinggi yang akan keluar tiap gue buka suara. Semua rekan kerja hingga Malit seolah paham dengan kondisi gue, mereka cenderung membiarkan gue. Bahkan Malit pun tak berani mengusik gue. Beberapa kali Malit terlihat ingin mengajak gue bicara, tapi selalu batal setelah Malit melihat wajah gue yang diselimuti mendung.

"Lui!"

Panggilan Ervin menghentikan langkah gue yang akan keluar gerbang.

"Lo dijemput Dave?" Gue mengangguk singkat.

Raut kecewa tersirat di wajah Ervin. "Gue tadinya mau anterin lo, sekalian jengukin Papa. Tapi karena lo udah ada yang jemput, mungkin lain kali aja."

Gue lagi-lagi hanya mengangguk tanpa menjawab.

"Oke hati-hati di jalan, bilang sama Dave suruh jangan ngebut." tanpa menunggu anggukan dari gue, Ervin berbalik melenggang masuk ke dalam rumah.

Sepertinya Ervin mengerti dengan keengganan gue. Dua anak Malit itu ikut terkena imbas dari suasana hati gue yang selalu buruk. Awalnya mereka kebingungan, lambat laun mereka menjadi lebih pengertian. Gue rasa mereka telah mengetahui apa yang terjadi sama gue. Dan karena gue bukan tipikal yang akan meminta maaf pada orang yang telah gue ketusi, maka gue berlanjut mendiamkan mereka semua.

Orang yang tengah gue tunggu telah menampakkan dirinya dan baru saja menghentikan motornya tepat di depan gue. Biasanya Dave akan menyodorkan helm untuk gue dan menunggu sampai gue duduk dengan nyaman di belakangnya, baru dia akan melajukan motornya. Tapi kali ini Dave justru memundurkan diri hingga posisinya berada di jok belakang.

"Ngapain?"

"Sesekali gue yang dibonceng lo dong. Masa gue terus yang boncengin?"

"Lo nggak malu dibonceng sama cewek?"

"Ngapain malu elah? Lo kakak gue ini. Udah buru jalan!"

Dasar bocah songong! Dikira gue tukang ojek kali ya?

Gue mendudukkan diri di depan Dave, lalu tanpa menanyakan kesiapan Dave, gue melajukan motor dengan kecepatan sedang. Tangan Dave melingkar di perut gue, sedang kepalanya menyandar di bahu gue. Sikap Dave yang jarang-jarang seperti ini membuat gue yakin, dia sedang dalam keadaan yang nggak baik.

Dave menjadi orang pertama di rumah yang tahu persoalan yang gue alami. Memang gue sengaja menyembunyikan kabar buruk ini dari orangtua gue. Mereka pasti akan bersedih bila mendengar gue bekerja untuk orang yang telah membuat mereka menderita. Tapi Dave terlalu peka untuk gue bohongi, dia selalu menuntut alasan dari sikap murung gue akhir-akhir ini, hingga gue terpaksa menceritakam semuanya pada Dave.

Lain dari biasanya jika gue tengah galau Dave akan menasehati gue panjang lebar, kali itu Dave justru berlutut dan menangis di pangkuan gue. Dia tersedu sambil terus meminta maaf.

Chef LuiWhere stories live. Discover now