「 Dari Radit 」

101 29 28
                                    

❃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi satu-satunya anak perempuan dalam silsilah keluarga ini membuatku mau tidak mau harus berbesar hati terhadap hal-hal yang tidak bisa aku putuskan berdasarkan kehendakku sendiri.

Memang, perempuan selalu dicap sebagai sosok lembut yang wajib untuk dilindungi, tapi, yang menjadi pertanyaanku, adalah—apakah itu juga berarti bahwa kita, sebagai perempuan, sama sekali tidak berhak untuk menyuarakan pendapat dan pilihan kita terhadap sesuatu? Karena sejak kecil, aku sendiri telah ditanamkan (secara tidak langsung) satu doktrin, yang berbunyi suruhan untuk bersikap tunduk dan berkata iya atas semua titah yang diberikan oleh bapak dan ibu, juga kedua saudara laki-lakiku.

Namun sekarang, ketika aku sudah menginjak angka tujuh belas dalam usiaku, ketika ada laki-laki yang ingin mempersuntingku, ketika seharusnya lamaran ini menjadi awal dari titik kehidupanku kelak di masa depan, apakah aku juga masih belum diberikan kesempatan untuk memilih?

"Kamu suka sama Jenaka, gitu?"

Bukan, bukan pertanyaan menyudut seperti itu yang aku harapkan keluar dari mulut Mas Gibran.

"Binar? Jadi ... benar, kalau kamu suka sama Jenaka?"

Tapi, benar juga.

Mengapa aku mesti terdiam karena pertanyaan sederhana itu?

Memang, itu pertanyaan yang sangat sederhana, kalau aku memang benar tidak sedang melibatkan hati di dalamnya.

"E-emang kenapa?"

"Aku tanya, 'kamu suka sama dia?', bukan 'kenapa kamu suka sama dia?', lho, Dek."

"O-oh, maaf."

"Kamu suka sama Jenaka?"

"Kalaupun aku jawab iya, apakah itu bakal berpengaruh sama keputusan akhir kalian?"

Jelas, itu jelas bukan sebuah jawaban yang pernah aku rencanakan sebelumnya. Dan ekspresi wajah Mas Gibran yang berubah begitu drastis itu juga menjadi pengusir halus untuk aku segera melarikan diri dan memutuskan pembicaraan itu begitu saja.

Tapi semua tentu saja tidak dapat berakhir dengan semudah itu. Dan bukan hidup namanya kalau tidak memberikan kejutan-kejutan tidak terduga di setiap harinya. Karena begitu hari telah berganti, ketika pembicaraanku dengan Mas Gibran masih menyita begitu besar perhatianku, ketika aku masih bertanya-tanya tentang arti Jenaka dalam hidupku, di situlah Radit datang dengan membawa sebuah kabar yang tidak kalah mengejutkannya untukku.

"Kak Binar kenal sama Bang Jenaka?"

"Iya ... kenal, Kak Binar kenal sama dia. Kenapa? Kamu ... kenal juga kah sama dia?"

[4] Kirana.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang