「 Prinsip Cinta 」

74 25 43
                                    

❃

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pengecut.

Sepertinya adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Dharma Aradhana Lesmana saat ini. Namun sebenarnya bukan karena tanpa alasan ia akhirnya mengambil langkah yang dua kali mendahului Bara dan Jenaka dalam lamaran ini. Dharma hanya terlalu takut. Ia terlalu takut kalau akhir yang akan mereka terima nanti tidak sesuai dengan yang selama ini hadir dalam angan-angannya. Ia terlalu takut kalau pada akhirnya nanti Binar akan menjatuhkan hati kepada—

"Oh ... jadi maksudnya, kamu udah bilang semuanya ke Binar, gitu?"

Dharma mengangguk kaku menanggapi pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Bara setelah ia menceritakan seluruh kejadian yang is alami tadi sore kepada si sulung. Memang tadi ketika ia sudah berniat ingin menyendiri sembari memberi makan ikan-ikan hias di kolam belakang rumah mereka, Bara tiba-tiba saja datang dengan dua cangkir kopi panas di kedua tangannya. Hendak mencari teman mengobrol, alibinya beberapa saat yang lalu.

"Terus respon dia gimana?"

Sambil menghela napas pelan, Dharma menyahut, "Ya, ... kaget, nggak percaya, ... marah? Yang pasti terpukul banget, sih, dianya."

Mendengar itu, Bara tertawa kecil dibuatnya. "Wajar, sih, dia kayak gitu. Lagian kamu juga nggak ada kasih aba-aba dulu, 'kan, mau kasih dia 'kejutan'. Langsung plek, kasih tahu dia kayak gitu aja. Siapa, sih, yang nggak kaget setengah mati?"

Tawa Bara berangsur-angsur memelan dan padam ditelan angin malam begitu ia tidak juga mendapati respon serupa dari si tengah Lesmana tersebut. Bara lantas menepuk pelan bahu Dharma dan berujar pelan, "Chill, atuh, Bro. Main curang dalam percintaan tuh wajar, kok. Namanya juga cinta, datangnya aja nggak jelas dan nggak bisa ditebak. Prinsipnya? Bikin orang buta dan nggak peduli apa-apa lagi. Iya, 'kan?"

Dharma masih diam dengan tatapan kosong serta tangan yang juga masih melempar asal makanan-makanan ikan ke dalam kolam, membuat makhluk-makhluk kesayangan sang ayah tersebut berkumpul dan saling berebut untuk mengambil makanan tersebut hingga menciptakan suara gemercik-gemercik air di tengah malam.

"Lagian si Binar juga berhak buat tahu yang sebenarnya, 'kan? Makin lama kebohongan itu disimpan, makin susah juga nyembuhin rasa sakitnya nanti."

Kali ini Dharma tertawa kecut sebagai sebuah respon, "Nggak salah juga, sih, Bang. Tapi tetap aja aku jadi ngerasa nggak enak sama mereka berdua."

"Mereka berdua? Binar sama Jenaka, maksud kamu?"

Dharma mengangguk kaku dan melanjutkan, "Iya. Soalnya, 'kan, Abang sama Jenaka juga padahal niatnya baik, ... mau ngebantuin papa sama mama biar yakin kalau aku emang mau serius sama Binar, tapi, dengan bodohnya ... aku malah ngebuka kartu si bungsu gitu aja di depan Binar," finalnya dengan sebuah rasa bersalah terselip jelas di antara ucapannya.

[4] Kirana.Where stories live. Discover now