Pertemuan tak terduga

1.3K 178 4
                                    

Pagi-pagi sekali gue sudah disibukkan dengan kegiatan mengurus rumah dan memasak. Sebenarnya nggak bisa dikatakan mengurus rumah sepenuhnya juga, karena gue hanya menyapu dan mengepel yang terlihat kotor saja. Rumah ini terlalu besar untuk gue bersihkan sendiri. Mentok, Dave yang akan membersihkan seluruh penjuru rumah saat ada waktu luang, dan itu bisa satu hingga dua minggu sekali.

Dulu, gue benci sekali tiap ART di rumah gue pada pulang kampung, karena rumah akan menjadi kotor. Tapi sekarang, mau nggak mau gue harus berdamai dengan OCD gue. Waktu gue sudah habis untuk bekerja, gue mana sempat menggosok rumah megah dua lantai ini sendirian. Sedikit salahkan Mama yang nggak pernah ngajarin gue nyapu, ngepel dan urusan beberes rumah lainnya. Jadi jangan heran, kalau baru nyapu dan ngepel satu kamar saja gue sudah mandi keringat.

"Kak Ervin masih tidur, Kak?" Dave nyamperin waktu gue sedang mencuci alat masak yang barusan gue pakai.

Gue mengangguk mengiyakan. Ervin memang baru saja tidur, semalaman dia begadang khawatir dengan kondisi Papa. Padahal gue sudah bilang berkali-kali pada Ervin kalau Papa akan baik-baik saja. Sekarang saja Papa sudah duduk di meja makan buat sarapan. Tapi Ervin tetap kekeh begadang sekaligus melembur pekerjaannya yang dia ambil dari rumah Malit.

"Lo sarapan dulu deh, gue mau mandi," titah gue. Lalu gue beralih pada orangtua gue. "Kalian sarapan dulu aja, nggak usah nungguin aku."

"Nggak boleh gitu, Lui. Kita akan sarapan bersama," pinta Mama.

"Ma, Dave bisa telat kalau nungguin aku mandi," gue memberi pengertian.

Dari dulu Mama memang mewajibkan kita semua untuk sarapan bersama, karena belum tentu kita bisa berkumpul pada saat makan siang dan malamnya.

Mama terlihat masih ingin protes, yang segera Dave potong. "Betul, Ma. Aku bisa telat kalau nungguin kak Lui, yang mandinya lelet kayak putri raja. Dia ngaca aja bisa sejam sendiri. Bisa-bisa kita baru bisa sarapan pas jamnya makan siang."

Gue antara mau berterima kasih sekaligus ingin menabok kepala Dave.

Kekehan Papa membuat Mama ikut tersenyum dan mengijinkan gue untuk pergi mandi. Gue melenggang pergi setelah menyempatkan diri mencubit pinggang Dave yang langsung mengadu pada Mama. Teguran dari Mama hanya gue balas dengan cengiran dari tangga. Dasar tukang ngadu!

Saat gue turun, Dave udah berangkat ke sekolahnya. See, dia bahkan nggak pamit sama gue. Sumpah ya, kalau bukan karena dia adek kesayangan gue, gue nggak bakalan mau tiap bulan kasih duit ke dia.

"Dave nggak sempet pamit ke kamu, soalnya dia harus ke bimbelnya dulu sebelum ke sekolah," Mama seolah tahu apa yang ada di otak gue.

"Oke, deh. Yang penting nanti malem dia jemput aku."

"Nanti Mama bilangin lagi ke Dave. Kamu sarapan dulu sebelum berangkat."

Gue menuruti kata Mama. Walau Mama sama Papa telah selesai makan, mereka tetap nemenin gue makan. Lebih tepatnya mengobrol berdua di meja makan. Sesekali Papa akan melototi gue karena ikut nimbrung obrolan mereka dengan mulut berisi makanan. Bukan salah gue juga sebenarnya, siapa coba yang tahan nggak ikut nimbrung obrolan orang di depan kita kalau kita nyambung sama topiknya? Salah mereka sendiri, kenapa ngobrolnya di depan orang yang sedang makan.

"Ervin masih tidur kan?" Mama tetiba saja menanyakan Ervin.

Karena gue sedang mengunyah, maka gue hanya menjawab dengan anggukan.

"Ervin itu anak yang baik. Dia udah banyak bantuin keluarga kita, meski di tolak sama kamu. Mama jadi nggak enak sama Ervin."

Gue tersedak mendengar ucapan Mama. Dari mana Mama tahu kalau gue pernah nolak Ervin?

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang