Ma Cuisine

2.1K 215 4
                                    

Kalita Soediryo.

Pemilik rumah sekaligus usaha katering bernama "Ma Cuisine". Gue disuruh manggil beliau Malit alias Mama Lita, sedangkan karyawannya yang lain manggil beliau Bu Lita. Ini karena gue seumuran dengan anak pertamanya, jadi Malit ingin gue manggil dia seperti anak-anaknya.

Aneh juga, gue kan cuma karyawannya, kenapa harus manggil dia seperti panggilan anaknya hanya karena kita seumuran? Mungkin, karena dari awal Malit udah takjub melihat wajah bule gue, apalagi saat tahu gue anak pemilik bakery langganannya dulu sewaktu toko masih di pegang Papa. Menurut Malit, kue-kue di sana sekarang tidaklah selezat dulu. Memang, sekarang tempat itu sudah berbeda hampir seratus persen. Hanya nama dan interiornya yang masih sama, tapi menu khas Papa jelas udah nggak ada. Kabarnya wanita licik itu sempat mendatangkan chef langsung dari Perancis, namun tetap saja rasanya pasti beda dengan hasil tangan Papa.

Sebelum diterima kerja di sini, gue sempat diwawancara oleh Malit. Tentunya bukan hanya hal yang menyangkut kerjaan gue nantinya, tapi juga soal kondisi keluarga gue. Berita soal keluarga gue emang cukup menghebohkan beberapa kalangan waktu itu, terutama para karyawan dan pelanggan Papa. Gosip Papa menikah lagi dan kemudian istri mudanya berhasil merebut semua harta kekayaan milik Papa tanpa menyisakan sedikit pun untuk anak dan istri sahnya dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Gue rasa Malit sudah tahu banyak bahkan sebelum bertanya pada gue, karena mantan salah satu koki di restoran Papa kini bekerja padanya. Hal itu baru gue ketahui sesaat setelah Malit menerima gue sebagai karyawannya, beliau memberi kode pada seseorang di balik pintu kantornya untuk masuk.

Dan gue kaget bercampur senang saat menemukan mbak Rida berdiri di belakang gue dengan wajah basah. Mbak Rida langsung memeluk gue erat. Rupanya waktu gue menunggu di ruang tamu, mbak Rida telah lebih dulu melihat gue. Tapi bukannya menyapa gue, mbak Rida justru menemui Malit untuk menjelaskan siapa gue sebenarnya. Well, ini menjawab kenapa gue harus nunggu Malit menemui gue selama satu jam lebih.

"Oke, di sini kita nggak terikat jam kerja. Tergantung orderan yang masuk, kita bisa aja pulang sebelum jam dua siang, tapi bisa juga nggak pulang selama tiga hari, bahkan lebih," mbak Rida menjelaskan jam kerja gue nantinya. "Kamu keberatan?"

Jujur gue bimbang. Kalau gue nginep di sini, terus siapa yang bakal rawat Mama sama Papa. Mana mungkin gue minta Dave buat masak sebelum berangkat sekolah, secara dia aja baru bangun kalau gue udah manggil dalam mode toa.

"Mungkin aku akan bicara dulu sama orang rumah mbak," jawab gue ragu.

Mbak Rida mengangguk paham. Dia sendiri tahu bagaimana keadaan keluarga gue. "Khusus untuk kamu, nanti mbak usahain kerjaan kamu nggak mengharuskan sampai nginep di sini."

Mbak Rida adalah kepala koki di sini, itulah mengapa dia bisa ngatur kerjaan kami, dia telah dipercaya oleh Malit untuk mengatur bagian masing-masing karyawan.

"Makasih mbak, tapi kayaknya nggak perlu deh. Aku nggak enak sama lainnya kalau terlalu di bedakan," gue nggak mau nyari musuh di tempat kerja.

"Ternyata kamu udah dewasa ya, Lu," kata mbak Rida dengan mimik sendu. "Mbak masih inget aja gimana tingkah kamu waktu kecil dulu. Tiap kamu main ke resto, mbak sama Edo yang selalu kebagian nemenin kamu masak. Dan berakhir Edo marah-marag karena kamu selalu bantah perintahnya."

Kami tertawa mengenang masa itu. Dulu gue sering main ke restoran Papa, lalu bereksperimen dengan berbagai menu. Papa sengaja membuatkan dapur mini buat gue di bagian belakang bangunan, dan menyuruh mbak Rida dan mas Edo buat ngawasin dan mentorin gue. Gue suka memodifikasi menu dari restoran Papa, biasanya mbak Rida akan mendukung dan bantuin gue masak. Beda dengan mas Edo yang justru memanfaatkan kesempatan itu dengan duduk santai dan dengan santainya pula memberi intruksi pada gue untuk begini-begitu seolah dia adalah bos gue.

"Mas Edo terlalu banyak tingkah sih mbak," ucap gue di sela tertawa. "Tapi aku kangen deh sama mas Edo, sama semua karyawan Papa. Mereka sekarang gimana kabarnya ya?"

Rambut gue dielus lembut oleh mbak Rida. "Mereka semua dalam keadaan baik, ada yang kerja di hotel, ada juga yang sekarang buka usaha kuliner sendiri. Kita masih sering reuni, sekadar untuk melepas kangen. Nanti kalau ada jadwal reuni lagi, kamu mbak ajak deh."

Gue menatap mbak Rida girang. "Bener ya mbak?"

Mbak Rida mengangguk. "InshaAllah."

"Ya udah, sekarang kita langsung ke dapur aja. Kamu langsung mulai kerja ya?" mbak Rida menggiring gue menuju dapur utama Ma Cuisine.

***

Gue baru pulang pukul delapan malam, karena ada pesanan sambosa, cinnamon roll, puding karamel, talam ubi ungu dan klappertart masing-masing sebanyak lima ratus buah. Semua itu harus sudah dikirim jam delapan pagi. Seharusnya gue ikut menginap, tapi karena hari ini adalah hari pertama gue kerja, maka gue diberi keringanan untuk pulang. Gue pulang diantar mbak Rida, dan rencananya mbak Rida akan menginap di rumah gue agar besok kita bisa berangkat bareng jam empat subuh.

Mama menyambut hangat mbak Rida, sementara Papa hanya menganggukkan kepalanya. Air mata Papa yang meleleh menandakan bahwa Papa mengingat mbak Rida dan segala hal tentang restonya.

"Mas Albert kangen sama semua karyawannya," ujar Mama mengartikan ucapan Papa yang memang tidak semua orang bisa mengerti. Bahkan gue sama Dave kadang nggak sepenuhnya ngerti, makanya Papa nggak bisa jauh dari Mama karena cuma Mama yang tahu apa yang diucapkan Papa.

Mbak Rida mengangguk tersenyum. Sejurus kemudian dia mengeluarkan ponselnya, setelah mengotak-atik sebentar dia pun berjongkok di samping kursi roda Papa. Mbak Rida mengangkat ponselnya mengarahkan layarnya pada Papa. Setelah beberapa deringan, terdengar sayup-sayup suara orang menjawab di sebrang sana. Rupanya mbak Rida melakukan video call group yang semua anggotanya adalah mantan keryawan Papa di resto maupun di bakery.

Melihat Papa yang menangis susah payah setelah melihat para karyawannya dulu, gue pun ikut menangis pun dengan mbak Rida, Mama dan juga Dave. Mereka melakukan obrolan selama satu jam dengan Mama sebagai penerjemah ucapan Papa. Adalah gue yang memaksa untuk mengakhiri obrolan karena udah jadwalnya Papa untuk minum obat dan beristirahat.

Setelah Papa masuk kamar, gue mengajak mbak Rida ke kamar tamu yang terletak di sebelah kamar gue di lantai dua. Bukannya setuju, mbak Rida malah minta tidur sama gue.

"Mbak takut ih tidur di kamar segede ini sendirian," tolak mbak Rida sambil bergidik. "Mbak biasanya tidur di rumah sama suami, kalau nggak ya di rumah bu Lita. Itu pun rame-rame, dan kamarnya nggak seluas ini."

Gue tertawa mendengar alasan mbak Rida. "Takut tiba-tiba ada yang nemenin di sampingnya ya mbak?"

"Iihhh Lui maahh, malah nambah nakutin!" rengek mbak Rida yang bikin tawa gue semakin menggelegar.

Diluar dugaan, mbak Rida justru terlihat takjub melihat gue tertawa. "Waah gitu ya? Kalau rumah guede begini ketawa sekeras itu orang rumah pun nggak ada yang tahu. Coba kalau ketawa kayak gitu di rumah mbak, tetangga langsung banting panci buat kode."

Gue tertawa geli menanggapi cerita mbak Rida. Emang ada ya yang kayak gitu?

Chef LuiWhere stories live. Discover now