Bertemu Teman Lama

1.1K 169 8
                                    

"Hai, Lui!"

Di depan gue berdiri Anya yang menatap gue dengan pandangan mencela. Tanpa di persilahkan, Anya duduk di depan gue.

"Hai, Nya," balas gue senormal mungkin menyembunyikan keterkejutan gue.

"Oh, masih inget gue?" tanya Anya sinis.

"Gue nggak amnesia."

"Oh ya? Masa? Tapi dulu waktu kelas dua dan tiga, lo kayak amnesia gitu. Kayak nggak kenal lagi sama kita-kita."

Gue memutar bola mata. Ini adalah pertemuan pertama kita setelah lulus SMA. Gue memang nggak pernah datang ke acara reuni angkatan.

"Gue dulu udah ngajakin kalian tobat, tapi kalian yang nggak mau. Gue keluar dari geng kalian juga atas persetujuan dan usiran kalian. Jangan pura-pura lupa," gue mengingatkan.

Anya tertawa kecil. "Jadi, apa yang lo dapat dari pertobatan lo itu? Jadi kere?"

Gue menarik nafas dalam-dalam, berusaha tidak terpancing.

"Oh, bukan itu, tapi lebih tepatnya lo tobat supaya bisa dapetin Ervin kan? Harimau yang terpikat oleh mangsanya. Hahaha ... basi tahu nggak!"

"Dari dulu lo memang selalu berasumsi dengan pikiran lo sendiri, bukan dengan fakta," gue menyahut.

"Fakta? Emang faktanya lo sekarang dekat dengan Ervin kan? Mmm, yaa walau lo dekat sama dia karena lo jadi babu nyokapnya Ervin," nada bicara Anya semakin merendahkan.

"Oh, gue ngerti. Lo pasti deketin Ervin karena lo mau morotin Ervin kan? Secara, sekarang kan lo udah kere, sementara Ervin udah sukses. Ya, gue maklum sih, mungkin lo capek jadi orang miskin jadi pake jalan pintas biar lo hidup enak lagi. Tapi Lui, emang lo nggak bisa milih mangsa yang lain? Kenapa harus Ervin? Orang yang dulu lo bully."

Ucapan Anya sudah kelewat batas. Tapi gue tetap berusaha tenang nggak terpancing. Gue tetap harus elegan dalam membalas Anya.

"Kalau gue bilang gue nggak kayak yang lo pikirin, lo nggak bakal percaya kan? Ya udah, terserah lo aja mau mikir gimana," balas gue nggak ambil pusing. Gue meneguk minuman gue dan mulai menikmati kudapan di depan gue tanpa peduli sama tatapan menghina dari Anya.

"Emang dasar lo tuh munafik!" maki Anya geram.

Gue mengangguk sepintas dan terus menikmati makanan gue. Hingga akhirnya makanan dan minuman gue habis, Anya masih tetap duduk di depan gue berusaha memprovokasi gue, yang sayangnya nggak mempan. Gue berdiri untuk membayar bill sementara Anya mengikuti apa yang gue lakukan. Padahal makanannya belum disentuh sama sekali.

Anya masih terus mengikuti gue hingga gue sampai di parkiran motor. Dia tertawa keras melihat gue menaiki motor. "Mana mobil mewah lo? Udah nggak tersisa ya?"

"Lo ngapain masih di sini? Mau nebeng gue?" tegur gue karena Anya menghalangi jalan gue.

"Cih! Alergi gue naik beginian," Anya bergidik.

"Kalau gitu, lo bisa dong ya menyingkir, karena gue mau jalan," usir gue.

Anya yang nggak terima gue usir pun mendorong bahu gue kuat membuat gue hampir tersungkur. Untung kaki gue bisa menahan tubuh dan motor gue.

"Lo apaan sih, Nya!"

"Lo tuh! Udah miskin aja masih belagu!"

"Ya udah sih, Nya. Kalau lo nggak suka sama gue, lo tinggal jauhin gue. Toh gue juga nggak minta lo samperin kan?"

Gue nekat menjalankan motor gue hingga Anya terlonjak ke samping. Gue meninggalkan Anya yang berteriak memaki gue.

Gagal total, niat gue menghibur diri nggak berhasil. Justru mood gue semakin buruk setelah bertemu dengan Anya. Berkali-kali dihina orang, rupanya nggak membuat gue jadi kebal. Gue masih saja merasa sakit hati tiap mereka melontarkan hinaan, baik yang secara terang-terangan maupun tersirat. Hanya bedanya, sekarang gue lebih bisa mengendalikan diri dan emosi.

Chef LuiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ