ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS

Mulai dari awal
                                    

"Dengerin dulu, ihh!" Ranti memukul pelan bahu Cia.

"Apa?" tanya Cia yang mulai memasang telinga.

"Kemarin Vian pergi nyamperin pacarnya," ujar Ranti yang sedikit lesu.

"Pacarnya?" tanya Cia menyakinkan pendengarannya.

"Iya. Katanya sih pacarnya pingsan trus disamperin deh sama Vian ke sekolahnya. Sweet banget ya, Vian. Aku mau deh jadi istrinya kalau gitu." Ranti tersenyum mulai membayangkan hal yang bukan-bukan.

"Jadi kemarin Vian susah dihubungi karena nyamperin pacarnya?" Cia bergumam dalam hati.

"Pacarnya masih sekolah?"

Ranti mengangguk. "SMA kelas tiga."

"Trus nih ya, Vian--"

"Bisa nggak, jangan ngomongin Vian hari ini? Males tahu denger namanya." Cia menatap Ranti.

"Kenapa? Aku malah senang dengar namanya," jawab Ranti.

"Aku enggak." Cia memilih pergi meninggalkan Ranti yang mematung di tempat.

"Tuh anak kenapa sih? PMS kali, ya?" tanya Ranti pada dirinya.

-

-

-

"Denger-denger semalem ada yang tidur di kontrakannya Bewok nih," ucap Dimas pada Vian yang masih sibuk dengan laptopnya di gedung jurusan.

"Siapa?" tanya Vian tanpa menoleh ke arah Dimas.

Dimas tersenyum. "Ada lah, bocah tengil. Mata-mata gue kan banyak," ucap Dimas cengengesan.

"Oh," jawab Vian.

"Dan pagi ini, lo minta gue buat nganter Cia ke kampus. Kenapa? Kalian ada masalah?" tanya Dimas.

"Kemarin Dila pingsan," ujar Vian setelah hening beberapa saat. Dimas menolehkan kepalanya melirik ke arah Vian.

"Aku nyusulin dia ke sekolahnya." Vian enggan menatap Dimas.

"Kamu masih mendedikasiin diri buat Dila?" tanya Dimas tidak percaya. Vian tidak menjawab. Tapi Dimas lebih tahu bagaimana Vian.

"Kamu bukan orang tuanya, Yan."

"Tapi aku sahabatnya." potong Vian cepat.

"Tiga tahun ini dia ngelewatin hari-hari sulitnya. Karena aku!" ucap Vian penuh penekanan.

"Yan, apa yang terjadi tiga tahun yang lalu itu bukan sepenuhnya salah kamu."

"Itu salah aku dan aku punya tanggung jawab untuk itu."

"Dan karena itu, kemarin ponsel lo matiin?" tanya Dimas yang sudah gemas dengan sikap keras kepala Vian.

"Hah?" tanya Vian tidak mengerti.

"Kamu tahu nggak? Kemarin Cia udah keliling satu fakultas buat nyariin kamu. Ponsel kamu mati," ujar Dimas.

"Dia juga minta tolong sama aku. Kalau ketemu, bilangin ke kamu kalau dia bakalan pulang malam kemarin, karena penghitungan suara calon ketua BEM."

"Setahu aku, dia sampai telat rapat karena nyariin anda, Syamsudin." Sambung Dimas gemas.

Vian menghela nafasnya. Segera, ia bangkit dari duduknya. Melenggang pergi.

"Woi mau kemana?!" teriak Dimas.

Vian tidak menghiraukan teriakan Dimas. Dalam pikirannya hanya satu, Cia.

Dia harus bertemu dengan Cia. Laki-laki itu berjalan ke arah kelas Cia. Ia mengintip dari balik pintu. Setelah itu ia segera masuk ke dalam kelas. Semua mahasiswa yang ada di kelas itu seketika terdiam.

"Ada Cia, nggak?" tanya Vian ke salah satu teman satu kelas Cia.

"Cia lagi rapat di ruang BEM," jawabnya.

Vian mengangguk lalu keluar dari kelas itu. Laki-laki bertubuh tinggi itu melangkahkan kakinya ke arah ruang BEM yang terletak di sebelah lapangan basket fakultas.

Saat Vian sudah berdiri di depan pintu masuk. Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seseorang yang sangat tidak ingin Vian lihat.

"Cia ada di dalam?" tanya Vian tanpa basa-basi.

"Ada urusan apa?" tanya Alvin.

"Ada di dalam, nggak?" ujar Vian datar.

"Kayaknya enggak," jawab Alvin santai.

"Kayaknya?" tanya Vian tidak yakin.

Pintu kembali terbuka. Menampilkan seorang gadis yang tidak asing bagi Vian. Gadis itu menatap Vian terkejut. Terkejut karena kehadiran Vian di sana.

"Kamu temannya Cia, kan? Dia ada di dalam?" tanya Vian pada Ranti.

"Heh?" jawab Ranti bingung.

"Kami mau rapat. Kalau ada urusan, tunggu aja." Alvin masuk ke dalam ruangan di susul oleh Ranti yang masih menatap Vian heran.

Tangan Vian mengepal kuat. Tidak ada pilihan, jika ia ingin bertemu dengan Cia maka dia harus menunggu.

Sudah satu jam lebih Vian berdiri di depan pintu itu. Tapi yang dicari tidak kunjung keluar. Ponsel Vian bergetar. Laki-laki menghela nafas lalu merogoh ponsel yang ada di saku celananya.

Dila.

Nama itu tertera di layar ponsel Vian. Vian menggeser tombol hijau lalu mendekatkan benda persegi itu ke salah satu telinganya.

"Kenapa, Dil?" tanya Vian ketika panggilan itu diangkat.

"Oke, aku kesana sekarang," putus Vian.

Laki-laki itu menatap pintu yang masih tetutup rapat. Ia menghela nafas, lalu pergi meninggalkan tempat itu.

-

Udah segitu dulu aja...




Vv, Nov 2020

Toelisan,-

I SHALL EMBRACE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang